“Ayo, Bia,” kata Agam kemudian membuka pintu dan keluar dari kendaraan yang dia kemudikan hampir dua jam lamanya–setelah dari gedung pemotretan.Si gadis buru-buru keluar sambil menggendong Bian. Hawa sejuk segera terasa. Dia memandang sekitar. Mereka entah berada di mana, Bia tidak tahu; yang pasti bukan kediaman Bimantara yang dia tinggali beberapa minggu terakhir. Mereka berada di tempat asing. Si bayi di pelukan Bia kelihatan cukup senang; mengamati sekitar lalu tersenyum dan tertawa tanpa suara.Adrian keluar dari mobil paling akhir. Di tangannya terdapat tas perlengkapan Bian. Dia memandang si pengasuh. “Ayo.” Katanya membuat Bia terkejut dan berjalan terlebih dahulu.Bia mengikuti di belakang hingga dia melihat sebuah rumah yang meski terbuat dari kayu–bentuknya memanjang ke samping, bukan ke belakang; seperti rumah pada umumnya–kelihatan mewah. Di kelilingi tanaman-tanaman hias. Sewaktu mencapai bagian depan yang terasnya pun terbuat dari kayu, tiba-tiba pintu yang ada di hada
Dua orang pria yang kini berada di sebelah ruangan yang mana ada anggota Bimantara lain duduk berhadapan. Ini adalah ruang kerja Adam. Tanpa diberitahu, Agam mengerti jika ayahnya bakal bertanya perihal Bian. Sebab dia cuma memberi tahu mereka akan datang berkunjung di hari minggu seraya memperkenalkan anggota baru–biasanya mengacu pada menantu atau pasangan dari salah satu putranya–bukan langsung cicit yang di perkenalkan.Raut muka datar yang sejak awal di pasang sang Senior melunak. Menghela dan menatap satu anaknya yang ada di hadapan. Namun tidak mengucap sepatah kata, Adam memilih menunggu Agam buka mulut.Pria yang hampir berkepala lima ini menghembus napas pelan. Dia menyandarkan punggung ke sandaran kursi, menatap wajah ayahnya. “Seperti yang papa lihat; Adrian punya anak–yang artinya cicit papa. Namanya Abian Bimantara. Dan ....”Belum selesai kalimat Agam–dia sengaja menjeda karena berpikir kata-kata apa yang mesti diucapkan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Tentu, ia masi
Rosa dan Bia kembali ke ruang tamu. Di tangan si gadis terdapat baki berisi mangkuk dan segelas air mineral. Sewaktu di dapur tadi, mereka memang menemukan banyak bahan makanan dan buah, namun bukan sesuatu yang dapat di konsumsi si bayi. Jadi, Bia berinisiatif membuat bubur nasi. Pun dia menambahkan sedikit sayuran yang dihaluskan ke dalam bubur. Sehingga warna bubur tak lagi putih, melainkan berhias hijau sayur.Nyonya Bimantara menghampiri Adrian, bermaksud meminta si bayi. Ketika Bian akan berpindah tangan, si gembul menggemaskan itu merengek. Menggerak-gerakkan kaki serta badan. Menolak di serahkan pada sang Nenek. Sehingga terpaksa Rosa menyerahkan lagi pada Adrian.“Hm ..., mood Bian jelek banget kayaknya,” si sulung berkomentar, “Coba aku yang gendong,” katanya dan memanjangkan tangan.Reaksi serupa diberikan oleh si bayi lucu. Dia sedang tak ingin bersama siapa pun kecuali ayahnya. Ketika berada di pangkuan si bungsu, Bian tidak banyak bergerak. Malah dengan nyaman bersandar
Karena hampir tidak kuat menghadapi aura para Bimantara, sendok bubur yang mestinya ke mulut si bayi malah melenceng ke pipi gembil Bian. Menyebabkan bubur tumpah mengenai punggung tangan si lelaki tampan yang adalah ayah si gembul. Si bayi tampak santai saja melihat makanannya jatuh.“Ma-maaf, Tuan.” Buru-buru Bia menarik tissue yang tersedia di atas meja–dia sangat bersyukur atas keberadaan tissue tersebut di sana–dan langsung membersihkan tumpahan bubur Bian di tangan si tuan muda.Iris kelam milik si lelaki tampan bermuka telpon bungsu Biman mengamati pergerakan si gadis. Sebenarnya sudah sejak awal dia memperhatikan Bia. Sejak si gadis menyuapi Bian. Bia adalah hal paling menarik–selain si bayi gembul di pangkuan–yang tak bisa dia lihat mukanya–karena mesti memangku–yang bisa dilihat di kediaman utama Bimantara ini.Ya, karena ini pertama kali Bia kemari, mungkin. Atau bisa jadi karena si gadis dan Bian adalah sesuatu yang baru. Adrian cukup bosan jika hanya memandangi properti a
Karena lelah memangku Bian akhirnya Adrian pergi ke ruang santai–ruangan yang memang di khususkan untuk bersantai–ada sofa juga di sana, pun karpet tebal yang lebar di depan sofa–si tampan muka teplon ini memilih karpet. Mendudukkan Bian di atasnya dan dia berbaring di sebelah si gembul seraya mengerang. Pinggangnya sakit, punggung serta tangan pegal, belum lagi duduk terus. Akhirnya! Akhirnya dia bisa rebahan!Si bayi memandang ayahnya yang meregangkan tubuh lamat-lamat lalu menggerakkan badan mendekat dan memanjat tubuh Adrian–membuat si bungsu Biman sedikit terkesiap dan melihat si bayi yang bersandar dan meletak kepala di atas perutnya. Bian memamerkan gusi merah muda yang belum ditumbuhi gigi. Tersenyum pada sang Ayah yang kelelahan.“Sekarang kamu ketawa?” Adrian mencubit pipi gembil si bayi membuat suaranya seakan-akan marah, menekan tiap nada di kalimatnya. “Kamu ngejek, hm? Sejak pagi diam aja. Apa yang kamu ketawain?”Bukannya takut, Bian malah makin senang. Bergerak-gerak d
Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan bagi Adrian! Bagaimana tidak, seharian Bian tidak mau lepas darinya. Tak mau di serahkan pada siapa pun. Ha ... dia benar-benar menjadi pengasuh si bayi. Ketika bangun tidur siang, meski sudah tidak perlu digendong, namun Bian akan menangis bila dia beranjak menjauh. Dia mesti dekat, mesti berada dalam jarak pandang si gembul. Oh, tak lupa sang Biman senior diharapkan jauh-jauh dari Bian karena akan membuat si bayi nan lucu itu menangis jika melihat wujud kakek buyutnya.Bahkan ketika si bungsu Biman ingin ke kamar kecil!Dengan di gendong si pengasuh, Bian menunggu di luar pintu. Sewaktu keluar, Adrian akan mengeram lelah dan mengambil alih si bayi. Sementara Bian akan kegirangan di gendong oleh ayahnya. Ya, Tuhan! Apa dia tidak sedang dikerjai oleh si bayi? Ingin Adrian mengeluh pada Yang Maha Kuasa!Ya, begitulah rasanya memiliki bayi, Om muka teplon.Dan permasalahannya sekarang Bian harus mandi. Tapi, seperti yang diketahui si bayi tak
“Ha! Ha! Hiya~” si gadis menjerit ketika jemari si bayi gembul menyentuh tanaman. Mereka tampak asik bermain. Berulang-ulang melakukan hal yang sama.Berpindah dari satu tanaman ke tanaman lain. Suara tawa mereka terdengar hingga ke dalam rumah. Membuat sang Biman senior yang sedang duduk membaca berita pagi dari tab beranjak lalu melangkah ke halaman samping dan melihat pemandangan di sana. Halaman yang cukup luas seakan tak cukup menampung dua orang berbeda usia itu. Mereka berkeliling, saling tertawa, terlihat sangat bahagia.Sampai iris coklat si gadis beradu tatap dengan sorot tajam nan kelam milik sang Biman senior. Tawa Bia reda. Dia menunduk canggung lalu berjalan menghampiri sang Tuan rumah. Bian di pelukan si pengasuh pelan-pelan tawanya hilang ketika menjauh dari tanaman-tanaman yang menjadi teman bermainnya dan sang Ibu.“Kalian kayaknya seneng banget,” komentar Adam.Bia menunduk. “Saya cuma mau buat Tuan Bian senang, Tuan.”Sang Biman senior mengangguk. Kini tatapannya b
Sang Bimantara senior menghela. “Hm ....”Ya, bagaimanapun Adrian adalah ayah si bayi gembul nan lucu. Terlebih cucunya itu memang sangat kaku–belum pantas menyandang predikat orang tua–karena belum memahami si bayi. Mesti banyak waktu yang dihabiskan agar dia memiliki insting seorang ayah. Tidak seperti ... melirik ke arah seorang perempuan muda yang berdiri dekat dengan si bungsu; selain memerankan pengasuh, dia melakoni peran orang tua secara terselubung.“Um, tapi kalau papa mau ketemu Bian, papa bisa kapan aja datang,” Rosa segera memberi solusi. Tak mau membuat petinggi Bimantara tersebut merasa tidak diperkenan melihat cicitnya.“Ya udah.” Cuma jawaban singkat, namun membuat lega pasangan suami-istri yang sempat menegang.Mereka melanjutkan kegiatan bersiap. Kali ini si gadis mengambil alih pekerjaan yang memang harus dia lakukan; merapikan barang-barang Bian–yang tadi sudah dilakukan oleh Adrian–sehingga Biman muda itu sekarang memilih duduk di sofa di sebelah Bia. Untuk dirin