Share

4

“Ini kamar kamu,” ujar putra sulung Bimantara seraya membuka sebuah pintu yang di baliknya terdapat kamar yang sudah lengkap dengan ranjang, lemari dan beberapa properti lain yang biasa ada di kamar. “Kamu bisa kerja mulai besok pagi. Sekarang, istirahatlah,” sambungnya.

“Um, Tuan,” Bia terdengar ragu, “Bian gimana?”

Ah, bayi kecil itu. Adnan merasa sedikit kasihan karena Bian menangis kencang sewaktu dipisahkan dari si gadis yang bakal menjadi pengasuhnya. Seakan-akan tidak mau dijauhkan dari Bia. Tangisnya membuat semua orang yang berada di sekitar menjadi tidak tega dan kasihan. Tapi, mereka tak bisa langsung menyerahkan Bian begitu saja dalam pengawasan Bia. Setidaknya tunggu sampai si gadis benar-benar di waktu bekerja.

Meski pada akhirnya si gembul tertidur karena kelelahan menangis. Menyisakan kesunyian diantara mereka sampai sang Kepala keluarga buka suara meminta Adnan mengantar Bia ke sebuah kamar. Pun hari sudah malam dan waktunya istirahat.

“Yah, aku cuma bisa bilang Bian bakal baik-baik aja. Juga, Bian bareng mama sama papa, jadi nggak perlu dipikirkan.” Adnan tak berpengalaman untuk urusan bayi, tapi karena mamanya yang menjaga, dia pikir tak apa-apa. Hanya itu yang bisa dia katakan.

Sesungguhnya Bia ingin membantah. Dia ingin meminta agar dia bersama Bian. Namun ..., dia tak punya hak untuk itu. Tidak ada yang tahu dan ... dan dia sudah membuang identitasnya, jadi tak ada kewajiban maupun haknya atas Bian lagi.

Melihat raut muka perempuan berkuncir satu di hadapannya yang sendu, Adnan mengira jika Bia masih khawatir pada Bian. “Kamu bisa mulai kerja besok dan ketemu Bian. Sekarang istirahatlah.”

Ya, cuma itu yang dapag dia lakukan sekarang. Bia mengangguk, “Makasih, Tuan.”

“Iya. Selamat malam, Rabia,” ujar Adnan yang kemudian dibalas hal serupa oleh si lawan bicara. Dia menyerahkan kunci kamar pada Bia lalu beranjak pergj. Tugasnya sudah selesai.

Sepeninggal putra sulung Bimantara, Bia memasuki kamar yang bakal di tempati. Mengunci pintu kamar dengan kunci yang dia terima lalu menghampiri ranjang sembari meletak tas yang dia bawa di lantai. Duduk di tepi tempat tidur dan memandangi kamar yang diberi untuknya terbilang cukup luas. Meraba permukaan kasur yang dilapisi bed cover, belum lagi ranjangnya merupakan double bed.

“Untuk kamar pekerja rumah tangga, ini lebih besar dibanding kontrakanku yang kemarin,” Bia bergumam–masih mengamati keadaan di ruangan ini. “Abi pasti bahagia tinggal di sini. Semua kebutuhannya tercukupi,” sesak mulai memenuhi dada. Dibarengi napas yang mulai tersendat, “Dia pasti senang. Mereka adalah orang-orang yang baik,” dia masih menjutkan monolog dengan buliran bening yang mulaj menetes dari sudut mata.

Hanya beberapa detik, tangis gadis ini pecah. Dia tak kuasa menahan sakit yang mendera. Sakit tak berwujud, sakit tak berdarah, namun sangat perih. Air matanya saling menyusul menuruni kedua belah pipi yang tirus.

Bia tak ingin menyesali keputusan yang dia buat, namun perih di dada ini masih belum sanggup dia tahan. Dia masih kalah terhadap rasa sakit. Dia masih belum terbiasa. Terlebih dia tak menyangka masih bisa memeluk Abi, menggendong bayi berusia enam bulan yang terpaksa dia lepaskan dari kedua tangannya beberapa minggu lalu. Dan ... dan Abi masih mengenalinya!

“Nggak, nggak,” Bia berusaha mengatur napas dan isak lalu menghapus aliran air mata di wajah, “Ini udah cukup. Aku nggak akan minta lebih. Abi berhak dapat kehidupan lebih baik. Dia nggak mesti hidup kayak aku. Ya, ini adalah keputusan yang baik!” dia mencoba meyakinkan diri, walau hati kecilnya berontak; ‘kalau memang keputusan yang baik, kenapa kamu masuk ke lingkup hidup baru Abi?’

Gadis berambut panjang ini menggeleng, “Aku ...,” Bia menarik napas dan menghembus perlahan, “Lebih baik aku istirahat,” dia bergumam lagi. Mengabaikan rontaan hati kecilnya yang meminta jawaban.

**

 

Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Suasana di kediaman Bimantara sangat sepi dan gelap karena pencahayaan di beberapa ruangan dipadamkan. Namun, keheningan ini tidak membuat tidur seorang bayi gembul yang terbaring diantara dua orang dewasa–di kiri dan kanan–si bayi berada di tengah, di apit. Kelopak yang menyembunyikan intan coklat bergerak-gerak hingga kemudian terbuka.

Seperti baru mendapat mimpi buruk, bayi Abian terbangun. Berguling ke kiri, matanya menemukan seorang pria dewasa. Bukan sesuatu yang diinginkan, si gembul berusaha berguling ke sisi sebelah. Ketika berhasil, pandangannya melihat seorang perempuan di sana. Masih bukan sesuatu yang dia inginkan. Si bayi bulat tersebut mulai menggerak-gerakkan badan sehingga berputar-putar, namun tetap, dia tak berhasil menemukan apa yang diinginkan.

“HUWA!” Tanpa aba-aba Bian menangis kencang. Mengagetkan dua orang dewasa di kanan dan kirinya. Tangisnya tak main-main, langsung mengeluarkan suara nyaring yang cukup mengganggu telinga.

Rosa segera bereaksi. Bangkit dari pembaringan, meraih si bayi kemudian mengusap-usap punggungnya, “Kenapa? Mimpi buruk, hm? Atau haus?” tanyanya yang tak mendapat jawaban, tapi disahuti tangis Bian yang makin kencang membuat Rosa sepenuhnya terjaga dan buru-buru menggendong bayi gembul tersebut.

Agam ikut bangkit. Melihat istrinya yang berusaha menenangkan Bian, tapi tak berhasil. Si bayi gembul memberontak. Bergerak-gerak sehingga Rosa mesti memegangnya kuat.

“Mungkin dia mimpi buruk. Coba bawa keluar, mungkin bisa tenang kalau lihat keadaan di luar.” Sang Kepala keluarga menyarankan.

Rosa mengangguk, “Ya udah.” Katanya dan membawa si bayi yang masih mengamuk keluar dari kamar. Sang Nyonya menutup pintu kamarnya lagi agar sang Suami dapat beristirahat kembali.

Kamar yang ditempati pasangan senior tidak berada di lantai atas, melainkan di lantai bawah. Jadi, begitu keluar kamar langsung berhadapan dengan ruang tengah. Rosa membawa Bian ke sana berharap si gembul dapat tenang.

“Hus, hus, hus ...,” Sang Nyonya mengayun-ayunkan Bian yang masih menangis. Menunjuk-nunjuk beberapa objek untuk menarik perhatian si bayi. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil.

Bayi gembul tersebut tidak mau melihat dan terus menangis. Ditambah tak mau diam, terus bergerak. Membuat Rosa kepayahan.

Tangis Bian yang kencang menyusup ke telinga seorang perempuan yang terlelap di kamar. Insting membangunkannya. Dengan sigap dia bangkit, keluar dari kamar dan mencari sumber keributan di dini hari ini. Tangis bayi kecilnya yang menggema dalam rumah menuntun dia ke ruang tengah. Bia melihat sang Nyonya yang kesusahan menenangkan Bian.

Dari tangis keras tersebut, Bia tahu ..., dia mengerti, jika Bian mencari dirinya. Tangis yang sudah dia hapal.

Pelan-pelan dia mendekati sang Nyonya rumah, “Permisi, Nyonya ....”

“Oh, Bia. Kamu kebangun karna denger suara Bian ya? Maaf ya, kayaknya Bian mimpi buruk jadi dia nangis begini,” Rosa berujar lembut. Meski si gadis muda adalah salah satu yang akan bekerja padanya, tetap rasanya tak enak telah mengganggu tidur orang lain.

Bia cuma mengangguk dan memandang si bayi yang terus berontak dalam gendongan sang Nyonya. Dia bukan bermimpi buruk. Ingin sekali mengambil alih Bian dan memeluk si gembul tersebut. Tapi, Bia tak ingin bersikap tak sopan. Tapi ..., “Um, Nyonya, boleh saya yang gendong Bian?”

Rosa sedikit terperangah mendengar permintaan perempuan–yang sekarang kita sebut saja si gadis biasa–itu, “Tapi ini Bian lagi rewel, loh. Saya aja kesusahan.”

“Nggak apa-apa, Nya.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status