Dikarenakan hari minggu; keluarga Bimantara tidak ada yang pergi bekerja. Semuanya berada di rumah. Sang Nyonya tengah bermain dengan Bian di ruang tengah, si bungsu juga berada di sana–duduk di seberang sofa yang ditempati sang Mama–bersandar di sandaran sofa menghela napas banyak-banyak.Hari ini Adrian dikerjai oleh kakaknya yang mengatakan dia mesti lebih memperhatikan si gembul. Meminta si tampan muka teplon selalu menggendong Bian, memberi makan, memberi susu dan hampir si bungsu ini diminta memandikan si gembul yang langsung di tolak mentah-mentah. Memandikan ... bagaimana kalau dia salah pegang? Bagaimana jika sabunnya masuk ke mulut, telinga, hidung atau mata Bian? Tidak-tidak. Beruntung Bia segera mengambil alih dan mengatakan bahwa itu adalah pekerjaannya. Oh, Adrian terselamatkan.Namun, si bayi yang memang tidak rewel hari ini tampak tidak bersemangat. Bian masih menanggapi candaan Rosa, namun tak seceria biasanya. Apa mungkin karena Sarah tadi pagi? Ah, perempuan cantik
“Bia, Bia.”Si gadis biasa segera berlari menghampiri sang Nyonya yang memanggilnya dari ruang tengah. Berdiri di sebelah Rosa yang tampak terburu-buru lalu menyerahkan Bian padanya. Beruntung Bia sempat meletakkan kain lap kotor yang dia pegang saat sang Nyonya memanggil.Tak lama Sri pun datang ke ruang tengah. Memberi tahu pada Rosa kalau sudah siap kemudian berdiri di sebelah sang Nyonya Bimantara.“Saya ada keperluan mendadak sekaligus pergi belanja sama Sri. Cuma ada kamu sama Minah di rumah. Saya titip Bian ya. Saya janji nggak bakal lama,” ujar Rosa sembari meraih tas yang terletak di sofa. “Saya pergi dulu. Ayo, Sri.”Bia mengangguk. Mengantar sang Nyonya ke pintu depan. Mereka berinteraksi sejenak dengan Bian sebelum akhirnya berangkat menggunakan mobil yang telah terparkir di depan teras.Si gadis biasa memandangi mobil yang dikendarai oleh sang Nyonya melaju ke gerbang di depan yang terbuka otomatis. Dia masuk ke rumah, menutup pintu dan melangkah ke ruang tengah. Dia send
Tepat setelah mengantar Bian ke kamar Adrian, Bia menghampiri ruang kerja sang Kepala keluarga. Dia hampir hapal seluk-beluk kediaman Bimantara, jadi tak perlu dituntun lagi untuk tahu di mana ruang khusus milik sang Tuan besar dan dia bisa datang sendiri. Semua orang sudah masuk ke kamar masing-masing sehingga keadaan rumah sangat sepi. Sudah jam tidur. Hanya Bia yang tampak masih berjalan dan berhenti di depan sebuah pintu suatu ruangan.Si gadis biasa menelan ludah. Dia masih takut. Masih deg-degan. Dia berharap agar pagi cepat datang, agar malam ini cepat berlalu, agar tak terjadi apa pun di dalam ruang itu nantinya. Napas si gadis biasa tersendat. Dia menghirup udara lalu di hembuskan. Melakukannya beberapa kali–meski tidak membantu supaya rileks–Bia mencoba mengetuk pintu.Satu, dua, tiga.“Permisi, Tuan.”“Masuk.” Terdengar suara dari dalam.Si gadis biasa yang menyandang peran pengasuh ini makin-makin ingin tenggelam rasanya. Menghilang di telan bumi. Dia sama sekali tak beran
Bia yang hampir mencapai pintu keluar dari kitchen berhenti. Menoleh ke belakang dan mendapati seorang lelaki tinggi menghampirinya. Menarik troli ke dalam, melihat ke kiri dan ke kanan–memastikan keadaan–para pekerja di dapur sini tampak sibuk dan tidak melihat ke arah mereka. Laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari sakunya; bungkusan yang isinya berwarna putih kemudian menuang isinya ke dalam salah satu gelas. Mengaduk isi gelas sehingga tercampur dengan rata, tetapi warna minumannya tidak berubah.“Itu apa?” Tanya Bia. Curiga.“Pesanan dari orang di kamar itu. Kamu nggak perlu tahu. Udah, ayo. Mereka nunggu.” Katanya dan menuntun si gadis biasa keluar dan berjalan bersama menuju lift karyawan.Mereka sama-sama masuk ke dalam lift. Menuju lantai tiga. Tidak ada pembicaraan sama sekali hingga tiba di lantai tempat tujuan. Bia mendorong troli seraya melihat sekitar untuk mencari kamar yang ia tuju dibarengi oleh laki-laki tadi yang berjalan di belakang si gadis biasa.Tidak sulit menc
Seperti baru tersiram air, binar coklat milik si gadis biasa yang sebelumnya tampak kosong mulai berbinar kembali. Dalam pandangannya tertangkap sesosok pria yang sedang bergerak. Lalu tubuhnya yang terlonjak-lonjak dan ... ah, suara itu ... dari mulutnya? Bia sontak menutup mulut, menghalangi suara aneh yang keluar. Hingga ngilu serta sakit ia rasakan dari bagian bawah tubuhnya.Penglihatan yang belum fokus mengarah ke sana; ke arah selatan yang mana dia baru menyadari apa yang terjadi. Bia membelalak. “Hmng?! Ng!” Dia menggeleng-gelengkan keoala, melepas bekapan di mulut kemudian memegang lengan pria yang berada di atas. “Le-lepas-nh-berhentih! Ah-stop-uh!”“Berhenti? Bukannya kamu nikmatin juga?” suaranya yang dalam, menekan tiap kata yang terucap dan mempercepat gerakan sambil menyeringai. Membuat si gadis biasa tak kuasa menahan teriakannya. “See, kamu menikmatinya.”“Ng-nggak–aku-kumohon–ugh–uh~ anh~ ngh!” matanya terpejam erat. Sensasi menakjubkan itu menyerang. Bersamaan denga
Agam bangkit dari kursi kerjanya membuat si gadis sedikit berjengit lalu membungkuk sembilan puluh derajat. “Maafkan saya. Atas nama Adrian, saya meminta maaf sama kamu, Rabia Anjasari.”Biasanya bentuk permintaan maaf begini dilakukan oleh orang-orang luar sana yang kulturnya berbeda. Iya, memang. Tapi, Agam sengaja melakukannya sebagai bentuk dia betul-betul meminta maaf dan menyesal pada gadis di depannya.Tak mungkin Bia tidak terkejut atas apa yang dilakukan oleh sang Kepala keluarga. Dia ikut bangkit berdiri, tapi tak tahu mesti berbuat apa. “Tu-Tuan nggak perlu minta maaf. Jangan begini, Tuan. Saya nggak bisa terima.”“Saya mohon maaf atas apa yang dilakukan sama anak saya, Adrian. Saya minta maaf.”“Iya, Tuan. Saya maafin. Tegakkan lagi badan Tuan. Saya maafin tuan muda.” Sudah dari lama Bia tak pernah memikirkan Adrian, tidak membayangkan dia meminta pertanggung jawaban apa pun–bisa dikatakan dia sudah memaafkan si bungsu Bimantara sejak lama.Agam menegakkan tubuhnya, mengan
Bia dipersilahkan masuk oleh Danu. Sedang pria hesar dan tinggi itu menundukkan kepala di ambang pintu pada si Bimantara bungsu kemudian menutup kembali pintu ruangan. Si gadis biasa masuk ke dalam sembari menggendong Bian. Melihat Adrian dalam balutan pakaian rapi dan duduk di balik meja–walau sudah beberapa kali melihat penampilan si laki-laki muda yang rapi, gagah dan tampan–pertama kali Bia melihat Adrian bekerja.“Sebentar lagi aku selesai, tunggu di sana.” Adrian menunjuk deretan sofa yang ada di sisi kanan ruangan, merapat ke dinding.Tanpa menyahut kata, cuma anggukan, si pengasuh berjalan ke arah yang ditunjuk oleh Adrian. Menempati salah satu sofa panjang lalu menurunkan Bian. Si bayi langsung sigap bergerak agar dapat melihat sekitar. Ah, Bian mahir sekali berguling-guling. Si bayi juga sudah mulai belajar duduk.Bian tertawa, mulutnya terbuka lebar, wajahnya gembira. Sepertinya sangat senang karena di bawa ke tempat baru. “Mam! Mam! Mam! Ah! Aaa!” serunya sambil menepuk-ne
Adrian melihat-lihat alat bantu gendong yang diperlihatkan oleh si pramuniaga. Di matanya semua sama saja, meski si pramuniaga menjelaskan perbedaan–yang mungkin dari bahan dan lainnya. Si tuan muda ini menatap Bia yang berdiri–berjarak tiga langkah–di sebelah kanan sedang mengayun-ayunkan si bayi gembul. Memerhatikan gerakan si gadis biasa kemudian mengambil salah satu alat bantu gendong dan di cocokkan ke tubuh Bia.“Anu, Tuan. Kalau boleh ....” Menatap si tuan muda dari ekor mata. “Sesuatu yang bantu saya gendong Tuan Bian dalam posisi tidur.”“Oh, saya tahu.” Si pramuniaga dengan cepat menyahut. Dia bergerak menjauh. Mungkin mengambil yang dimaksud oleh Bia.Si bungsu memandangi Bia. Di tangannya masih terdapat alat bantu gendong yang biasa di gunakan untuk menggendong bayi di depan dada. “Kalau yang kayak gini gimana?” Tanyanya. Dia butuh pendapat. Adrian baru pertama kali berbelanja begini; maksudnya membeli perlengkapan bayi. Dia tidak mengerti apa pun.“Kalau kedua tangan Tuan
Adrian Bimantara; tokoh utama kita yang berwajah tampan, tetapi sayang parasnya sangat berbanding terbalik dengan mimik muka yang selalu datar mirip pantat teplon baru saja tiba di depan sebuah gedung berlantai dua yang tidak terlalu besar. Gedungnya di cat putih khas gedung-gedung Rumah Sakit pada umumnya. Ya, dia baru sampai di halaman Rumah Sakit yang diberitahukan oleh sopir pribadi ayahnya mengenai keberadaan si buah hati serta si pengasuh.Entah ada urusan apa sampai mereka ke Rumah Sakit, mana jaraknya cukup jauh dari kota. Si Bimantara muda saja membutuhkan setengah jam, apalagi kalau pakai kendaraan umum. Pasti lebih lama.Dia memarkirkan mobilnya di parkiran khusus roda dua, mematikan mesin lalu keluar dari kendaraan pribadinya. Tak lupa dikunci lagi. Adrian berjalan masuk ke dalam gedung Rumah Sakit. Tapi, baru kakinya menginjak lobi, pemuda ini ingat sesuatu. Bagaimana dia menemui si pengasuh di sini? Adrian tidak tahu si pengasuh berada di mana, sedang apa dan menemui sia
Adrian Bimantara adalah tipikal pria tepat waktu. Benci keramaian dan senang menyendiri. Tipe-tipe introvert, sih. Ah, tapi bukan itu yang mau kita bahas. Bimantara muda tersebut adalah seseorang yang selalu on time; on time sampai di kantor dan on time pulang bekerja. Jadi, saat jam menunjukkan jam pulang–biasanya sekitar pukul lima sore–maka dia akan membereskan semua pekerjaan–menyisihkan yang mesti dilakukan besok atau yang memiliki tenggat waktu lebih lama. Bukan tak mau bekerja keras. Tetapi, buat apa membuang waktumu di saat pekerjaan selesai dan diberikan kelonggaran untuk pekerjaan lainnya? Pun tak cuma badan yang butuh istirahat, otak yang digunakan saat bekerja juga perlu tenang. Karena dia memang tidak suka kelayapan, maka tujuan utama pria tampan minim ekspresi ini adalah rumah; kediaman Bimantara. Sewaktu sampai di basemen lalu berpisah dengan beberapa staf yang satu lift dengannya, lelaki tinggi itu berjalan ke arah ia memarkirkan mobilnya. Namun, langkah Adrian ter
“Erm, Tuan.”Yang mau Bia sampaikan bukannya hal aneh, tapi si gadis kelihatan bingung.“Bilang aja,” ujar si Tuan Besar memaklumi gerak-gerik gadis di depannya. Ya, gadis sederhana tersebut punya kepribadian sangat sungkan terhadap orang lain. Meski mungkin yang dikatakan atau dilakukannya bukan sesuatu yang bisa membuat rasa tak enak di hati.Bia mengambil sesuatu dari saku celananya dan menyodorkan pada sang Kepala keluarga. “Sudah waktunya imunisasi Bian, Tuan.”“Kukira kenapa. Kau membuatku berpikir ada sesuatu yang buruk.” Agam menerima buku yang disodorkan si gadis. Buku catatan ibu dan anak. Membuka dan melihat halaman terakhir. Dia ingat di sana memang ada tertulis jadwal selanjutnya dan benar tanggal yang tertera adalah tanggal hari ini. “Aku akan minta Danu untuk antar kamu.”Si gadis menggeleng. “Boleh saya pergi sendiri, Tuan? Saya janji bakal kembali sebelum malam.” Teringat kejadian waktu lalu, Bia tidak berani membawa si gembul sampai malam. Dia benar-benar akan kembal
Bia terharu. Sungguh. Dia tak mengira. Sang Bimantara senior bahkan mengingatnya dan meminta si photographer untuk mengambil gambarnya. Memegang erat gambar yang ukurannya tidak besar–Agam sengaja meminta di cetak untuk ukuran dompet supaya si gadis bisa menyimpannya tanpa membuat orang lain curiga–lalu di dekatkan dengan dada.Gambar ini akan menjadi penenangnya saat rindu menyerang dan tak bisa bertemu putranya. Apalagi ketika dia keluar dari kediaman Bimantara. Bia mesti mempersiapkan batinnya agar tidak merengek nantinya.“Sama-sama.”Agam sudah menduga jika Bia akan senang, tapi tak memperkirakan si gadis bakal menunjukkan muka sendu kemudian. Entah apa yang dipikirkan oleh gadis itu, tapi ia pun akan berusaha agar Bia tidak berpisah dengan putranya. Dia mengambil sesuatu lagi dalam laci. Kali ini menyerupai buku yang sekali lagi diserahkan pada si pengasuh.“Saya udah pernah bilang sama kamu, sekalipun kamu nggak minta apa pun, ini adalah hasil kerja keras kamu.”Bia menatap ben
Hari ini hampir semua Bimantara berkumpul di rumah; hari minggu. Kecuali sang Nyonya yang sedang ada project di luar. Jadi, tak heran melihat si bungsu berada di ruang tengah sedang memainkan ponsel.Oh, dia sedang membaca artikel-artikel yang ditemukan di internet. Artikel tentang apa? Ahem, ingat soal si bungsu ini yang sempat berpikir untuk meriset sesuatu yang tidak dimengerti? Berhubung libur dan tak membawa pulang pekerjaan–dia jarang melakukannya, sih–jadi dia merisetnya sekarang. Mengetikkan sebaris kalimat di kotak pencarian sehingga bermunculan hasil yang sesuai dengan kata kunci yang dimasukkan. Si Biman muda mencari tahu sehubungan dengan hatinya yang terasa aneh dan jantung yang berdebar lebih cepat saat bersama seseorang.Dan rata-rata artikel yang dia temukan serta baca malah berisi pertanyaan lain yang membuatnya bingung. Apa hubungannya dengan yang ingin dia ketahui? Pertanyaannya adalah; ‘apa kamu juga sangat memedulikan orang itu? Merasa nyaman?’ lalu diakhiri kata,
Bia terdiam. Mencerna perkataan si tuan muda. Mencoba mengingat kembali saat dia membawa Bian imunisasi lalu ... ah, dia ingat. Waktu itu si tuan muda bilang; ‘ingat posisimu, pengasuh’. Dia memang merasa sakit waktu itu. Tapi, rasa sakitnya sudah hilang. Tak disimpan lama-lama dalam hati. Bia berusaha melupakannya. Dia segera menggeleng. “Tuan nggak perlu minta maaf. Sa-saya juga salah. Saya cuma kasih tahu Tuan Besar, nggak tuan Adrian.”Senyum yang tadinya tersemat cuma tipis, kini terukir lebar. Lama-lama menjadi kekehan kecil lalu tawa. Suasana yang semula sendu karena si gadis menangis berubah drastis sebab tawa halus meluncur dari bibir tipis si Biman muda. Tawa ringan yang mencairkan hawa dingin. Tawa yang membuat linangan air mata berhenti. Tawa yang membuat satu organ di dada berdegup keras. Tawa yang menghangatkan udara malam.Bia terhenyak. Menikmati suara tawa yang kedua kali dia dengar. Tawa dari si Biman muda yang membuat jantungnya jadi berdebar-debar dan wajahnya pana
Dua pertanyaan yang diajukan dengan nada santai barusan membuat gadis berpakaian sederhana yang kebingungan jadi kelabakan. Dia buru-buru–tetap merasa ragu–duduk di sebelah si tuan muda di sisi yang kosong. Memberi sedikit jarak agar tidak menempel atau bersentuhan dengan si tuan muda. Bia gugup, tentu saja. Pertama, posisi duduk yang bersebelahan–walau dia memberi celah–tetap terbilang dekat. Kedua, dia tak tahu apa yang ingin dibicarakan oleh si tuan muda. Apa tentang hari ini? Kehebohan yang terjadi? Tentang Bian? Atau malah si gadis yang menjadi calon istri?Suara jangkrik terdengar. Ahem.Si gadis duduk sembari menautkan kedua jemari. Dia sedang bingung dan gugup. Bertanya-tanya dalam hati apa yang ingin dibicarakan oleh si tuan muda. Sedang si Biman muda menarik napas lalu dihembuskan. Sejenak menenangkan diri. Oh, bukan karena dia bakal mengajak bicara si pengasuh, tetapi karena lelah batin yang dirasa karena kejadian yang cukup menguras emosi hari ini.“Aku nggak berharap bany
“Rabia nggak mungkin kayak gitu.” Adnan memberanikan diri bersuara.Agam menghela di tegangnya suasana. “Iya. Saya juga tahu, Bia nggak akan seperti itu.”Adam menyungging seringai tipis mendengarnya. Sementara Naomi tak percaya jika Bimantara-Bimantara lain tak ada yang membela. Dia melirik ke arah calon ayah mertua, ibu mertua dan kakak ipar yang sama sekali tak melihat ke arahnya. Pun orang yang dia sukai ternyata diam di tempat tanpa mencoba menyelamatkan dirinya. Kenapa mereka semua malah membela perempuan udik itu?“Yeah ..., saya tahu,” imbuh si Tuan Paling Besar. Dia kembali menatap si gadis cantik bersurai lurus. “Kamu tahu kenapa?”Naomi menelan ludah. Dia tidak berdaya.“Bia mempunyai naluri seorang ibu, sedangkan kamu tidak.”Kalimat sang Bimantara senior barusan menohok seorang pemuda di tempatnya bersimpuh. Naluri seorang ibu? Si pengasuh juga pernah membahasnya. Orang yang bisa merawat Bian mesti memiliki naluri seorang ibu.“Saya rasa Bia malah menganggap Bia seperti a
“Tadi pagi siapa saja yang bareng sama Bian?” Tanya sang Biman senior sembari membenarkan posisi baju si gembul dan membiarkan bayi buntal itu bermain-main sendiri di karpet; berguling ke kiri dan ke kanan, telungkup lalu tertawa sendiri. Melakukan itu berulang-ulang.Sebenarnya enggan mengatakannya, sebab Bia tidak bisa memastikan. Kalau salah tunjuk, bagaimana? Dia yang bakal menanggung. Apalagi sikap menghakimi tanpa bukti kan salah. Tapi, tidak ada orang lain yang bersama Bian waktu itu. Si gadis menghela. Pun karena sudah terjadi dan membuat bayinya terluka, dia tak ingin kejadian serupa terulang.“Saya nggak mau nuduh. Tapi, orang yang terakhir kali sama Bian adalah Nona Naomi.” Katanya serius menatap mata hitam milik sang Bimantara.“Naomi?” Adam mengulang. “Naomi Wibowo?”“Nona Naomi kemari untuk belajar rawat Bian sebagai calon istri Tuan Adrian,” Bia memberitahu. Ini bukan rahasia, kan? Semua penghuni rumah tahu.Sang Biman senior tahu; dia tak bisa ikut campur untuk masalah