Tiba-tiba tamu undangan saling berbisik, pandangan mata mereka tertuju pada proyektor.
Ridel terkejut ketika melihat rekaman video yang terlihat pada layar LCD. Dia tak menyangka Fernando akan Mereka ulang adegan yang terjadi didepan toko, saat dia melamar dan ditolak oleh Nadia. Walaupun Ridel tahu itu bukanlah dirinya, tapi dia hanya bisa bungkam karena memanggil kedua satpam untuk menjadi saksi, itu sama saja membongkar identitasnya. Apalagi dalam rekaman itu ditambah video editan ketika seorang lelaki berusaha memaksa Nadia untuk kabur, yang jelas-jelas memperlihatkan wajahnya pada bagian akhir. Saat dia meninggalkan kamar hotel di mana Nadia dan Fernando berada. Itu cukup membuat tamu undangan yakin kalau pria dalam video itu adalah dirinya. Kini semua mata tertuju padanya. Fernando turun dari puade pernikahan, melangkah mendekati Ridel yang diam membisu. Nadia mengekor dibelakangnya. Plak! Tangan Ridel diam-diam membentuk kepalan, berusaha keras menyembunyikan emosinya. Ketika Fernando menampar keras pipinya. “Oh jadi kau yang membuat istriku selalu ketakutan saat berada diluar? Jadi selama ini kau menguntitnya? Apa kau juga menyamar sebagai waitress untuk menggangu istriku, hah?” hardik Fernando emosi. Dia puas bisa membalaskan dendamnya pada Ridel. “Brengsek! Apa kau pikir dengan video murahan itu, kau bisa menjatuhkanku?” jawab Ridel kesal! Ia berusaha memukul ke arah Fernando. Namun, dengan sigap dua orang bodyguard tiba-tiba menahan Ridel yang masih menatap Fernando dengan tajam! Tiba-tiba, Nadia maju ke arah Ridel sambil menatapnya licik. “Tidak hanya menguntit! Laki-laki ini juga berbakat dalam mencuri! Jangan-jangan, dia datang ke sini juga untuk mencuri dari kalian, para tamu!” Ridel seketika kebingungan ketika beberapa tamu undangan menyatakan kehilangan sesuatu. Tak mau disalahkan, dia langsung saja membela diri. “Aku sama sekali bukan pencuri! Bukankah kita bisa memeriksa CCTV untuk tahu semua kejadian sebenarnya?” Namun, tak ada satupun yang percaya ketika benda hasil curian justru ditemukan di tasnya. Bukannya mendengar solusi yang diberikan Ridel, semuanya langsung saja menjadikannya pencuri. Tak ada satupun yang percaya padanya, termasuk Nathan sahabatnya sendiri. “Dasar pencuri!” Seperti di komando, suasana langsung hening ketika seorang pria berdiri dari tempatnya dan melangkah mendekati pasangan suami istri yang belum lama disahkan. Fernando dan Nadia langsung menunduk hormat ke arah pria itu. “Augusto! Kau datang lagi ke sini?!” desis Ridel begitu kesal melihat pria itu seakan ada di mana-mana! Ridel menatap tajam ke arah Augusto, memberikan sinyal agar tidak berbicara padanya! “Maafkan atas kekacauan pesta ini, Tuan. Apakah tuan kehilangan sesuatu?” tanya Fernando sopan. Semuanya diam membisu, menunggu jawaban pria itu. Tak ada satupun yang berani mengganggu utusan keluarga Liu. Apalagi mempermalukannya. “Pertunjukan yang menarik dan langka, apa kau suka?” tanya pria itu menatap Nadia dan tersenyum. “Seorang penguntit sepertinya memang pantas untuk mendapatkan balasan yang setimpal. Dia pantas menerima karma dari apa yang dilakukannya selama ini,” ujar Nadia menatap Ridel dengan jijik. Pria itu manggut-manggut, “Kau benar. Seseorang yang melakukan kesalahan cepat atau lambat akan menerima karmanya.” Nadia dan Fernando menatap pria itu. Untuk pertama kalinya pria itu berbicara lebih dari satu kata. Bukan hanya itu saja, pria itu juga memuji dan memberikan senyuman. “Tuan periksalah dulu barang bawaannya. Takutnya pria ini mencuri sesuatu yang berharga,” ucap Fernando tersenyum. “Tidak perlu. Mulai hari ini, detik ini juga, perusahaan RnB milik keluarga Liu membatalkan kontrak kerjasama dengan keluarga Mauren. Kedepannya perusahaan RnB tidak ada hubungan lagi dengan perusahaan Mauren!” Ya! Tanpa sepengetahuan Ridel, keluarga Liu membantu perkembangan perusahaan keluarga Mauren. Dari perusahaan kecil, hingga menjadikannya konglomerat golongan kelas tiga hanya dalam waktu dua tahun. Semua demi putra tercinta. Namun, saat tahu pengkhianatan Nadia. Orangtua Ridel sengaja mengutus orang kepercayaan mereka untuk hadir ke pesta pernikahan guna membatalkan kontrak, sebagai hadiah pernikahan. “Bagaimana mungkin? Bukankah kita sudah menandatangani kontrak? Bukankah kerjasama kita sudah berjalan selama dua tahun? Maafkan kesalahan kami, kami berjanji akan bekerja lebih baik lagi untuk menghasilkan lebih banyak keuntungan,” pinta Nadia dengan suara gemetar. “Pertunjukan tadi benar-benar membuatku puas, sampai-sampai aku tak bisa mencerna makananku dengan baik. Oh ya ... pembatalan kontrak kerjasama ini adalah hadiah pernikahan untuk kalian. Semoga bahagia selalu,” ketus Augusto yang langsung meninggalkan gedung resepsi pernikahan. Semua menatap kepergian pria utusan keluarga Liu dalam kebingungan. Kenapa pria itu marah, hanya karena perlakuan Nadia dan Fernando kepada waitress itu? Nadia menatap Ridel. Seolah-oleh telah menemukan mangsa yang siap untuk dilahap, “Semua yang terjadi hari ini tak lepas dari kesialanmu. Kau yang berulah, tapi kenapa kami yang harus menanggung resikonya? Aku berjanji akan membuat kau menghabiskan waktu dalam penderitaan!” Ridel menggelengkan kepalanya, bingung dengan jalan pikiran mantan kekasihnya. “Bukannya koreksi diri, ini menyalahkan orang lain. Apa kalian tak berpikir ini adalah karma atas sikap kalian terhadap orang kecil sepertiku?” Ridel baru sadar ternyata selama ini sang ayah mengawasinya secara diam-diam. Itu terbukti dari kerjasama perusahaan RnB selama dua tahun ini, dan pernikahan Nadia juga menjadi akhir dari kerjasama mereka. Apakah selama ini Ridel telah salah menilai sang ayah? “Aku akan membuatmu menderita, Ridel!” cetus Fernando emosi. “Terserah!” ujar Ridel dan langsung meninggalkan gedung itu. Dia dapat bernafas lega, ketika berhasil keluar dari gedung resepsi pernikahan Fernando dan Nadia. Setelah berjalan sekitar seratus meter, Ridel tak sengaja melihat sebuah mobil yang kehilangan kendali hampir menabrak seorang pria tua. Terlambat sedikit saja menarik pergelangan tangan sang kakek, mungkin kakek itu tak akan selamat. Ridel membantu pria tua itu berdiri dan menuntunnya duduk dipinggir jalan. "Kau tak apa-apa, Kek?" tanya Ridel memeriksa kalau-kalau pria tua itu mengalami luka-luka. Lelaki yang berpakaian usang dengan bau badan yang menyengat tak membuat Ridel merasa jijik. Dia justru khawatir dengan kondisi pria tua itu. Pria tua itu menatap Ridel cukup lama. Bukankah ini pria muda yang waktu itu? "Kenapa, Kek?" "Terima kasih, Nak. Tapi kau terluka," ujar kakek itu menunjuk luka yang ada ditangan Ridel. "Hanya luka kecil, Kek. Nanti juga sembuh sendiri, jangan khawatir," jawab Ridel tersenyum. "Kau menyelamatkan kakek, tanpa memikirkan keselamatan mu sendiri. Kau benar-benar pria yang baik." Ridel hanya tersenyum mendengar pujian pria tua itu. Ridel tersentak, ketika pria tua itu meraih telapak tangannya dan bertanya, "Apakah kau sudah menikah, Nak?" "Belum." "Menikahlah dengan cucu kakek, Nak. Jadilah cucu menantu kakek."Pria tua itu berlutut di kaki Ridel. “Aku mohon menikahlah dengan cucuku. Kau adalah harapan terakhirku. Aku sudah tak punya waktu lagi.” Mata Ridel membulat sempurna mendengar permintaan tak masuk akal dari pria tua itu. Namun, tak mau membuat pria tua itu kecewa. Ridel memilih menjelaskannya secara baik-baik. Dia menggenggam pundak pria tua itu dan berkata dengan lembut, “Kek, pernikahan itu bukanlah sesuatu yang dapat diputuskan secara sepihak. Tapi butuh persetujuan dua orang yang saling mencintai. Sebuah pernikahan akan gagal, kalau tak ada cinta diantara pasangannya.” Ridel terkejut ketika melihat air bening berhasil lolos dari pelupuk mata pria tua itu. “Yang dibutuhkan cucuku sekarang, bukanlah cinta, tapi seseorang yang mau menikahinya. Aku hanya membutuhkan cucuku menyetujui operasi itu. Itu saja.” “Apa?” Pria tua itu tiba-tiba mengeluarkan uang dari saku kemejanya dan membuka jam tangan miliknya, kemudian memberikannya kepada Ridel. “Untuk sekarang aku hanya memiliki
Ridel menatap gadis itu dalam diam, dia ragu memberikan jawaban. Namun, mengingat bagaimana pengorbanan pria tua yang bahkan mengesampingkan kesehatannya, demi memenuhi syarat persetujuan operasi dari sang gadis. Membuat Ridel berpikir ribuan kali untuk menolaknya “Aku bersedia menikahimu, Nona.” Mata gadis itu memicing, bingung dengan pola pikir Ridel. Tapi janji tetaplah janji, dia juga tak ada alasan untuk menolak pernikahan itu apabila Ridel sendiri yakin dengan keputusannya. Setelah mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak, pria tua itu langsung menelepon seseorang. Tak butuh waktu lama, dua orang pria muncul didepan mereka dan mengaku sebagai petugas pencatatan sipil. Selang beberapa detik seorang wanita muncul dan mengaku sebagai pendeta yang akan meneguhkan pernikahan calon pengantin. Didepan para dokter yang menjadi saksi, petugas capil itu menyodorkan berkas untuk di tandatangani Ridel. Fania Sthephani Mauren? Ridel terkejut, ketika membaca marga Mauren yang
Lima belas menit menunggu, tiba-tiba sebuah mobil hitam parkir tepat didepannya. Meskipun dongkol dengan sikap sopir yang membawa mobil secara ugal-ugalan, tapi Ridel memilih diam membisu. Matanya membulat sempurna, ketika kaca mobil turun secara berlahan, hingga memperlihatkan sosok yang berada dibalik kemudi. Ridel terkejut. Dia sama sekali tak menyangka kalau orang yang ditugaskan menemuinya adalah sahabatnya sendiri, Alex Smith. Sudah hampir setahun Alex Smith menerornya agar mau kembali ke rumah, tapi tak diindahkan olehnya. “Masuk ke mobil!” tegas Alex terlihat kesal. Tak mau menarik perhatian banyak orang, Ridel memilih masuk dan menaikkan kaca mobil. Dia membalas tatapan Alex dengan tajam, “Kenapa dari semua orang kepercayaan ayahku, harus kau yang datang? Kenapa kau tak kembali ke perusahaanmu, ha?” “Kau masih tanya kenapa aku tak kembali ke perusahaanku sendiri? Yang benar saja! Kalau bukan gara-gara anak pembangkang sepertimu, aku mungkin sedang bersantai s
Wanita itu menatap Ridel, ekspresi kesalnya tak dapat ia sembunyikan, ketika menerima kartu hitam yang disodorkan Ridel padanya. Namun, ketika kartu itu digesek ekspresi wajah wanita itu langsung berubah drastis. Wajahnya menjadi pucat pasih, tangannya gemetar. Dia baru menyadari kartu hitam yang kini berada dalam genggamannya, bukanlah kartu hitam biasa. Melainkan kartu hitam ekslusif. Kartu yang hanya dimiliki oleh orang konglomerat golongan kelas satu. Meskipun begitu, tak semua konglomerat golongan kelas satu mampu memiliki kartu seperti itu. Wanita itu sangat mengenal jenis kartu itu, karena jenis kartu seperti itulah dia harus kehilangan jabatannya yang merupakan direktur keuangan di salah satu bank terkemuka di Indonesia. Hanya segelintir orang tertentu saja yang pernah melihat jenis kartu hitam itu, termasuk dirinya. Walaupun karena kartu itu jugalah dia harus berakhir di bagian kasir rumah sakit. Dia tahu persis satu keluhan yang dilontarkan oleh seseorang yang
"Maaf, Pak. Bukannya tidak sopan, sepertinya ada kesalahan di sini. Keluargaku sama sekali tak meminta dokter Albert untuk diganti," ujar pria tua itu kebingungan. Mendengar kalimat yang keluar dari mulut kakek Fania yang bernama Arzenio, membuat keluarga Mauren dapat bernafas lega. Mereka yakin enam dokter itu mengunjungi pasien yang salah. Direktur rumah sakit menyipitkan mata, bingung dengan situasi yang ada. “Sebagai keluarga pasien, kami paham betul situasi ini. Dokter-dokter ini masih asing dengan rumah sakit ini, jadi wajar kalau mereka mengunjungi pasien yang salah,” ujar Vicenzo tersenyum. Direktur rumah sakit itu menatap Vicenzo, kemudian pandangannya beralih pada Fania yang terbaring lemah. Apa mungkin bukan itu pasiennya? Untuk meyakinkan dirinya, direktur itu memilih melangkah masuk dan mendekati Fania yang sedang terbaring di ranjang. Ketika menatap sosok yang terbaring lemah, membuat direktur itu tertegun. Dia dapat melihat jelas mata gadis itu berkaca-kaca
Ridel terkejut, ketika melihat keluarga Mauren bukannya menuju tempat parkir, tapi sebaliknya. Mereka menuju sebuah gedung yang terletak disisi kiri rumah sakit. Gedung yang terpisah dari badan rumah sakit impian. Gedung yang dulunya berisikan pasien yang mengalami gejala covid-19. Namun, semenjak covid-19 bisa teratasi, pihak rumah sakit mensterilkan gedung itu kemudian menutupnya. Keterkejutan Ridel bertambah, ketika dari arah berlawanan dokter Albert yang selama ini menangani penyakit Fania juga menuju tempat yang sama. Dokter Albert menatap sekelilingnya, sebelum melangkah memasuki gedung dimana keluarga Mauren berada. Rasa penasaran, membuat Ridel nekat melangkahkan kakinya mendekati gedung itu untuk mengintip. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Sial! Kenapa masalah menjadi serumit ini? Kalau saja nyawa wanita penyakitan itu tidak berharga ... aku pasti sudah menjadi diriku sendiri. Aku tak perlu berpura-pura baik dan perhatian. Itu benar-benar menyebalkan da
“Terima kasih atas niat baikmu. Tapi maaf, aku tak bisa menerima kartu ini,” ujar Ridel yang kemudian meraih pergelangan tangan Fania dan mengembalikan kartu hitam itu kepada pemiliknya. “Kau menolaknya?” “Kalau uang itu kau berikan padaku, terus bagaimana kau akan memulai bisnis barumu kelak?” Fania diam membisu. Dia masih ingat jelas, bagaimana perasaannya hancur ketika dokter memvonisnya menderita penyakit langka. Penyakit mematikan yang langsung membunuh mimpinya terlebih dahulu. Sejak saat itu hidup Fania berubah drastis. Jangankan bermimpi untuk membangun bisnis sendiri, bahkan harapan hidup Fania pun hilang bersama waktu. Dia tak lagi berharap untuk sembuh. Sebaliknya, dia justru ingin sang pencipta segera menjemputnya agar penderitaannya segera berakhir. Meskipun demikian, tak pernah terlintas dibenaknya untuk menyalahkan sang ibu yang telah mewariskan penyakit itu padanya. Karena dia baru menyadari, betapa menderita ibunya saat itu. Namun begitu, ibunya selalu m
*** Setelah kedatangan enam dokter spesialis itu, secara rutin keluarga Mauren terus mengunjungi, bahkan mempertanyakan perkembangan kesehatan Fania. Mendapatkan perhatian seperti itu, tentu saja membuat Fania bahagia. Dia sama sekali tak menyangka akan selalu melihat keluarganya sendiri. Namun, Ridel tahu, sebetulnya keluarga Mauren lengkap berada di sana untuk memastikan kalau gadis itu hanya akan melewati usia dua puluh lima tahun. "Kondisi Fania sudah jauh lebih baik, bahkan dia siap untuk di operasi. Kami membutuhkan tanda tangan persetujuan operasi," jelas penanggung jawab tim spesialis dari negeri seberang. "Saya akan menandatangani berkas itu, dokter," jawab Arzenio penuh semangat. "Maaf, Tuan. Anda tak bisa menandatangani berkas persetujuan operasi," jawab dokter itu tersenyum. "Apa katamu? Aku ini kakeknya, kakek yang selama ini merawatnya! Kenapa aku tak bisa menandatanganinya?" protes Arzenio kesal. "Aku tahu ini tidak adil untuk Anda, tapi ini adalah perat
Ridel hanya mampu menatap kepergian sang dokter dengan hati yang hancur, dia sama sekali tidak menyangka kalau kebenaran yang ada justru sebaliknya. Namun, sedetik kemudian Ridel menggelengkan kepalanya. 'Tidak! Bisa saja ini semua permainan Fania untuk mengambil Ifel dariku! Kalau dia memang menginginkan anak-anaknya, kenapa dia harus membuang bayi laki-lakinya ke jalanan? Seandainya aku tidak berada di sana mungkin putraku tinggal kenangan!' Ridel langsung berdiri dan membetulkan posisinya semula. "Aku sama sekali tidak percaya dengan kata-kata dokter itu! Selidiki lebih lanjut kejadian sebelum dan sesudah Fania melahirkan!" perintah Ridel kepada anak buahnya. Ketika melihat anak buahnya justru gemetar, membuatnya merasa ada sesuatu yang penting. Sesuatu yang belum diberitahukan oleh anak buahnya. "Kenapa? Apa kalian sudah mendapatkan petunjuk?" tanya Ridel mengerutkan dahinya. "Ka-ka-kami menemukan ini!" jawab salah satu anak buah Ridel terbata-bata sambil memberikan cincin
***"Bagaimana? Apakah kau sudah menemukan sosok yang membantu persalinan wanita brengsek itu?" geram Ridel."Sudah, Bos.""Mana dia?" tanya Ridel."Bawa ke sini wanita itu!" perintah anak buahnya yang lain.Tak butuh waktu lama, seorang wanita diseret masuk secara paksa. "Ini adalah sosok yang membantu persalinan Fania, Bos."Ridel mendekati wanita itu, berjongkok, kemudian meraih dagu wanita itu dan bertanya dengan nada menekan, "Apa benar, kau yang membantu persalinan Fania?"."Siapa, Kau?" tanya sang dokter kebingungan."Jangan banyak tanya! Apa benar kau yang membantu persalinan Fania Mauren? Jawab saja, Brengsek!" teriak Ridel penuh amarah.Sang dokter semakin bingung, "Fania Mauren? Maksudnya?" Ridel tidak menjawab, dia justru mengambil ponsel dari saku jasnya kemudian memperlihatkan foto Fania kepada sang Dokter. "Apa kau pernah membantu persalinan wanita ini?"Sang dokter terdiam sejenak. Sampai akhirnya dia mengajukan pertanyaan, "Apa kau sosok yang membawa bayi kembar laki
Tanpa saran dari pengacara pun, Fania tahu persis tidak akan menang dalam pengadilan. Karena di sana sama sekali tidak ada CCTV atau orang yang bisa membuktikan, kalau Fania melepaskan putra kandungnya dalam pengawasan. Fania sadar pembelaan apapun yang nantinya akan diberikan, maka itu bukankah suatu ancaman bagi keluarga Liu. "Aku beri kamu pilihan! Serahkan hak asuh padaku secara sukarela atau aku bawa masalah ini ke pengadilan dan menjebloskanmu ke penjara! Satu lagi tanda tangani surat perceraian kita. Aku bersyukur karena menikahi mu, jadi anak kita tidak akan dikatakan anak haram!" teriak Ridel emosi. Mendengar pernyataan putra tunggalnya membuat Bernad Liu membelalakkan matanya, begitupun sang ibu. Mereka tidak pernah menyangka kalau putra semata wayangnya telah menikah secara diam-diam. "Jangan bercanda, Ridel? Kapan kalian menikah? Di mana kalian menikah? Apa sah atau tidak, ha? Jawab ayah!" teriak Bernad Liu emosi. Aura langsung menggenggam pergelangan tangan suaminy
Setelah keluar dari toilet, Fania baru menyadari kalau putri kecilnya tadi dititipkan kepada Ridel, bukannya pengasuh yang ditugaskan membantunya. Tidak mau rahasianya terbongkar, Dia segera berlari dan langsung mengambil Ifel dari tangan Ridel. Ridel yang terkejut langsung saja mengumpat kesal. "Apa begini caramu berterima kasih, ha? Kau yang menyerahkan bayi itu padaku, terus setelah itu kamu mengambil anak itu seperti barang?" ketus Ridel menatap tajam ke arah Fania. 'Sial! Kenapa aku justru menyerahkan putri kecilku kepada, Ridel? Dasar bodoh! Ini semua gara-gara perutku yang tidak bersahabat! Mudah-mudahan Ridel tidak memperhatikan kemiripan wajah Ifel dengan Putra kandungnya.' Fania tidak menjawab, tapi langsung menaiki mobil. Dia hanya melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Mobil yang ditumpangi Fania meluncur pelan menuju pusat kota. Begitu tiba di tempat tujuan, Fania langsung memasuki gedung di mana apartemen nya berada. Sementara itu di rumah sakit A piki
Ridel terdiam. Walau dia seorang laki-laki, tapi dia tahu betul ASI sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan bayi. Melihat ada keraguan di wajah Ridel, membuat Fania berusaha membujuknya yang kini berstatus suami. Fania menulis. "Bagaimana, Bos? Apa Anda membutuhkan bantuan saya? Saya memberi tawaran ini karena mengingat jasa orangtua dan bos sendiri! Bukankah bos yang telah menyelamatkan aku dari Stiven?" Tulisan Fania jelas sekali ada ancaman, tapi disampaikan secara halus kepada Ridel. Dia tahu persis Ridel tidak mau mengambil resiko, kalau orang lain tahu statusnya yang sekarang bukan lagi lajang tapi sudah ada pemiliknya. Walaupun Fania tahu itu adalah keterpaksaan. Tapi bagi Fania ini adalah anugerah, karena itu merupakan satu-satunya cara agar Ridel setuju. "Ok! Tidak masalah! Bantuan Anda akan kami bayar dengan jumlah yang besar, tapi jangan pernah menyentuh ataupun hanya sekedar masuk ke ruangan rawat putraku! Mengerti?" ketus Ridel menatap tajam mata Fania. Bagi Fani
*** Fania menatap putrinya, airmata mengalir mengikuti setiap garis sayatan dan luka bakar yang tercetak sempurna di wajahnya. Alasan dia bertahan hanyalah demi anak yang dikandungnya, tapi ketika melahirkannya justru dia harus merelakan salah satu anaknya dibawa Ridel. Walaupun dia yakin kalau Ridel akan menjaga kembaran Ifel, tapi hati Fania sama sekali tidak rela. "Maafkan mama Ifel. Semua karena keteledoran mama, sampai-sampai kamu harus terpisah dengan kembaranmu sendiri!" bisik Fania sambil membetulkan posisi peampers yang dikenakan putrinya itu, putri yang diberi nama Ifel. Fania duduk melamun di sofa, tepat disamping buah hatinya. Lamunannya buyar ketika mendengar bunyi ketukan di pintu apartemen. "Astaga, aku lupa menelepon tukang servis untuk memperbaiki bell pintu yang rusak. Tunggu sebentar ya, Sayang!" ujar Fania pelan, mengecup lembut pipi putrinya sebelum melangkah menuju pintu. Tidak lupa Fania membawa notes dan bolpoin yang belum lama dibelinya. Fania
Bernad Liu menatap cucunya dari balik kaca transparan, cucu pertama yang sedang berjuang antara hidup dan mati. Hati Lian Lee terasa hancur melihat kondisi cucunya yang tidak berdosa harus menanggung kesalahan orangtuanya. Kamu tidak bersalah. Kamu harus kuat. Walau kamu terlahir dari wanita jahat, wanita yang sama sekali tidak menginginkan mu, tapi ayahmu dan kami membutuhkanmu, jadi bertahanlah demi orang-orang yang mencintaimu! Kata-kata itu hanya bisa diungkapkan Bernad Liu di dalam hatinya. Kemarahan mereka kepada Fania sejenak hilang, ketika dokter spesialis anak dan peralatan medis terlengkap tiba di lokasi dengan selamat. Anak buah yang diturunkan mencari Fania langsung dipanggil menuju lokasi di mana rumah sakit A berada, untuk membantu pembersihan ruangan yang akan dijadikan tempat perawatan putra Ridel. Setelah ruangan selesai dibersihkan dan perlengkapan medis diatur sedemikian rupa agar mempermudah dokter. Maka putra Ridel segera dipindahkan dan ditangani oleh d
Jadi bayi yang aku selamatkan adalah putraku sendiri?' Kebahagiaan terpancar jelas dari binar matanya. Tapi sedetik kemudian matanya terlihat menakutkan. 'Fania! Kau benar-benar wanita tidak punya hati! Kamu tidak ada bedanya dari keluarga Mauren! Apa semua ini demi nama baik? Sampai ke ujung bumi pun aku akan mencari mu, kamu harus mempertanggungjawabkan kejadian malam ini! Di mana putraku hampir meninggal karena kecerobohan mu sendiri, Brengsek!' Ridel mengambil ponselnya dan bermaksud untuk menelepon. "Maaf, Pak. Anda boleh menelepon diluar ruangan! Jangan khawatir putra Anda baik-baik saja, hanya butuh perawatan di sini sedikit lama. Sekali lagi maaf kalau menyinggung Anda soal pengambilan DNA, tapi saya harap Anda mengerti maksud dan tujuan kami," ujar dokter tersenyum getir. Dokter menyembunyikan sesuatu yang penting, kalau sebenarnya putra Ridel masih berada dalam bahaya. Ridel menganggukkan kepalanya, kemudian melangkahkan kakinya menuju luar ruangan dengan lunglai
Fania tidak menjawab, hanya airmata yang mewakili setiap rasa dalam hatinya. Hati yang hancur ketika melihat putranya dibawa pergi oleh pria dengan mobil hitam. Melihat kondisi Fania, membuat dokter tidak sampai hati menyudutkan wanita itu. "Kamu harus kuat. Kamu masih punya tanggung jawab! Apa kamu tidak melihat putrimu yang terbaring, menunggu belaian kasih sayang darimu?" ujar dokter lembut. Fania masih pada posisinya semula, tanpa mengeluarkan satu kata pun. Dia seperti kehilangan arah. Hidupnya terasa hancur ketika kehilangan putranya. Walaupun yang membawa putranya adalah Ridel yang notabene adalah ayah kandung dari bayi itu, tapi Fania sama sekali tidak rela. "Apakah Anda bisa mendengarku?" tanya dokter, tangannya melambai didepan wajah Fania. Namun tidak ada respon apapun dari Fania, Fania sibuk dengan pikirannya sendiri. Plakkk !!! Dokter terpaksa menampar Fania dengan keras dan menggoyangkan pundak gadis itu. "Sadar! Anakmu bukan hanya satu! Di sini ada putri