Pakaian, popok, susu–yang Bia ingat di rumah masih ada stok–tapi sudah terlanjur beli lagi–kereta bayi, alat bantu gendong, apalagi?Adrian memutuskan menyudahi acara berbelanja keperluan Bian. Dia sudah lelah. Belum lagi paper bag dan kantung-kantung yang dia bawa. Tidak mungkin menyuruh Bia yang menggendong si bayi gembul untuk membawanya. Hei, meski stoic, dingin, dan bertampang datar; Adrian masih memiliki pikiran jernih. Di mana harga dirinya sebagai seorang lelaki yang masih sehat bugar, jika barang belanjaan mereka di bawa oleh si gadis yang jelas membawa manusia cilik bersamanya.Karena lelah dan jam makan malam hampir terlewat, Adrian membawa si pengasuh ke sebuah restoran terdekat untuk sejenak beristirahat dan mengisi tenaga. Mereka menduduki kursi yang berada di pojok, duduk berhadapan kemudian memesan makanan.Mereka tidak saling mengobrol. Si lelaki tampan mengeluarkan ponsel dan mengutak-atik benda itu–entah apa yang dia lakukan–sementara Bia mengintip ke dalam gendonga
Ah, mungkin dia terlalu banyak berpikir jadi merasa begitu? Adrian menggeleng dan melanjutkan menikmati makanan yang ia pesan.Dua buah pisang yang dibawa pelayan sebelumnya habis di lahap oleh si bayi gembul. Tampaknya Bian memiliki selera makan yang tinggi.“Bawa sini Bian. Kamu belum nyentuh makanan kamu,” suara si tuan muda terdengar ketika Bia selesai menyuapi air mineral lalu membersihkan sekitar mulut si bayi yang cemong-cemong.Adrian sudah selesai menyantap makan malamnya, omong-omong.Bia mengangguk. Dia berdiri dari kursi lalu menghampiri sang Tuan muda dan menyerahkan Bian kemudian kembali ke tempat duduknya. Si bayi gembul yang berpindah tangan tidak menangis; malah dia pamer gusi pada ayahnya. Bian yang sedang dalam posisi berdiri di pangkuan Adrian bergerak-gerak melonjak membuat si pemuda Bimantara memeganginya erat.“Kamu baru selesai makan, Bian.” Sedikit memaksa akhirnya si bayi duduk di pangkuan Adrian. Berhadapan dengan si gadis.Bia mengukir senyum untuk si bayi
“Kalian udah siap?”Yang ditunggu tiba; sang Kepala keluarga serta pasangannya. Adnan dan Adrian bersamaan bangkit dari sofa. Oh, tidak lupa perlengkapan perjalanan si bayi dalam sebuah tas di tangan kanan si bungsu Bimantara. Oh, mesti sigap dong sebagai seorang ayah!Bia mengangguk atas pertanyaan Agam tadi.Sang Kepala keluarga mengajak mereka berangkat. Sang Nyonya menyempatkan diri berbicara dengan asisten rumah tangga yang ditinggalkan. Menyampaikan beberapa pesan kemudian berpamitan Mereka berangkat menggunakan satu kendaraan. Sang Kepala keluarga duduk di kursi kemudi, di susul si sulung duduk di sebelah. Di belakang sang Nyonya masuk lalu meminta Bia yang menggendong Bian untuk mengikutinya. Bermaksud mengatur si gadis di tengah lalu di ujung Adrian.“Tunggu dulu,” si bungsu menghentikan langkah si pengasuh, “Aku di belakang.” Melonggarkan kursi kemudian masuk ke bagian belakang dan meletak tas yang ia bawa di sebelahnya.Setelah Adrian masuk, Bia terakhir yang masuk ke dala
Bia memandangi Maulana yang memberikan arahan untuk bertukar posisi atau pose yang semuanya memperlihatkan keanggunan, kemegahan, ketampanan serta kecantikan Bimantara. Terdapat dalam satu frame. Ah ... mereka benar-benar menyatu. Membuat si gadis biasa merasa di adili. Sejak awal dia sudah tahu; dia paham; dia mengerti, dia tak pernah punya kesempatan – lagi pula ia tak mau mengambil kesempatan itu sebagai aji mumpung–menggunakan keadaannya untuk memaksa masuk ke dalam lingkaran Bimantara. Tidak, dia tidak berhak.Hanya Bian.Ya, hanya Bian yang berhak masuk ke lingkup keluarga di sana, sebab si bayi memang keturunannya. Dia bukanlah siapa-siapa. Ah, kenapa dia merasa begini? Kenapa dadanya sesak? Mestinya dia bahagia. Keluarga Bimantara menerima si bayi gembul dengan tangan terbuka. Bukankah ia sendiri telah memutuskan? Tenang, Bia! Jernihkan pikiran. Kamu nggak berniat masuk ke sana, kan? Sadar!Bia menarik napas panjang. Dia lalu membalik badan, melangkah berlawanan arah dari area
Sementara itu di dalam studio ... Agam tengah mengobrol dengan Maulana. Sedikit membahas masa lalu. Rosa mengajak Rani berbicara mengenai pekerjaannya sebagai asisten fotografer bersama Adnan dan seorang lagi mengasingkan diri. Mengutak-atik ponselnya mencoba menghilangkan kejenuhan. Adrian memang tidak pintar bersosialisasi. Jadi dia lebih memilih menyibukkan diri sendiri daripada berbaur.Oh, Bian. Semoga tak menuruni sifatmu ini ya, bang.Merasakan sesuatu dalam saku bergetar, Agam menyela pembicaraannya dengan Maulana untuk melihat benda yang berada di dalam saku. Ponselnya. Dengan layar menyala memperlihatkan sebuah pesan. Cukup lama Bimantara senior ini memandang layar ponselnya sampai ia memasukkan kembali alat komunikasi tersebut ke tempat semula.“Erm, Lan ...,”Agam mencondongkan tubuhnya lalu berbisik di telinga si pria sebayanya. Menyebut nama panggilan kecil lelaki itu.“Oke. Tapi kamu berhutang sama aku.” Titik.Agam mengangguk. “Asal kamu nggak berkhianat!”Raut Maulana
“Ayo, Bia,” kata Agam kemudian membuka pintu dan keluar dari kendaraan yang dia kemudikan hampir dua jam lamanya–setelah dari gedung pemotretan.Si gadis buru-buru keluar sambil menggendong Bian. Hawa sejuk segera terasa. Dia memandang sekitar. Mereka entah berada di mana, Bia tidak tahu; yang pasti bukan kediaman Bimantara yang dia tinggali beberapa minggu terakhir. Mereka berada di tempat asing. Si bayi di pelukan Bia kelihatan cukup senang; mengamati sekitar lalu tersenyum dan tertawa tanpa suara.Adrian keluar dari mobil paling akhir. Di tangannya terdapat tas perlengkapan Bian. Dia memandang si pengasuh. “Ayo.” Katanya membuat Bia terkejut dan berjalan terlebih dahulu.Bia mengikuti di belakang hingga dia melihat sebuah rumah yang meski terbuat dari kayu–bentuknya memanjang ke samping, bukan ke belakang; seperti rumah pada umumnya–kelihatan mewah. Di kelilingi tanaman-tanaman hias. Sewaktu mencapai bagian depan yang terasnya pun terbuat dari kayu, tiba-tiba pintu yang ada di hada
Dua orang pria yang kini berada di sebelah ruangan yang mana ada anggota Bimantara lain duduk berhadapan. Ini adalah ruang kerja Adam. Tanpa diberitahu, Agam mengerti jika ayahnya bakal bertanya perihal Bian. Sebab dia cuma memberi tahu mereka akan datang berkunjung di hari minggu seraya memperkenalkan anggota baru–biasanya mengacu pada menantu atau pasangan dari salah satu putranya–bukan langsung cicit yang di perkenalkan.Raut muka datar yang sejak awal di pasang sang Senior melunak. Menghela dan menatap satu anaknya yang ada di hadapan. Namun tidak mengucap sepatah kata, Adam memilih menunggu Agam buka mulut.Pria yang hampir berkepala lima ini menghembus napas pelan. Dia menyandarkan punggung ke sandaran kursi, menatap wajah ayahnya. “Seperti yang papa lihat; Adrian punya anak–yang artinya cicit papa. Namanya Abian Bimantara. Dan ....”Belum selesai kalimat Agam–dia sengaja menjeda karena berpikir kata-kata apa yang mesti diucapkan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Tentu, ia masi
Rosa dan Bia kembali ke ruang tamu. Di tangan si gadis terdapat baki berisi mangkuk dan segelas air mineral. Sewaktu di dapur tadi, mereka memang menemukan banyak bahan makanan dan buah, namun bukan sesuatu yang dapat di konsumsi si bayi. Jadi, Bia berinisiatif membuat bubur nasi. Pun dia menambahkan sedikit sayuran yang dihaluskan ke dalam bubur. Sehingga warna bubur tak lagi putih, melainkan berhias hijau sayur.Nyonya Bimantara menghampiri Adrian, bermaksud meminta si bayi. Ketika Bian akan berpindah tangan, si gembul menggemaskan itu merengek. Menggerak-gerakkan kaki serta badan. Menolak di serahkan pada sang Nenek. Sehingga terpaksa Rosa menyerahkan lagi pada Adrian.“Hm ..., mood Bian jelek banget kayaknya,” si sulung berkomentar, “Coba aku yang gendong,” katanya dan memanjangkan tangan.Reaksi serupa diberikan oleh si bayi lucu. Dia sedang tak ingin bersama siapa pun kecuali ayahnya. Ketika berada di pangkuan si bungsu, Bian tidak banyak bergerak. Malah dengan nyaman bersandar