Bukannya melepaskan Ridel, satpam itu justru menertawakan lelaki yang baru saja datang.
"Apa? Kau memanggil pria ini tuan muda? Hahaha!" ujar Satpam menatap rekan kerjanya sambil tertawa. Detik berikut wajahnya berpaling menatap lelaki asing itu, "Bangun woy ... ini bukan negeri dongeng yang akan mengubah seorang lelaki miskin sepertinya, menjadi tuan muda dalam hitungan detik!" sambung satpam itu dan langsung mendorong Ridel ke trotoar jalan. “Pergi kalian dari sini!” Lelaki misterius itu menatap kedua satpam itu dengan penuh amarah, “Berlututlah dan minta maaf kepada Tuan Muda kami sekarang juga! Kalau tidak ... aku akan membuat kalian kehilangan pekerjaan hanya dalam hitungan detik! Paham?”. Jangankan berlutut, meminta maaf pun tak dilakukan kedua satpam itu. Justru sebaliknya, mereka tambah meremehkan. “Oh ... aku takut, Tuan Muda. Hamba mohon, maafkan sikap lancang hamba.” Gelak tawa keduanya semakin jelas terdengar. Lelaki misterius yang kesal langsung merogoh ponsel dari saku jasnya dan menelepon. “Jika dalam lima belas detik kau tak memecat kedua satpam sombong yang bertugas, aku sendiri yang akan memecatmu! Paham?!” “Hahaha! Kau pikir ini acara TV yang tiba-tiba datang orang kaya itu?! Lalu, kami akan langsung berlutut dan memohon ampun pada pemuda ini, begitu?” Kedua satpam itu terbahak-bahak menatap pria misterius yang baru saja memberontak itu. Kedua satpam sama sekali tidak menyadari, kalau mereka sedang berurusan dengan orang yang salah. Tiba-tiba, seorang perempuan paruh baya datang dan keluar dari toko itu dengan wajah pucat. “Tu…tuan Augusto. M-maafkan saya tidak langsung turun untuk menemui anda…” Perempuan yang ternyata adalah manajer butik tersebut seketika menunduk ke arah Augusto. Seketika, kedua satpam itu pun panik bukan kepalang! “I-ibu manajer! Kenapa anda berlutut seperti itu?!” “Betul Bu, mereka hanya bersandiwara agar bisa bebas dari kami!” Tiba-tiba, manajer butik tersebut menatap kedua satpam tersebut dengan tajam, wajahnya memerah karena menahan malu dan amarah! “Kalian bodoh! Apa kalian tidak tahu siapa pria ini!? Dia adalah perwakilan keluaga Liu! Dan butik ini milik keluarga itu!” Kedua satpam itu langsung mematung! Setelah melihat Augusto, mereka langsung menatap Ridel sambil berkeringat! Perwakilan keluarga Liu, keluarga yang terkenal begitu kaya raya itu, memanggil gembel ini tuan muda?! Berarti pria ini…. Seketika, wajah keduanya menjadi pucat pasi! “Tuan Muda, maafkan ketidaktahuan kami!” Iya Tuan, kami tidak tahu kalau tuan muda Liu memakai pakaian yang begitu sederhana ini! Keduanya langsung bersujud di kaki Ridel. Ridel hanya menatap mereka dingin. Ia memang begitu kesal dengan perlakuan kedua satpam ini. Namun, Ridel yang tahu bagaimana kerasnya kehidupan orang kelas bawah, meminta pria itu untuk membatalkan pemecatan keduanya. Walaupun masih kesal dengan perlakuan kedua satpam itu, tapi tak ada yang dapat dilakukan pria itu selain menjalankan perintah tuan mudanya. Augusto memberi sinyal pada manajer butik itu untuk tetap mempekerjakan kedua satpam itu, yang dibalas dengan anggukan dan raut kelegaan dari kedua satpam itu “Tuan muda, terima kasih!” Kedua satpam itu kembali bersujud di hadapan Ridel, yang segera menarik pundak mereka untuk berdiri. “Jaga sikap kalian, semiskin apapun seseorang tapi mereka juga punya hati yang harus di jaga!” ujar Ridel meninggalkan kedua satpam itu diikuti oleh pria misterius itu. Selang beberapa detik, tiga mobil mewah terparkir di hadapan mereka dengan rapi. Dua orang berbaju hitam dan mewah langsung membukakan pintu untuk Augusto dan Ridel, diikuti tatapan kebingungan dan jepretan-jepretan orang-orang yang tak sengaja melihat adegan itu. Tiga mobil mewah melaju meninggalkan tempat itu, membawa Ridel di mobil kedua. Mobil yang berada di tengah. “Turunkan aku di sini!” tegas Ridel. “Harus sampai kapan Tuan Muda berkelana? Ini sudah tahun ke tujuh Tuan tidak pulang. Itu artinya sudah tujuh tahun Tuan Muda tak pernah pulang.” Augusto menatap Ridel dengan wajah memelas. Tugasnya jelas, membawa Ridel untuk kembali pulang ke keluarga besar Liu! “Kembalilah, Tuan Muda. Tuan dan Nyonya Besar sudah tidak mempermasalahkan uang yang telah Tuan Muda pakai tujuh tahun yang lalu. Mereka juga janji tidak akan pernah bertanya Tuan Muda memakai uang itu untuk apa. Mereka hanya ingin Tuan Muda kembali ke rumah.” “Bukankah bagi mereka uang adalah segalanya? Mereka bahkan tak segan mengusirku dari rumah hanya karena aku memakai uang itu? Aku tahu nominal uang yang kupakai tidak sedikit, tapi apa pernah sekali saja ayah mendengar untuk apa uang itu aku gunakan? Bukankah tidak? Padahal uang segitu bagi keluarga Liu bukanlah apa-apa!” cetus Ridel kecewa. Tujuh tahun telah berlalu, tapi luka Ridel tak juga sembuh seiring berjalannya waktu. Kekecewaanya kepada sang ayah masih juga tak berubah. “Turunkan aku sekarang juga!” Ridel mengulangi perintahnya dengan tegas. Augusto tak bisa menolak perintah tuan mudanya. Lalu, ia hanya menganggukkan kepalanya kearah kaca spion mobil, sebagai kode agar sopir menghentikan mobilnya. Namun, sebelum turun dari mobil, Augusto memasukkan nomornya ke ponsel Ridel. “Panggilan darurat itu adalah nomor teleponku, Tuan Muda.” Ridel tak menjawab, dia langsung turun dan meninggalkan mobil. Pria itu hanya dapat menatap punggung Ridel sampai menghilang dari padangan matanya. Ini bukan pertama kalinya dia menerima penolakan dari Ridel. Ridel memilih berjalan kaki untuk sampai ke rumah kontrakan. Kekecewaannya hari itu membuatnya tak merasakan letih. Dia terus melangkah, sampai tak terasa kini dia telah berada dirumah kontrakan yang kecil dengan ukuran tiga kali empat meter. Ingatan Ridel kembali ke tujuh tahun yang lalu, ketika dia memilih berinvestasi ke perusahaan yang bergerak dalam bidang pengembangan dan teknologi. Bagaimana kondisi perusahaan itu sekarang? Lamunan Ridel buyar, ketika ponselnya berbunyi. Ada pesan aplikasi hijau yang masuk. Pesan dari sahabatnya. [Kalau aku tidak salah hari Senin depan kau libur, kan? Bagaimana kalau kau ikut bekerja paruh waktu bersamaku. Hitung-hitung uang tambahan, apalagi bonus kali ini lumayan. Kita dibayar dua kali lipat dari biasanya, hanya untuk menjadi waitress.] Seperti biasa Ridel akan bertanya siapa yang menggelar acara. Begitu mendengar itu acara keluarga konglomerat golongan kelas dua, Ridel langsung menerimanya. Tanpa bertanya acara apa. Baginya membuat dirinya sibuk akan membantu untuk menghilangkan ingatannya pada perlakuan sang ayah tujuh tahun lalu dan pengkhianatan orang yang dicintainya. *** Tiga hari kemudian. Jam sudah menunjukkan pukul 13.00 WITA. Semua pekerja sudah berkumpul. Lengkap dengan seragam, termasuk Ridel. "Acara apa sih, Nat?" bisik Ridel. "Mungkin syukuran kelulusan, mungkin juga pesta ulang tahun, atau mungkin pernikahan. Kau tahu sendiri kan kehidupan orang kaya? Apa-apa pesta," jawab Nathan. Mata Ridel membulat sempurna, "Kau terima tawaran dan mengajakku, tapi kau sendiri tak tahu acara apa?" Nathan tersenyum ketika sahabatnya mengumpat, "Iya, iya. Ini resepsi pernikahan." Ridel menghentikan kegiatannya, kemudian meninggalkan Nathan dan melangkah menuju lift menuju lantai lima. Tak butuh waktu lama, pintu ruangan terbuka. Sesosok lelaki yang menggenakan seragam waitress berdiri diambang pintu. Mata Ridel agak memicing, ketika melihat Fernando dan Nadin berada di dalam ruangan itu. Ya! Sebelumnya ada seseorang yang menemui dan memintanya untuk mengambil sesuatu di ruangan itu. Kini dia sadar semua telah direncanakan. Dia masuk jebakan Fernando. “Kita bertemu lagi, Sampah! Hahaha!”Tiba-tiba tamu undangan saling berbisik, pandangan mata mereka tertuju pada proyektor. Ridel terkejut ketika melihat rekaman video yang terlihat pada layar LCD. Dia tak menyangka Fernando akan Mereka ulang adegan yang terjadi didepan toko, saat dia melamar dan ditolak oleh Nadia. Walaupun Ridel tahu itu bukanlah dirinya, tapi dia hanya bisa bungkam karena memanggil kedua satpam untuk menjadi saksi, itu sama saja membongkar identitasnya. Apalagi dalam rekaman itu ditambah video editan ketika seorang lelaki berusaha memaksa Nadia untuk kabur, yang jelas-jelas memperlihatkan wajahnya pada bagian akhir. Saat dia meninggalkan kamar hotel di mana Nadia dan Fernando berada. Itu cukup membuat tamu undangan yakin kalau pria dalam video itu adalah dirinya. Kini semua mata tertuju padanya. Fernando turun dari puade pernikahan, melangkah mendekati Ridel yang diam membisu. Nadia mengekor dibelakangnya. Plak! Tangan Ridel diam-diam membentuk kepalan, berusaha keras menyembunyikan
Pria tua itu berlutut di kaki Ridel. “Aku mohon menikahlah dengan cucuku. Kau adalah harapan terakhirku. Aku sudah tak punya waktu lagi.” Mata Ridel membulat sempurna mendengar permintaan tak masuk akal dari pria tua itu. Namun, tak mau membuat pria tua itu kecewa. Ridel memilih menjelaskannya secara baik-baik. Dia menggenggam pundak pria tua itu dan berkata dengan lembut, “Kek, pernikahan itu bukanlah sesuatu yang dapat diputuskan secara sepihak. Tapi butuh persetujuan dua orang yang saling mencintai. Sebuah pernikahan akan gagal, kalau tak ada cinta diantara pasangannya.” Ridel terkejut ketika melihat air bening berhasil lolos dari pelupuk mata pria tua itu. “Yang dibutuhkan cucuku sekarang, bukanlah cinta, tapi seseorang yang mau menikahinya. Aku hanya membutuhkan cucuku menyetujui operasi itu. Itu saja.” “Apa?” Pria tua itu tiba-tiba mengeluarkan uang dari saku kemejanya dan membuka jam tangan miliknya, kemudian memberikannya kepada Ridel. “Untuk sekarang aku hanya memiliki
Ridel menatap gadis itu dalam diam, dia ragu memberikan jawaban. Namun, mengingat bagaimana pengorbanan pria tua yang bahkan mengesampingkan kesehatannya, demi memenuhi syarat persetujuan operasi dari sang gadis. Membuat Ridel berpikir ribuan kali untuk menolaknya “Aku bersedia menikahimu, Nona.” Mata gadis itu memicing, bingung dengan pola pikir Ridel. Tapi janji tetaplah janji, dia juga tak ada alasan untuk menolak pernikahan itu apabila Ridel sendiri yakin dengan keputusannya. Setelah mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak, pria tua itu langsung menelepon seseorang. Tak butuh waktu lama, dua orang pria muncul didepan mereka dan mengaku sebagai petugas pencatatan sipil. Selang beberapa detik seorang wanita muncul dan mengaku sebagai pendeta yang akan meneguhkan pernikahan calon pengantin. Didepan para dokter yang menjadi saksi, petugas capil itu menyodorkan berkas untuk di tandatangani Ridel. Fania Sthephani Mauren? Ridel terkejut, ketika membaca marga Mauren yang
Lima belas menit menunggu, tiba-tiba sebuah mobil hitam parkir tepat didepannya. Meskipun dongkol dengan sikap sopir yang membawa mobil secara ugal-ugalan, tapi Ridel memilih diam membisu. Matanya membulat sempurna, ketika kaca mobil turun secara berlahan, hingga memperlihatkan sosok yang berada dibalik kemudi. Ridel terkejut. Dia sama sekali tak menyangka kalau orang yang ditugaskan menemuinya adalah sahabatnya sendiri, Alex Smith. Sudah hampir setahun Alex Smith menerornya agar mau kembali ke rumah, tapi tak diindahkan olehnya. “Masuk ke mobil!” tegas Alex terlihat kesal. Tak mau menarik perhatian banyak orang, Ridel memilih masuk dan menaikkan kaca mobil. Dia membalas tatapan Alex dengan tajam, “Kenapa dari semua orang kepercayaan ayahku, harus kau yang datang? Kenapa kau tak kembali ke perusahaanmu, ha?” “Kau masih tanya kenapa aku tak kembali ke perusahaanku sendiri? Yang benar saja! Kalau bukan gara-gara anak pembangkang sepertimu, aku mungkin sedang bersantai s
Wanita itu menatap Ridel, ekspresi kesalnya tak dapat ia sembunyikan, ketika menerima kartu hitam yang disodorkan Ridel padanya. Namun, ketika kartu itu digesek ekspresi wajah wanita itu langsung berubah drastis. Wajahnya menjadi pucat pasih, tangannya gemetar. Dia baru menyadari kartu hitam yang kini berada dalam genggamannya, bukanlah kartu hitam biasa. Melainkan kartu hitam ekslusif. Kartu yang hanya dimiliki oleh orang konglomerat golongan kelas satu. Meskipun begitu, tak semua konglomerat golongan kelas satu mampu memiliki kartu seperti itu. Wanita itu sangat mengenal jenis kartu itu, karena jenis kartu seperti itulah dia harus kehilangan jabatannya yang merupakan direktur keuangan di salah satu bank terkemuka di Indonesia. Hanya segelintir orang tertentu saja yang pernah melihat jenis kartu hitam itu, termasuk dirinya. Walaupun karena kartu itu jugalah dia harus berakhir di bagian kasir rumah sakit. Dia tahu persis satu keluhan yang dilontarkan oleh seseorang yang
"Maaf, Pak. Bukannya tidak sopan, sepertinya ada kesalahan di sini. Keluargaku sama sekali tak meminta dokter Albert untuk diganti," ujar pria tua itu kebingungan. Mendengar kalimat yang keluar dari mulut kakek Fania yang bernama Arzenio, membuat keluarga Mauren dapat bernafas lega. Mereka yakin enam dokter itu mengunjungi pasien yang salah. Direktur rumah sakit menyipitkan mata, bingung dengan situasi yang ada. “Sebagai keluarga pasien, kami paham betul situasi ini. Dokter-dokter ini masih asing dengan rumah sakit ini, jadi wajar kalau mereka mengunjungi pasien yang salah,” ujar Vicenzo tersenyum. Direktur rumah sakit itu menatap Vicenzo, kemudian pandangannya beralih pada Fania yang terbaring lemah. Apa mungkin bukan itu pasiennya? Untuk meyakinkan dirinya, direktur itu memilih melangkah masuk dan mendekati Fania yang sedang terbaring di ranjang. Ketika menatap sosok yang terbaring lemah, membuat direktur itu tertegun. Dia dapat melihat jelas mata gadis itu berkaca-kaca
Ridel terkejut, ketika melihat keluarga Mauren bukannya menuju tempat parkir, tapi sebaliknya. Mereka menuju sebuah gedung yang terletak disisi kiri rumah sakit. Gedung yang terpisah dari badan rumah sakit impian. Gedung yang dulunya berisikan pasien yang mengalami gejala covid-19. Namun, semenjak covid-19 bisa teratasi, pihak rumah sakit mensterilkan gedung itu kemudian menutupnya. Keterkejutan Ridel bertambah, ketika dari arah berlawanan dokter Albert yang selama ini menangani penyakit Fania juga menuju tempat yang sama. Dokter Albert menatap sekelilingnya, sebelum melangkah memasuki gedung dimana keluarga Mauren berada. Rasa penasaran, membuat Ridel nekat melangkahkan kakinya mendekati gedung itu untuk mengintip. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Sial! Kenapa masalah menjadi serumit ini? Kalau saja nyawa wanita penyakitan itu tidak berharga ... aku pasti sudah menjadi diriku sendiri. Aku tak perlu berpura-pura baik dan perhatian. Itu benar-benar menyebalkan da
“Terima kasih atas niat baikmu. Tapi maaf, aku tak bisa menerima kartu ini,” ujar Ridel yang kemudian meraih pergelangan tangan Fania dan mengembalikan kartu hitam itu kepada pemiliknya. “Kau menolaknya?” “Kalau uang itu kau berikan padaku, terus bagaimana kau akan memulai bisnis barumu kelak?” Fania diam membisu. Dia masih ingat jelas, bagaimana perasaannya hancur ketika dokter memvonisnya menderita penyakit langka. Penyakit mematikan yang langsung membunuh mimpinya terlebih dahulu. Sejak saat itu hidup Fania berubah drastis. Jangankan bermimpi untuk membangun bisnis sendiri, bahkan harapan hidup Fania pun hilang bersama waktu. Dia tak lagi berharap untuk sembuh. Sebaliknya, dia justru ingin sang pencipta segera menjemputnya agar penderitaannya segera berakhir. Meskipun demikian, tak pernah terlintas dibenaknya untuk menyalahkan sang ibu yang telah mewariskan penyakit itu padanya. Karena dia baru menyadari, betapa menderita ibunya saat itu. Namun begitu, ibunya selalu m