Share

37. Permintaan Kakek

Penulis: Ayria
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-22 20:30:45

Berkas-berkas menanti, dan sang asisten, Jainitra, sudah bersiap dengan tumpukan pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Mereka tenggelam dalam rutinitas pekerjaan kantor yang tak ada habisnya.

Ketika matahari mulai meredup di luar jendela besar, Raina menyelesaikan laporannya tentang hasil mediasi. Ia telah menyelesaikan negosiasi yang sulit, dan kini tiba waktunya melaporkan semua kepada sang Dewan Komisaris.

Sebelum beranjak, Raina memberi instruksi pada sang asisten. "Jai, kalau pekerjaanmu sudah selesai, kamu boleh pulang duluan," ucapnya.

Sang asisten muda hanya mengangguk patuh sebagai balasan. Lalu kembali berkutat dengan dokumennya.

Raina berjalan menuju ruangan Kakek. Setiap langkah terasa berat, bukan k

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   38. Tak Bisa Menolak

    Sang cucu menatap Kakek, mencoba mencerna permintaan itu. Ia yakin ada sesuatu yang sang sepuh rencanakan. Namun, jika ini bisa membantu memperkuat posisinya di perusahaan, tentu saja tak ada alasan bagi Raina untuk menolak.“Baik, Kek,” ucapnya akhirnya. “Tolong berikan alamat acaranya, biar saya bisa langsung datang ke sana setelah ganti baju.”Buru-buru sang sepuh mengibaskan tangan. “Tidak perlu. Kerjaanmu sudah selesai kan? Kamu ke butik langganan kita aja. Nanti kakek jemput langsung dari sana,” katanya dengan nada santai, meski ada penekanan di setiap kata-katanya.Raina hendak memprotes, merasa sedikit aneh dengan segala persiapan mendadak ini, namun sang sepuh seolah dapat membaca pikirannya. “Kakek sudah menyiapkan semuanya. Kamu hanya perlu menemani Kakek malam ini,” tandasnya, dengan suara tak bisa dibantah.Tahu ia tak bisa menolak, sekali

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   39. Muslihat

    “Selamat atas peluncuran sistem barunya, Aji,” ucap Kakek, menepuk bahu tuan rumah dengan penuh kebanggaan.Aji, pemuda yang tampak hanya beberapa tahun lebih tua dari Raina, tersenyum tipis. “Terima kasih, Pak Adi. Terima kasih juga sudah membolehkan TechNova mengadakan acara ini di Sakala Hotel.”Sang sepuh mengayunkan tangannya. “Sudah saya bilang, panggil saja Kakek,” ujar sang sepuh. “Bapakmu dulu teman baik saya,” ucapnya dengan suara semakin menghilang. Ada nada sedih yang sarat akan emosi.Sang tuan rumah tersenyum simpul lalu mengajak mereka berdua untuk masuk. “Mari masuk,” ucapnya seraya menuntun mereka menuju ruang serba guna.Suasana pesta peluncuran terasa lebih informal dibanding acara-acara yang selama ini Raina datangi. Mungkin karena Aji sendiri terbilang m

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   40. Perdebatan Di Taman

    “Sepertinya saya terlambat,” ucap Jovian seraya merangkul pinggang Raina tanpa keraguan sedikitpun.Keheningan sejenak menyelimuti mereka saat Jovian muncul di tengah pesta. Rasa lega langsung menyelinap di hati Raina, seolah beban yang menggantung di pundaknya tiba-tiba sirna begitu saja.“Oh, ini suami Bu Raina,” terdengar bisikan samar dari seorang tamu yang berada di sudut ruangan.Namun, tak semua orang tampak senang dengan kehadiran pria itu. Raut wajah Kakek tak dapat disembunyikan. Sekilas, ada kilat ketidaksenangan di mata tuanya. Namun, dengan cepat ia kembali bersikap tenang.“Tidak apa-apa, Jovian. Senang kamu bisa menyusul,” ucap Kakek, meski senyumnya terasa dipaksakan.Di sisi lain, Aji, yang tadi menyambut mereka dengan ramah, berusaha mengalihk

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   41. Mungkinkah…?

    Suara berat yang terdengar dari sudut taman memecah lamunan Raina. Langkah wanita itu terhenti. Suara itu berasal dari sudut yang tak diterangi cahaya lampu jalan. Ia menoleh, matanya menelusuri gelap di antara pepohonan.“Tenang, Om. Toh semuanya berjalan lancar, kan?” suara Jovian terdengar ringan, seolah-olah tak ada yang pria itu khawatirkan.Jantung Raina berdebar kencang. Ia mendekat perlahan, menajamkan penglihatannya. Di antara bayang-bayang, dua sosok pria berdiri. Salah satunya, tanpa ragu, adalah suaminya. Namun, pria yang bersamanya…“Kamu gila?! Kalau salah penanganan, kakimu bisa cacat seumur hidup!” suara pria paruh baya itu terdengar penuh amarah.Dokter Wira? Bukankah dokter itu berhasil menyembuhkan cedera saraf pada kaki Jovian? Apa maksud dari percakapan mereka?

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   42. Bertindak Sendiri

    Beberapa hari telah berlalu semenjak insiden di pesta peluncuran sistem baru TechNova, namun suasana hati Kakek belum juga membaik. Setiap kali Raina menghadiri rapat, terutama jika Vanya ikut hadir di sana, Kakek tak henti-hentinya melontarkan komentar pedas, seolah ingin menekankan rasa tidaksukanya.Meski curiga tentang percakapan antara suaminya dan Dokter Wira di pesta itu masih mengganjal di hatinya, Raina tetap teguh pada pendiriannya. Wanita itu tak akan gegabah mengambil keputusan hanya karena desakan Kakek.Perceraian bukanlah pilihan. Ia percaya bahwa jika Kakek mengetahui bisnis rahasia yang dijalankan oleh Jovian, sesepuh keluarga itu pada akhirnya akan mengakui kemampuan suaminya dan berhenti menentang pernikahan mereka.Hingga saat itu tiba, Raina memilih untuk bertahan.Siang itu, matahari terik membakar aspal dan trotoar di sekitar l

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   43. Si Tato & Si Botak

    Raina terbangun dengan kepala berdenyut, pandangannya sempat kabur sebelum akhirnya fokus kembali. Dia menemukan dirinya di sebuah ruangan tak dikenal.“Ini… di mana?” gumamnya seraya mengerjapkan mata.Menarik napas dalam-dalam, dia mencoba menenangkan pikirannya yang masih berkabut. Saat pandangan mulai jelas, maniknya menyapu ruangan di sekitar.Kamar itu cukup luas, namun tidak ada yang membuatnya merasa nyaman selain tempat tidur empuk yang saat ini ia duduki. Seprai tempat tidur tampak rapi, bahkan bersih.Sebuah meja belajar dengan nampan berisi makanan yang masih hangat terletak di dekat jendela. Di salah satu sisi kamar, sebuah lemari kayu besar berdiri kokoh.Setelah pusing di kepalanya sedikit berkurang, dengan hati-hati Raina mencoba bangkit. Meskipun tubuhnya terasa lemas. Ia sempat terhuyung, tapi berhasil menahan diri agar tidak terjatuh. Kakinya melangkah ke arah dua pintu yang terletak di sisi lain ruangan.Ia meraih kenop pintu pertama dan memutarnya. Hanya ada pemand

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   44. Melarikan Diri

    Raina tak tahu siapa yang berada di balik semua ini, dan tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketidakpastian mengiris pikirannya, seperti bayangan gelap yang semakin mendekat, siap menelan seluruh keberaniannya.Tidak putus asa, Raina masih memutar otak untuk mencari jalan keluar. Namun gemuruh perutnya semakin kencang dan tak dapat diabaikan. Dengan tatapan skeptis, wanita itu menelisik hidangan yang barusan dibawah oleh duo penjaga.Raina menelan ludah, lalu memandang nampan berisi makanan yang tergeletak di meja. Sup jagung hangat, dendeng pedas, sepiring nasi putih. Makanan yang lezat, bahkan ada buah-buahan segar serta puding karamel, salah satu favoritnya. Kerut pada dahi Raina mendalam. “Sejak kapan penculik memberi makanan mewah?” pikirnya.Awalnya ia pikir sindikat rahasia yang selama ini ia selidiki telah mencium gerak-geriknya. Raina curiga bahwa mereka akan menyandera dan menyiksanya demi membungkam mulut wanita itu.Namun melihat tingkah kedua pria yang lebih sepert

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-25
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   45. Secercah Harapan

    Akhirnya pintu di hadapan Raina terbuka, namun bukan karena usahanya mengotak-atik lubang kunci.“Mau ngapain, tikus kecil?” suara kasar menyambutnya. Si botak—salah satu dari dua preman yang menjaga tempat ini—memandangnya dengan seringai lebar.Jantung Raina hampir berhenti. Tubuhnya membeku di tempat. Namun rasa takut dengan cepat berganti menjadi adrenalin. Tanpa pikir panjang, sang wanita menancapkan garpu yang dipegangnya ke paha pria itu sekuat tenaga.“ARGHH!”Teriakan melengking memecah hening malam. Tubuh si botak merunduk, kedua tangannya mencengkeram bagian yang tertusuk, kesakitan. Ia terduduk, meraung marah, memuntahkan sumpah serapah.Memanfaatkan sang penjaga yang menunduk kesakitan, Tanpa berpikir dua kali, Raina mendorong tubuh besar pria itu dengan segenap tenaga. Hingga tubuh si botak terjungkal ke belakang, memberi kesempatan pada Raina untuk menerobos keluar kamar. Meski begitu, ia tahu, waktu yang dimilikinya tak banyak.“Sialan!! Tur! Guntur!” raungan si botak m

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-25

Bab terbaru

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   114. Kisah Jovian - Hanya Kali ini

    Persiapan pernikahan berjalan dengan lancar. Terutama karena memang tak banyak yang harus dipikirkan, mengingat pihak keluarga mempelai wanita menginginkan acara yang sederhana. Akad serta resepsi akan dilakukan sesederhana mungkin, hanya dihadiri oleh keluarga dekat serta beberapa kerabat terpercaya.Jovian menurut, karena baginya, yang terpenting adalah menyusup ke dalam kediaman Hartanto. Hal-hal lain hanyalah formalitas belaka.Namun siang itu, suara rendah sarat akan wibawa menghentikan langkah Jovian, kala pria itu baru menyelesaikan sesi terapinya. Atau yang sebenarnya rapat strategi bersama Saka, Aji dan para petinggi Sindikat Sinara.“Anak muda, bisa kita berbicara sejenak?”Sang pria muda menoleh, mendapati sosok Adi Prakoso Hartanto berdiri tak jauh darinya. Tubuhnya tinggi, tegap, meskipun usia senja telah men

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   113 - Kisah Jovian - Berantakan

    Dengan tertatih-tatih, Jovian menyusuri trotoar, melangkah secepat yang kaki pincangnya sanggup. Tongkat di tangannya mengetuk ritmis di atas permukaan aspal, seolah mengiringi detak jantungnya yang gelisah.Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk tulang, tapi itu tak sebanding dengan kecemasan yang mencengkeram hatinya. Kata-kata Raina di telepon tadi terus terngiang-ngiang di benaknya.“Mas, tolong datang ke sini. Cepat.”Hanya satu alamat yang disebutkan sebelum sambungan terputus. Terdengar napas berat yang tak biasa dari wanita itu.‘Sial!’ Jovian mengumpat dalam hati. Kenapa ia harus berpura-pura pincang? Kalau saja ia tidak membatasi dirinya dengan cedera palsu ini, mungkin ia sudah sampai lebih cepat. ‘Kenapa juga aku tidak memilih pura-pura cacat tangan saja?’ pikirnya penuh

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   112 - Kisah Jovian - Akal-akalan

    Jovian membuka matanya perlahan, siluet lampu putih menyilaukan penglihatannya. Kepalanya berat, dan tubuhnya terasa kaku, nyeri menusuk-nusuk dari sisi tubuh hingga ke kakinya. Namun pandangannya tak butuh waktu lama untuk menangkap sosok wanita di samping ranjang. Manik kecokelatan yang memancarkan kecemasan itu adalah hal pertama yang ia lihat saat kesadarannya kembali.Raina.Menyipitkan mata, pria itu mencoba memastikan bahwa apa yang ia lihat bukan ilusi. Wanita itu benar-benar ada di sana, duduk di kursi, wajahnya khawatir namun tetap anggun di bawah cahaya lembut lampu ruangan.Jovian langsung menyadari sesuatu—luka kecil di pelipis Raina terlihat sudah mengering, tak ada perban kasat mata lainnya di tubuh wanita itu. Syukurlah, kecelakaan itu tak meninggalkan cedera serius pada dirinya.Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, s

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   111. Kisah Jovian - Kejadian Menarik

    “Jovian!”Teriakan lantang menggema di lorong rumah sakit, memecah kesunyian malam. Langkah tergesa-gesa dua pria terdengar semakin mendekat. Di ambang pintu unit gawat darurat, Aji dan Saka muncul dengan napas tersengal. Raut wajah mereka campuran antara cemas dan panik.Di ranjang yang tak terlalu lebar, Jovian membuka matanya dengan susah payah. Wajahnya pucat, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Namun, seperti biasa, ia mencoba menyembunyikan kelemahannya di balik ekspresi datar yang ia latih bertahun-tahun. Meski kali ini, kelopak matanya yang berat dan bibirnya yang pucat membuat semua itu sia-sia.“Ngapain kalian di sini? Gimana dengan pesta pendiriannya?” tanyanya dengan suara serak dan lemah, berusaha terdengar biasa saja meski kesadarannya nyaris kabur.“Masih sempat mikirin itu?!” bentak Saka, matanya memicing tajam, sorotnya penuh amar

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   110. Kisah Jovian - Laporan Mingguan

    Sebuah amplop cokelat dilempar kasar oleh pria bertubuh kekar dengan jaket hitam. “Ini laporan tentang Raina Asmarani Hartanto minggu ini,” ucap pria tersebut tanpa basa-basi. Nada suaranya terdengar bosan, seolah tugas ini adalah rutinitas yang sudah ia lakukan terlalu sering.Jovian, yang duduk di kursi kerjanya, melirik sekilas amplop itu. Namun sebelum ia sempat bereaksi, Aji, yang kebetulan juga berada di ruangan, langsung menoleh dengan penuh minat. Manik cokelatnya bergerak cepat antara amplop dan pria bertubuh kekar itu, bibirnya terangkat membentuk senyum nakal.“Raina?” tanya Aji, menaikkan satu alisnya dengan nada menggoda. Dia memutar tubuh, memandang ke arah Saka, tangan kanan sang kakak. “Apa maksudnya nih?”Yang ditatap hanya mengedikkan bahu santai sambil melempar tubuhnya ke sofa di sudut ruangan. “Tanya Mas-mu i

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   109 - Kisah Jovian - Pria Mencurigakan

    “Oh,” suara berat pria tambun itu tiba-tiba terdengar, diiringi tawa pendek. “Kamu bartender ruang VVIP yang dulu sering membantuku, kan?” Ucapannya seolah hanya sekadar basa-basi, namun seringai di bibirnya menyiratkan lebih dari itu.Jovian mendongak, meski tubuhnya terasa berat setelah dihantam habis-habisan. Napasnya tersengal, darah mengalir pelan dari sudut bibirnya, namun ia tetap diam. Wajahnya tetap datar.Pria itu tertawa lagi, kali ini lebih keras, seakan menemukan hiburan. “Anak muda, aku tidak menyangka kamu bisa sampai pada titik ini. Bahkan hanya dengan sedikit dorongan dariku.” Dengan santai, pria itu menjentikkan jarinya.Seorang anak buahnya—pria berjaket hitam dengan wajah tanpa ekspresi—bergerak cepat. Dalam sekejap sebuah kursi dilapisi kulit didorong ke arahnya.“Sebagai senior di bidang ini,

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   108. Kisah Jovian - Terjebak

    Semenjak malam-malam kelam dipenuhi oleh rasa bersalah yang menghantui pikirannya, Jovian mulai mempertimbangkan untuk menghentikan rencana balas dendamnya.Namun, perasaan itu menghimpit seperti kabut tebal—tak memberi ruang untuk napas. Tidak tenang, itu pasti. Tapi, bahkan jika ia ingin berhenti sekarang, apakah itu mungkin?Pria itu sudah kadung basah. Rencana ini bukan lagi sekadar tentang dirinya. Terlalu banyak yang ia seret ke dalam jalan gelap ini.“Kita tidak bisa tiba-tiba menghentikan rencana ini!” Suara serak seorang pria bertopi hitam memecah udara di ruang kecil itu. Matanya membelalak penuh amarah, tangannya mengepal kuat hingga urat-uratnya terlihat menonjol.“Kamu yang membujuk kami untuk melakukan ini, Jovian!” timpal seorang wanita paruh baya, wajahnya merah padam. Bibirnya bergetar,

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   107. Kisah Jovian - Janji

    Kegelapan mengepung Jovian.Sejauh apa pun pria itu melangkah, hanya ada bayang-bayang hitam pekat yang mengikuti. Tak ada arah. Tak ada ujung. Hanya ketiadaan yang menyesakkan.Maniknya bergerak panik, mencari sesuatu, apa saja, yang bisa membantunya keluar dari kehampaan ini.Hingga akhirnya ia menangkap seberkas cahaya redup di kejauhan. Seperti lilin kecil yang berusaha bertahan di tengah badai. Dengan napas terengah, Jovian tertatih menghampirinya. Namun langkahnya mendadak terhenti ketika sesuatu mencengkeram pergelangan kakinya.Terkesiap, ia menoleh. Di sana, sosok sang ayah, Haris, duduk bersimpuh di atas tanah yang retak dan kering. Jemari kurus pria itu mencengkeram celana Jovian dengan erat, seperti seseorang yang tengah tenggelam memohon pertolongan. Mata lelaki itu sayu, tapi penuh dengan harapan yang menyakitk

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   106. Kisah Jovian - Bencana

    “Sial!”Jovian menggebrak meja kayu di depannya, membuat tumpukan kertas serta kotak alat tulis di atasnya bergetar, nyaris terjatuh. Napasnya memburu, dada naik turun seolah tak mampu menahan luapan emosi yang bergolak di dalam diri. Pikirannya terus berputar, mengutuk dirinya sendiri.Rencananya sederhana—atau setidaknya itulah yang ia pikirkan. Ia hanya akan memantau gerak-gerik Ambar dari kejauhan. Lalu, ketika wanita itu bertindak ceroboh dan mencoba mencelakai Lilis, Jovian akan muncul sebagai penyelamat. Semudah itu, seperti pahlawan dalam cerita.Ia ingin membuat Bram, pewaris Hartanto Global Venture, berhutang budi padanya. ‘Dan pada waktunya,’ pikir Jovian, ‘Bram dan juga Adi akan membayar harga yang lebih mahal daripada sekadar penolakan mereka terhadap ayahku.’

DMCA.com Protection Status