Seperti baru tersiram air, binar coklat milik si gadis biasa yang sebelumnya tampak kosong mulai berbinar kembali. Dalam pandangannya tertangkap sesosok pria yang sedang bergerak. Lalu tubuhnya yang terlonjak-lonjak dan ... ah, suara itu ... dari mulutnya? Bia sontak menutup mulut, menghalangi suara aneh yang keluar. Hingga ngilu serta sakit ia rasakan dari bagian bawah tubuhnya.Penglihatan yang belum fokus mengarah ke sana; ke arah selatan yang mana dia baru menyadari apa yang terjadi. Bia membelalak. “Hmng?! Ng!” Dia menggeleng-gelengkan keoala, melepas bekapan di mulut kemudian memegang lengan pria yang berada di atas. “Le-lepas-nh-berhentih! Ah-stop-uh!”“Berhenti? Bukannya kamu nikmatin juga?” suaranya yang dalam, menekan tiap kata yang terucap dan mempercepat gerakan sambil menyeringai. Membuat si gadis biasa tak kuasa menahan teriakannya. “See, kamu menikmatinya.”“Ng-nggak–aku-kumohon–ugh–uh~ anh~ ngh!” matanya terpejam erat. Sensasi menakjubkan itu menyerang. Bersamaan denga
Agam bangkit dari kursi kerjanya membuat si gadis sedikit berjengit lalu membungkuk sembilan puluh derajat. “Maafkan saya. Atas nama Adrian, saya meminta maaf sama kamu, Rabia Anjasari.”Biasanya bentuk permintaan maaf begini dilakukan oleh orang-orang luar sana yang kulturnya berbeda. Iya, memang. Tapi, Agam sengaja melakukannya sebagai bentuk dia betul-betul meminta maaf dan menyesal pada gadis di depannya.Tak mungkin Bia tidak terkejut atas apa yang dilakukan oleh sang Kepala keluarga. Dia ikut bangkit berdiri, tapi tak tahu mesti berbuat apa. “Tu-Tuan nggak perlu minta maaf. Jangan begini, Tuan. Saya nggak bisa terima.”“Saya mohon maaf atas apa yang dilakukan sama anak saya, Adrian. Saya minta maaf.”“Iya, Tuan. Saya maafin. Tegakkan lagi badan Tuan. Saya maafin tuan muda.” Sudah dari lama Bia tak pernah memikirkan Adrian, tidak membayangkan dia meminta pertanggung jawaban apa pun–bisa dikatakan dia sudah memaafkan si bungsu Bimantara sejak lama.Agam menegakkan tubuhnya, mengan
Bia dipersilahkan masuk oleh Danu. Sedang pria hesar dan tinggi itu menundukkan kepala di ambang pintu pada si Bimantara bungsu kemudian menutup kembali pintu ruangan. Si gadis biasa masuk ke dalam sembari menggendong Bian. Melihat Adrian dalam balutan pakaian rapi dan duduk di balik meja–walau sudah beberapa kali melihat penampilan si laki-laki muda yang rapi, gagah dan tampan–pertama kali Bia melihat Adrian bekerja.“Sebentar lagi aku selesai, tunggu di sana.” Adrian menunjuk deretan sofa yang ada di sisi kanan ruangan, merapat ke dinding.Tanpa menyahut kata, cuma anggukan, si pengasuh berjalan ke arah yang ditunjuk oleh Adrian. Menempati salah satu sofa panjang lalu menurunkan Bian. Si bayi langsung sigap bergerak agar dapat melihat sekitar. Ah, Bian mahir sekali berguling-guling. Si bayi juga sudah mulai belajar duduk.Bian tertawa, mulutnya terbuka lebar, wajahnya gembira. Sepertinya sangat senang karena di bawa ke tempat baru. “Mam! Mam! Mam! Ah! Aaa!” serunya sambil menepuk-ne
Adrian melihat-lihat alat bantu gendong yang diperlihatkan oleh si pramuniaga. Di matanya semua sama saja, meski si pramuniaga menjelaskan perbedaan–yang mungkin dari bahan dan lainnya. Si tuan muda ini menatap Bia yang berdiri–berjarak tiga langkah–di sebelah kanan sedang mengayun-ayunkan si bayi gembul. Memerhatikan gerakan si gadis biasa kemudian mengambil salah satu alat bantu gendong dan di cocokkan ke tubuh Bia.“Anu, Tuan. Kalau boleh ....” Menatap si tuan muda dari ekor mata. “Sesuatu yang bantu saya gendong Tuan Bian dalam posisi tidur.”“Oh, saya tahu.” Si pramuniaga dengan cepat menyahut. Dia bergerak menjauh. Mungkin mengambil yang dimaksud oleh Bia.Si bungsu memandangi Bia. Di tangannya masih terdapat alat bantu gendong yang biasa di gunakan untuk menggendong bayi di depan dada. “Kalau yang kayak gini gimana?” Tanyanya. Dia butuh pendapat. Adrian baru pertama kali berbelanja begini; maksudnya membeli perlengkapan bayi. Dia tidak mengerti apa pun.“Kalau kedua tangan Tuan
Keduanya bingung. Berdiri mematung dengan pemikiran sama, namun tak saling buka suara. Beberapa detik berselang, si pemuda Bimantara melirik ke arah si pengasuh yang menggendong si bayi gembul dengan alat bantu–yang kemudian balas melirik. Mereka masih belum buka mulut. Ah, suasana canggung macam apa ini?“Anu, hm ....” Oh, oh, baru kali ini si tuan muda Bimantara terlihat kikuk dan spechless. Sedikit malu bertanya. Ya, dia masih awam. Tidak pernah berurusan dengan bayi! Apalagi membeli perlengkapan. Adrian lebih sering menghabiskan uangnya untuk membeli buku bisnis atau melihat profit bagus dari suatu usaha.Haa ... si tampan muka teplon menghela panjang. Menilik Bia yang masih berdiri diam. Memerhatikan si gadis dari kepala hingga kaki. Selain Bian, sepertinya gadis bernama lengkap Rabia Anjasari itu juga perlu beberapa perlengkapan baru. Melihat pakaian yang dikenakan si gadis–dan dia baru menyadarinya–Bia benar-benar tidak mempunyai–hm-uang-hm–untuk membenahi diri. Hah, selagi mas
Pakaian, popok, susu–yang Bia ingat di rumah masih ada stok–tapi sudah terlanjur beli lagi–kereta bayi, alat bantu gendong, apalagi?Adrian memutuskan menyudahi acara berbelanja keperluan Bian. Dia sudah lelah. Belum lagi paper bag dan kantung-kantung yang dia bawa. Tidak mungkin menyuruh Bia yang menggendong si bayi gembul untuk membawanya. Hei, meski stoic, dingin, dan bertampang datar; Adrian masih memiliki pikiran jernih. Di mana harga dirinya sebagai seorang lelaki yang masih sehat bugar, jika barang belanjaan mereka di bawa oleh si gadis yang jelas membawa manusia cilik bersamanya.Karena lelah dan jam makan malam hampir terlewat, Adrian membawa si pengasuh ke sebuah restoran terdekat untuk sejenak beristirahat dan mengisi tenaga. Mereka menduduki kursi yang berada di pojok, duduk berhadapan kemudian memesan makanan.Mereka tidak saling mengobrol. Si lelaki tampan mengeluarkan ponsel dan mengutak-atik benda itu–entah apa yang dia lakukan–sementara Bia mengintip ke dalam gendonga
Ah, mungkin dia terlalu banyak berpikir jadi merasa begitu? Adrian menggeleng dan melanjutkan menikmati makanan yang ia pesan.Dua buah pisang yang dibawa pelayan sebelumnya habis di lahap oleh si bayi gembul. Tampaknya Bian memiliki selera makan yang tinggi.“Bawa sini Bian. Kamu belum nyentuh makanan kamu,” suara si tuan muda terdengar ketika Bia selesai menyuapi air mineral lalu membersihkan sekitar mulut si bayi yang cemong-cemong.Adrian sudah selesai menyantap makan malamnya, omong-omong.Bia mengangguk. Dia berdiri dari kursi lalu menghampiri sang Tuan muda dan menyerahkan Bian kemudian kembali ke tempat duduknya. Si bayi gembul yang berpindah tangan tidak menangis; malah dia pamer gusi pada ayahnya. Bian yang sedang dalam posisi berdiri di pangkuan Adrian bergerak-gerak melonjak membuat si pemuda Bimantara memeganginya erat.“Kamu baru selesai makan, Bian.” Sedikit memaksa akhirnya si bayi duduk di pangkuan Adrian. Berhadapan dengan si gadis.Bia mengukir senyum untuk si bayi
“Kalian udah siap?”Yang ditunggu tiba; sang Kepala keluarga serta pasangannya. Adnan dan Adrian bersamaan bangkit dari sofa. Oh, tidak lupa perlengkapan perjalanan si bayi dalam sebuah tas di tangan kanan si bungsu Bimantara. Oh, mesti sigap dong sebagai seorang ayah!Bia mengangguk atas pertanyaan Agam tadi.Sang Kepala keluarga mengajak mereka berangkat. Sang Nyonya menyempatkan diri berbicara dengan asisten rumah tangga yang ditinggalkan. Menyampaikan beberapa pesan kemudian berpamitan Mereka berangkat menggunakan satu kendaraan. Sang Kepala keluarga duduk di kursi kemudi, di susul si sulung duduk di sebelah. Di belakang sang Nyonya masuk lalu meminta Bia yang menggendong Bian untuk mengikutinya. Bermaksud mengatur si gadis di tengah lalu di ujung Adrian.“Tunggu dulu,” si bungsu menghentikan langkah si pengasuh, “Aku di belakang.” Melonggarkan kursi kemudian masuk ke bagian belakang dan meletak tas yang ia bawa di sebelahnya.Setelah Adrian masuk, Bia terakhir yang masuk ke dala