Sang cucu menatap Kakek, mencoba mencerna permintaan itu. Ia yakin ada sesuatu yang sang sepuh rencanakan. Namun, jika ini bisa membantu memperkuat posisinya di perusahaan, tentu saja tak ada alasan bagi Raina untuk menolak.
“Baik, Kek,” ucapnya akhirnya. “Tolong berikan alamat acaranya, biar saya bisa langsung datang ke sana setelah ganti baju.”
Buru-buru sang sepuh mengibaskan tangan. “Tidak perlu. Kerjaanmu sudah selesai kan? Kamu ke butik langganan kita aja. Nanti kakek jemput langsung dari sana,” katanya dengan nada santai, meski ada penekanan di setiap kata-katanya.
Raina hendak memprotes, merasa sedikit aneh dengan segala persiapan mendadak ini, namun sang sepuh seolah dapat membaca pikirannya. “Kakek sudah menyiapkan semuanya. Kamu hanya perlu menemani Kakek malam ini,” tandasnya, dengan suara tak bisa dibantah.
Tahu ia tak bisa menolak, sekali
“Selamat atas peluncuran sistem barunya, Aji,” ucap Kakek, menepuk bahu tuan rumah dengan penuh kebanggaan.Aji, pemuda yang tampak hanya beberapa tahun lebih tua dari Raina, tersenyum tipis. “Terima kasih, Pak Adi. Terima kasih juga sudah membolehkan TechNova mengadakan acara ini di Sakala Hotel.”Sang sepuh mengayunkan tangannya. “Sudah saya bilang, panggil saja Kakek,” ujar sang sepuh. “Bapakmu dulu teman baik saya,” ucapnya dengan suara semakin menghilang. Ada nada sedih yang sarat akan emosi.Sang tuan rumah tersenyum simpul lalu mengajak mereka berdua untuk masuk. “Mari masuk,” ucapnya seraya menuntun mereka menuju ruang serba guna.Suasana pesta peluncuran terasa lebih informal dibanding acara-acara yang selama ini Raina datangi. Mungkin karena Aji sendiri terbilang m
“Sepertinya saya terlambat,” ucap Jovian seraya merangkul pinggang Raina tanpa keraguan sedikitpun.Keheningan sejenak menyelimuti mereka saat Jovian muncul di tengah pesta. Rasa lega langsung menyelinap di hati Raina, seolah beban yang menggantung di pundaknya tiba-tiba sirna begitu saja.“Oh, ini suami Bu Raina,” terdengar bisikan samar dari seorang tamu yang berada di sudut ruangan.Namun, tak semua orang tampak senang dengan kehadiran pria itu. Raut wajah Kakek tak dapat disembunyikan. Sekilas, ada kilat ketidaksenangan di mata tuanya. Namun, dengan cepat ia kembali bersikap tenang.“Tidak apa-apa, Jovian. Senang kamu bisa menyusul,” ucap Kakek, meski senyumnya terasa dipaksakan.Di sisi lain, Aji, yang tadi menyambut mereka dengan ramah, berusaha mengalihk
Suara berat yang terdengar dari sudut taman memecah lamunan Raina. Langkah wanita itu terhenti. Suara itu berasal dari sudut yang tak diterangi cahaya lampu jalan. Ia menoleh, matanya menelusuri gelap di antara pepohonan.“Tenang, Om. Toh semuanya berjalan lancar, kan?” suara Jovian terdengar ringan, seolah-olah tak ada yang pria itu khawatirkan.Jantung Raina berdebar kencang. Ia mendekat perlahan, menajamkan penglihatannya. Di antara bayang-bayang, dua sosok pria berdiri. Salah satunya, tanpa ragu, adalah suaminya. Namun, pria yang bersamanya…“Kamu gila?! Kalau salah penanganan, kakimu bisa cacat seumur hidup!” suara pria paruh baya itu terdengar penuh amarah.Dokter Wira? Bukankah dokter itu berhasil menyembuhkan cedera saraf pada kaki Jovian? Apa maksud dari percakapan mereka?
Beberapa hari telah berlalu semenjak insiden di pesta peluncuran sistem baru TechNova, namun suasana hati Kakek belum juga membaik. Setiap kali Raina menghadiri rapat, terutama jika Vanya ikut hadir di sana, Kakek tak henti-hentinya melontarkan komentar pedas, seolah ingin menekankan rasa tidaksukanya.Meski curiga tentang percakapan antara suaminya dan Dokter Wira di pesta itu masih mengganjal di hatinya, Raina tetap teguh pada pendiriannya. Wanita itu tak akan gegabah mengambil keputusan hanya karena desakan Kakek.Perceraian bukanlah pilihan. Ia percaya bahwa jika Kakek mengetahui bisnis rahasia yang dijalankan oleh Jovian, sesepuh keluarga itu pada akhirnya akan mengakui kemampuan suaminya dan berhenti menentang pernikahan mereka.Hingga saat itu tiba, Raina memilih untuk bertahan.Siang itu, matahari terik membakar aspal dan trotoar di sekitar l
Raina terbangun dengan kepala berdenyut, pandangannya sempat kabur sebelum akhirnya fokus kembali. Dia menemukan dirinya di sebuah ruangan tak dikenal.“Ini… di mana?” gumamnya seraya mengerjapkan mata.Menarik napas dalam-dalam, dia mencoba menenangkan pikirannya yang masih berkabut. Saat pandangan mulai jelas, maniknya menyapu ruangan di sekitar.Kamar itu cukup luas, namun tidak ada yang membuatnya merasa nyaman selain tempat tidur empuk yang saat ini ia duduki. Seprai tempat tidur tampak rapi, bahkan bersih.Sebuah meja belajar dengan nampan berisi makanan yang masih hangat terletak di dekat jendela. Di salah satu sisi kamar, sebuah lemari kayu besar berdiri kokoh.Setelah pusing di kepalanya sedikit berkurang, dengan hati-hati Raina mencoba bangkit. Meskipun tubuhnya terasa lemas. Ia sempat terhuyung, tapi berhasil menahan diri agar tidak terjatuh. Kakinya melangkah ke arah dua pintu yang terletak di sisi lain ruangan.Ia meraih kenop pintu pertama dan memutarnya. Hanya ada pemand
Raina tak tahu siapa yang berada di balik semua ini, dan tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketidakpastian mengiris pikirannya, seperti bayangan gelap yang semakin mendekat, siap menelan seluruh keberaniannya.Tidak putus asa, Raina masih memutar otak untuk mencari jalan keluar. Namun gemuruh perutnya semakin kencang dan tak dapat diabaikan. Dengan tatapan skeptis, wanita itu menelisik hidangan yang barusan dibawah oleh duo penjaga.Raina menelan ludah, lalu memandang nampan berisi makanan yang tergeletak di meja. Sup jagung hangat, dendeng pedas, sepiring nasi putih. Makanan yang lezat, bahkan ada buah-buahan segar serta puding karamel, salah satu favoritnya. Kerut pada dahi Raina mendalam. “Sejak kapan penculik memberi makanan mewah?” pikirnya.Awalnya ia pikir sindikat rahasia yang selama ini ia selidiki telah mencium gerak-geriknya. Raina curiga bahwa mereka akan menyandera dan menyiksanya demi membungkam mulut wanita itu.Namun melihat tingkah kedua pria yang lebih sepert
Akhirnya pintu di hadapan Raina terbuka, namun bukan karena usahanya mengotak-atik lubang kunci.“Mau ngapain, tikus kecil?” suara kasar menyambutnya. Si botak—salah satu dari dua preman yang menjaga tempat ini—memandangnya dengan seringai lebar.Jantung Raina hampir berhenti. Tubuhnya membeku di tempat. Namun rasa takut dengan cepat berganti menjadi adrenalin. Tanpa pikir panjang, sang wanita menancapkan garpu yang dipegangnya ke paha pria itu sekuat tenaga.“ARGHH!”Teriakan melengking memecah hening malam. Tubuh si botak merunduk, kedua tangannya mencengkeram bagian yang tertusuk, kesakitan. Ia terduduk, meraung marah, memuntahkan sumpah serapah.Memanfaatkan sang penjaga yang menunduk kesakitan, Tanpa berpikir dua kali, Raina mendorong tubuh besar pria itu dengan segenap tenaga. Hingga tubuh si botak terjungkal ke belakang, memberi kesempatan pada Raina untuk menerobos keluar kamar. Meski begitu, ia tahu, waktu yang dimilikinya tak banyak.“Sialan!! Tur! Guntur!” raungan si botak m
Raina berdiri terpaku, tubuhnya gemetar tak karuan. Adrenalin yang tadinya mendorong langkah kakinya kini mereda, menyisakan rasa lemah pada lutut dan napas memburu. Pikirannya kacau, sementara mata cokelatnya terus menatap pria di hadapan dengan keterkejutan yang tak bisa disembunyikan.“Mas… Tama,” desis Raina, suaranya menggegar. Rasa lelah dan terkejut bercampur, menghantam tubuhnya dengan begitu deras. Satu sosok yang tak pernah ia bayangkan akan muncul di sini, di antara semua kemungkinan yang ada. Kakaknya. Kakaknya yang selama ini ia percaya.Sementara Raina mencoba memahami situasi yang terjadi, langkah kaki tergesa terdengar di belakangnya. Bara dan Guntur, kedua preman yang tadi menjaganya, akhirnya berhasil mengejar.Napas mereka tersengal, amarah jelas tampak di wajah-wajah penuh keringat mereka. Kedua pria berusaha mengatur napas, tetapi sorot mata mereka penuh kepanikan melihat Tama yang berdiri di sana.“Bos!” seru Bara dengan gentar, kekhawatiran yang terhantar dari n
“Bangsat! Kalau jalan yang bener!” teriakan kasar itu membelah keheningan malam.Jovian tersentak, menunduk dalam-dalam tanpa menatap pria bertato yang berteriak ke arahnya. Tubuhnya terasa lelah, hampir kehabisan tenaga, ia hanya mampu menggumamkan kata maaf pelan sambil berlalu.“Woy! Bocah tengik! Songong kali kau! Main pergi-pergi aja!” seorang pria lain dengan bandana mencengkeram bahunya, kasar, memaksa Jovian berhenti.“Maaf, Bang. Saya buru-buru,” ucap pemuda itu, suaranya serak dan tertekan. Ia melirik jam tangan kesayangan yang terpasang di pergelangan tangan—hadiah terakhir dari ayahnya yang sudah tiada. Waktu hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Aji pasti sudah menangis ketakutan di rumah yang gelap.Namun para preman itu tak membiarkannya pergi begitu saja. Salah satu dari mereka mendorong Jovian hingga terjengkang, memaksanya untuk melawan.
“Jo, gue pinjem uang dong!” seru seorang siswa berseragam abu-abu.Belum sempat Jovian menjawab, temannya yang lain langsung menyikut lengan si peminjam. “Bego, perusahaan bokapnya udah bangkrut,” bisiknya. Pelan tapi cukup keras hingga terdengar.Siswa yang pertama langsung terkesiap. “Eh, maaf, Jo. Gue nggak tahu,” ucapnya, menangkupkan tangan, berusaha terlihat menyesal, meski senyumnya masih terkesan mengejek.Tanpa menjawab, Jovian bangkit dari kursinya, lalu berjalan keluar kelas dengan langkah yang berat dan kasar, meninggalkan mereka semua di belakang.“Apaan, gitu doang ngambek,” gerutu si peminjam, menyandarkan tubuhnya santai ke kursi.“Jangan gitu, bego! Nyokapnya meninggal gara-gara nggak ada duit buat berobat, terus nggak lama bo
Pria bertubuh besar itu berdiri di depan pintu rumah Haris, wajahnya mengeras dan penuh amarah. Tangan kanannya mengepal, sementara tangan kirinya dengan kasar menampar-nampar buku yang tampaknya berisi catatan utang. Wajahnya sangar, dihiasi dengan kumis tebal dan tatapan yang menakutkan, seperti elang yang sedang menatap mangsanya.“Bayar hutangmu, Pak Tua!” bentak pria itu, suaranya menggema di ruang tamu yang semakin hari semakin tak terurus. Matanya memelototi Haris dengan sorot meremehkan, sementara tubuhnya condong maju, seakan siap menyerang.Ayah Jovian yang berdiri berjarak beberapa langkah, tampak ciut. Pria paruh baya itu mencoba merapatkan kedua tangannya di dada, membungkuk sedikit, menatap lantai dengan wajah penuh kekhawatiran. “S-saya janji akan membayarnya, Pak… tolong beri saya keringanan,” katanya dengan suara bergetar.
Enam belas tahun silam.Jovian menendang kerikil, menghela napas panjang. Bosan menyelimutinya. Terutama setelah lebih dari satu jam Ayahnya meninggalkannya sendirian di tepi jalan, berpesan agar tetap menunggu di mobil. Namun setelah lama duduk diam, sosok pria paruh baya itu tak juga terlihat.“Ayah lama nih,” gumamnya, kembali menendang batu kerikil di dekat kaki.Manik cokelat madu pemuda itu teralihkan ke arah rumah mewah di hadapannya. Halaman luas terbentang dengan kolam renang berair jernih yang memantulkan sinar matahari sore. Pohon-pohon rindang menaungi jalan masuknya, menghadirkan bayangan seperti lengan-lengan yang melambai pelan.Bangunan megah itu membuat mata Jovian berbinar. Tapi tiba-tiba, suara serak yang ia kenali mengusik pemujaannya.“Tolonglah, Pak Adi… saya sudah tidak tahu harus kemana,&r
“Apa kamu senang sekarang?”Suara cibiran memecah lamunan Raina akan pertemuannya dengan kakek beberapa hari lalu. Wanita itu tersentak dan menoleh, mendapati Nita berdiri tak jauh darinya dengan gaun perak berkilauan di bawah cahaya lampu pesta. Pipi sang kakak memerah serta maniknya tampak tak fokus.Entah apa yang kakaknya bicarakan, Raina sedang tak dalam kondisi untuk meladeninya. Dia berencana untuk pergi, tapi Nita mendekat, menghalangi jalannya.“Mau kemana?” Ucap wanita itu dengan senyum sinis di bibir. “Bukankah ini yang kamu inginkan? Kesempatan untuk pamer, bersikap angkuh setelah berhasil menyelesaikan proyek besar Sakala Nusa?” sindirnya sambil menyilangkan tangan di dada.Raina menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Mbak, ini bukan waktu atau tempat yang tepat untuk
Kakek melanjutkan perkataannya, seolah berharap sang cucu akan melunak. “Lagipula, sebentar lagi, dengan pembukaan resmi Hotel Sakala yang baru, siapapun tak akan bisa menyangkal kualitasmu sebagai anggota Hartanto.”Raina terdiam sejenak, napasnya tersengal pelan menahan emosi yang bergejolak dalam sanubari. Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia meraih tasnya dan mengeluarkan amplop cokelat yang selama ini selalu ia bawa, seolah itu adalah perisai terakhirnya.Tanpa berkata apa pun, ia mengeluarkan isi amplop dan menyusun beberapa lembar dokumen di atas meja.Sambil menyesuaikan posisi kacamatanya, Kakek mencondongkan tubuh. Kemudian mulai menelisik foto-foto serta dokumen-dokumen yang dibawakan oleh sang cucu.Matanya membelalak sejenak, keterkejutan yang jarang sekali ia tunjukkan. “I-ini… darimana kamu mendapatkannya?&r
“Selamat atas pembukaan hotel barunya.”Suara yang menyapa telinganya bukanlah nada bariton khas Jovian.Raina menelan pahit di ujung lidah. Pikirannya telah sadar sepenuhnya bahwa pria itu adalah sosok berbahaya—seseorang yang tak seharusnya ia dambakan. Namun hatinya masih saja merindukan bayangan suaminya.“Terima kasih, Aji,” ucapnya, mencoba menguasai diri saat menerima uluran tangan dari pria di depannya.CEO TechNova itu menatap wanita itu dengan mata yang tajam, senyum tipis terpatri di bibirnya, tampak memancarkan ketenangan. “Omong-omong,” manik Aji melirik ke samping, seolah mencari-cari sosok lain. “Di mana suamimu?”Mendengar pertanyaan itu, sang wanita mendengus kecil, nyaris tak terdengar. Meski Jovian tak melakukan sesuatu seca
“Selamat atas pembukaan hotel Sakala cabang baru, Bu Vanya, Bu Raina! Saya tidak sabar melihat bagaimana hotel ini berkembang ke depannya,” sahut seorang pria berjas biru tua, sambil menjabat tangan Raina dan Vanya secara bergantian. Senyumnya ramah, namun sorot matanya penuh harapan pada kesuksesan investasi barunya.Akhirnya, pesta pembukaan Hotel Sakala yang ditunggu-tunggu telah tiba.Dengan senyum tipis, Raina membalas ucapan sang investor. “Kami sangat menghargai kehadiran Anda di acara ini, Pak. Semoga malam ini menjadi malam menyenangkan dan penuh makna bagi kita semua,” ucapnya sopan, berusaha tetap tenang di tengah perasaan yang berkecamuk.Di sampingnya, Papa berdiri berdampingan dengan Ambar. Setiap kali Raina mencuri pandang ke arah mereka, hatinya menggelegak, namun mati-matian ia menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang menco
“Sepertinya, ada alasan lain kenapa Jovian menikahimu,” suara Tama terdengar rendah, nyaris seperti bisikan di tengah keheningan.Raina terdiam, tangan yang memegang ponsel terasa dingin. “A-apa maksudmu, Mas?” bisiknya dengan gugup.“Anak buahku mendengar desas-desus tentang Sindikat Sinara,” Sang kakak melanjutkan, suaranya terdengar semakin dalam, seolah menggema langsung di dalam kepala Raina. “Organisasi itu tidak hanya sekadar mengelola informasi. Mereka mengincar grup-grup besar, mendekati target mereka dan membuatnya percaya, mengorek semua rahasia yang dibutuhkan. Dan ketika waktunya tiba… mereka menghancurkan target tanpa ampun.”Tenggorak sang adik tercekat. Seperti ada batu besar yang menyangkut di sana. Matanya membelalak kosong ke arah dinding kamarnya, tapi pikirannya bising, mencoba mencerna semua yang baru saja didengar.