"Mana bisa sih ngepas baju pengantin tapi calon pengantinnya nggak ada? Mas, emang kamu nggak bisa nyempetin mampir sebentar?"
Raina berdiri di atas anak tangga, tubuhnya membeku di tempat. Suara Vanya yang sedang berbicara di telepon terdengar dari bawah. Nada bicara sang kakak, seperti biasa, penuh dengan nada kesal dan tuntutan.
"Aku tahu, tapi kan pernikahan kita juga udah sebentar lagi. Kamu nggak bisa cuma ambil beres aja, Mas." Suara Vanya terdengar semakin jelas.
Sang adik menimbang. Dia sedang malas berdebat dengan kakaknya. Mungkin lebih baik dia berbalik dan mencari jalan lain. Namun, baru saja niat itu muncul, kakaknya memutus telepon dan langsung menyadari kehadiran orang lain pada ana
Namun sebelum ia bisa melanjutkan, suara alarm pada ponselnya menyela momen intim itu. Mengingatkannya bahwa mereka harus segera berangkat.Sang wanita tertawa, menarik diri dari pelukan Jovian meski masih ada rasa enggan di sana. “Ayo, Mas. Nanti kita telat,” ucapnya dengan senyum kecil sambil mematikan alarm.Meski raut wajahnya terlihat sedikit kecewa, Jovian meraih kunci mobil di atas meja rias lalu mengikuti sang istri keluar kamar.Pada akhirnya mereka berangkat menuju tempat acara.Suara gemericik air mancur di luar ballroom menyambut sejoli itu. Dentingan gelas dan alunan musik jazz mengalun lembut dari dalam ruangan. Aroma parfum mahal serta anggur merah berbaur di udara, menciptakan suasana ele
Vanya.Wanita itu berdiri sendirian di antara pebisnis muda lain dengan segelas wine di tangan. Pipinya tampak mulai memerah kemungkinan besar karena pengaruh alkohol. Meski bibirnya membentuk bulan sabit, ada kepalsuan di sana, seperti senyum yang dipaksakan. Sang kakak menoleh, menyusuri ruangan, seolah mencari sesuatu, seseorang di antara kerumunan tamu.Lalu manik mereka saling singgung. Raut wajah Vanya berubah kecut, senyumnya luntur seketika. Dia langsung melengos pergi, berjalan menuju meja tempat gelas-gelas minuman berjejer rapi. Wanita itu kembali mengambil gelas berisi cairan merah.Sungguh, Raina ingin mengabaikan kehadiran kakaknya di pesta itu.
Dari kejauhan, dia melihat seorang wanita bergaun merah dengan belahan tinggi menempel pada lengan Jovian, jemari lentiknya singgah pada otot lengan sang suami dengan keakraban tak diinginkan."Mas, badan kamu bagus. Kamu nge-gym di mana? Aku juga lagi suka pilates. Yuk, kita olahraga bareng," goda wanita itu dengan nada yang menggema penuh manja.Bola mata Raina membelalak penuh kekesalan melihat hal itu.Suaminya sendiri tampak bingung, jelas terganggu oleh kerumunan wanita yang tiba-tiba mengelilinginya. Raina bisa membaca ketidaknyamanan di wajah sang suami, meski pria itu berusaha menjaga sikap. Beberapa wanita lain, yang tidak kalah cantik dan e
Gelak tawa Jovian semakin kencang mendengar alasan sang istri. Pria itu menangkup wajah Raina. Netra madunya mematri pada bola mata sang wanita, rasa sayang dan terutama geli terlihat jelas dalam manik pria itu.Membuat Raina semakin kesal, lantas sengaja mencubit lengan sang suami. "Kamu kan suamiku, Mas," gumamnya.Senyum tipis terukir pada wajah Jovian. Pria itu menunduk, meninggalkan jejak-jejak kecupan ringan pada pipi, hidung, lalu bibir sang istri. Sambil berbisik pelan, "Iya, sayang. Aku milikmu seutuhnya."Mendengar ucapan itu, jemari Raina semakin berani, menjelajahi setiap lekuk tubuh sang suami. Setiap sentuhan, setiap ciuman kecil yang ditanamkan Jovian pada pipi, hidung, hingga bibirnya, seperti nyala api yang semakin membakar seluruh tubuhnya. Tanpa memutus ciuman, tangannya bergerak pada tubuh Jovian. Merasakan otot pria itu melentur di bawah sentuhannya.Jemari lentik Raina dengan lihai membuka resleting celana sang suami. Membelai lembut milik Jovian yang semakin mene
“Sebenernya, aku pernah dengar Tante Ambar dan Mbak Vanya ngomongin tentang itu sebelumnya. Mereka juga bicara tentang kejadian sepuluh tahun lalu. Aku curiga itu ada hubungannya dengan kematian ibu.” Pada akhirnya Raina membagi kecurigaan yang membayanginya akhir-akhir ini.Ia berharap, kalau memang Jovian memiliki kuasa, suaminya itu akan membantunya mencari tahu kenyataan yang sebenarnya. “Aku mau nyelidikin hal ini lebih lanjut,” tandas wanita itu.Namun tak lama, sang suami kembali mengusakkan hidungnya pada perpotongan leher Raina, mengecupnya lembut. "Ah, mungkin dia cuma ngeledek kamu, sayang. Ini kan bukan film mata-mata yang kita tonton," kekehnya ringan.Rasa kecewa menyelinap dalam hati Ra
Berkas-berkas menanti, dan sang asisten, Jainitra, sudah bersiap dengan tumpukan pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Mereka tenggelam dalam rutinitas pekerjaan kantor yang tak ada habisnya.Ketika matahari mulai meredup di luar jendela besar, Raina menyelesaikan laporannya tentang hasil mediasi. Ia telah menyelesaikan negosiasi yang sulit, dan kini tiba waktunya melaporkan semua kepada sang Dewan Komisaris.Sebelum beranjak, Raina memberi instruksi pada sang asisten. "Jai, kalau pekerjaanmu sudah selesai, kamu boleh pulang duluan," ucapnya.Sang asisten muda hanya mengangguk patuh sebagai balasan. Lalu kembali berkutat dengan dokumennya.Raina berjalan menuju ruangan Kakek. Setiap langkah terasa berat, bukan k
Sang cucu menatap Kakek, mencoba mencerna permintaan itu. Ia yakin ada sesuatu yang sang sepuh rencanakan. Namun, jika ini bisa membantu memperkuat posisinya di perusahaan, tentu saja tak ada alasan bagi Raina untuk menolak.“Baik, Kek,” ucapnya akhirnya. “Tolong berikan alamat acaranya, biar saya bisa langsung datang ke sana setelah ganti baju.”Buru-buru sang sepuh mengibaskan tangan. “Tidak perlu. Kerjaanmu sudah selesai kan? Kamu ke butik langganan kita aja. Nanti kakek jemput langsung dari sana,” katanya dengan nada santai, meski ada penekanan di setiap kata-katanya.Raina hendak memprotes, merasa sedikit aneh dengan segala persiapan mendadak ini, namun sang sepuh seolah dapat membaca pikirannya. “Kakek sudah menyiapkan semuanya. Kamu hanya perlu menemani Kakek malam ini,” tandasnya, dengan suara tak bisa dibantah.Tahu ia tak bisa menolak, sekali
“Selamat atas peluncuran sistem barunya, Aji,” ucap Kakek, menepuk bahu tuan rumah dengan penuh kebanggaan.Aji, pemuda yang tampak hanya beberapa tahun lebih tua dari Raina, tersenyum tipis. “Terima kasih, Pak Adi. Terima kasih juga sudah membolehkan TechNova mengadakan acara ini di Sakala Hotel.”Sang sepuh mengayunkan tangannya. “Sudah saya bilang, panggil saja Kakek,” ujar sang sepuh. “Bapakmu dulu teman baik saya,” ucapnya dengan suara semakin menghilang. Ada nada sedih yang sarat akan emosi.Sang tuan rumah tersenyum simpul lalu mengajak mereka berdua untuk masuk. “Mari masuk,” ucapnya seraya menuntun mereka menuju ruang serba guna.Suasana pesta peluncuran terasa lebih informal dibanding acara-acara yang selama ini Raina datangi. Mungkin karena Aji sendiri terbilang m
“Bangsat! Kalau jalan yang bener!” teriakan kasar itu membelah keheningan malam.Jovian tersentak, menunduk dalam-dalam tanpa menatap pria bertato yang berteriak ke arahnya. Tubuhnya terasa lelah, hampir kehabisan tenaga, ia hanya mampu menggumamkan kata maaf pelan sambil berlalu.“Woy! Bocah tengik! Songong kali kau! Main pergi-pergi aja!” seorang pria lain dengan bandana mencengkeram bahunya, kasar, memaksa Jovian berhenti.“Maaf, Bang. Saya buru-buru,” ucap pemuda itu, suaranya serak dan tertekan. Ia melirik jam tangan kesayangan yang terpasang di pergelangan tangan—hadiah terakhir dari ayahnya yang sudah tiada. Waktu hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Aji pasti sudah menangis ketakutan di rumah yang gelap.Namun para preman itu tak membiarkannya pergi begitu saja. Salah satu dari mereka mendorong Jovian hingga terjengkang, memaksanya untuk melawan.
“Jo, gue pinjem uang dong!” seru seorang siswa berseragam abu-abu.Belum sempat Jovian menjawab, temannya yang lain langsung menyikut lengan si peminjam. “Bego, perusahaan bokapnya udah bangkrut,” bisiknya. Pelan tapi cukup keras hingga terdengar.Siswa yang pertama langsung terkesiap. “Eh, maaf, Jo. Gue nggak tahu,” ucapnya, menangkupkan tangan, berusaha terlihat menyesal, meski senyumnya masih terkesan mengejek.Tanpa menjawab, Jovian bangkit dari kursinya, lalu berjalan keluar kelas dengan langkah yang berat dan kasar, meninggalkan mereka semua di belakang.“Apaan, gitu doang ngambek,” gerutu si peminjam, menyandarkan tubuhnya santai ke kursi.“Jangan gitu, bego! Nyokapnya meninggal gara-gara nggak ada duit buat berobat, terus nggak lama bo
Pria bertubuh besar itu berdiri di depan pintu rumah Haris, wajahnya mengeras dan penuh amarah. Tangan kanannya mengepal, sementara tangan kirinya dengan kasar menampar-nampar buku yang tampaknya berisi catatan utang. Wajahnya sangar, dihiasi dengan kumis tebal dan tatapan yang menakutkan, seperti elang yang sedang menatap mangsanya.“Bayar hutangmu, Pak Tua!” bentak pria itu, suaranya menggema di ruang tamu yang semakin hari semakin tak terurus. Matanya memelototi Haris dengan sorot meremehkan, sementara tubuhnya condong maju, seakan siap menyerang.Ayah Jovian yang berdiri berjarak beberapa langkah, tampak ciut. Pria paruh baya itu mencoba merapatkan kedua tangannya di dada, membungkuk sedikit, menatap lantai dengan wajah penuh kekhawatiran. “S-saya janji akan membayarnya, Pak… tolong beri saya keringanan,” katanya dengan suara bergetar.
Enam belas tahun silam.Jovian menendang kerikil, menghela napas panjang. Bosan menyelimutinya. Terutama setelah lebih dari satu jam Ayahnya meninggalkannya sendirian di tepi jalan, berpesan agar tetap menunggu di mobil. Namun setelah lama duduk diam, sosok pria paruh baya itu tak juga terlihat.“Ayah lama nih,” gumamnya, kembali menendang batu kerikil di dekat kaki.Manik cokelat madu pemuda itu teralihkan ke arah rumah mewah di hadapannya. Halaman luas terbentang dengan kolam renang berair jernih yang memantulkan sinar matahari sore. Pohon-pohon rindang menaungi jalan masuknya, menghadirkan bayangan seperti lengan-lengan yang melambai pelan.Bangunan megah itu membuat mata Jovian berbinar. Tapi tiba-tiba, suara serak yang ia kenali mengusik pemujaannya.“Tolonglah, Pak Adi… saya sudah tidak tahu harus kemana,&r
“Apa kamu senang sekarang?”Suara cibiran memecah lamunan Raina akan pertemuannya dengan kakek beberapa hari lalu. Wanita itu tersentak dan menoleh, mendapati Nita berdiri tak jauh darinya dengan gaun perak berkilauan di bawah cahaya lampu pesta. Pipi sang kakak memerah serta maniknya tampak tak fokus.Entah apa yang kakaknya bicarakan, Raina sedang tak dalam kondisi untuk meladeninya. Dia berencana untuk pergi, tapi Nita mendekat, menghalangi jalannya.“Mau kemana?” Ucap wanita itu dengan senyum sinis di bibir. “Bukankah ini yang kamu inginkan? Kesempatan untuk pamer, bersikap angkuh setelah berhasil menyelesaikan proyek besar Sakala Nusa?” sindirnya sambil menyilangkan tangan di dada.Raina menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Mbak, ini bukan waktu atau tempat yang tepat untuk
Kakek melanjutkan perkataannya, seolah berharap sang cucu akan melunak. “Lagipula, sebentar lagi, dengan pembukaan resmi Hotel Sakala yang baru, siapapun tak akan bisa menyangkal kualitasmu sebagai anggota Hartanto.”Raina terdiam sejenak, napasnya tersengal pelan menahan emosi yang bergejolak dalam sanubari. Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia meraih tasnya dan mengeluarkan amplop cokelat yang selama ini selalu ia bawa, seolah itu adalah perisai terakhirnya.Tanpa berkata apa pun, ia mengeluarkan isi amplop dan menyusun beberapa lembar dokumen di atas meja.Sambil menyesuaikan posisi kacamatanya, Kakek mencondongkan tubuh. Kemudian mulai menelisik foto-foto serta dokumen-dokumen yang dibawakan oleh sang cucu.Matanya membelalak sejenak, keterkejutan yang jarang sekali ia tunjukkan. “I-ini… darimana kamu mendapatkannya?&r
“Selamat atas pembukaan hotel barunya.”Suara yang menyapa telinganya bukanlah nada bariton khas Jovian.Raina menelan pahit di ujung lidah. Pikirannya telah sadar sepenuhnya bahwa pria itu adalah sosok berbahaya—seseorang yang tak seharusnya ia dambakan. Namun hatinya masih saja merindukan bayangan suaminya.“Terima kasih, Aji,” ucapnya, mencoba menguasai diri saat menerima uluran tangan dari pria di depannya.CEO TechNova itu menatap wanita itu dengan mata yang tajam, senyum tipis terpatri di bibirnya, tampak memancarkan ketenangan. “Omong-omong,” manik Aji melirik ke samping, seolah mencari-cari sosok lain. “Di mana suamimu?”Mendengar pertanyaan itu, sang wanita mendengus kecil, nyaris tak terdengar. Meski Jovian tak melakukan sesuatu seca
“Selamat atas pembukaan hotel Sakala cabang baru, Bu Vanya, Bu Raina! Saya tidak sabar melihat bagaimana hotel ini berkembang ke depannya,” sahut seorang pria berjas biru tua, sambil menjabat tangan Raina dan Vanya secara bergantian. Senyumnya ramah, namun sorot matanya penuh harapan pada kesuksesan investasi barunya.Akhirnya, pesta pembukaan Hotel Sakala yang ditunggu-tunggu telah tiba.Dengan senyum tipis, Raina membalas ucapan sang investor. “Kami sangat menghargai kehadiran Anda di acara ini, Pak. Semoga malam ini menjadi malam menyenangkan dan penuh makna bagi kita semua,” ucapnya sopan, berusaha tetap tenang di tengah perasaan yang berkecamuk.Di sampingnya, Papa berdiri berdampingan dengan Ambar. Setiap kali Raina mencuri pandang ke arah mereka, hatinya menggelegak, namun mati-matian ia menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang menco
“Sepertinya, ada alasan lain kenapa Jovian menikahimu,” suara Tama terdengar rendah, nyaris seperti bisikan di tengah keheningan.Raina terdiam, tangan yang memegang ponsel terasa dingin. “A-apa maksudmu, Mas?” bisiknya dengan gugup.“Anak buahku mendengar desas-desus tentang Sindikat Sinara,” Sang kakak melanjutkan, suaranya terdengar semakin dalam, seolah menggema langsung di dalam kepala Raina. “Organisasi itu tidak hanya sekadar mengelola informasi. Mereka mengincar grup-grup besar, mendekati target mereka dan membuatnya percaya, mengorek semua rahasia yang dibutuhkan. Dan ketika waktunya tiba… mereka menghancurkan target tanpa ampun.”Tenggorak sang adik tercekat. Seperti ada batu besar yang menyangkut di sana. Matanya membelalak kosong ke arah dinding kamarnya, tapi pikirannya bising, mencoba mencerna semua yang baru saja didengar.