Tangis bayi Bian tiba-tiba mereda–meski tidak berhenti menangis, tapi tangisnya yang kencang dan cukup membuat telinga berdengung mulai mengecil. Hanya isak-isak tangis biasa. Si bayi yang berada di pelukan sang Nyonya kembali bergerak-gerak, kali ini gerakannya seakan ingin maju dengan kedua tangan memanjang ke arah Bia.
“Hng! Hng! Hng!” si gembul mengeram sambil menatap si gadis biasa dan berusaha meraih seseorang yang dicari-cari sejak tadi.Bia terenyuh. Sungguh.“Bo-boleh saya gendong, Nyonya?” tanya Bia dengan mata berkaca. Dia bersyukur ruangan ini cukup gelap sehingga Rosa tak akan melihat matanya yang basah.Melihat reaksi Bian yang juga berusaha meraih si gadis biasa, mau tak mau Rosa memberikan si gembul ke pelukan Bia. Dan sangat ajaib, Bian berhenti menangis. Bayi itu mendusel-dusel wajah ya ke dada Bia. Tanpa sepengetahuan Rosa, Bian yang berada di pelukan si gadis, menjalari dada Bia dengan mulutnya. Membuat gadis berusia sembilan belas tahun itu berjengit.“Ma-maaf, Nyonya. Boleh Bian tidur sama saya? Sa-saya bakal mandiin dan langsung beri makan nanti,” ujar Bia terbata–antara gugup, takut Rosa memandangnya aneh dan geli sebab Bian yang seperti mencari sesuatu di dadanya menggunakan mulut. Bia tahu tujuan si gembul, tapi berusaha agar tidak terlihat mencurigakan di depan sang Nyonya Bimantara.Rosa berpikir sebentar. Mungkij tidak ada salahnya, toh Bian langsung diam bersama Bia. Mungkin si gadis biasa bisa dipercaya untuk menjaga cucunya. Lagipula mulai besok Bia bekerja. Ah, sekarang sudah termasuk besok, kan?Sang Nyonya mengangguk, “Ya udah. Sampai jumpa Bian, Bia,” katanya sembari mengukir senyum.Bia mengangguk. Ketika sang Nyonya rumah berbalik dan berjalan menjauh, dia menghela lega. Kemudian perhatiannya beralih pada si bayi gembul yang masih berusaha mencari sesuatu di dadanya. “Iya-iya, dikasih kok. Ayo, kita ke kamar.” Bia berjalan berlainan arah. Kamar yang dia tempati berada di area belakang, dekat dapur.Beruntung dia sendirian menempati kamar yang cukup luas ini. Jadi, dia bisa bebas. Tak lupa mengunci pintu, dia membawa Bian berbaring di ranjang. Si bayi tampak tak sabar karena meremas-remas pakaian yang dia kenakan. Bia langsung mengangkat kaos serta pakaian dalam sehintga memperlihatkan sebelah puting yang di arahkan ke mulut Bian. Si gembul segera menyergap dan menyedot.Senyum si gadis biasa terukir. Walau beberapa minggu, rasanya seperti sudah sangat lama dia tak berada di posisi ini. Menyusui Bian. Ah, meski dadanya termasuk rata, pun tak bisa menghasilkan banyak ASI, namun sebagaimana para ibu, pasti bahagia bisa menyusui putranya. Bia tidak pernah menghakimi dirinya sendiri.Kehadiran Abi–dia memberi nama putranya begitu agar selaras dengan namanya; Rabia dan Abian. Panggilannya pun seperti nama panggilan Bia yang cuma tiga huruf. Namun, keluarga Bimantara memanggil si gembul dengan nama Bian. Bia tak berhak memprotes–dalam hidupnya memang mengejutkan. Tapi, Bia tidak menyesal. Sungguh. Cuma, keputusan tetap mesti diambil waktu itu. Kehidupan Bian jauh lebih penting daripada hidupnya.Bia meniup ujung kepala si bayi, menerbangkan beberapa helai rambutnya. Mata Bian telah terpejam meski mulutnya tetap bekerja. Malam ini dia bisa merasakab kembali perannya yang telah dia lepaskan. Mungkin, dia bisa melakukannya secara diam-diam. Selama keluarga Bimbatara tidak tahu. Bian masih membutuhkannya, kan? Jadi tidak apa-apa. Hanya ketika dia berdua saja dengan Bian.Si gadis biasa ikut memejamkan mata setelah sebelumnya meletakman bantal di tepi ranjang agar Bian tidak jatuh ketika berguling sewaktu tidur.** Rosa kembali ke kamar. Sang suami–Agam Bimantara–rupanya belum tidur. Mungkin karena terbangun tadi, jadi tak bisa tidur lagi. Berbaring di sebelah sang Suami yang sedang membaca buku tebal–yang dia tahu biasanya ada di lemari nakas di sebelah ranjang–di letak di sana saat akan tidur.“Mana Bian?” tanya sang Kepala keluarga yang heran karena istrinya kembali tanpa bayi yang beberapa menit lalu berbaring bersama mereka.Rosa menarik selimut hingga dada, “Sama Bia. Tadi Bia kebangun juga karena suara nangis Bian. Trus minta ijin buat tidur bareng Bian. Ah, kayaknya Bian suka sama Bia. Dia langsung berhenti nangis waktu aku kasih sama Bia. Mungkin nggak salah kita kasih Bia buat jadi pengasuh Bian.Kening sang Kepala keluarga mengerut, “Masa?”“Hmph!” Nyonya Bimantara mengangguk, “Ya udah. Tidur, yuk.” Imbuhnya dan memejamkan mata.Agam tidak langsung mengikuti istrinya. Dia merasa sedikit janggal. Bian langsung berhenti menangis? Sedangkan digendong oleh Rosa, Bian masih menangis kencang. Mereka sama-sama orang asing bagi bayi kecil itu. Tapi, kenapa?** “Aku Minah,” seorang perempuan yang kelihatan masih muda–seperti Bia–memperkenalkan diri.“Saya Sri,” disambung seorang perempuan yang lebih tua yang kemarin malam membukakan pintu untuk Bia–yang gerak-geriknya terlihat sangat elegan.“Danu.” Ujar seorang pria berbadan kekar yang berdiri di sebelah Sri. Dari postur tubuhnya seperti seorang bodyguard.Bia menyungging senyum. Dia cuma mengangguk singkat karena pergerakannya terbatas–sedang menggendong baby Bian. “Aku, Rabia. Panggil Bia aja.”Si yang paling muda diantara tiga orang yang berdiri di hadapan si gadis biasa ikut memamer senyum lalu mendekati Bia dan mencubit rintan pipi si gembul yang menggemaskan, “Utututu ..., Bian lucu banget! Aku nggak pernah puas ngelihatinnya.”Bia menanggapinya dengan senyum.“Bia, ayo saya tunjukin dimana kamu bisa mandiin Tuan Bian.” Ibu Sri–rencana si gadis biasa memanggilnya, biar sopan–menginterupsi kegiatan Minah. Membuat gadis itu protes dengan menggembungkan pipi.Sedang Danu beranjak dari dapur. Pergi entah kemana. Mungkin ingin memulai tugasnya; yang Bia belum tahu apa.Pagi-pagi sekali Bia bangun, mandi dan bersiap. Dia juga membuat si gembul bangun yang mengakibatkan bayi gembul tersebut terkantuk-kantuk lalu bertemu pekerja rumah tangga di dapur. Dia memang berencana bertanya mengenai perlengkapan Bian, dimana biasanya si bayi dimandikan, makanan atau susu yang dikonsumsi. Karena pasti berbeda dari yang biasa dia berikan dulu. Lebih berkualitas dan tentunya mahal. Bia tidak akan sanggup membeli.Hah. Dia jadi sedih mengingat bagaimana dulu mengurus Bian dalam ketidakmampuan secara ekonomi. Tentu saja, dia masih sembilan belas tahun. Baru lulus tahun lalu. Belum mendapat pekerjaan tetap–juga tak bisa karena mesti merawat si buah hati. Pun, Bia adalah seorang yatim piatu yang membuatnya tak memiliki rumah atau tempat berlindung.Si gadis biasa di tuntun ke sebuah ruangan di sebelah dapur yang merupakan kamar mandi. Di sana sudah terdapat bak mandi bayi yang diisi air hangat, sabun lalu ada handuk. Sudah siap sedia.“Biasanya Nyonya yang mandiin Tuan Bian di kamar mandi di kamarnya, tapi karna kamu yang sekarang tugasnya rawat Tuan Bian, kamu bisa mandiin Tuan Bian di sini. Semua sudah tersedia.” Jelas Ibu Sri.“Oh, iya. Terima kasih Bu Sri,” Bia mengangguk kikuk. Dia tak tahu kalau semua sudah disiapkan. Dikira dia yang akan menyiapkan semua keperluan Bian saat mandi.Bu Sri berdeham, “Kalau udah selesai, kamu bisa bawa Tuan Bian ke kamar kamu. Saya bakal antar pakaian dan keperluan lainnya nanti.”“Iya, bu.” Lagi, si gadis biasa mengangguk.***Sri yang sudah seperti kepala pelayan–karena tetap bersikap sopan terhadap Bia meski sesama pekerja rumah tangga atau mungkin memang sikapnya begitu? Entahlah. Meninggalkan si gadis biasa dan bayi Bian yang menguap lebar. Si gembul itu sepertinya mulai terjaga, matanya yang sayu mengerjap kemudian merapatkan badan ke tubuh yang dikenali adalah ibunya.“Bian mandi dulu ya,” Bia masuk ke dalam kamar mandi. Melepas seluruh pakaian si bayi yang membuat Bian sedikit bergidik. Sebelum memasukkan si gembul ke tempat mandinya, dia menampung sedikit air menggunakan tangan dan di usapkan ke tubuh Bian. Agar tidak terkejut ketika berendam nanti.Dirasa cukup, Bia memasukkan si bayi. Ya, Bian tidak menangis. Si gembul dengan pipi cubitable itu–yang baru sadar bertemu air–seakan kehilangan kantuknya. Tangannya bergerak menepuk-nepuk sehingga air terciprat dan mengenai Bia. “Iya, Bian lagi mandi. Gimana? Seneng? Nggak dingin, kan?” dia mengajak si bayi berbicara yang hanya disahuti tawa tanpa suara
Seperti yang dikatakan oleh sang Ibu majikan, selagi bayi Bian tidur, Bia dipersilahkan membantu pekerjaan rumah tangga. Hal itu yang dilakukan si gadis biasa sekarang. Setelah memastikan si gembul aman dan nyenyak, dia mencari Sri dan bertanya apa yang dapat dia bantu. Perempuan yang sangat sopan itu–meski terhadap sesama pekerja rumah tangga–meminta si gadis biasa untuk merapikan ruang tengah sebab sebentar lagi para Bimantara akan pulang. Mereka sering menggunakan ruang tersebut, jadi sesegera mungkin dirapikan dan dibersihkan.Dengan senang hati Bia melakukannya. Mengatur bantal-bantal di sofa, membersihkan debu–ah, dia sempat diajari cara menggunakan vacum cleaner oleh Minah. Tentu si gadis biasa sedikit kaku karena dia tak pernah menggunakan alat itu sebelumnya. Dia hanya mengerti cara manual membersihkan debu. Tapi, pekerjaannya tidak terlalu berat dan dia dapat melakukannya dengan baik.“Oh, Rabia.”Sebuah suara menginterupsi kegiatan si gadis biasa yang hampir selesai merapi
Suara tangis bayi terdengar di penjuru rumah. Membuat para Bimantara yang sedang bersantai di ruang tengah serentak menghentikan kegiatan mereka dan beranjak menuju asal suara. Yah, si bungsu sih ditarik paksa oleh kakaknya karena bersikap acuh dan tak peduli, padahal yang menangis asalah anaknya. Sejak Bia mengasuh Bian, Adrian seperti makin tidak peduli. Maka dari itu Adnan geram sekali rasanya.Mereka tiba di dapur dan melihat Bian yang meronta ketika diberi susu. Bia tampak kewalahan menggendong si bayi dan Minah yang berusaha membujuk Bian agar mau meminum susu. Namun, si gembul yang diusianya yang hampir memasuki tujuh bulan sehingga beratnya bertambah membuat sulit menahannya ketika bergerak liar.“Ayo, Tuan Bian. Minum susu dulu. Nanti dingin, nggak enak, loh!” ujar Minah sembari mengusap-usap pipi Bian yang masih menangis kencang.Yah, meski sudah pasti si gembul tidak mungkin mengerti apa yang dikatakan oleh perempuan itu.“Bian sayang ..., hus, hus, jangan nangis.” Si penga
Tak ada pembicaraan di dalam mobil. Adrian fokus menyetir, sedang si gadis biasa duduk di sebelah kursi pengemudi. Tadi, sebelum berangkat si bungsu yang menyuruh Bia duduk di sebelahnya. Dia merasa seperti sopir jika gadis itu duduk di belakang walau tengah menggendong Bian.Si bayi gembul juga tidak menangis lagi, malahan terkantuk-kantuk sebab kelelahan memberontak, namun tetap tak mendapatkan apa yang diinginkan. Bia mengusap-usap puncak kepala Bian dan sesekali mengecup keningnya. Si bayi gembul kelihatan sangat nyaman atas perlakuan Bia ditambah suasana sunyi, AC mobil yang diatur agar tidak terlalu dingin dan detakan dari ibunya yang bagai lantunan lagu tidur menambah kenyamanan si gembul sehingga lima menit mobil melaju dia sudah nyenyak dipelukan si pengasuh.Degup jantung si gadis biasa sebenarnya sangat cepat. Napasnya hampir tersendat. Namun, dia menutupi semuanya agar tidak mencurigakan. Apalagi ada Bian yang membantunya dapat fokus hanya kepada si gembul. Jadi otak Bia t
Iris coklat bening milik seorang bayi bertubuh gembul sudah ditutup kelopak; matanya terpejam walau mulut tetap bekerja menyedot susu dari dalam botol. Ya, si gembul bernama Bian ini sudah mau minum susu formula. Tidak menolak lagi. Mungkin dia ingat dengan rasa susu formula yang sering di cicip sebagai pengganti ASI. Posisinya berbaring terlentang dengan mulut yang maju karena menyedot isi botol.Ketika isi botol habis dan Bian tampak nyenyak, Bia yang berbaring di sebelahnya melepas dot dari mulut si bayi dan meletak botol kosong ke atas nakas. Dia memandangi Bian sejenak, mengusap kening si gembul dan mendaratkan kecupan ringan di pipi gembilnya. Dia sangat menyayangi si bayi. Prioritas Bia saat ini adalah tumbuh kembang Bian yang dapat dia pantau. Berada dekat dengan bayinya saja sudah cukup, Bia tidak membutuhkan hal lainnya lagi.Si gadis biasa menghela kemudian bangkit dari ranjang. Pelan-pelan memindahkan tubuh gembul si bayi ke pelukannya. Dia mesti memberikan Bian pada putra
Ada rasa syukur di hati sang Nyonya. Karena kehadiran Bian, Adrian sedikitnya berubah. Meski baru awal, tapi semoga si bungsu itu bisa terbuka. Untuk keluarga maupun orang lain. Mengurangi muka datar dan mulutnya yang bagai terkunci rapat.Sedang si gadis biasa hanya menyungging senyum tipis. Adrian yang ini sangat berbeda. Seperti orang lain. Bukan sosok laki-laki yang tersimpan dalam otaknya.“Oh, Bia bisa ambilin aku ini?” Si bungsu menarik perhatian Bia yang mengarahkan pandangan pada mangkuk yang ada di depan Rosa–yang ditunjuk oleh si pemuda tampan–mangkuk berisi sup.Rosa memanjangkan tangan, “Sini biar Bian saya gendong.”Si pengasuh menyerahkan si gembul pada sang Nyonya lalu menunduk pada dua Bimantara di depannya dan berlalu. Bian masih anteng, masih tampak bahagia, masih berceloteh sendiri. Mungkin memang moodnya sedang bagus. Si bayi bermain-main sendiri dengan rambut panjang sang Nyonya yang tergerai.Melihat bayi itu kegirangan, Adrian tanpa sadar mencubit pipi gembilny
“Rabia.”Si gadis biasa yang sedang berjalan menuju dapur sambil membawa pakaian kotor milik si gembul Bian menghentikan langkah dan berbalik. Dia buru-buru membalas begitu tahu siapa yang memanggilnya; sang Kepala keluarga. “Iya, Tuan?”“Kamu bilang kamu kehilangan dokumen-dokumen penting kamu karena di rampok?”“Iya, Tuan.”“Saya bantu kamu untuk urus lagi. Nanti siang datang ke kantor. Saya bakal minta Danu buat jemput kamu. Kamu nggak mungkin jadi pengasuh Bian selamanya. Kamu masih muda dan masih bisa cari pekerjaan yang lebih baik.” Agam meneliti ekspresi gadis di depannya yang sedikit tegang ketika ia menyebut ‘tak mungkin selamanya menjadi pengasuh Bian’.Bia cuma merespon anggukan. Walau dia tak memikirkan dokumen-dokumen itu, tetapi sewaktu mendengar dari orang lain bila dia tak bisa selamanya berada di sisi Bian membuat dia merasa ditusuk. Sakit dan pedih. Si gadis biasa menyembunyikan kesakitannya dan menyahut, “Iya, Tuan. Terima kasih banyak.”“Oke. Saya tunggu kedatanga
“Bian~” melihat respon si bayi yang tertawa, Sarah makin gemas, “Boleh aku yang gendong? Please, Adrian.” Menunjukkan wajah semelas yang ia bisa.Adnan bangkit dari lantai. Pundaknya–yang dipukul Sarah–terasa sakit. Bokongnya pun sakit karena jatuh dan terseret. Ah, masih pagi dia sudah dianiaya. Sambil mengusap pundak, ia mengambil posisi di sebelah ayahnya. Posisi di sebelah sang Mama adalah tempat duduk Adrian, sebab mama mereka pasti akan meminta Bian untuk diberi sarapan atau susu.Si bungsu mengangguk. Sarah sudah menikah. Entah kapan, tapi pasti bakal punya keturunan, kan? Tidak apa-apa ia memberikan Bian sebentar padanya. Sebagai latihan menggendong bayi nanti. Pelan-pelan memberikan si bayi gembul yang tampak masih riang. Menginstruksi perempuan cantik itu bagaimana menggendong bayi dengan benar. Ehm, sebenarnya Adrian juga dipaksa untuk mempelajari hal tersebut dari mamanya. Makanya dia tidak ragu-ragu menggendong Bian dan beruntung si gembul sudah lewat setengah tahun. Cob