Ridel menatap gadis itu dalam diam, dia ragu memberikan jawaban.
Namun, mengingat bagaimana pengorbanan pria tua yang bahkan mengesampingkan kesehatannya, demi memenuhi syarat persetujuan operasi dari sang gadis. Membuat Ridel berpikir ribuan kali untuk menolaknya “Aku bersedia menikahimu, Nona.” Mata gadis itu memicing, bingung dengan pola pikir Ridel. Tapi janji tetaplah janji, dia juga tak ada alasan untuk menolak pernikahan itu apabila Ridel sendiri yakin dengan keputusannya. Setelah mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak, pria tua itu langsung menelepon seseorang. Tak butuh waktu lama, dua orang pria muncul didepan mereka dan mengaku sebagai petugas pencatatan sipil. Selang beberapa detik seorang wanita muncul dan mengaku sebagai pendeta yang akan meneguhkan pernikahan calon pengantin. Didepan para dokter yang menjadi saksi, petugas capil itu menyodorkan berkas untuk di tandatangani Ridel. Fania Sthephani Mauren? Ridel terkejut, ketika membaca marga Mauren yang dimiliki oleh calon istrinya itu. Apa mungkin Fania dan Nadin ada hubungan keluarga? Namun, ketika mengingat kembali bagaimana kondisi sang kakek saat pertama kali bertemu dengannya, membuatnya yakin kalau mereka sama sekali tak ada hubungan apapun. Walaupun itu hanya sekedar saudara sepupu. Tanpa ragu Ridel Liu langsung menandatangani berkas itu. Hal yang sama dilakukan Fania. Sekarang keduanya telah sah sebagai suami istri secara hukum. Setelah proses penandatangan selesai, wanita yang berdiri disamping ranjang tempat Fania berbaring kemudian mengadakan pemberkatan nikah. Sekarang keduanya telah sah secara agama sebagai pasangan suami istri. “Saya akan membawa akte nikahnya besok. Semoga lekas sembuh,” ujar petugas capil dan langsung pamit meninggalkan mereka. “Bagaimana dokter, dapatkah cucuku menjalani operasi sekarang? Tolong selamatkan cucuku,” pinta sang kakek putus asa. “Kami akan melakukan yang terbaik, tapi semua tergantung pada kondisi Fania. Sebelum memutuskan operasi, kami akan melakukan pemeriksaan lanjutan.” Setelah mengatakan itu dokter kembali menjalani beberapa pemeriksaan untuk memastikan kalau Fania siap untuk di operasi. Setelah hasil pemeriksaan keluar, dokter memanggil Ridel selaku wali sah terbaru Fania. Ridel duduk didepan dokter dalam diam. Dia menunggu penjelasan dokter tentang hasil pemeriksaan lanjutan sang istri. “Kondisi Fania menurun drastis, dia tak bisa menjalani operasi dalam waktu dekat,” jelas dokter sambil menunjukkan hasil pemeriksaan Fania. “Maaf, dokter. Kira-kira kapan istriku bisa di operasi?” “Paling cepat seminggu. Itupun tidak pasti,” jawab dokter santai. Melihat sang dokter yang terlalu santai, tak urun membuat Ridel meragukan keterampilan pria berjas putih yang duduk didepannya. Apa dokter ini bisa dipercaya? “Silahkan bapak menyelesaikan administrasi terlebih dahulu. Sepertinya sudah seminggu ini biaya rumah sakit tidak dibayar.” Ridel keluar ruangan itu dalam diam, dia meneruskan apa yang dikatakan sang dokter pada kakek. Pria tua itu langsung lemas, kakinya seperti mati rasa. Beruntung Ridel menangkap tubuh sang kakek sebelum menyentuh lantai. Ridel langsung membawa pria tua itu ke IGD. “Dokter tolong periksa kakekku, dia tadi pusing ketika mendengar kabar buruk yang aku sampaikan.” Dokter menyipitkan matanya, ketika memeriksa kondisi pria itu. “Mungkin faktor usia yang membuatnya pingsan. Tapi tak ada yang perlu dikhawatirkan, sejauh ini kondisi kakekmu baik-baik saja.” “Terima kasih, dokter.” Ridel dapat bernafas lega, ketika mendengar kalau pria tua itu dalam kondisi baik-baik saja. Dia memilih menunggu sampai pria tua itu sadar. Ridel menatap pria tua itu dengan kasihan. Pria tua yang Ridel sendiri bahkan tak tahu namanya. Setelah cukup lama menunggu akhirnya pria tua itu membuka matanya. Dengan sisa tenaga yang dimiliki pria tua itu bangun dan berkata, “Ini kartu hitam milikku. Pergi dan bayarlah biaya rumah sakit istrimu.” “Baik, Kek,” jawab Ridel dan langsung meninggalkan sang kakek, kemudian menuju bagian layanan kasir guna membayar perawatan Fania. “Maaf, saya mau membayar biaya perawatan atas nama Fania Stephani Mauren,” ujar Ridel sambil menyodorkan kartu hitam pemberian sang kakek. Dengan senyuman wanita itu menerima kartu itu, kemudian menggeseknya. Namun, ekspresi wajahnya yang semula lembut dan bersahabat menjadi kusam, “Kartu ini kosong. Ganteng-ganteng kok gak modal!” Walaupun tak suka dengan sikap wanita itu, tapi Ridel memilih kembali menemui sang kakek dan mengatakan kalau saldo di kartu itu kosong. Tatapan pria tua yang semula terlihat lembut langsung berubah menakutkan, “Dasar anak brengsek!” “Aku?” tanya Ridel menunjuk dirinya sendiri. “Kau tunggu di sini, aku mau membuat perhitungan dengan si brengsek itu!” cetus sang kakek yang terlihat marah dan langsung berlari keluar dari rumah sakit. Belum hilang keterkejutan Ridel, tiba-tiba sang kakek kembali dan bertanya, “Apa kau punya uang seratus ribu? Kakek pinjam dulu.” Ridel yang masih bingung, langsung saja memberikan uang yang diminta sang kakek. Begitu sang kakek tak terlihat lagi, Ridel kembali menemui petugas administrasi, guna meminta rincian biaya yang harus dibayarkan oleh pasien atas nama Fania Sthephani Mauren. Dengan senyum tipis, pria yang bertugas memberikan daftar pembayaran yang diminta. Bagi konglomerat uang segitu hanyalah kecil, tapi bagi orang biasa jumlah segitu sudah bisa membuat sesak nafas, bahkan mati berdiri. Tak mau menambah beban lelaki yang sudah usia senja, terpaksa Ridel memilih mengesampingkan egonya dan menelepon augusto di tempat yang sunyi. “Halo, apakah Tuan Muda mengalami masalah?” tanya Augusto dari Seberang dengan penuh kekhawatiran. “Sekarang aku butuh uang dalam jumlah besar, dapatkah kau membantuku?” Untuk pertama kalinya setelah tujuh tahun, Ridel akhirnya meminta bantuan pada keluarga Liu. Bagi Augusto itu merupakan peluang untuk membawa Ridel kembali pulang. Dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. “Jangankan uang, bahkan Perusahaan RnB nantinya juga akan menjadi milik tuan muda. Jadi kembalilah. Kalau memang tuan belum siap kembali sekarang, setidaknya tuan muda bersedia menggunakan kekuasaan yang selama ini tuan tinggalkan.” “Untuk pulang aku belum siap, tapi aku akan menggunakan kekuasaan yang dimiliki keluarga liu,” jawab Ridel yakin. Dia tahu satu-satunya cara untuk membantu sang istri hanyalah dengan menggunakan kekuasaannya sebagai pewaris keluarga Liu. “Di mana aku harus menemukan, tuan muda?” “Aku tunggu kau di jalan belakang rumah sakit Impian.” Tut … Tut … Tut …. Ridel memutuskan teleponnya secara sepihak. Dia langsung melangkahkan kakinya menuju jalan belakang rumah sakit Impian untuk menunggu Augusto.Lima belas menit menunggu, tiba-tiba sebuah mobil hitam parkir tepat didepannya. Meskipun dongkol dengan sikap sopir yang membawa mobil secara ugal-ugalan, tapi Ridel memilih diam membisu. Matanya membulat sempurna, ketika kaca mobil turun secara berlahan, hingga memperlihatkan sosok yang berada dibalik kemudi. Ridel terkejut. Dia sama sekali tak menyangka kalau orang yang ditugaskan menemuinya adalah sahabatnya sendiri, Alex Smith. Sudah hampir setahun Alex Smith menerornya agar mau kembali ke rumah, tapi tak diindahkan olehnya. “Masuk ke mobil!” tegas Alex terlihat kesal. Tak mau menarik perhatian banyak orang, Ridel memilih masuk dan menaikkan kaca mobil. Dia membalas tatapan Alex dengan tajam, “Kenapa dari semua orang kepercayaan ayahku, harus kau yang datang? Kenapa kau tak kembali ke perusahaanmu, ha?” “Kau masih tanya kenapa aku tak kembali ke perusahaanku sendiri? Yang benar saja! Kalau bukan gara-gara anak pembangkang sepertimu, aku mungkin sedang bersantai s
Wanita itu menatap Ridel, ekspresi kesalnya tak dapat ia sembunyikan, ketika menerima kartu hitam yang disodorkan Ridel padanya. Namun, ketika kartu itu digesek ekspresi wajah wanita itu langsung berubah drastis. Wajahnya menjadi pucat pasih, tangannya gemetar. Dia baru menyadari kartu hitam yang kini berada dalam genggamannya, bukanlah kartu hitam biasa. Melainkan kartu hitam ekslusif. Kartu yang hanya dimiliki oleh orang konglomerat golongan kelas satu. Meskipun begitu, tak semua konglomerat golongan kelas satu mampu memiliki kartu seperti itu. Wanita itu sangat mengenal jenis kartu itu, karena jenis kartu seperti itulah dia harus kehilangan jabatannya yang merupakan direktur keuangan di salah satu bank terkemuka di Indonesia. Hanya segelintir orang tertentu saja yang pernah melihat jenis kartu hitam itu, termasuk dirinya. Walaupun karena kartu itu jugalah dia harus berakhir di bagian kasir rumah sakit. Dia tahu persis satu keluhan yang dilontarkan oleh seseorang yang
"Maaf, Pak. Bukannya tidak sopan, sepertinya ada kesalahan di sini. Keluargaku sama sekali tak meminta dokter Albert untuk diganti," ujar pria tua itu kebingungan. Mendengar kalimat yang keluar dari mulut kakek Fania yang bernama Arzenio, membuat keluarga Mauren dapat bernafas lega. Mereka yakin enam dokter itu mengunjungi pasien yang salah. Direktur rumah sakit menyipitkan mata, bingung dengan situasi yang ada. “Sebagai keluarga pasien, kami paham betul situasi ini. Dokter-dokter ini masih asing dengan rumah sakit ini, jadi wajar kalau mereka mengunjungi pasien yang salah,” ujar Vicenzo tersenyum. Direktur rumah sakit itu menatap Vicenzo, kemudian pandangannya beralih pada Fania yang terbaring lemah. Apa mungkin bukan itu pasiennya? Untuk meyakinkan dirinya, direktur itu memilih melangkah masuk dan mendekati Fania yang sedang terbaring di ranjang. Ketika menatap sosok yang terbaring lemah, membuat direktur itu tertegun. Dia dapat melihat jelas mata gadis itu berkaca-kaca
Ridel terkejut, ketika melihat keluarga Mauren bukannya menuju tempat parkir, tapi sebaliknya. Mereka menuju sebuah gedung yang terletak disisi kiri rumah sakit. Gedung yang terpisah dari badan rumah sakit impian. Gedung yang dulunya berisikan pasien yang mengalami gejala covid-19. Namun, semenjak covid-19 bisa teratasi, pihak rumah sakit mensterilkan gedung itu kemudian menutupnya. Keterkejutan Ridel bertambah, ketika dari arah berlawanan dokter Albert yang selama ini menangani penyakit Fania juga menuju tempat yang sama. Dokter Albert menatap sekelilingnya, sebelum melangkah memasuki gedung dimana keluarga Mauren berada. Rasa penasaran, membuat Ridel nekat melangkahkan kakinya mendekati gedung itu untuk mengintip. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Sial! Kenapa masalah menjadi serumit ini? Kalau saja nyawa wanita penyakitan itu tidak berharga ... aku pasti sudah menjadi diriku sendiri. Aku tak perlu berpura-pura baik dan perhatian. Itu benar-benar menyebalkan da
“Terima kasih atas niat baikmu. Tapi maaf, aku tak bisa menerima kartu ini,” ujar Ridel yang kemudian meraih pergelangan tangan Fania dan mengembalikan kartu hitam itu kepada pemiliknya. “Kau menolaknya?” “Kalau uang itu kau berikan padaku, terus bagaimana kau akan memulai bisnis barumu kelak?” Fania diam membisu. Dia masih ingat jelas, bagaimana perasaannya hancur ketika dokter memvonisnya menderita penyakit langka. Penyakit mematikan yang langsung membunuh mimpinya terlebih dahulu. Sejak saat itu hidup Fania berubah drastis. Jangankan bermimpi untuk membangun bisnis sendiri, bahkan harapan hidup Fania pun hilang bersama waktu. Dia tak lagi berharap untuk sembuh. Sebaliknya, dia justru ingin sang pencipta segera menjemputnya agar penderitaannya segera berakhir. Meskipun demikian, tak pernah terlintas dibenaknya untuk menyalahkan sang ibu yang telah mewariskan penyakit itu padanya. Karena dia baru menyadari, betapa menderita ibunya saat itu. Namun begitu, ibunya selalu m
*** Setelah kedatangan enam dokter spesialis itu, secara rutin keluarga Mauren terus mengunjungi, bahkan mempertanyakan perkembangan kesehatan Fania. Mendapatkan perhatian seperti itu, tentu saja membuat Fania bahagia. Dia sama sekali tak menyangka akan selalu melihat keluarganya sendiri. Namun, Ridel tahu, sebetulnya keluarga Mauren lengkap berada di sana untuk memastikan kalau gadis itu hanya akan melewati usia dua puluh lima tahun. "Kondisi Fania sudah jauh lebih baik, bahkan dia siap untuk di operasi. Kami membutuhkan tanda tangan persetujuan operasi," jelas penanggung jawab tim spesialis dari negeri seberang. "Saya akan menandatangani berkas itu, dokter," jawab Arzenio penuh semangat. "Maaf, Tuan. Anda tak bisa menandatangani berkas persetujuan operasi," jawab dokter itu tersenyum. "Apa katamu? Aku ini kakeknya, kakek yang selama ini merawatnya! Kenapa aku tak bisa menandatanganinya?" protes Arzenio kesal. "Aku tahu ini tidak adil untuk Anda, tapi ini adalah perat
“Hapus video itu sekarang juga, Brengsek!” teriak Arzenio murka. Dia bahkan lupa sedang berada di dalam ruang perawatan Fania. “Maafkan aku, Kek. Aku hanya tidak ingin salah mengambil Keputusan. Lagipula aku bukannya tidak mau menandatangani berkas itu selamanya. Aku hanya butuh waktu untuk mempertimbangkannya, Kek. Itu saja. Aku harap kakek bisa memahaminya,” jelas Ridel tetap sabar. Dia tahu bagi Fania, kakeknya sangat berarti. “Jangan pernah bermimpi menjadi menantu keluarga Mauren yang sesungguhnya, Ridel! Orang miskin sepertimu, sama sekali tak pantas untuk menjadi pendamping putriku. Bagi kami, kau tak lebih dari sampah jalanan. Sampah yang kapan saja bisa kami buang, jika sudah tidak diperlukan lagi!” cetus Vicenzo emosi. “Apa kau sengaja memperlambat proses kesembuhan kakakku? Apa kau mau menjadi benalu bagi kehidupan kakak? Lebih baik buang mimpimu itu! Setelah kakak sembuh, kau harus kembali ke tempat asalmu,” ujar Nadia sepedas cabe. Ridel diam membisu, dia membiark
*** Sementara itu disebuah pabrik yang telah lama ditutup, tampak dua orang sedang bersitegang. Mereka beraduh pendapat. “Apa kau pikir penyakit langka itu sama seperti memecahkan soal matematika tersulit, ha? Hingga kau bisa dengan mudah menemukan jawabannya?Tidak, Ridel!” ketus Alex kesal ketika mendengar kecurigaan Ridel tentang penyakit Fania. “Aku tidak bohong, Brengsek! Sakit Fania itu pasti mudah disembuhkan, tapi karena satu dan lain hal sampai kondisinya terus memburuk!” ujar Ridel tak kalah kesal, karena sahabatnya sendiri tak mempercayainya. “Kalau memang kondisi istrimu, seperti yang kau katakan. Terus kenapa sampai sekarang dia masih terbaring di rumah sakit? Kalau dokter Albert, aku sama sekali tidak percaya. Tapi bagaimana dengan dokter yang dikirim dari negeri seberang? Bagi direktur rumah sakit FO mengkhianatimu, itu sama saja bunuh diri, Brengsek!” Ridel diam membisu, dia bingung harus mengatakan apa. Karena mengatakan yang sejujurnya itu mustahil. Apalagi ko