Malam itu, di tengah keheningan yang menggantung di udara, Naura terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Ada sesuatu yang mengusik tidurnya, sebuah suara lirih yang terdengar begitu dekat. Ia menoleh dengan cepat dan menemukan Lila meringkuk di sampingnya, tubuh kecilnya gemetar dengan keringat yang membasahi dahinya.
"Lila..." bisiknya penuh khawatir. Ia meletakkan telapak tangannya di dahi putrinya dan merasakan panas yang tidak biasa. Secepat kilat, Naura bangkit dari tempat tidur dan mengambil kain bersih, merendamnya dalam air dingin sebelum dengan lembut mengompres dahi anaknya.
Lila merintih pelan, napasnya terdengar sedikit berat. Melihat kondisi putrinya seperti ini membuat hati Naura mencengkeram kuat rasa takut, tetapi ia tahu harus tetap tenang. Selama bertahun-tahun di London, ia sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini sendirian. Dengan penuh kesabaran, ia terus mengompres dan memastikan Lila tetap nyaman.
"Mommy..." Lila berbisik dengan suara lemah, matanya hanya setengah terbuka.
"I’m here, sweetheart. Mommy’s here," Naura berbisik, menenangkan putrinya dengan usapan lembut di rambutnya. Ia menghela napas dalam, berusaha mengabaikan ketakutan yang mulai merayap di dadanya.
Waktu berjalan lambat, dan Naura tidak beranjak sedikit pun dari sisi Lila. Matahari masih jauh dari terbit, namun ia tetap terjaga, mengawasi setiap gerakan kecil anaknya. Sesekali, ia mengganti kompres dengan kain yang baru, memastikan panas tubuh Lila sedikit mereda.
Saat jarum jam menunjukkan pukul tiga pagi, Naura menyandarkan kepalanya di sisi tempat tidur, matanya berat namun pikirannya tetap waspada. Ia tahu besok akan menjadi hari yang panjang. Selain harus memastikan Lila segera membaik, ia juga harus berpikir tentang sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih besar dan lebih menakutkan.
Dirga.
Ia menggigit bibirnya sendiri, mencoba menahan rasa cemas yang menghantui. Dirga bukan orang yang mudah menyerah. Ia tahu, lelaki itu pasti sedang merencanakan sesuatu. Dan itu membuatnya takut.
Namun, sebelum segalanya menjadi lebih rumit, Naura tahu ada satu hal yang harus ia prioritaskan.
Lila.
Ia menatap putrinya yang masih terlelap dalam tidurnya yang gelisah. Tak peduli seberapa besar badai yang akan datang, ia tidak akan membiarkan siapa pun—termasuk Dirga—mengambil Lila darinya.
***
Mentari pagi menyapa, dan bocah kecil itu sudah menyapa sang mommy dengan ceria, seolah tadi malam tidak merintih kesakitan. Putri kecil itu menciumi wajah mommynya dengan penuh kasih sayang.
"Good molning, Mommy!" seru Lila dengan senyum lebar, matanya berbinar-binar.
Naura mengerjapkan mata, terkejut sekaligus lega melihat putrinya kembali ceria. Ia tersenyum dan memeluk Lila erat.
"Good morning, sweetheart. Kamu sudah merasa lebih baik?" tanyanya lembut.
Lila mengangguk penuh semangat. "I feel good! Mommy jangan khawatil lagi, ya!"
Naura mengusap rambut putrinya, rasa syukur mengalir di hatinya. Walaupun semalam ia tidak tidur, melihat Lila sehat kembali adalah hadiah terbaik yang bisa ia terima pagi ini.
Setelah berpelukan sejenak, Naura mengajak Lila untuk sarapan. Ia berencana membuatkan putrinya waffle kesukaannya. Namun, begitu sampai di dapur, ia terdiam sejenak dan menghela napas panjang.
"Aduh, Mommy lupa belum belanja. Kita baru pindah kemarin," gumamnya sambil mengacak rambut sendiri.
Lila menatapnya dengan mata bulat penuh harap. "Mommy, kalau gitu kita cali makanan aja? Aku mau makan bubul! Mommy kan pernah celita tentang bubul enak di Indonesia. Aku pengen coba!"
Naura tersenyum mendengar permintaan putrinya. Sejak di London, ia memang sering bercerita tentang makanan-makanan khas Indonesia, dan rupanya Lila sangat tertarik mencobanya.
"Baiklah, kita cari bubur yang enak untuk sarapan, ya!" kata Naura sambil menggandeng tangan Lila.
Mereka pun bersiap keluar rumah untuk mencari bubur hangat yang diidamkan Lila, menikmati pagi pertama mereka di Indonesia dengan langkah penuh semangat.
Naura dan Lila melangkah keluar rumah dengan semangat pagi yang cerah. Udara segar khas pagi hari menyambut mereka, dan Lila menggenggam tangan ibunya erat, matanya berbinar penuh antusiasme.
"Mommy, kita cali tukang bubul yang pakai gelobak, ya! Kayak yang Mommy celitain waktu di London!" kata Lila dengan suara riang.
Naura tersenyum. Ia senang melihat putrinya begitu bersemangat mencicipi makanan khas Indonesia. Sambil berjalan perlahan, matanya mencari-cari pedagang bubur yang biasa berjualan di pagi hari.
Tak butuh waktu lama, mereka menemukan seorang tukang bubur dengan gerobak sederhana di pinggir jalan. Seorang pria paruh baya dengan senyum ramah tengah sibuk melayani pembeli. Bau harum bubur yang mengepul langsung menggoda perut yang kosong.
"Nah, ini dia, Lila! Yuk, kita makan di sini," ajak Naura sambil mengarahkan putrinya duduk di bangku kecil di samping gerobak.
Lila duduk dengan penuh semangat, menatap mangkuk bubur yang baru saja disajikan di hadapannya. Bubur hangat dengan taburan ayam suwir, cakwe, dan daun seledri terlihat sangat menggoda. Naura membantu meniup bubur agar tidak terlalu panas sebelum menyuapkan sendok pertama ke mulut Lila.
Begitu bubur masuk ke dalam mulutnya, mata Lila membesar, lalu ia mengunyah dengan ekspresi bahagia. "Mommy, ini enak sekali! Lila suka bubul Indonesia!"
Naura tertawa kecil melihat reaksi putrinya. "Kan Mommy sudah bilang, bubur di sini enak sekali."
Lila terus melahap buburnya dengan penuh semangat, sementara Naura menikmati sarapannya dengan lebih tenang. Sesekali, ia melirik sekeliling, merasa sedikit lebih nyaman dengan lingkungan baru mereka. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa ada bayangan masa lalu yang masih mengawasi.
Sementara di seberang jalan ada seseorang yang memperhatikan mereka dengan seksama di pinggir jalan sambil mengambil gambar dan laporan terhadap bosnya yaitu Tuan Dirga.
***
Di tempat lain, Dirga baru saja terbangun dari tidurnya saat ponselnya bergetar. Dengan mata masih sedikit berat, ia meraih ponsel dan melihat pesan dari orang kepercayaannya, Anthony. Beberapa foto terlampir dalam pesan tersebut.
Dirga membuka foto-foto itu satu per satu. Mata tajamnya langsung tertuju pada sosok wanita dalam gambar tersebut. Naura. Wanita yang dulu pernah menjadi kekasih adiknya. Dan di sebelahnya, seorang gadis kecil yang tampak begitu mirip dengannya.
Entah mengapa, ada perasaan gembira yang muncul di hatinya. Naluri dalam dirinya berkata, gadis kecil itu adalah anaknya. Rasa rindu yang selama ini ia pendam seakan menemukan jawaban. Dengan cepat, ia membalas pesan Anthony.
"Terus awasi mereka. Aku ingin tahu segalanya tentang mereka."
Anthony melangkah dengan tenang menuju gerobak bubur tempat Naura dan Lila menikmati sarapan mereka. Dengan sikap santai, ia memesan semangkuk bubur kepada penjual, matanya sesekali melirik ke arah gadis kecil yang tengah lahap menyantap makanannya.Naura tidak terlalu memperhatikan kehadiran pria itu. Baginya, Anthony hanyalah pelanggan lain yang kebetulan datang di saat yang sama. Ia lebih fokus pada Lila, memastikan putrinya menikmati sarapan pertamanya di Indonesia."Enak, kan, sayang?" tanya Naura sambil tersenyum.Lila mengangguk dengan penuh semangat. "Iya, Mommy! Aku like banget!"Anthony yang duduk tak jauh dari mereka memperhatikan interaksi ibu dan anak itu dengan saksama. Waktu yang diberikan Dirga kepadanya tidak banyak. Ia harus segera menyelesaikan tugasnya tanpa menarik perhatian.Saat Naura mengambil dompet dari dalam tasnya untuk membayar, Anthony bergerak cepat. Dengan gerakan yang terlatih, ia menjatuhkan sendoknya ke tanah. "Ah, maaf," gumamnya sambil berjongkok,
Naura melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan perasaan yang kacau. Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang terus berputar tanpa jawaban. Bagaimana bisa Dirga tahu? Apakah dia sudah mendapatkan bukti? Dan jika iya, apa yang akan dia lakukan selanjutnya?Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Lila masih terlalu kecil untuk memahami apa yang sedang terjadi. Gadis kecil itu sekarang tengah duduk di sofa, memainkan bonekanya dengan riang, seolah pertemuan di daycare tadi hanyalah kejadian biasa."Sayang, sekarang waktunya tidur siang," ujar Naura lembut, berusaha menyembunyikan kecemasannya.Lila mengerucutkan bibir. "Tapi aku belum ngantuk, Mommy."Naura tersenyum dan mengusap lembut rambut putrinya. "Kalau begitu, kita baca buku sebentar, lalu tidur, ya?"Lila akhirnya mengangguk setuju. Naura mengambil salah satu buku dongeng favorit putrinya dan mulai membacakan cerita. Tak butuh waktu lama sebelum kelopak mata Lila mulai tertutup perlahan
Lima tahun lalu.Naura menatap dua garis merah di test pack yang masih digenggamnya erat. Tangannya bergetar, matanya panas, dan jantungnya berdetak kencang. Ini tidak seharusnya terjadi. Ini seharusnya tidak pernah terjadi. Tapi kenyataannya, ia hamil. Dan ia sangat tahu siapa yang harus bertanggung jawab.Arjuna Dirga Wiratama.Kakak dari pria yang selama ini ia cintai, atau lebih tepatnya, mantan kekasihnya.Naura menggigit bibirnya, berusaha menguatkan diri. Dirga harus tahu. Seburuk apa pun situasinya, sekelam apa pun masa lalu mereka, ia tidak bisa menyembunyikan ini. Lila—bayi yang sekarang ada di dalam perutnya—berhak memiliki ayah.Dengan tekad yang bulat, ia mengambil tasnya dan pergi menuju kantor pusat Wiratama Hospitality Group. Naura tahu bahwa Dirga adalah pewaris utama, CEO yang memegang kendali penuh atas perusahaan itu. Meski baru sebulan tak bertemu, ia yakin Dirga masih seperti yang dulu—penuh percaya diri, berkuasa, dan nyaris tak tersentuh.Sesampainya di depan g
Happy ReadingDi sebuah bandara internasional yang ramai, Naura Devi Lark menggenggam erat tangan kecil putrinya, Lila Amora Lark. Wajahnya terlihat tenang, meski ada banyak perasaan yang bercampur dalam hatinya. Hari ini, mereka akan kembali ke tanah air setelah bertahun-tahun tinggal di London. Masa berlaku visanya telah habis, dan ini adalah saatnya untuk pulang.Lila, yang baru berusia empat tahun, tampak bersemangat. Gadis kecil itu terus berceloteh dengan bahasa Inggris dan Indonesia yang bercampur, membuat beberapa orang di sekitar mereka tersenyum mendengarnya."Mommy, are we really going to Indonesia? Like, for real?" tanyanya dengan mata berbinar.Naura tersenyum, mengusap lembut rambut cokelat berkilau putrinya. "Yes, sweetheart. Kita akan ke Indonesia."Lila melompat-lompat kecil di tempat, lalu menatap koper berwarna merah muda yang ia tarik sendiri. "Do they have chocolate waffles in Indonesia, Mommy?" tanyanya dengan nada khawatir.Naura terkekeh pelan. "Of course, baby
Di dalam mobil, Dirga duduk dengan wajah tegang, matanya tajam menatap jalanan yang semakin sepi saat malam semakin larut. Ia mengeluarkan ponselnya, menekan sebuah nomor yang sudah sangat ia kenal. Beberapa detik kemudian, suara di ujung telepon menjawab dengan nada tenang namun penuh kewaspadaan."Ya, Tuan Dirga?" suara pria itu terdengar jelas."Anthony," suara Dirga terdengar tegas dan penuh perintah. "Naura ada di bandara sekarang. Dia dan anaknya baru saja sampai. Aku ingin kau memastikan bahwa kalian mengikuti mereka. Mereka menaiki taksi sekarang, pastikan kau tahu alamat tempat tinggalnya. Jangan sampai mereka tahu ada yang mengikutinya."Anthony tidak perlu waktu lama untuk menjawab, suaranya penuh kepatuhan. "Baik, Tuan. Saya akan pastikan semua informasi tentang tempat tinggalnya terkumpul, dan mengikuti mereka dengan hati-hati. Tidak akan ada yang tahu.""Bagus," Dirga menjawab singkat, namun ada nada keras yang mengarah pada ketegasan dalam suara itu. "Aku ingin semuanya
Lima tahun lalu.Naura menatap dua garis merah di test pack yang masih digenggamnya erat. Tangannya bergetar, matanya panas, dan jantungnya berdetak kencang. Ini tidak seharusnya terjadi. Ini seharusnya tidak pernah terjadi. Tapi kenyataannya, ia hamil. Dan ia sangat tahu siapa yang harus bertanggung jawab.Arjuna Dirga Wiratama.Kakak dari pria yang selama ini ia cintai, atau lebih tepatnya, mantan kekasihnya.Naura menggigit bibirnya, berusaha menguatkan diri. Dirga harus tahu. Seburuk apa pun situasinya, sekelam apa pun masa lalu mereka, ia tidak bisa menyembunyikan ini. Lila—bayi yang sekarang ada di dalam perutnya—berhak memiliki ayah.Dengan tekad yang bulat, ia mengambil tasnya dan pergi menuju kantor pusat Wiratama Hospitality Group. Naura tahu bahwa Dirga adalah pewaris utama, CEO yang memegang kendali penuh atas perusahaan itu. Meski baru sebulan tak bertemu, ia yakin Dirga masih seperti yang dulu—penuh percaya diri, berkuasa, dan nyaris tak tersentuh.Sesampainya di depan g
Naura melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan perasaan yang kacau. Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang terus berputar tanpa jawaban. Bagaimana bisa Dirga tahu? Apakah dia sudah mendapatkan bukti? Dan jika iya, apa yang akan dia lakukan selanjutnya?Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Lila masih terlalu kecil untuk memahami apa yang sedang terjadi. Gadis kecil itu sekarang tengah duduk di sofa, memainkan bonekanya dengan riang, seolah pertemuan di daycare tadi hanyalah kejadian biasa."Sayang, sekarang waktunya tidur siang," ujar Naura lembut, berusaha menyembunyikan kecemasannya.Lila mengerucutkan bibir. "Tapi aku belum ngantuk, Mommy."Naura tersenyum dan mengusap lembut rambut putrinya. "Kalau begitu, kita baca buku sebentar, lalu tidur, ya?"Lila akhirnya mengangguk setuju. Naura mengambil salah satu buku dongeng favorit putrinya dan mulai membacakan cerita. Tak butuh waktu lama sebelum kelopak mata Lila mulai tertutup perlahan
Anthony melangkah dengan tenang menuju gerobak bubur tempat Naura dan Lila menikmati sarapan mereka. Dengan sikap santai, ia memesan semangkuk bubur kepada penjual, matanya sesekali melirik ke arah gadis kecil yang tengah lahap menyantap makanannya.Naura tidak terlalu memperhatikan kehadiran pria itu. Baginya, Anthony hanyalah pelanggan lain yang kebetulan datang di saat yang sama. Ia lebih fokus pada Lila, memastikan putrinya menikmati sarapan pertamanya di Indonesia."Enak, kan, sayang?" tanya Naura sambil tersenyum.Lila mengangguk dengan penuh semangat. "Iya, Mommy! Aku like banget!"Anthony yang duduk tak jauh dari mereka memperhatikan interaksi ibu dan anak itu dengan saksama. Waktu yang diberikan Dirga kepadanya tidak banyak. Ia harus segera menyelesaikan tugasnya tanpa menarik perhatian.Saat Naura mengambil dompet dari dalam tasnya untuk membayar, Anthony bergerak cepat. Dengan gerakan yang terlatih, ia menjatuhkan sendoknya ke tanah. "Ah, maaf," gumamnya sambil berjongkok,
Malam itu, di tengah keheningan yang menggantung di udara, Naura terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Ada sesuatu yang mengusik tidurnya, sebuah suara lirih yang terdengar begitu dekat. Ia menoleh dengan cepat dan menemukan Lila meringkuk di sampingnya, tubuh kecilnya gemetar dengan keringat yang membasahi dahinya."Lila..." bisiknya penuh khawatir. Ia meletakkan telapak tangannya di dahi putrinya dan merasakan panas yang tidak biasa. Secepat kilat, Naura bangkit dari tempat tidur dan mengambil kain bersih, merendamnya dalam air dingin sebelum dengan lembut mengompres dahi anaknya.Lila merintih pelan, napasnya terdengar sedikit berat. Melihat kondisi putrinya seperti ini membuat hati Naura mencengkeram kuat rasa takut, tetapi ia tahu harus tetap tenang. Selama bertahun-tahun di London, ia sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini sendirian. Dengan penuh kesabaran, ia terus mengompres dan memastikan Lila tetap nyaman."Mommy..." Lila berbisik dengan suara lemah, matanya hanya s
Di dalam mobil, Dirga duduk dengan wajah tegang, matanya tajam menatap jalanan yang semakin sepi saat malam semakin larut. Ia mengeluarkan ponselnya, menekan sebuah nomor yang sudah sangat ia kenal. Beberapa detik kemudian, suara di ujung telepon menjawab dengan nada tenang namun penuh kewaspadaan."Ya, Tuan Dirga?" suara pria itu terdengar jelas."Anthony," suara Dirga terdengar tegas dan penuh perintah. "Naura ada di bandara sekarang. Dia dan anaknya baru saja sampai. Aku ingin kau memastikan bahwa kalian mengikuti mereka. Mereka menaiki taksi sekarang, pastikan kau tahu alamat tempat tinggalnya. Jangan sampai mereka tahu ada yang mengikutinya."Anthony tidak perlu waktu lama untuk menjawab, suaranya penuh kepatuhan. "Baik, Tuan. Saya akan pastikan semua informasi tentang tempat tinggalnya terkumpul, dan mengikuti mereka dengan hati-hati. Tidak akan ada yang tahu.""Bagus," Dirga menjawab singkat, namun ada nada keras yang mengarah pada ketegasan dalam suara itu. "Aku ingin semuanya
Happy ReadingDi sebuah bandara internasional yang ramai, Naura Devi Lark menggenggam erat tangan kecil putrinya, Lila Amora Lark. Wajahnya terlihat tenang, meski ada banyak perasaan yang bercampur dalam hatinya. Hari ini, mereka akan kembali ke tanah air setelah bertahun-tahun tinggal di London. Masa berlaku visanya telah habis, dan ini adalah saatnya untuk pulang.Lila, yang baru berusia empat tahun, tampak bersemangat. Gadis kecil itu terus berceloteh dengan bahasa Inggris dan Indonesia yang bercampur, membuat beberapa orang di sekitar mereka tersenyum mendengarnya."Mommy, are we really going to Indonesia? Like, for real?" tanyanya dengan mata berbinar.Naura tersenyum, mengusap lembut rambut cokelat berkilau putrinya. "Yes, sweetheart. Kita akan ke Indonesia."Lila melompat-lompat kecil di tempat, lalu menatap koper berwarna merah muda yang ia tarik sendiri. "Do they have chocolate waffles in Indonesia, Mommy?" tanyanya dengan nada khawatir.Naura terkekeh pelan. "Of course, baby