Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan bagi Adrian! Bagaimana tidak, seharian Bian tidak mau lepas darinya. Tak mau di serahkan pada siapa pun. Ha ... dia benar-benar menjadi pengasuh si bayi. Ketika bangun tidur siang, meski sudah tidak perlu digendong, namun Bian akan menangis bila dia beranjak menjauh. Dia mesti dekat, mesti berada dalam jarak pandang si gembul. Oh, tak lupa sang Biman senior diharapkan jauh-jauh dari Bian karena akan membuat si bayi nan lucu itu menangis jika melihat wujud kakek buyutnya.Bahkan ketika si bungsu Biman ingin ke kamar kecil!Dengan di gendong si pengasuh, Bian menunggu di luar pintu. Sewaktu keluar, Adrian akan mengeram lelah dan mengambil alih si bayi. Sementara Bian akan kegirangan di gendong oleh ayahnya. Ya, Tuhan! Apa dia tidak sedang dikerjai oleh si bayi? Ingin Adrian mengeluh pada Yang Maha Kuasa!Ya, begitulah rasanya memiliki bayi, Om muka teplon.Dan permasalahannya sekarang Bian harus mandi. Tapi, seperti yang diketahui si bayi tak
“Ha! Ha! Hiya~” si gadis menjerit ketika jemari si bayi gembul menyentuh tanaman. Mereka tampak asik bermain. Berulang-ulang melakukan hal yang sama.Berpindah dari satu tanaman ke tanaman lain. Suara tawa mereka terdengar hingga ke dalam rumah. Membuat sang Biman senior yang sedang duduk membaca berita pagi dari tab beranjak lalu melangkah ke halaman samping dan melihat pemandangan di sana. Halaman yang cukup luas seakan tak cukup menampung dua orang berbeda usia itu. Mereka berkeliling, saling tertawa, terlihat sangat bahagia.Sampai iris coklat si gadis beradu tatap dengan sorot tajam nan kelam milik sang Biman senior. Tawa Bia reda. Dia menunduk canggung lalu berjalan menghampiri sang Tuan rumah. Bian di pelukan si pengasuh pelan-pelan tawanya hilang ketika menjauh dari tanaman-tanaman yang menjadi teman bermainnya dan sang Ibu.“Kalian kayaknya seneng banget,” komentar Adam.Bia menunduk. “Saya cuma mau buat Tuan Bian senang, Tuan.”Sang Biman senior mengangguk. Kini tatapannya b
Sang Bimantara senior menghela. “Hm ....”Ya, bagaimanapun Adrian adalah ayah si bayi gembul nan lucu. Terlebih cucunya itu memang sangat kaku–belum pantas menyandang predikat orang tua–karena belum memahami si bayi. Mesti banyak waktu yang dihabiskan agar dia memiliki insting seorang ayah. Tidak seperti ... melirik ke arah seorang perempuan muda yang berdiri dekat dengan si bungsu; selain memerankan pengasuh, dia melakoni peran orang tua secara terselubung.“Um, tapi kalau papa mau ketemu Bian, papa bisa kapan aja datang,” Rosa segera memberi solusi. Tak mau membuat petinggi Bimantara tersebut merasa tidak diperkenan melihat cicitnya.“Ya udah.” Cuma jawaban singkat, namun membuat lega pasangan suami-istri yang sempat menegang.Mereka melanjutkan kegiatan bersiap. Kali ini si gadis mengambil alih pekerjaan yang memang harus dia lakukan; merapikan barang-barang Bian–yang tadi sudah dilakukan oleh Adrian–sehingga Biman muda itu sekarang memilih duduk di sofa di sebelah Bia. Untuk dirin
Mereka pelan-pelan mendekati sumber suara yang mengarah ke kamar si putra bungsu. Kemudian melihat beberapa orang keluar-masuk dari ruangan di sebelah kamar Adrian. Mereka mengenakan pakaian safety–yang biasa dikenakan oleh pekerja pabrik. Mengangkut barang-barang yang diketahui berada di ruang baca dan di bawa entah ke mana, tapi arahnya ke bagian belakang rumah.“Ma-maaf ....”Salah seorang dari para pekerja tersebut menyadari keberadaan sang Nyonya Bimantara serta seorang perempuan yang menggendong bayi. Buru-buru menghampiri mereka lalu menyapa, “Selamat pagi, Nyonya,” dia menyapa dan mendapat tanggapan berupa anggukan kaku dari sang Nyonya Biman. “Kami diperintahkan oleh Tuan Bimantara untuk merombak ruang baca jadi kamar bayi.”“Eh?” tak cuma Rosa, pun Bia terkejut. “Kamar bayi?” sang Nyonya Biman segera menoleh ke sampingnya di mana si pengasuh cucu pertamanya berada dan melirik ke si bayi yang tertidur pulas.“Iya.”“Suamiku?” kembali mengajukan pertanyaan yang dijawab angguka
“Kamu kenapa?” Adnan bertanya. Menyentuh kening adiknya menggunakan punggung tangan, sementara tangannya yang bebas menyentuh kening sendiri. Cara singkat yang sering digunakan untuk mengukur suhu tubuh.Tidak panas. Normal, begitu.“Boleh aku libur aja hari ini? Rasanya males banget ....” Kali ini si tampan muka teplon mengeluh.“Kamu punya jadwal meeting hari ini. Ingat.” Meski Adnan suka mengganggu si bungsu dan membuat Adrian kesal, ia tetaplah seorang kakak. Sudah menjadi tugas seorang kakak mengingatkan adiknya.Lagi pula mereka bekerja di bidang berbeda, walau berada di perusahaan yang sama. Bukan berarti dia bisa menggantikan Adrian. Pun Adnan punya urusannya sendiri. Klien sendiri. Proyek sendiri.Adrian cuma menyahut dengan helaan napas panjang. Benar-benar malas berangkat bekerja. Tidak terbesit niat untuk bersiap. Jika bisa, dia ingin tidur saja seharian.Beberapa saat kemudian seorang gadis berpakaian sederhana–rok lebar panjang yang nyaris menyapu lantai dan kemeja yang
Menghela napas sejenak, Agam menunjukkan ekspresi menyesal. “Maaf, karena nggak punya petunjuk, papa belum nemuin apa pun. Kayaknya bakal sulit menemukannya.”Adnan mengangguk. Mereka tidak punya petunjuk apa pun. Bian datang pada malam hari, CCTV di gerbang saat itu tidak berfungsi dan penjaga tak melihat siapa pun yang datang–entah mungkin sedang meninggalkan tempat jaga. Apalagi sekitar kediaman Bimantara adalah rumah-rumah besar yang kebanyakan penghuninya jarang di rumah. Bertanya pun mereka tidak menemukan informasi. Maka dari itu cukup sulit mengetahui siapa yang meletak Bian di depan rumah.“Erm, Pa ...,” kalimat si sulung mengambang ketika dia melirik ke samping dan melihat Adrian diam saja. Walau dia suka sekali mengganggu adiknya yang bertampang datar, namun saat ini bukanlah waktu untuk terus bersikap tak acuh. Adnan menepuk lengan si bungsu menyebabkan Adrian meringis. “Jangan diam aja. Kamu yang bilang sama Papa.”“Tapi itu ide Kakak.” Adrian mengusap lengan yang terasa
“ini Rabia, pengasuh Bian,” sang Nyonya Bimantara memperkenalkan si gadis. Khusus pada suami Sarah yang baru pertama kali datang kemari.Pria berkulit pucat yang hampir mirip dengan Adrian yang mempunyai ekspresi datar menatap Bia, mengukir senyum kecil lalu menganggukkan kepala. Biar bagaimana pun ketika berkenalan mesti menunjukkan ramah-tamah, sopan santun–meski status yang sangat berbeda.“Saya Rafael.” Katanya.“Saya Rabia, Tuan.” Si gadis balas menundukkan kepala. Pun dia menyapa si gadis cantik di sebelah pria pucat yang melempar senyum. Dia segera memberikan si bayi gembul nan menggemaskan pada sang Nyonya Biman dan membungkuk, “Saya siapin suguhan dulu, Nya.” Dan pamit pergi.Sang Nyonya Biman mempersilahkan pasangan Pramana muda untuk menempati sofa yang ada. Mereka duduk bersebelahan, sedang Rosa yang memangku Bian duduk di sofa yang berbeda. Memosisikan si bayi gembul nan menggemaskan duduk dengan menyandar ke tubuhnya sehingga Bian dengan jelas menatap dua orang asing yan
“Eh ... beneran~” walau berusaha untuk tidak bersorak, sang Nyonya Biman tak kuasa tidak berkomentar. Senyum yang hampir tercipta di bibir di sembunyikan di balik punggung tangan. Rosa menutup mulutnya agar tidak tertangkap basah.Pria berusia dua puluh lima tahu itu salah tingkah. Tidak hanya pasangan suami-istri Pramana yang meledek, bahkan sang Ibu ikut!“Mama ....” Adrian merengut. Meminta mamanya supaya tidak mengikuti yang dilakukan oleh Sarah dan suaminya. Dia tahu sang Mama menahan senyum di balik tangannya.Lalu sebuah suara tak di sangka-sangka terdengar yang membuat seluruh perhatian teralihkan. Ya, berubah fokus dari si bungsu Biman ke seorang bayi gembul di pangkuan Adrian yang sedang menepuk-nepuk lengan ayahnya sembari mengulangi kata yang sama, “Bbah! Bah!” seolah-olah menyemangati ayahnya. Seakan tahu jika ayahnya sedang malu.“Kamu juga mau ngeledek, hm?” Adrian mengangkat si bayi sehingga mereka saling berhadapan. Menatap si gembul nan lucu dengan mata menyipit–tent
Adrian Bimantara; tokoh utama kita yang berwajah tampan, tetapi sayang parasnya sangat berbanding terbalik dengan mimik muka yang selalu datar mirip pantat teplon baru saja tiba di depan sebuah gedung berlantai dua yang tidak terlalu besar. Gedungnya di cat putih khas gedung-gedung Rumah Sakit pada umumnya. Ya, dia baru sampai di halaman Rumah Sakit yang diberitahukan oleh sopir pribadi ayahnya mengenai keberadaan si buah hati serta si pengasuh.Entah ada urusan apa sampai mereka ke Rumah Sakit, mana jaraknya cukup jauh dari kota. Si Bimantara muda saja membutuhkan setengah jam, apalagi kalau pakai kendaraan umum. Pasti lebih lama.Dia memarkirkan mobilnya di parkiran khusus roda dua, mematikan mesin lalu keluar dari kendaraan pribadinya. Tak lupa dikunci lagi. Adrian berjalan masuk ke dalam gedung Rumah Sakit. Tapi, baru kakinya menginjak lobi, pemuda ini ingat sesuatu. Bagaimana dia menemui si pengasuh di sini? Adrian tidak tahu si pengasuh berada di mana, sedang apa dan menemui sia
Adrian Bimantara adalah tipikal pria tepat waktu. Benci keramaian dan senang menyendiri. Tipe-tipe introvert, sih. Ah, tapi bukan itu yang mau kita bahas. Bimantara muda tersebut adalah seseorang yang selalu on time; on time sampai di kantor dan on time pulang bekerja. Jadi, saat jam menunjukkan jam pulang–biasanya sekitar pukul lima sore–maka dia akan membereskan semua pekerjaan–menyisihkan yang mesti dilakukan besok atau yang memiliki tenggat waktu lebih lama. Bukan tak mau bekerja keras. Tetapi, buat apa membuang waktumu di saat pekerjaan selesai dan diberikan kelonggaran untuk pekerjaan lainnya? Pun tak cuma badan yang butuh istirahat, otak yang digunakan saat bekerja juga perlu tenang. Karena dia memang tidak suka kelayapan, maka tujuan utama pria tampan minim ekspresi ini adalah rumah; kediaman Bimantara. Sewaktu sampai di basemen lalu berpisah dengan beberapa staf yang satu lift dengannya, lelaki tinggi itu berjalan ke arah ia memarkirkan mobilnya. Namun, langkah Adrian ter
“Erm, Tuan.”Yang mau Bia sampaikan bukannya hal aneh, tapi si gadis kelihatan bingung.“Bilang aja,” ujar si Tuan Besar memaklumi gerak-gerik gadis di depannya. Ya, gadis sederhana tersebut punya kepribadian sangat sungkan terhadap orang lain. Meski mungkin yang dikatakan atau dilakukannya bukan sesuatu yang bisa membuat rasa tak enak di hati.Bia mengambil sesuatu dari saku celananya dan menyodorkan pada sang Kepala keluarga. “Sudah waktunya imunisasi Bian, Tuan.”“Kukira kenapa. Kau membuatku berpikir ada sesuatu yang buruk.” Agam menerima buku yang disodorkan si gadis. Buku catatan ibu dan anak. Membuka dan melihat halaman terakhir. Dia ingat di sana memang ada tertulis jadwal selanjutnya dan benar tanggal yang tertera adalah tanggal hari ini. “Aku akan minta Danu untuk antar kamu.”Si gadis menggeleng. “Boleh saya pergi sendiri, Tuan? Saya janji bakal kembali sebelum malam.” Teringat kejadian waktu lalu, Bia tidak berani membawa si gembul sampai malam. Dia benar-benar akan kembal
Bia terharu. Sungguh. Dia tak mengira. Sang Bimantara senior bahkan mengingatnya dan meminta si photographer untuk mengambil gambarnya. Memegang erat gambar yang ukurannya tidak besar–Agam sengaja meminta di cetak untuk ukuran dompet supaya si gadis bisa menyimpannya tanpa membuat orang lain curiga–lalu di dekatkan dengan dada.Gambar ini akan menjadi penenangnya saat rindu menyerang dan tak bisa bertemu putranya. Apalagi ketika dia keluar dari kediaman Bimantara. Bia mesti mempersiapkan batinnya agar tidak merengek nantinya.“Sama-sama.”Agam sudah menduga jika Bia akan senang, tapi tak memperkirakan si gadis bakal menunjukkan muka sendu kemudian. Entah apa yang dipikirkan oleh gadis itu, tapi ia pun akan berusaha agar Bia tidak berpisah dengan putranya. Dia mengambil sesuatu lagi dalam laci. Kali ini menyerupai buku yang sekali lagi diserahkan pada si pengasuh.“Saya udah pernah bilang sama kamu, sekalipun kamu nggak minta apa pun, ini adalah hasil kerja keras kamu.”Bia menatap ben
Hari ini hampir semua Bimantara berkumpul di rumah; hari minggu. Kecuali sang Nyonya yang sedang ada project di luar. Jadi, tak heran melihat si bungsu berada di ruang tengah sedang memainkan ponsel.Oh, dia sedang membaca artikel-artikel yang ditemukan di internet. Artikel tentang apa? Ahem, ingat soal si bungsu ini yang sempat berpikir untuk meriset sesuatu yang tidak dimengerti? Berhubung libur dan tak membawa pulang pekerjaan–dia jarang melakukannya, sih–jadi dia merisetnya sekarang. Mengetikkan sebaris kalimat di kotak pencarian sehingga bermunculan hasil yang sesuai dengan kata kunci yang dimasukkan. Si Biman muda mencari tahu sehubungan dengan hatinya yang terasa aneh dan jantung yang berdebar lebih cepat saat bersama seseorang.Dan rata-rata artikel yang dia temukan serta baca malah berisi pertanyaan lain yang membuatnya bingung. Apa hubungannya dengan yang ingin dia ketahui? Pertanyaannya adalah; ‘apa kamu juga sangat memedulikan orang itu? Merasa nyaman?’ lalu diakhiri kata,
Bia terdiam. Mencerna perkataan si tuan muda. Mencoba mengingat kembali saat dia membawa Bian imunisasi lalu ... ah, dia ingat. Waktu itu si tuan muda bilang; ‘ingat posisimu, pengasuh’. Dia memang merasa sakit waktu itu. Tapi, rasa sakitnya sudah hilang. Tak disimpan lama-lama dalam hati. Bia berusaha melupakannya. Dia segera menggeleng. “Tuan nggak perlu minta maaf. Sa-saya juga salah. Saya cuma kasih tahu Tuan Besar, nggak tuan Adrian.”Senyum yang tadinya tersemat cuma tipis, kini terukir lebar. Lama-lama menjadi kekehan kecil lalu tawa. Suasana yang semula sendu karena si gadis menangis berubah drastis sebab tawa halus meluncur dari bibir tipis si Biman muda. Tawa ringan yang mencairkan hawa dingin. Tawa yang membuat linangan air mata berhenti. Tawa yang membuat satu organ di dada berdegup keras. Tawa yang menghangatkan udara malam.Bia terhenyak. Menikmati suara tawa yang kedua kali dia dengar. Tawa dari si Biman muda yang membuat jantungnya jadi berdebar-debar dan wajahnya pana
Dua pertanyaan yang diajukan dengan nada santai barusan membuat gadis berpakaian sederhana yang kebingungan jadi kelabakan. Dia buru-buru–tetap merasa ragu–duduk di sebelah si tuan muda di sisi yang kosong. Memberi sedikit jarak agar tidak menempel atau bersentuhan dengan si tuan muda. Bia gugup, tentu saja. Pertama, posisi duduk yang bersebelahan–walau dia memberi celah–tetap terbilang dekat. Kedua, dia tak tahu apa yang ingin dibicarakan oleh si tuan muda. Apa tentang hari ini? Kehebohan yang terjadi? Tentang Bian? Atau malah si gadis yang menjadi calon istri?Suara jangkrik terdengar. Ahem.Si gadis duduk sembari menautkan kedua jemari. Dia sedang bingung dan gugup. Bertanya-tanya dalam hati apa yang ingin dibicarakan oleh si tuan muda. Sedang si Biman muda menarik napas lalu dihembuskan. Sejenak menenangkan diri. Oh, bukan karena dia bakal mengajak bicara si pengasuh, tetapi karena lelah batin yang dirasa karena kejadian yang cukup menguras emosi hari ini.“Aku nggak berharap bany
“Rabia nggak mungkin kayak gitu.” Adnan memberanikan diri bersuara.Agam menghela di tegangnya suasana. “Iya. Saya juga tahu, Bia nggak akan seperti itu.”Adam menyungging seringai tipis mendengarnya. Sementara Naomi tak percaya jika Bimantara-Bimantara lain tak ada yang membela. Dia melirik ke arah calon ayah mertua, ibu mertua dan kakak ipar yang sama sekali tak melihat ke arahnya. Pun orang yang dia sukai ternyata diam di tempat tanpa mencoba menyelamatkan dirinya. Kenapa mereka semua malah membela perempuan udik itu?“Yeah ..., saya tahu,” imbuh si Tuan Paling Besar. Dia kembali menatap si gadis cantik bersurai lurus. “Kamu tahu kenapa?”Naomi menelan ludah. Dia tidak berdaya.“Bia mempunyai naluri seorang ibu, sedangkan kamu tidak.”Kalimat sang Bimantara senior barusan menohok seorang pemuda di tempatnya bersimpuh. Naluri seorang ibu? Si pengasuh juga pernah membahasnya. Orang yang bisa merawat Bian mesti memiliki naluri seorang ibu.“Saya rasa Bia malah menganggap Bia seperti a
“Tadi pagi siapa saja yang bareng sama Bian?” Tanya sang Biman senior sembari membenarkan posisi baju si gembul dan membiarkan bayi buntal itu bermain-main sendiri di karpet; berguling ke kiri dan ke kanan, telungkup lalu tertawa sendiri. Melakukan itu berulang-ulang.Sebenarnya enggan mengatakannya, sebab Bia tidak bisa memastikan. Kalau salah tunjuk, bagaimana? Dia yang bakal menanggung. Apalagi sikap menghakimi tanpa bukti kan salah. Tapi, tidak ada orang lain yang bersama Bian waktu itu. Si gadis menghela. Pun karena sudah terjadi dan membuat bayinya terluka, dia tak ingin kejadian serupa terulang.“Saya nggak mau nuduh. Tapi, orang yang terakhir kali sama Bian adalah Nona Naomi.” Katanya serius menatap mata hitam milik sang Bimantara.“Naomi?” Adam mengulang. “Naomi Wibowo?”“Nona Naomi kemari untuk belajar rawat Bian sebagai calon istri Tuan Adrian,” Bia memberitahu. Ini bukan rahasia, kan? Semua penghuni rumah tahu.Sang Biman senior tahu; dia tak bisa ikut campur untuk masalah