Lima belas menit menunggu, tiba-tiba sebuah mobil hitam parkir tepat didepannya.
Meskipun dongkol dengan sikap sopir yang membawa mobil secara ugal-ugalan, tapi Ridel memilih diam membisu. Matanya membulat sempurna, ketika kaca mobil turun secara berlahan, hingga memperlihatkan sosok yang berada dibalik kemudi. Ridel terkejut. Dia sama sekali tak menyangka kalau orang yang ditugaskan menemuinya adalah sahabatnya sendiri, Alex Smith. Sudah hampir setahun Alex Smith menerornya agar mau kembali ke rumah, tapi tak diindahkan olehnya. “Masuk ke mobil!” tegas Alex terlihat kesal. Tak mau menarik perhatian banyak orang, Ridel memilih masuk dan menaikkan kaca mobil. Dia membalas tatapan Alex dengan tajam, “Kenapa dari semua orang kepercayaan ayahku, harus kau yang datang? Kenapa kau tak kembali ke perusahaanmu, ha?” “Kau masih tanya kenapa aku tak kembali ke perusahaanku sendiri? Yang benar saja! Kalau bukan gara-gara anak pembangkang sepertimu, aku mungkin sedang bersantai sekarang! Sebaiknya kau pulang, agar aku juga bisa pulang!” ketus Alex tak kalah kesal. Ya! Ketika emosi Bernad Liu memuncak dan tak sengaja mengusir putra tunggalnya, beliau meminta bantuan kepada Alex. Alex dan Ridel merupakan sahabat dekat sejak kecil. Mereka menempuh Pendidikan juga bersama-sama. Namun, karena sesuatu dan lain hal Alex terpaksa harus kembali ke Indonesia. Kuliahnya sempat tertunda karena masalah keuangan yang dihadapi keluarganya, tapi dengan bantuan keluarga Liu, perusahaan ayahnya bisa kembali pulih, demikian juga dengan kondisi Kesehatan sang ayah. Setelah semuanya teratasi, Ridel melanjutkan pendidikannya yang sempat tertunda diluar negeri. Alasan itulah kenapa Alex Smith baru muncul dihadapan Ridel sekitar delapan bulan terakhir dan menerornya. “Alex, apakah kau membawa uang yang ku minta?” tanya Ridel langsung pada pokok persoalan. Alex Smith menyodorkan kartu hitam kepada Ridel, “Ini kartu hitam yang dibuat khusus untukmu. Kau bebas membeli apa saja, termasuk rumah sakit ini. Kodenya tahun lahirmu. Aku rasa ayahmu belajar dari pengalaman dan tak ingin kau pergi lagi!” “Oh ya, Alex, tolong siapkan dokter ahli terbaik.” “Apa kau sakit?” tanya Alex berubah khawatir. “Bukan aku, tapi istriku.” Alex langsung terbatuk-batuk ketika mendengar kata istri keluar dari mulut sahabatnya. “Istri? Bagaimana mungkin? Bukankah Nadia telah menjadi istri orang?” “Bukan nadia, tapi gadis ini bukan dari kalangan seperti kita. Dia hanyalah gadis miskin yang butuh biaya pengobatan. Kau jangan memberitahu keluargaku dulu.” “Istrimu sakit apa, sampai-sampai kau rela menurunkan ego untuk meminta bantuan pada Augusto?" “Aku tak tahu penyakit apa yang diderita istriku, tapi dia membutuhkan operasi dan kemungkinan berhasil dibawah 50%. Namanya Fania Stephani Mauren. Tolong kau cari dokter terbaik, aku tak mau menjadi duda dalam hitungan hari.” "Apa? tingkat keberhasilan operasi dibawah 50%?" pekik Alex terkejut bukan kepalang. Dia tak bisa membayangkan bagaimana kalau berita itu sampai ke telinga tuan besar Bernad Liu. "Bagaimana kau," Alex tak meneruskan kalimatnya, ketika menyadari kalau sosok yang berada disampingnya telah menghilang. Hanya pintu mobil yang terbuka. Kau lelaki paling gila yang pernah ku temui, Ridel! Dulu melakukan apa saja untuk mempercepat kelulusan agar memulai karir lebih awal, tapi apa? Kau justru menikahi wanita yang mungkin saja mengubah statusmu dari single menjadi duda dalam sekejap. Alex menampar pipinya keras, agar pikiran kotornya juga ikutan lenyap. Alex menutup pintu mobilnya. Walaupun shock dengan kenyataan, tapi Alex langsung saja menelepon direktur rumah sakit di negeri seberang. “Halo, adakah yang dapat ku bantu, Tuan Alex?” “Kirimkan dokter ahli terbaik yang ada di rumah sakitmu, ke rumah sakit Impian Jakarta. Ini permintaan langsung dari tuan muda keluarga Liu.” “Baik, Tuan Alex. Saya akan mengirimkannya besok.” “Ingat jangan mengatakan kalau ini permintaan tuan muda kelurga liu, katakan saja kau tertarik dengan penyakit pasien atas nama Fania Stephani Mauren.” “Baik, Tuan Alex.” Alex langsung menutup telepon dan mengemudikan mobilnya menjauh dari rumah sakit. Sementara itu Ridel kembali menemui layanan kasir yang sempat mencemooh dirinya. “Aku mau membayar biaya perawatan pasien atas nama Fania Stephani Mauren yang sempat menunggak. Ini kartunya,” ujar Ridel sambil menyodorkan kartu hitam miliknya. Wanita itu tersenyum sinis, “Lebih baik kau pergi dan bawa kartu hitam kosongmu itu! Aku sama sekali tak punya waktu meladeni orang miskin sepertimu.” "Begini saja, jika di dalam kartu ini tak ada uangnya, maka kau boleh menjebloskan aku ke penjara," ujar Ridel yang tidak tertarik berdebat.Wanita itu menatap Ridel, ekspresi kesalnya tak dapat ia sembunyikan, ketika menerima kartu hitam yang disodorkan Ridel padanya. Namun, ketika kartu itu digesek ekspresi wajah wanita itu langsung berubah drastis. Wajahnya menjadi pucat pasih, tangannya gemetar. Dia baru menyadari kartu hitam yang kini berada dalam genggamannya, bukanlah kartu hitam biasa. Melainkan kartu hitam ekslusif. Kartu yang hanya dimiliki oleh orang konglomerat golongan kelas satu. Meskipun begitu, tak semua konglomerat golongan kelas satu mampu memiliki kartu seperti itu. Wanita itu sangat mengenal jenis kartu itu, karena jenis kartu seperti itulah dia harus kehilangan jabatannya yang merupakan direktur keuangan di salah satu bank terkemuka di Indonesia. Hanya segelintir orang tertentu saja yang pernah melihat jenis kartu hitam itu, termasuk dirinya. Walaupun karena kartu itu jugalah dia harus berakhir di bagian kasir rumah sakit. Dia tahu persis satu keluhan yang dilontarkan oleh seseorang yang
"Maaf, Pak. Bukannya tidak sopan, sepertinya ada kesalahan di sini. Keluargaku sama sekali tak meminta dokter Albert untuk diganti," ujar pria tua itu kebingungan. Mendengar kalimat yang keluar dari mulut kakek Fania yang bernama Arzenio, membuat keluarga Mauren dapat bernafas lega. Mereka yakin enam dokter itu mengunjungi pasien yang salah. Direktur rumah sakit menyipitkan mata, bingung dengan situasi yang ada. “Sebagai keluarga pasien, kami paham betul situasi ini. Dokter-dokter ini masih asing dengan rumah sakit ini, jadi wajar kalau mereka mengunjungi pasien yang salah,” ujar Vicenzo tersenyum. Direktur rumah sakit itu menatap Vicenzo, kemudian pandangannya beralih pada Fania yang terbaring lemah. Apa mungkin bukan itu pasiennya? Untuk meyakinkan dirinya, direktur itu memilih melangkah masuk dan mendekati Fania yang sedang terbaring di ranjang. Ketika menatap sosok yang terbaring lemah, membuat direktur itu tertegun. Dia dapat melihat jelas mata gadis itu berkaca-kaca
Ridel terkejut, ketika melihat keluarga Mauren bukannya menuju tempat parkir, tapi sebaliknya. Mereka menuju sebuah gedung yang terletak disisi kiri rumah sakit. Gedung yang terpisah dari badan rumah sakit impian. Gedung yang dulunya berisikan pasien yang mengalami gejala covid-19. Namun, semenjak covid-19 bisa teratasi, pihak rumah sakit mensterilkan gedung itu kemudian menutupnya. Keterkejutan Ridel bertambah, ketika dari arah berlawanan dokter Albert yang selama ini menangani penyakit Fania juga menuju tempat yang sama. Dokter Albert menatap sekelilingnya, sebelum melangkah memasuki gedung dimana keluarga Mauren berada. Rasa penasaran, membuat Ridel nekat melangkahkan kakinya mendekati gedung itu untuk mengintip. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Sial! Kenapa masalah menjadi serumit ini? Kalau saja nyawa wanita penyakitan itu tidak berharga ... aku pasti sudah menjadi diriku sendiri. Aku tak perlu berpura-pura baik dan perhatian. Itu benar-benar menyebalkan da
“Terima kasih atas niat baikmu. Tapi maaf, aku tak bisa menerima kartu ini,” ujar Ridel yang kemudian meraih pergelangan tangan Fania dan mengembalikan kartu hitam itu kepada pemiliknya. “Kau menolaknya?” “Kalau uang itu kau berikan padaku, terus bagaimana kau akan memulai bisnis barumu kelak?” Fania diam membisu. Dia masih ingat jelas, bagaimana perasaannya hancur ketika dokter memvonisnya menderita penyakit langka. Penyakit mematikan yang langsung membunuh mimpinya terlebih dahulu. Sejak saat itu hidup Fania berubah drastis. Jangankan bermimpi untuk membangun bisnis sendiri, bahkan harapan hidup Fania pun hilang bersama waktu. Dia tak lagi berharap untuk sembuh. Sebaliknya, dia justru ingin sang pencipta segera menjemputnya agar penderitaannya segera berakhir. Meskipun demikian, tak pernah terlintas dibenaknya untuk menyalahkan sang ibu yang telah mewariskan penyakit itu padanya. Karena dia baru menyadari, betapa menderita ibunya saat itu. Namun begitu, ibunya selalu m
*** Setelah kedatangan enam dokter spesialis itu, secara rutin keluarga Mauren terus mengunjungi, bahkan mempertanyakan perkembangan kesehatan Fania. Mendapatkan perhatian seperti itu, tentu saja membuat Fania bahagia. Dia sama sekali tak menyangka akan selalu melihat keluarganya sendiri. Namun, Ridel tahu, sebetulnya keluarga Mauren lengkap berada di sana untuk memastikan kalau gadis itu hanya akan melewati usia dua puluh lima tahun. "Kondisi Fania sudah jauh lebih baik, bahkan dia siap untuk di operasi. Kami membutuhkan tanda tangan persetujuan operasi," jelas penanggung jawab tim spesialis dari negeri seberang. "Saya akan menandatangani berkas itu, dokter," jawab Arzenio penuh semangat. "Maaf, Tuan. Anda tak bisa menandatangani berkas persetujuan operasi," jawab dokter itu tersenyum. "Apa katamu? Aku ini kakeknya, kakek yang selama ini merawatnya! Kenapa aku tak bisa menandatanganinya?" protes Arzenio kesal. "Aku tahu ini tidak adil untuk Anda, tapi ini adalah perat
“Hapus video itu sekarang juga, Brengsek!” teriak Arzenio murka. Dia bahkan lupa sedang berada di dalam ruang perawatan Fania. “Maafkan aku, Kek. Aku hanya tidak ingin salah mengambil Keputusan. Lagipula aku bukannya tidak mau menandatangani berkas itu selamanya. Aku hanya butuh waktu untuk mempertimbangkannya, Kek. Itu saja. Aku harap kakek bisa memahaminya,” jelas Ridel tetap sabar. Dia tahu bagi Fania, kakeknya sangat berarti. “Jangan pernah bermimpi menjadi menantu keluarga Mauren yang sesungguhnya, Ridel! Orang miskin sepertimu, sama sekali tak pantas untuk menjadi pendamping putriku. Bagi kami, kau tak lebih dari sampah jalanan. Sampah yang kapan saja bisa kami buang, jika sudah tidak diperlukan lagi!” cetus Vicenzo emosi. “Apa kau sengaja memperlambat proses kesembuhan kakakku? Apa kau mau menjadi benalu bagi kehidupan kakak? Lebih baik buang mimpimu itu! Setelah kakak sembuh, kau harus kembali ke tempat asalmu,” ujar Nadia sepedas cabe. Ridel diam membisu, dia membiark
*** Sementara itu disebuah pabrik yang telah lama ditutup, tampak dua orang sedang bersitegang. Mereka beraduh pendapat. “Apa kau pikir penyakit langka itu sama seperti memecahkan soal matematika tersulit, ha? Hingga kau bisa dengan mudah menemukan jawabannya?Tidak, Ridel!” ketus Alex kesal ketika mendengar kecurigaan Ridel tentang penyakit Fania. “Aku tidak bohong, Brengsek! Sakit Fania itu pasti mudah disembuhkan, tapi karena satu dan lain hal sampai kondisinya terus memburuk!” ujar Ridel tak kalah kesal, karena sahabatnya sendiri tak mempercayainya. “Kalau memang kondisi istrimu, seperti yang kau katakan. Terus kenapa sampai sekarang dia masih terbaring di rumah sakit? Kalau dokter Albert, aku sama sekali tidak percaya. Tapi bagaimana dengan dokter yang dikirim dari negeri seberang? Bagi direktur rumah sakit FO mengkhianatimu, itu sama saja bunuh diri, Brengsek!” Ridel diam membisu, dia bingung harus mengatakan apa. Karena mengatakan yang sejujurnya itu mustahil. Apalagi ko
Setelah perjalan panjang dan melelahkan, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Desa Santigi. Namun, Alex tak menduga usia tak menentukan sikap dewasa seseorang. Buktinya anak kecil yang berusia empat belas tahun itu sama sekali tak tertarik dengan tawaran Alex. Alex menatap anak itu dan bertanya, "Apa kau tahu sebanyak apa uang satu miliar?" "Aku tahu. Bukankah dengan uang itu bisa mengubah hidupku yang miskin, menjadi kaya raya dalam sekejap? Aku bisa membeli rumah. Tapi maaf, aku sama sekali tidak tertarik." "Kalau masih kurang, aku tambah jadi dua miliar. Bagaimana?" tawar Alex. "Apakah nyawa gadis itu senilai dua miliar? Benar-benar harga yang murah," cetus anak itu terlihat kesal. "Apa ini cara halus mu untuk menolak tawaranku, guna menyelamatkan gadis tak bersalah itu? Jika kau mau, Aku bisa memberikanmu lebih banyak uang. Bagaimana?" "Apa aku pernah mengatakan tidak mau menyelamatkan gadis itu? Bukankah aku hanya menolak tawaran uang itu?" jawab anak itu masih d