“Kamu kenapa?” Adnan bertanya. Menyentuh kening adiknya menggunakan punggung tangan, sementara tangannya yang bebas menyentuh kening sendiri. Cara singkat yang sering digunakan untuk mengukur suhu tubuh.Tidak panas. Normal, begitu.“Boleh aku libur aja hari ini? Rasanya males banget ....” Kali ini si tampan muka teplon mengeluh.“Kamu punya jadwal meeting hari ini. Ingat.” Meski Adnan suka mengganggu si bungsu dan membuat Adrian kesal, ia tetaplah seorang kakak. Sudah menjadi tugas seorang kakak mengingatkan adiknya.Lagi pula mereka bekerja di bidang berbeda, walau berada di perusahaan yang sama. Bukan berarti dia bisa menggantikan Adrian. Pun Adnan punya urusannya sendiri. Klien sendiri. Proyek sendiri.Adrian cuma menyahut dengan helaan napas panjang. Benar-benar malas berangkat bekerja. Tidak terbesit niat untuk bersiap. Jika bisa, dia ingin tidur saja seharian.Beberapa saat kemudian seorang gadis berpakaian sederhana–rok lebar panjang yang nyaris menyapu lantai dan kemeja yang
Menghela napas sejenak, Agam menunjukkan ekspresi menyesal. “Maaf, karena nggak punya petunjuk, papa belum nemuin apa pun. Kayaknya bakal sulit menemukannya.”Adnan mengangguk. Mereka tidak punya petunjuk apa pun. Bian datang pada malam hari, CCTV di gerbang saat itu tidak berfungsi dan penjaga tak melihat siapa pun yang datang–entah mungkin sedang meninggalkan tempat jaga. Apalagi sekitar kediaman Bimantara adalah rumah-rumah besar yang kebanyakan penghuninya jarang di rumah. Bertanya pun mereka tidak menemukan informasi. Maka dari itu cukup sulit mengetahui siapa yang meletak Bian di depan rumah.“Erm, Pa ...,” kalimat si sulung mengambang ketika dia melirik ke samping dan melihat Adrian diam saja. Walau dia suka sekali mengganggu adiknya yang bertampang datar, namun saat ini bukanlah waktu untuk terus bersikap tak acuh. Adnan menepuk lengan si bungsu menyebabkan Adrian meringis. “Jangan diam aja. Kamu yang bilang sama Papa.”“Tapi itu ide Kakak.” Adrian mengusap lengan yang terasa
“ini Rabia, pengasuh Bian,” sang Nyonya Bimantara memperkenalkan si gadis. Khusus pada suami Sarah yang baru pertama kali datang kemari.Pria berkulit pucat yang hampir mirip dengan Adrian yang mempunyai ekspresi datar menatap Bia, mengukir senyum kecil lalu menganggukkan kepala. Biar bagaimana pun ketika berkenalan mesti menunjukkan ramah-tamah, sopan santun–meski status yang sangat berbeda.“Saya Rafael.” Katanya.“Saya Rabia, Tuan.” Si gadis balas menundukkan kepala. Pun dia menyapa si gadis cantik di sebelah pria pucat yang melempar senyum. Dia segera memberikan si bayi gembul nan menggemaskan pada sang Nyonya Biman dan membungkuk, “Saya siapin suguhan dulu, Nya.” Dan pamit pergi.Sang Nyonya Biman mempersilahkan pasangan Pramana muda untuk menempati sofa yang ada. Mereka duduk bersebelahan, sedang Rosa yang memangku Bian duduk di sofa yang berbeda. Memosisikan si bayi gembul nan menggemaskan duduk dengan menyandar ke tubuhnya sehingga Bian dengan jelas menatap dua orang asing yan
“Eh ... beneran~” walau berusaha untuk tidak bersorak, sang Nyonya Biman tak kuasa tidak berkomentar. Senyum yang hampir tercipta di bibir di sembunyikan di balik punggung tangan. Rosa menutup mulutnya agar tidak tertangkap basah.Pria berusia dua puluh lima tahu itu salah tingkah. Tidak hanya pasangan suami-istri Pramana yang meledek, bahkan sang Ibu ikut!“Mama ....” Adrian merengut. Meminta mamanya supaya tidak mengikuti yang dilakukan oleh Sarah dan suaminya. Dia tahu sang Mama menahan senyum di balik tangannya.Lalu sebuah suara tak di sangka-sangka terdengar yang membuat seluruh perhatian teralihkan. Ya, berubah fokus dari si bungsu Biman ke seorang bayi gembul di pangkuan Adrian yang sedang menepuk-nepuk lengan ayahnya sembari mengulangi kata yang sama, “Bbah! Bah!” seolah-olah menyemangati ayahnya. Seakan tahu jika ayahnya sedang malu.“Kamu juga mau ngeledek, hm?” Adrian mengangkat si bayi sehingga mereka saling berhadapan. Menatap si gembul nan lucu dengan mata menyipit–tent
Sudah beberapa menit berlalu sejak Bia menatap telepon rumah yang ada di atas lemari pendek–cuma sepinggang si gadis–tanpa melakukan apa pun. Di tangannya terdapat secarik kertas yang di remas kuat. Ada perasaan ragu menyelimuti; apa dia harus melakukannya atau tidak? Bia sedang berperang dengan dirinya sendiri. Tapi, kalau tidak dilakukan ... dia menghembus napas dan menguatkan hati.Meraih gagang telepon, melembari kertas yang di remuk sehingga terlihat deretan angka di sana kemudian menekan tombol yang sesuai tulisan di kertas. Bia mendekatkan gagang telepon ke telinga sehingga dapat mendengar bunyi ‘tut’ sebagai pertanda panggilan tersambung.“Halo ....” dia menyapa setelah panggilan di jawab. Mendengar sahutan dari seberang, dia segera melanjutkan, “Dok, ini saya. Rabia. Mm. Saya baik-baik aja. Um ..., saya tahu ini udah lewat jamnya, tapi–”[Nggak apa-apa. Saya pasti luangin waktu buat kamu.]Senyum terukir, meski sedikit merasa tak enak sebab dia tahu jadwal seseorang yang seda
“Aduh, saya gemas!” Ujar sang Dokter dan langsung mencubit pipi Bian.Si gadis tersenyum. Dia melepas jaket dipakaikan pada si bayi lalu mengusap keringat di sekitar leher kemudian mengipas-ngipas menggunakan tangan. “Maaf ya, Abi ....”Dokter Sammy ikut mengembang senyum melihat interaksi ibu dan anak itu. Dia yang memeriksa si gadis selama masa kehamilan sampai si gembul lahir ke dunia dan sekarang sudah sebesar itu. Hampir mirip dokter pribadi, begitu. Hal tersebut dilakukan sukarela oleh sang Dokter. Well, memang diawali dengan rasa kasihan terhadap gadis muda tersebut yang mesti mengalami kejadian yang sebetulnya menghancurkan masa depannya, namun dihadapi dengan keteguhan hati luar biasa, membuat Dokter Sammy prihatin dan memberi perhatian lebih dari Dokter umumnya. Dia sangat paham jika si gadis sangat butuh dukungan moril.“Saya siapin bahan sama alatnya dulu ya. Apa kamu bawa pakaian ganti buat Abi? Kasihan tuh dia ...,” diakhiri kekehan kecil dan sekali lagi mencubit gemas p
“Rabia ....”Si gadis buru-buru menundukkan kepala sambil berucap, “Maafin saya.”Adnan menghela melihat si pengasuh yang menunduk ketakutan. Dia ingin memarahi si gadis sebenarnya, tapi tampaknya Bia tahu kesalahannya sehingga langsung meminta maaf. “Kamu tahu gimana khawatirnya kami?” Ia bertanya setelah meredam marah dengan menghembuskan napas pelan dengan nada rendah. Ah, si sulung Biman memang paling andal mengatur emosi.Bia masih di posisi menunduk. Memejam mata sebentar, dia bersiap untuk di marahi. “Saya benar-benar minta maaf, Tuan.”Baru Adnan akan mengucapkan sesuatu, sebuah suara menghentikan niatnya. Suara dari sang Kepala keluarga yang akhirnya buka suara sambil berdiri dari sofa. “Bia, ikut saya.”Bia tersentak. Tapi, di segera mengikuti sang Kepala keluarga yang sudah berjalan duluan meninggalkan ruang keluarga; meninggalkan sang Nyonya Biman yang menggendong Bian dan dua pemuda yang merupakan Tuan muda di rumah ini. Si gadis berjalan dengan menunduk, mengisyaratkan p
Suasana pagi di kediaman Bimantara terasa cukup berat. Walau biasanya memang tidak ada yang bicara di meja makan, namun hawa di sekitar tidak terasa mencekik. Bukan cuma hawa, tapi udara terasa makin menipis seraya waktu berjalan. Selama menikmati sarapan yang tersedia tidak ada yang buka suara. Bahkan Rosa yang biasanya cerewet dan menanyai keberadaan cucu pertama Biman–oh, si bayi sedang diurus di kamarnya oleh si pengasuh–baru selesai dimandikan beberapa menit lalu–terakhir Agam mengecek sebelum ke meja makan–tidak bersuara dan diam saja.Seakan masih terbawa perasaan karena kejadian kemarin malam. Ah, tentu. Meski Bian telah kembali, tetapi rasa kecewa, khawatir masih menggerogoti–sebab belum melampiaskannya ke si tersangka; si pengasuh. Merelakan permasalahan itu tanpa menuntaskan emosi pasti terasa janggal. Namun, Agam tidak bisa membiarkan mereka berburuk sangka lebih lama pada si gadis. Bia tidak salah–pun perasaan istri serta anak-anaknya tak salah, tetapi mereka tidak menget