Bukannya melepaskan Ridel, satpam itu justru menertawakan lelaki yang baru saja datang.
"Apa? Kau memanggil pria ini tuan muda? Hahaha!" ujar Satpam menatap rekan kerjanya sambil tertawa. Detik berikut wajahnya berpaling menatap lelaki asing itu, "Bangun woy ... ini bukan negeri dongeng yang akan mengubah seorang lelaki miskin sepertinya, menjadi tuan muda dalam hitungan detik!" sambung satpam itu dan langsung mendorong Ridel ke trotoar jalan. “Pergi kalian dari sini!” Lelaki misterius itu menatap kedua satpam itu dengan penuh amarah, “Berlututlah dan minta maaf kepada Tuan Muda kami sekarang juga! Kalau tidak ... aku akan membuat kalian kehilangan pekerjaan hanya dalam hitungan detik! Paham?”. Jangankan berlutut, meminta maaf pun tak dilakukan kedua satpam itu. Justru sebaliknya, mereka tambah meremehkan. “Oh ... aku takut, Tuan Muda. Hamba mohon, maafkan sikap lancang hamba.” Gelak tawa keduanya semakin jelas terdengar. Lelaki misterius yang kesal langsung merogoh ponsel dari saku jasnya dan menelepon. “Jika dalam lima belas detik kau tak memecat kedua satpam sombong yang bertugas, aku sendiri yang akan memecatmu! Paham?!” “Hahaha! Kau pikir ini acara TV yang tiba-tiba datang orang kaya itu?! Lalu, kami akan langsung berlutut dan memohon ampun pada pemuda ini, begitu?” Kedua satpam itu terbahak-bahak menatap pria misterius yang baru saja memberontak itu. Kedua satpam sama sekali tidak menyadari, kalau mereka sedang berurusan dengan orang yang salah. Tiba-tiba, seorang perempuan paruh baya datang dan keluar dari toko itu dengan wajah pucat. “Tu…tuan Augusto. M-maafkan saya tidak langsung turun untuk menemui anda…” Perempuan yang ternyata adalah manajer butik tersebut seketika menunduk ke arah Augusto. Seketika, kedua satpam itu pun panik bukan kepalang! “I-ibu manajer! Kenapa anda berlutut seperti itu?!” “Betul Bu, mereka hanya bersandiwara agar bisa bebas dari kami!” Tiba-tiba, manajer butik tersebut menatap kedua satpam tersebut dengan tajam, wajahnya memerah karena menahan malu dan amarah! “Kalian bodoh! Apa kalian tidak tahu siapa pria ini!? Dia adalah perwakilan keluaga Liu! Dan butik ini milik keluarga itu!” Kedua satpam itu langsung mematung! Setelah melihat Augusto, mereka langsung menatap Ridel sambil berkeringat! Perwakilan keluarga Liu, keluarga yang terkenal begitu kaya raya itu, memanggil gembel ini tuan muda?! Berarti pria ini…. Seketika, wajah keduanya menjadi pucat pasi! “Tuan Muda, maafkan ketidaktahuan kami!” Iya Tuan, kami tidak tahu kalau tuan muda Liu memakai pakaian yang begitu sederhana ini! Keduanya langsung bersujud di kaki Ridel. Ridel hanya menatap mereka dingin. Ia memang begitu kesal dengan perlakuan kedua satpam ini. Namun, Ridel yang tahu bagaimana kerasnya kehidupan orang kelas bawah, meminta pria itu untuk membatalkan pemecatan keduanya. Walaupun masih kesal dengan perlakuan kedua satpam itu, tapi tak ada yang dapat dilakukan pria itu selain menjalankan perintah tuan mudanya. Augusto memberi sinyal pada manajer butik itu untuk tetap mempekerjakan kedua satpam itu, yang dibalas dengan anggukan dan raut kelegaan dari kedua satpam itu “Tuan muda, terima kasih!” Kedua satpam itu kembali bersujud di hadapan Ridel, yang segera menarik pundak mereka untuk berdiri. “Jaga sikap kalian, semiskin apapun seseorang tapi mereka juga punya hati yang harus di jaga!” ujar Ridel meninggalkan kedua satpam itu diikuti oleh pria misterius itu. Selang beberapa detik, tiga mobil mewah terparkir di hadapan mereka dengan rapi. Dua orang berbaju hitam dan mewah langsung membukakan pintu untuk Augusto dan Ridel, diikuti tatapan kebingungan dan jepretan-jepretan orang-orang yang tak sengaja melihat adegan itu. Tiga mobil mewah melaju meninggalkan tempat itu, membawa Ridel di mobil kedua. Mobil yang berada di tengah. “Turunkan aku di sini!” tegas Ridel. “Harus sampai kapan Tuan Muda berkelana? Ini sudah tahun ke tujuh Tuan tidak pulang. Itu artinya sudah tujuh tahun Tuan Muda tak pernah pulang.” Augusto menatap Ridel dengan wajah memelas. Tugasnya jelas, membawa Ridel untuk kembali pulang ke keluarga besar Liu! “Kembalilah, Tuan Muda. Tuan dan Nyonya Besar sudah tidak mempermasalahkan uang yang telah Tuan Muda pakai tujuh tahun yang lalu. Mereka juga janji tidak akan pernah bertanya Tuan Muda memakai uang itu untuk apa. Mereka hanya ingin Tuan Muda kembali ke rumah.” “Bukankah bagi mereka uang adalah segalanya? Mereka bahkan tak segan mengusirku dari rumah hanya karena aku memakai uang itu? Aku tahu nominal uang yang kupakai tidak sedikit, tapi apa pernah sekali saja ayah mendengar untuk apa uang itu aku gunakan? Bukankah tidak? Padahal uang segitu bagi keluarga Liu bukanlah apa-apa!” cetus Ridel kecewa. Tujuh tahun telah berlalu, tapi luka Ridel tak juga sembuh seiring berjalannya waktu. Kekecewaanya kepada sang ayah masih juga tak berubah. “Turunkan aku sekarang juga!” Ridel mengulangi perintahnya dengan tegas. Augusto tak bisa menolak perintah tuan mudanya. Lalu, ia hanya menganggukkan kepalanya kearah kaca spion mobil, sebagai kode agar sopir menghentikan mobilnya. Namun, sebelum turun dari mobil, Augusto memasukkan nomornya ke ponsel Ridel. “Panggilan darurat itu adalah nomor teleponku, Tuan Muda.” Ridel tak menjawab, dia langsung turun dan meninggalkan mobil. Pria itu hanya dapat menatap punggung Ridel sampai menghilang dari padangan matanya. Ini bukan pertama kalinya dia menerima penolakan dari Ridel. Ridel memilih berjalan kaki untuk sampai ke rumah kontrakan. Kekecewaannya hari itu membuatnya tak merasakan letih. Dia terus melangkah, sampai tak terasa kini dia telah berada dirumah kontrakan yang kecil dengan ukuran tiga kali empat meter. Ingatan Ridel kembali ke tujuh tahun yang lalu, ketika dia memilih berinvestasi ke perusahaan yang bergerak dalam bidang pengembangan dan teknologi. Bagaimana kondisi perusahaan itu sekarang? Lamunan Ridel buyar, ketika ponselnya berbunyi. Ada pesan aplikasi hijau yang masuk. Pesan dari sahabatnya. [Kalau aku tidak salah hari Senin depan kau libur, kan? Bagaimana kalau kau ikut bekerja paruh waktu bersamaku. Hitung-hitung uang tambahan, apalagi bonus kali ini lumayan. Kita dibayar dua kali lipat dari biasanya, hanya untuk menjadi waitress.] Seperti biasa Ridel akan bertanya siapa yang menggelar acara. Begitu mendengar itu acara keluarga konglomerat golongan kelas dua, Ridel langsung menerimanya. Tanpa bertanya acara apa. Baginya membuat dirinya sibuk akan membantu untuk menghilangkan ingatannya pada perlakuan sang ayah tujuh tahun lalu dan pengkhianatan orang yang dicintainya. *** Tiga hari kemudian. Jam sudah menunjukkan pukul 13.00 WITA. Semua pekerja sudah berkumpul. Lengkap dengan seragam, termasuk Ridel. "Acara apa sih, Nat?" bisik Ridel. "Mungkin syukuran kelulusan, mungkin juga pesta ulang tahun, atau mungkin pernikahan. Kau tahu sendiri kan kehidupan orang kaya? Apa-apa pesta," jawab Nathan. Mata Ridel membulat sempurna, "Kau terima tawaran dan mengajakku, tapi kau sendiri tak tahu acara apa?" Nathan tersenyum ketika sahabatnya mengumpat, "Iya, iya. Ini resepsi pernikahan." Ridel menghentikan kegiatannya, kemudian meninggalkan Nathan dan melangkah menuju lift menuju lantai lima. Tak butuh waktu lama, pintu ruangan terbuka. Sesosok lelaki yang menggenakan seragam waitress berdiri diambang pintu. Mata Ridel agak memicing, ketika melihat Fernando dan Nadin berada di dalam ruangan itu. Ya! Sebelumnya ada seseorang yang menemui dan memintanya untuk mengambil sesuatu di ruangan itu. Kini dia sadar semua telah direncanakan. Dia masuk jebakan Fernando. “Kita bertemu lagi, Sampah! Hahaha!”Tiba-tiba tamu undangan saling berbisik, pandangan mata mereka tertuju pada proyektor. Ridel terkejut ketika melihat rekaman video yang terlihat pada layar LCD. Dia tak menyangka Fernando akan Mereka ulang adegan yang terjadi didepan toko, saat dia melamar dan ditolak oleh Nadia. Walaupun Ridel tahu itu bukanlah dirinya, tapi dia hanya bisa bungkam karena memanggil kedua satpam untuk menjadi saksi, itu sama saja membongkar identitasnya. Apalagi dalam rekaman itu ditambah video editan ketika seorang lelaki berusaha memaksa Nadia untuk kabur, yang jelas-jelas memperlihatkan wajahnya pada bagian akhir. Saat dia meninggalkan kamar hotel di mana Nadia dan Fernando berada. Itu cukup membuat tamu undangan yakin kalau pria dalam video itu adalah dirinya. Kini semua mata tertuju padanya. Fernando turun dari puade pernikahan, melangkah mendekati Ridel yang diam membisu. Nadia mengekor dibelakangnya. Plak! Tangan Ridel diam-diam membentuk kepalan, berusaha keras menyembunyikan
Pria tua itu berlutut di kaki Ridel. “Aku mohon menikahlah dengan cucuku. Kau adalah harapan terakhirku. Aku sudah tak punya waktu lagi.” Mata Ridel membulat sempurna mendengar permintaan tak masuk akal dari pria tua itu. Namun, tak mau membuat pria tua itu kecewa. Ridel memilih menjelaskannya secara baik-baik. Dia menggenggam pundak pria tua itu dan berkata dengan lembut, “Kek, pernikahan itu bukanlah sesuatu yang dapat diputuskan secara sepihak. Tapi butuh persetujuan dua orang yang saling mencintai. Sebuah pernikahan akan gagal, kalau tak ada cinta diantara pasangannya.” Ridel terkejut ketika melihat air bening berhasil lolos dari pelupuk mata pria tua itu. “Yang dibutuhkan cucuku sekarang, bukanlah cinta, tapi seseorang yang mau menikahinya. Aku hanya membutuhkan cucuku menyetujui operasi itu. Itu saja.” “Apa?” Pria tua itu tiba-tiba mengeluarkan uang dari saku kemejanya dan membuka jam tangan miliknya, kemudian memberikannya kepada Ridel. “Untuk sekarang aku hanya memiliki
Ridel menatap gadis itu dalam diam, dia ragu memberikan jawaban. Namun, mengingat bagaimana pengorbanan pria tua yang bahkan mengesampingkan kesehatannya, demi memenuhi syarat persetujuan operasi dari sang gadis. Membuat Ridel berpikir ribuan kali untuk menolaknya “Aku bersedia menikahimu, Nona.” Mata gadis itu memicing, bingung dengan pola pikir Ridel. Tapi janji tetaplah janji, dia juga tak ada alasan untuk menolak pernikahan itu apabila Ridel sendiri yakin dengan keputusannya. Setelah mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak, pria tua itu langsung menelepon seseorang. Tak butuh waktu lama, dua orang pria muncul didepan mereka dan mengaku sebagai petugas pencatatan sipil. Selang beberapa detik seorang wanita muncul dan mengaku sebagai pendeta yang akan meneguhkan pernikahan calon pengantin. Didepan para dokter yang menjadi saksi, petugas capil itu menyodorkan berkas untuk di tandatangani Ridel. Fania Sthephani Mauren? Ridel terkejut, ketika membaca marga Mauren yang
Lima belas menit menunggu, tiba-tiba sebuah mobil hitam parkir tepat didepannya. Meskipun dongkol dengan sikap sopir yang membawa mobil secara ugal-ugalan, tapi Ridel memilih diam membisu. Matanya membulat sempurna, ketika kaca mobil turun secara berlahan, hingga memperlihatkan sosok yang berada dibalik kemudi. Ridel terkejut. Dia sama sekali tak menyangka kalau orang yang ditugaskan menemuinya adalah sahabatnya sendiri, Alex Smith. Sudah hampir setahun Alex Smith menerornya agar mau kembali ke rumah, tapi tak diindahkan olehnya. “Masuk ke mobil!” tegas Alex terlihat kesal. Tak mau menarik perhatian banyak orang, Ridel memilih masuk dan menaikkan kaca mobil. Dia membalas tatapan Alex dengan tajam, “Kenapa dari semua orang kepercayaan ayahku, harus kau yang datang? Kenapa kau tak kembali ke perusahaanmu, ha?” “Kau masih tanya kenapa aku tak kembali ke perusahaanku sendiri? Yang benar saja! Kalau bukan gara-gara anak pembangkang sepertimu, aku mungkin sedang bersantai s
Wanita itu menatap Ridel, ekspresi kesalnya tak dapat ia sembunyikan, ketika menerima kartu hitam yang disodorkan Ridel padanya. Namun, ketika kartu itu digesek ekspresi wajah wanita itu langsung berubah drastis. Wajahnya menjadi pucat pasih, tangannya gemetar. Dia baru menyadari kartu hitam yang kini berada dalam genggamannya, bukanlah kartu hitam biasa. Melainkan kartu hitam ekslusif. Kartu yang hanya dimiliki oleh orang konglomerat golongan kelas satu. Meskipun begitu, tak semua konglomerat golongan kelas satu mampu memiliki kartu seperti itu. Wanita itu sangat mengenal jenis kartu itu, karena jenis kartu seperti itulah dia harus kehilangan jabatannya yang merupakan direktur keuangan di salah satu bank terkemuka di Indonesia. Hanya segelintir orang tertentu saja yang pernah melihat jenis kartu hitam itu, termasuk dirinya. Walaupun karena kartu itu jugalah dia harus berakhir di bagian kasir rumah sakit. Dia tahu persis satu keluhan yang dilontarkan oleh seseorang yang
"Maaf, Pak. Bukannya tidak sopan, sepertinya ada kesalahan di sini. Keluargaku sama sekali tak meminta dokter Albert untuk diganti," ujar pria tua itu kebingungan. Mendengar kalimat yang keluar dari mulut kakek Fania yang bernama Arzenio, membuat keluarga Mauren dapat bernafas lega. Mereka yakin enam dokter itu mengunjungi pasien yang salah. Direktur rumah sakit menyipitkan mata, bingung dengan situasi yang ada. “Sebagai keluarga pasien, kami paham betul situasi ini. Dokter-dokter ini masih asing dengan rumah sakit ini, jadi wajar kalau mereka mengunjungi pasien yang salah,” ujar Vicenzo tersenyum. Direktur rumah sakit itu menatap Vicenzo, kemudian pandangannya beralih pada Fania yang terbaring lemah. Apa mungkin bukan itu pasiennya? Untuk meyakinkan dirinya, direktur itu memilih melangkah masuk dan mendekati Fania yang sedang terbaring di ranjang. Ketika menatap sosok yang terbaring lemah, membuat direktur itu tertegun. Dia dapat melihat jelas mata gadis itu berkaca-kaca
Ridel terkejut, ketika melihat keluarga Mauren bukannya menuju tempat parkir, tapi sebaliknya. Mereka menuju sebuah gedung yang terletak disisi kiri rumah sakit. Gedung yang terpisah dari badan rumah sakit impian. Gedung yang dulunya berisikan pasien yang mengalami gejala covid-19. Namun, semenjak covid-19 bisa teratasi, pihak rumah sakit mensterilkan gedung itu kemudian menutupnya. Keterkejutan Ridel bertambah, ketika dari arah berlawanan dokter Albert yang selama ini menangani penyakit Fania juga menuju tempat yang sama. Dokter Albert menatap sekelilingnya, sebelum melangkah memasuki gedung dimana keluarga Mauren berada. Rasa penasaran, membuat Ridel nekat melangkahkan kakinya mendekati gedung itu untuk mengintip. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Sial! Kenapa masalah menjadi serumit ini? Kalau saja nyawa wanita penyakitan itu tidak berharga ... aku pasti sudah menjadi diriku sendiri. Aku tak perlu berpura-pura baik dan perhatian. Itu benar-benar menyebalkan da
“Terima kasih atas niat baikmu. Tapi maaf, aku tak bisa menerima kartu ini,” ujar Ridel yang kemudian meraih pergelangan tangan Fania dan mengembalikan kartu hitam itu kepada pemiliknya. “Kau menolaknya?” “Kalau uang itu kau berikan padaku, terus bagaimana kau akan memulai bisnis barumu kelak?” Fania diam membisu. Dia masih ingat jelas, bagaimana perasaannya hancur ketika dokter memvonisnya menderita penyakit langka. Penyakit mematikan yang langsung membunuh mimpinya terlebih dahulu. Sejak saat itu hidup Fania berubah drastis. Jangankan bermimpi untuk membangun bisnis sendiri, bahkan harapan hidup Fania pun hilang bersama waktu. Dia tak lagi berharap untuk sembuh. Sebaliknya, dia justru ingin sang pencipta segera menjemputnya agar penderitaannya segera berakhir. Meskipun demikian, tak pernah terlintas dibenaknya untuk menyalahkan sang ibu yang telah mewariskan penyakit itu padanya. Karena dia baru menyadari, betapa menderita ibunya saat itu. Namun begitu, ibunya selalu m
___ "Tidak! Pasti buka, Ridel," teriak Fania tersadar dari pingsannya. "Apakah anda baik-baik saja? Tadi anda pingsan di bandara. Jadi kami melarikan mu ke rumah sakit." "Saya tidak butuh ke rumah sakit. Turunkan aku di sini saja, aku mau menemui Ridel!" tegas Fania dengan pikiran kacau. "Kalau yang kau maksud itu Ridel Liu seorang pengusaha muda. Maka kau tidak perlu turun, karena ambulance ini kebetulan akan menuju ke rumah sakit di mana Ridel berada." "Berita yang sedang beredar itu bohong, kan? Ridel tidak mungkin meninggal, kan?" teriak Fania histeris. Bukannya memberi jawaban, mereka justru diam membisu. Begitu tiba di rumah sakit, Fania langsung saja turun dan berlari menuju di mana ruangan Ridel berada. "Berita yang beredar luas itu bohong, kan, Alex?! Ridel tidak mungkin meninggal, kan? Jawab!" teriak Fania mengguncang pundak Alex ketika dia melihat Alex. Airmata terus saja mengalir membasahi wajah cantiknya. Tangisan Fania meledak, ketika dua perawat mendor
*** Raya mundur selangkah demi selangkah, kakinya terasa lemas. Tubuh yang lemah itu jatuh hampir menyentuh lantai kalau saja terlambat ditangkap oleh sang suami yang baru saja selesai mengangkat telepon dari anak keduanya. "Putra kita tidak mungkin meninggal kan, yah? Aku pasti sedang bermimpi! Bangunkan aku. Aku ingin melihat putraku," bisik Raya lemah.Dia membenamkan wajahnya di dada bidang sang suami. Pakaian yang dikenakan Liu basah oleh airmata sang istri. Sejenak Bernad Liu diam membisu, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut si istri, sampai akhirnya dia memilih bertanya, "Dokter, apa yang dikatakan istriku benar? Apa Anda tidak salah memberi informasi?" airmata mengalir dari kelopak mata Liu. Hatinya terluka, luka yang tidak bisa diobati dengan cara apapun. Dokter menatap pasangan suami istri itu, bingung. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa pasangan suami istri ini justru menangis? Apa aku mengatakan sesuatu yang menyinggung perasaan mereka? Tapi apa?! Buk
Tidak ingin mengambil resiko, dokter langsung saja menelepon Direktur dan memintanya datang ke ruangan Ridel segera. Tanpa memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Direktur mengirim pesan kepada sang dokter yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri. Dokter terbaik yang sengaja didatangkan dari negeri seberang untuk menangani Ridel. [Setelah penandatanganan kontrak ini, aku langsung ke sana. Aku sudah menyuruh asistenku menemui kamu lebih dulu. Maaf atas ketidak-nyamanannya. Aku harap kamu maklum, keluarga Liu masih shock akan kejadian yang menimpah putra tunggal mereka.] Ya! Yang ada dipikiran Direktur rumah sakit hanya satu, pasti keluarga Liu tidak mengisinkan sahabatnya masuk. Direktur merasa itu wajar karena sahabatnya itu sama sekali tidak memiliki garis wajah orang Indonesia atau negara lainnya di Asia, karena dia murni keturunan barat. Setelah penandatanganan selesai, Direktur langsung melangkahkan kakinya menuju ruang perawatan Ridel. ‘Astaga! Apa sebenarnya yang ada dibe
*** Akhirnya Fania dapat bernafas lega ketika pesawat mendarat dengan selamat di negera kebanggaannya, Indonesia. Bagaimana caraku masuk ke dalam rumah sakit? Pasti penjagaan di dalam sangat ketat, apalagi ini berkaitan dengan percobaan pembunuhan! Bagaimana kalau kepulangan ku kali ini justru membuat kondisi Ridel semakin memburuk? Bukankah Ridel sangat membenciku? Bagaimana juga kondisi si kembar? Kenapa aku harus jatuh cinta pada pria yang tidak bisa mencintaiku? Kalau dia menyayangi si kembar itu wajar, walau bagaimanapun dalam darah si kembar mengalir darahnya! Pertanyaan, keraguan, ketakutan, menjadi satu dalam benak Fania. Namun kerinduan mengalahkan semuanya. Ya! Lama berada di negeri seberang membuat Fania merindukan si kembar dan Ridel. Apalagi kejadian di malam panas itu membuat Fania sadar kalau tidak ada satu orangpun yang mampu menggantikan Ridel dihatinya. Dengan tekad yang bulat, Fania menyusun rencana sebaik mungkin. Karena hanya dengan rencana yang matang maka d
***"Kamu," menunjuk salah satu perawat. "Ambil obat yang tertulis diresep ini sekarang juga!" Dokter itu memberikannya kertas yang bertuliskan resep obat. Jelas sekali ketegangan dari pancaran mata dokter itu.Ketakutan Bernad Liu dan Raya semakin bertambah ketika melihat satu demi satu dokter berlarian memasuki ruang perawatan Ridel. Apalagi ketika ada alat-alat lain yang juga didorong memasuki ruangan.Melihat hal itu membuat Raya ketakutan dan berbisik lemah di telinga sang suami, "Putra kita akan baik-baik saja, kan?" airmata kembali lolos dari pelupuk mata wanita yang berstatus ibu dari pasien yang tengah berjuang diujung kematiannya.Setelah menunggu lama akhirnya seorang dokter membuka pintu.Suami istri itu langsung berlari kearah dokter dengan airmata yang tidak terbendung. "Bagaimana keadaan anak kami, dokter? Dia baik-baik saja kan!"Dokter itu menatap pasangan suami-istri itu, kemudian menarik nafas panjang."Dokter, bagaimana putra saya?" Raya kembali bertanya ketakutan.
“Tidak! Tidak mungkin!” Alvaro menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Kau berbohong kan, Nak? Bukankah waktu itu kau sendiri yang mengatakan pada ayah tiga tahu lalu? Bukan itu saja, bahkan bajingan ini bersedia berlutut dan memohon ampun pada ayah,” ketus Alvaro tidak percaya. “Pelakunya adalah bos di mana ayah bekerja. Pria bejat itu tahu persis, malam itu ayah tidak bisa membawa laporan secara langsung padanya. Karena kondisi ibu yang menurun drastis. Bukan hanya memperkosaku saja, tapi pria itu juga mau melemparkan aku ke bawah jembatan yang ber-air deras agar aku meninggal. Hanya dengan cara itu, dia bisa tenang menjalani hidupnya,” ujar Nanda lemas, hatinya terasa hancur.Ya! Hati Nanda hancur, ketika mengingat kejadian tragis yang menimpahnya tiga tahun lalu. Dia bahkan harus rela membatalkan pernikahan secara sepihak, tanpa alasan apapun. Sekarang hati Nanda tambah hancur, ketika menemukan sang ayah justru membuat Ridel harus terbaring koma dengan kemungkinan hidup yang sangat
"Sudah aku katakan, bukan aku pelakunya! Anda bertugas sebagai polisi, tapi inikah cara kalian meng-interogasi masyarakat kelas bawah? Lepaskan aku, Brengsek! Negara membayar kalian bukan untuk membeda-bedakan masyarakat!" umpat Alvaro semakin emosi. "Kami akui, kamu sangat pintar dan teliti sehingga mampu membuat polisi sama sekali tidak menemukan bukti apapun! Mungkin kalau tragedi ini menimpa orang lain, sudah pasti kamu akan hidup tenang sampai akhir hayatmu. Hanya saja kali ini yang Anda hadapi adalah keluarga Liu. Walaupun mustahil untuk menemukan siapa penyetok racun mematikan itu, tapi bukankah 0,01% juga merupakan suatu harapan? Hal itulah yang kami alami. Anak buah Bernad Liu berhasil menangkap penyetok racun itu dan dia sudah mengakui semuanya. Racun itu diracik khusus atas permintaan Anda." Ya, saat anak buah Adrian menjemput Alvaro di rumahnya, anak buah Bernad Liu menemukan peracik racun mematikan itu. Setelah bukti didapat mereka langsung menyeret pria paruh bayah
*** Siang berganti malam, malam berganti siang, jam terus saja berdetak, pertanda hari terus berganti. Namun tidak demikian dengan Ridel, pria itu tetap saja terbaring dalam kondisi koma, oksigen menjadi bagian dari tubuh Ridel, detak jantung Ridel sesekali berhenti sehingga membuat dokter menyediakan alat kejut jantung diruang perawatan Ridel. Bernad Liu dan sang istri membagi tugas. Kalau Bernad Liu berada di rumah sakit untuk mengawasi setiap perkembangan sang putra, berbeda dengan sang istri. Raya justru di rumah mendampingi si kembar. Meskipun Raya ingin menemani sang putra, tapi dia juga tak mau egois, si kembar membutuhkannya. Jadi Raya dan putrinya secara bergiliran menjaga si kembar dan mengunjungi Ridel di rumah sakit. Penjagaan pada anggota keluarga Liu di perketat. Sedangkan Perusahaan RnB untuk sementara waktu dikendalikan oleh Alex Smith. Meskipun tidak sadarkan diri, tapi setiap hari Alex mampir walau hanya sekedar mengomel agar Ridel segera bangun. Dia yakin m
---“Haha … itu bukan anakku, Brengsek! Kau ingin aku membunuhmu? Begitu? Kau benar-benar gila, mendoakan putraku bernasib naas seperti itu! Sekali lagi aku mendengar kau mengatakan hal tragis seperti itu tentang putraku, akan ku habisi nyawanmu dengan tanganku sendiri!” ketus istri Bernad Liu tertawa, sekaligus emosi. Dia pikir apa yang didengarnya hanya suatu candaan semata dan baginya itu sudah melewati batas.Dokter yang diutus untuk pemberitahuan resmi itu kebingungan dan berguman dalam hati, 'Bagaimana ini? Ibu Raya sama sekali tidak percaya!'Setelah mempertimbangkan akibatnya maka dokter itu memilih jalan aman, "Aku juga tidak terlalu yakin, tapi sebaiknya ibu Raya memastikan sendiri yang sedang terbaring itu Ridel atau bukan, bagaimana? Aku seorang dokter, ini Id.card dan KTP aku sebagai bukti kalau aku orang baik dan bukan berniat jahat kepada ibu."Setelah melihat identitas sang dokter, akhirnya Raya memilih mengukuti dokter dengan perasaan tak menentu. Tidak! Itu pasti buk