“Aduh, saya gemas!” Ujar sang Dokter dan langsung mencubit pipi Bian.Si gadis tersenyum. Dia melepas jaket dipakaikan pada si bayi lalu mengusap keringat di sekitar leher kemudian mengipas-ngipas menggunakan tangan. “Maaf ya, Abi ....”Dokter Sammy ikut mengembang senyum melihat interaksi ibu dan anak itu. Dia yang memeriksa si gadis selama masa kehamilan sampai si gembul lahir ke dunia dan sekarang sudah sebesar itu. Hampir mirip dokter pribadi, begitu. Hal tersebut dilakukan sukarela oleh sang Dokter. Well, memang diawali dengan rasa kasihan terhadap gadis muda tersebut yang mesti mengalami kejadian yang sebetulnya menghancurkan masa depannya, namun dihadapi dengan keteguhan hati luar biasa, membuat Dokter Sammy prihatin dan memberi perhatian lebih dari Dokter umumnya. Dia sangat paham jika si gadis sangat butuh dukungan moril.“Saya siapin bahan sama alatnya dulu ya. Apa kamu bawa pakaian ganti buat Abi? Kasihan tuh dia ...,” diakhiri kekehan kecil dan sekali lagi mencubit gemas p
“Rabia ....”Si gadis buru-buru menundukkan kepala sambil berucap, “Maafin saya.”Adnan menghela melihat si pengasuh yang menunduk ketakutan. Dia ingin memarahi si gadis sebenarnya, tapi tampaknya Bia tahu kesalahannya sehingga langsung meminta maaf. “Kamu tahu gimana khawatirnya kami?” Ia bertanya setelah meredam marah dengan menghembuskan napas pelan dengan nada rendah. Ah, si sulung Biman memang paling andal mengatur emosi.Bia masih di posisi menunduk. Memejam mata sebentar, dia bersiap untuk di marahi. “Saya benar-benar minta maaf, Tuan.”Baru Adnan akan mengucapkan sesuatu, sebuah suara menghentikan niatnya. Suara dari sang Kepala keluarga yang akhirnya buka suara sambil berdiri dari sofa. “Bia, ikut saya.”Bia tersentak. Tapi, di segera mengikuti sang Kepala keluarga yang sudah berjalan duluan meninggalkan ruang keluarga; meninggalkan sang Nyonya Biman yang menggendong Bian dan dua pemuda yang merupakan Tuan muda di rumah ini. Si gadis berjalan dengan menunduk, mengisyaratkan p
Suasana pagi di kediaman Bimantara terasa cukup berat. Walau biasanya memang tidak ada yang bicara di meja makan, namun hawa di sekitar tidak terasa mencekik. Bukan cuma hawa, tapi udara terasa makin menipis seraya waktu berjalan. Selama menikmati sarapan yang tersedia tidak ada yang buka suara. Bahkan Rosa yang biasanya cerewet dan menanyai keberadaan cucu pertama Biman–oh, si bayi sedang diurus di kamarnya oleh si pengasuh–baru selesai dimandikan beberapa menit lalu–terakhir Agam mengecek sebelum ke meja makan–tidak bersuara dan diam saja.Seakan masih terbawa perasaan karena kejadian kemarin malam. Ah, tentu. Meski Bian telah kembali, tetapi rasa kecewa, khawatir masih menggerogoti–sebab belum melampiaskannya ke si tersangka; si pengasuh. Merelakan permasalahan itu tanpa menuntaskan emosi pasti terasa janggal. Namun, Agam tidak bisa membiarkan mereka berburuk sangka lebih lama pada si gadis. Bia tidak salah–pun perasaan istri serta anak-anaknya tak salah, tetapi mereka tidak menget
Walau tenggelam dalam lamunan, si gadis dapat mendengar bunyi derit pintu sehingga dia segera menoleh dan mendapati pria muda yang menjadi beban pikirannya sejak pagi berjalan pelan masuk ke kamar. Dia terkejut lalu buru-buru bangkit dari pinggiran ranjang dan menundukkan kepala. Bertemu secepat ini rasanya menyesakkan. Bia berusaha menyembunyikan wajahnya; tidak berani menatap lelaki tampan dengan ekspresi datar tersebut.Oh, jantung si gadis berdebar lebih cepat dari biasanya. Deg-deg-deg; suara dentum yang keras hingga ia bisa mendengarnya. Bia mundur selangkah sewaktu si bungsu Biman berdiri di dekatnya untuk melihat si bayi yang masih asik di atas ranjang–mengabaikan sekitar–mengabaikan si pengasuh yang berusaha agar tidak bertemu tatapan dengan si pemuda Bimantara dan supaya debarannya tidak terdengar.Sementara si Tuan muda memandang si bayi gembul yang kelihatan aktif. Wajahnya yang dibedaki terlihat berantakan di sebabkan liur yang meluber karena menggigiti mainan karet. Sera
Tiga puluh menit kemudian akhirnya Adrian bebas dari Adnan–yang entah bagaimana malah bercerita tentang proses melahirkan–dia tidak paham mengapa si sulung tertarik lada hal seperti itu.Kini si lelaki tampan muka teplon telah tiba di lantai empat. Dia bermaksud segera ke ruangan miliknya–dia punya banyak pekerjaan; apalagi di awal bulan begini. Sebagai manajer keuangan, salah satu tugasnya adalah mendata gaji karyawan dan itu adalah pekerjaan yang cukup berat dibanding memeriksa data keuangan–karena Bintang Utara Group memiliki banyak sekali staf.Satu divisi bisa diisi sepuluh sampai dua puluh orang. Untuk sebuah perusahaan besar yang mempunyai pengaruh terhadap perekonomian–waw–pastinya punya banyak divisi dan staf. Oh, ya ampun membayangkannya saja sudah membuat si bungsu Biman ini sakit kepala.Sewaktu tiba di ruang divisi keuangan yang mana para staf di sini sudah kembali–jam istirahat siang sudah selesai–si lelaki tampan namun bermuka datar ini menghela napas. Dia tak bisa bena
Meski begitu, tidak ada perasaan kesal atau tidak senang di benak si pemuda Bimantara. Melihat dua orang itu tampak nyenyak dan nyaman, ia malah merasa tenang. Dia tidak pernah memerhatikan si bayi yang tidur–pun Bia, mana mungkin–namun ... beberapa kali memang dia merasa sedikit janggal atas sikap si gadis pada Bian. Bia terlalu sayang pada si bayi. Mereka juga terlalu dekat. Tidak seperti pengasuh dan bayi yang di asuh. Kini rasa janggal itu makin meningkat. Namun, selain prasangka tersebut, pun si Biman muda terenyuh melihat keduanya lelap.Entah dorongan dari mana–Adrian tidak sadar melakukannya–ia mengulurkan tangan dengan keinginan menyentuh si gadis. Ya, menyentuh. Tetapi cuma ujung rambut saja. Karena dia langsung tersentak dan keheranan.Tiba-tiba organ paling penting yang terletak di dada bekerja dua kali lipat. Dia berdebar-debar. Tidak paham atas apa yang barusan dia lakukan. Adrian menyimpan tangannya tadi di balik punggung, gelagapan–walau tak ada yang melihat–salah ting
Gagang telepon rumah berada dalam genggaman dan di dekatkan ke telinga, Rabia Anjasari sedang berbicara dengan seseorang di line seberang. Lalu di sampingnya berdiri seorang perempuan muda yang merupakan salah satu asisten rumah tangga di kediaman Bimantara; Minah, sedang menggendong seorang bayi gembul yang sejak tadi merengek-rengek, tidak mau diam.Keadaan rumah sepi saat ini; para Bimantara tidak ada di rumah karena bekerja–termasuk sang Nyonya Biman yang pagi tadi dipanggil sebab sedang ada klien. Dua anak muda yang bekerja di rumah Bimantara ini panik karena Bian menangis ditambah badannya panas. Diberi susu tidak mau, pun di gendong atau di letak di tempat tidur. Oleh sebab itu si pengasuh memutuskan menghubungi seseorang yang dapat membantunya saat ini.“Iya. Oh, iya. Um. Terima kasih, Dok.” Kemudian meletak gagang telepon ke tempat semula.“Gimana? Apa kata Dokter?” Minah langsung menyerbu. Oh, perempuan berambut panjang ini tahu bila Bia menghubungi seorang Dokter yang katan
Belum terlontar sapaan manis nan mesra dari si sulung yang kepalang kesal, suara dari seberang line membuat jidat Adnan berhias empat sudut siku-siku.[Berisik.]Uh ... kalau tidak ingat Adrian itu adik kandungnya, Adnan akan mengirim pembunuh bayaran ke tempat di mana adiknya itu berada sekarang untuk menghabisi si bungsu Biman. Heran. Kenapa Adrian selalu saja membuat orang lain kesal, hmph!Sabar Adnan, sabar. Orang sabar dapat pacar cantik dan bohay, katanya dalam hati. Jangan rusak batin Adnan ya. Karena itu adalah harapan terpendam yang tak terucap dan belum terwujud. Belum. Garis bawahi, belum! Adnan pasti bakal punya doi yang uwu. Hmph.“Adrian sayang, apa kabar?” Adnan berusaha membuat suaranya terdengar lembut.Di seberang telepon, si bungsu Biman mengerutkan kening.[Kalau nggak ada yang penting, aku tutup.]Panggilan masih tersambung, tetapi layar ponsel Adrian sudah mengarah ke langit-langit yang artinya alat komunikasi pribadi si bungsu di letakkan dan bersiap memutus pa