Karena lelah memangku Bian akhirnya Adrian pergi ke ruang santai–ruangan yang memang di khususkan untuk bersantai–ada sofa juga di sana, pun karpet tebal yang lebar di depan sofa–si tampan muka teplon ini memilih karpet. Mendudukkan Bian di atasnya dan dia berbaring di sebelah si gembul seraya mengerang. Pinggangnya sakit, punggung serta tangan pegal, belum lagi duduk terus. Akhirnya! Akhirnya dia bisa rebahan!Si bayi memandang ayahnya yang meregangkan tubuh lamat-lamat lalu menggerakkan badan mendekat dan memanjat tubuh Adrian–membuat si bungsu Biman sedikit terkesiap dan melihat si bayi yang bersandar dan meletak kepala di atas perutnya. Bian memamerkan gusi merah muda yang belum ditumbuhi gigi. Tersenyum pada sang Ayah yang kelelahan.“Sekarang kamu ketawa?” Adrian mencubit pipi gembil si bayi membuat suaranya seakan-akan marah, menekan tiap nada di kalimatnya. “Kamu ngejek, hm? Sejak pagi diam aja. Apa yang kamu ketawain?”Bukannya takut, Bian malah makin senang. Bergerak-gerak d
Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan bagi Adrian! Bagaimana tidak, seharian Bian tidak mau lepas darinya. Tak mau di serahkan pada siapa pun. Ha ... dia benar-benar menjadi pengasuh si bayi. Ketika bangun tidur siang, meski sudah tidak perlu digendong, namun Bian akan menangis bila dia beranjak menjauh. Dia mesti dekat, mesti berada dalam jarak pandang si gembul. Oh, tak lupa sang Biman senior diharapkan jauh-jauh dari Bian karena akan membuat si bayi nan lucu itu menangis jika melihat wujud kakek buyutnya.Bahkan ketika si bungsu Biman ingin ke kamar kecil!Dengan di gendong si pengasuh, Bian menunggu di luar pintu. Sewaktu keluar, Adrian akan mengeram lelah dan mengambil alih si bayi. Sementara Bian akan kegirangan di gendong oleh ayahnya. Ya, Tuhan! Apa dia tidak sedang dikerjai oleh si bayi? Ingin Adrian mengeluh pada Yang Maha Kuasa!Ya, begitulah rasanya memiliki bayi, Om muka teplon.Dan permasalahannya sekarang Bian harus mandi. Tapi, seperti yang diketahui si bayi tak
“Ha! Ha! Hiya~” si gadis menjerit ketika jemari si bayi gembul menyentuh tanaman. Mereka tampak asik bermain. Berulang-ulang melakukan hal yang sama.Berpindah dari satu tanaman ke tanaman lain. Suara tawa mereka terdengar hingga ke dalam rumah. Membuat sang Biman senior yang sedang duduk membaca berita pagi dari tab beranjak lalu melangkah ke halaman samping dan melihat pemandangan di sana. Halaman yang cukup luas seakan tak cukup menampung dua orang berbeda usia itu. Mereka berkeliling, saling tertawa, terlihat sangat bahagia.Sampai iris coklat si gadis beradu tatap dengan sorot tajam nan kelam milik sang Biman senior. Tawa Bia reda. Dia menunduk canggung lalu berjalan menghampiri sang Tuan rumah. Bian di pelukan si pengasuh pelan-pelan tawanya hilang ketika menjauh dari tanaman-tanaman yang menjadi teman bermainnya dan sang Ibu.“Kalian kayaknya seneng banget,” komentar Adam.Bia menunduk. “Saya cuma mau buat Tuan Bian senang, Tuan.”Sang Biman senior mengangguk. Kini tatapannya b
Sang Bimantara senior menghela. “Hm ....”Ya, bagaimanapun Adrian adalah ayah si bayi gembul nan lucu. Terlebih cucunya itu memang sangat kaku–belum pantas menyandang predikat orang tua–karena belum memahami si bayi. Mesti banyak waktu yang dihabiskan agar dia memiliki insting seorang ayah. Tidak seperti ... melirik ke arah seorang perempuan muda yang berdiri dekat dengan si bungsu; selain memerankan pengasuh, dia melakoni peran orang tua secara terselubung.“Um, tapi kalau papa mau ketemu Bian, papa bisa kapan aja datang,” Rosa segera memberi solusi. Tak mau membuat petinggi Bimantara tersebut merasa tidak diperkenan melihat cicitnya.“Ya udah.” Cuma jawaban singkat, namun membuat lega pasangan suami-istri yang sempat menegang.Mereka melanjutkan kegiatan bersiap. Kali ini si gadis mengambil alih pekerjaan yang memang harus dia lakukan; merapikan barang-barang Bian–yang tadi sudah dilakukan oleh Adrian–sehingga Biman muda itu sekarang memilih duduk di sofa di sebelah Bia. Untuk dirin
Mereka pelan-pelan mendekati sumber suara yang mengarah ke kamar si putra bungsu. Kemudian melihat beberapa orang keluar-masuk dari ruangan di sebelah kamar Adrian. Mereka mengenakan pakaian safety–yang biasa dikenakan oleh pekerja pabrik. Mengangkut barang-barang yang diketahui berada di ruang baca dan di bawa entah ke mana, tapi arahnya ke bagian belakang rumah.“Ma-maaf ....”Salah seorang dari para pekerja tersebut menyadari keberadaan sang Nyonya Bimantara serta seorang perempuan yang menggendong bayi. Buru-buru menghampiri mereka lalu menyapa, “Selamat pagi, Nyonya,” dia menyapa dan mendapat tanggapan berupa anggukan kaku dari sang Nyonya Biman. “Kami diperintahkan oleh Tuan Bimantara untuk merombak ruang baca jadi kamar bayi.”“Eh?” tak cuma Rosa, pun Bia terkejut. “Kamar bayi?” sang Nyonya Biman segera menoleh ke sampingnya di mana si pengasuh cucu pertamanya berada dan melirik ke si bayi yang tertidur pulas.“Iya.”“Suamiku?” kembali mengajukan pertanyaan yang dijawab angguka
“Kamu kenapa?” Adnan bertanya. Menyentuh kening adiknya menggunakan punggung tangan, sementara tangannya yang bebas menyentuh kening sendiri. Cara singkat yang sering digunakan untuk mengukur suhu tubuh.Tidak panas. Normal, begitu.“Boleh aku libur aja hari ini? Rasanya males banget ....” Kali ini si tampan muka teplon mengeluh.“Kamu punya jadwal meeting hari ini. Ingat.” Meski Adnan suka mengganggu si bungsu dan membuat Adrian kesal, ia tetaplah seorang kakak. Sudah menjadi tugas seorang kakak mengingatkan adiknya.Lagi pula mereka bekerja di bidang berbeda, walau berada di perusahaan yang sama. Bukan berarti dia bisa menggantikan Adrian. Pun Adnan punya urusannya sendiri. Klien sendiri. Proyek sendiri.Adrian cuma menyahut dengan helaan napas panjang. Benar-benar malas berangkat bekerja. Tidak terbesit niat untuk bersiap. Jika bisa, dia ingin tidur saja seharian.Beberapa saat kemudian seorang gadis berpakaian sederhana–rok lebar panjang yang nyaris menyapu lantai dan kemeja yang
Menghela napas sejenak, Agam menunjukkan ekspresi menyesal. “Maaf, karena nggak punya petunjuk, papa belum nemuin apa pun. Kayaknya bakal sulit menemukannya.”Adnan mengangguk. Mereka tidak punya petunjuk apa pun. Bian datang pada malam hari, CCTV di gerbang saat itu tidak berfungsi dan penjaga tak melihat siapa pun yang datang–entah mungkin sedang meninggalkan tempat jaga. Apalagi sekitar kediaman Bimantara adalah rumah-rumah besar yang kebanyakan penghuninya jarang di rumah. Bertanya pun mereka tidak menemukan informasi. Maka dari itu cukup sulit mengetahui siapa yang meletak Bian di depan rumah.“Erm, Pa ...,” kalimat si sulung mengambang ketika dia melirik ke samping dan melihat Adrian diam saja. Walau dia suka sekali mengganggu adiknya yang bertampang datar, namun saat ini bukanlah waktu untuk terus bersikap tak acuh. Adnan menepuk lengan si bungsu menyebabkan Adrian meringis. “Jangan diam aja. Kamu yang bilang sama Papa.”“Tapi itu ide Kakak.” Adrian mengusap lengan yang terasa
“ini Rabia, pengasuh Bian,” sang Nyonya Bimantara memperkenalkan si gadis. Khusus pada suami Sarah yang baru pertama kali datang kemari.Pria berkulit pucat yang hampir mirip dengan Adrian yang mempunyai ekspresi datar menatap Bia, mengukir senyum kecil lalu menganggukkan kepala. Biar bagaimana pun ketika berkenalan mesti menunjukkan ramah-tamah, sopan santun–meski status yang sangat berbeda.“Saya Rafael.” Katanya.“Saya Rabia, Tuan.” Si gadis balas menundukkan kepala. Pun dia menyapa si gadis cantik di sebelah pria pucat yang melempar senyum. Dia segera memberikan si bayi gembul nan menggemaskan pada sang Nyonya Biman dan membungkuk, “Saya siapin suguhan dulu, Nya.” Dan pamit pergi.Sang Nyonya Biman mempersilahkan pasangan Pramana muda untuk menempati sofa yang ada. Mereka duduk bersebelahan, sedang Rosa yang memangku Bian duduk di sofa yang berbeda. Memosisikan si bayi gembul nan menggemaskan duduk dengan menyandar ke tubuhnya sehingga Bian dengan jelas menatap dua orang asing yan