“Rabia.”Si gadis biasa yang sedang berjalan menuju dapur sambil membawa pakaian kotor milik si gembul Bian menghentikan langkah dan berbalik. Dia buru-buru membalas begitu tahu siapa yang memanggilnya; sang Kepala keluarga. “Iya, Tuan?”“Kamu bilang kamu kehilangan dokumen-dokumen penting kamu karena di rampok?”“Iya, Tuan.”“Saya bantu kamu untuk urus lagi. Nanti siang datang ke kantor. Saya bakal minta Danu buat jemput kamu. Kamu nggak mungkin jadi pengasuh Bian selamanya. Kamu masih muda dan masih bisa cari pekerjaan yang lebih baik.” Agam meneliti ekspresi gadis di depannya yang sedikit tegang ketika ia menyebut ‘tak mungkin selamanya menjadi pengasuh Bian’.Bia cuma merespon anggukan. Walau dia tak memikirkan dokumen-dokumen itu, tetapi sewaktu mendengar dari orang lain bila dia tak bisa selamanya berada di sisi Bian membuat dia merasa ditusuk. Sakit dan pedih. Si gadis biasa menyembunyikan kesakitannya dan menyahut, “Iya, Tuan. Terima kasih banyak.”“Oke. Saya tunggu kedatanga
“Bian~” melihat respon si bayi yang tertawa, Sarah makin gemas, “Boleh aku yang gendong? Please, Adrian.” Menunjukkan wajah semelas yang ia bisa.Adnan bangkit dari lantai. Pundaknya–yang dipukul Sarah–terasa sakit. Bokongnya pun sakit karena jatuh dan terseret. Ah, masih pagi dia sudah dianiaya. Sambil mengusap pundak, ia mengambil posisi di sebelah ayahnya. Posisi di sebelah sang Mama adalah tempat duduk Adrian, sebab mama mereka pasti akan meminta Bian untuk diberi sarapan atau susu.Si bungsu mengangguk. Sarah sudah menikah. Entah kapan, tapi pasti bakal punya keturunan, kan? Tidak apa-apa ia memberikan Bian sebentar padanya. Sebagai latihan menggendong bayi nanti. Pelan-pelan memberikan si bayi gembul yang tampak masih riang. Menginstruksi perempuan cantik itu bagaimana menggendong bayi dengan benar. Ehm, sebenarnya Adrian juga dipaksa untuk mempelajari hal tersebut dari mamanya. Makanya dia tidak ragu-ragu menggendong Bian dan beruntung si gembul sudah lewat setengah tahun. Cob
Dikarenakan hari minggu; keluarga Bimantara tidak ada yang pergi bekerja. Semuanya berada di rumah. Sang Nyonya tengah bermain dengan Bian di ruang tengah, si bungsu juga berada di sana–duduk di seberang sofa yang ditempati sang Mama–bersandar di sandaran sofa menghela napas banyak-banyak.Hari ini Adrian dikerjai oleh kakaknya yang mengatakan dia mesti lebih memperhatikan si gembul. Meminta si tampan muka teplon selalu menggendong Bian, memberi makan, memberi susu dan hampir si bungsu ini diminta memandikan si gembul yang langsung di tolak mentah-mentah. Memandikan ... bagaimana kalau dia salah pegang? Bagaimana jika sabunnya masuk ke mulut, telinga, hidung atau mata Bian? Tidak-tidak. Beruntung Bia segera mengambil alih dan mengatakan bahwa itu adalah pekerjaannya. Oh, Adrian terselamatkan.Namun, si bayi yang memang tidak rewel hari ini tampak tidak bersemangat. Bian masih menanggapi candaan Rosa, namun tak seceria biasanya. Apa mungkin karena Sarah tadi pagi? Ah, perempuan cantik
“Bia, Bia.”Si gadis biasa segera berlari menghampiri sang Nyonya yang memanggilnya dari ruang tengah. Berdiri di sebelah Rosa yang tampak terburu-buru lalu menyerahkan Bian padanya. Beruntung Bia sempat meletakkan kain lap kotor yang dia pegang saat sang Nyonya memanggil.Tak lama Sri pun datang ke ruang tengah. Memberi tahu pada Rosa kalau sudah siap kemudian berdiri di sebelah sang Nyonya Bimantara.“Saya ada keperluan mendadak sekaligus pergi belanja sama Sri. Cuma ada kamu sama Minah di rumah. Saya titip Bian ya. Saya janji nggak bakal lama,” ujar Rosa sembari meraih tas yang terletak di sofa. “Saya pergi dulu. Ayo, Sri.”Bia mengangguk. Mengantar sang Nyonya ke pintu depan. Mereka berinteraksi sejenak dengan Bian sebelum akhirnya berangkat menggunakan mobil yang telah terparkir di depan teras.Si gadis biasa memandangi mobil yang dikendarai oleh sang Nyonya melaju ke gerbang di depan yang terbuka otomatis. Dia masuk ke rumah, menutup pintu dan melangkah ke ruang tengah. Dia send
Tepat setelah mengantar Bian ke kamar Adrian, Bia menghampiri ruang kerja sang Kepala keluarga. Dia hampir hapal seluk-beluk kediaman Bimantara, jadi tak perlu dituntun lagi untuk tahu di mana ruang khusus milik sang Tuan besar dan dia bisa datang sendiri. Semua orang sudah masuk ke kamar masing-masing sehingga keadaan rumah sangat sepi. Sudah jam tidur. Hanya Bia yang tampak masih berjalan dan berhenti di depan sebuah pintu suatu ruangan.Si gadis biasa menelan ludah. Dia masih takut. Masih deg-degan. Dia berharap agar pagi cepat datang, agar malam ini cepat berlalu, agar tak terjadi apa pun di dalam ruang itu nantinya. Napas si gadis biasa tersendat. Dia menghirup udara lalu di hembuskan. Melakukannya beberapa kali–meski tidak membantu supaya rileks–Bia mencoba mengetuk pintu.Satu, dua, tiga.“Permisi, Tuan.”“Masuk.” Terdengar suara dari dalam.Si gadis biasa yang menyandang peran pengasuh ini makin-makin ingin tenggelam rasanya. Menghilang di telan bumi. Dia sama sekali tak beran
Bia yang hampir mencapai pintu keluar dari kitchen berhenti. Menoleh ke belakang dan mendapati seorang lelaki tinggi menghampirinya. Menarik troli ke dalam, melihat ke kiri dan ke kanan–memastikan keadaan–para pekerja di dapur sini tampak sibuk dan tidak melihat ke arah mereka. Laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari sakunya; bungkusan yang isinya berwarna putih kemudian menuang isinya ke dalam salah satu gelas. Mengaduk isi gelas sehingga tercampur dengan rata, tetapi warna minumannya tidak berubah.“Itu apa?” Tanya Bia. Curiga.“Pesanan dari orang di kamar itu. Kamu nggak perlu tahu. Udah, ayo. Mereka nunggu.” Katanya dan menuntun si gadis biasa keluar dan berjalan bersama menuju lift karyawan.Mereka sama-sama masuk ke dalam lift. Menuju lantai tiga. Tidak ada pembicaraan sama sekali hingga tiba di lantai tempat tujuan. Bia mendorong troli seraya melihat sekitar untuk mencari kamar yang ia tuju dibarengi oleh laki-laki tadi yang berjalan di belakang si gadis biasa.Tidak sulit menc
Seperti baru tersiram air, binar coklat milik si gadis biasa yang sebelumnya tampak kosong mulai berbinar kembali. Dalam pandangannya tertangkap sesosok pria yang sedang bergerak. Lalu tubuhnya yang terlonjak-lonjak dan ... ah, suara itu ... dari mulutnya? Bia sontak menutup mulut, menghalangi suara aneh yang keluar. Hingga ngilu serta sakit ia rasakan dari bagian bawah tubuhnya.Penglihatan yang belum fokus mengarah ke sana; ke arah selatan yang mana dia baru menyadari apa yang terjadi. Bia membelalak. “Hmng?! Ng!” Dia menggeleng-gelengkan keoala, melepas bekapan di mulut kemudian memegang lengan pria yang berada di atas. “Le-lepas-nh-berhentih! Ah-stop-uh!”“Berhenti? Bukannya kamu nikmatin juga?” suaranya yang dalam, menekan tiap kata yang terucap dan mempercepat gerakan sambil menyeringai. Membuat si gadis biasa tak kuasa menahan teriakannya. “See, kamu menikmatinya.”“Ng-nggak–aku-kumohon–ugh–uh~ anh~ ngh!” matanya terpejam erat. Sensasi menakjubkan itu menyerang. Bersamaan denga
Agam bangkit dari kursi kerjanya membuat si gadis sedikit berjengit lalu membungkuk sembilan puluh derajat. “Maafkan saya. Atas nama Adrian, saya meminta maaf sama kamu, Rabia Anjasari.”Biasanya bentuk permintaan maaf begini dilakukan oleh orang-orang luar sana yang kulturnya berbeda. Iya, memang. Tapi, Agam sengaja melakukannya sebagai bentuk dia betul-betul meminta maaf dan menyesal pada gadis di depannya.Tak mungkin Bia tidak terkejut atas apa yang dilakukan oleh sang Kepala keluarga. Dia ikut bangkit berdiri, tapi tak tahu mesti berbuat apa. “Tu-Tuan nggak perlu minta maaf. Jangan begini, Tuan. Saya nggak bisa terima.”“Saya mohon maaf atas apa yang dilakukan sama anak saya, Adrian. Saya minta maaf.”“Iya, Tuan. Saya maafin. Tegakkan lagi badan Tuan. Saya maafin tuan muda.” Sudah dari lama Bia tak pernah memikirkan Adrian, tidak membayangkan dia meminta pertanggung jawaban apa pun–bisa dikatakan dia sudah memaafkan si bungsu Bimantara sejak lama.Agam menegakkan tubuhnya, mengan