Di dalam mobil, Dirga duduk dengan wajah tegang, matanya tajam menatap jalanan yang semakin sepi saat malam semakin larut. Ia mengeluarkan ponselnya, menekan sebuah nomor yang sudah sangat ia kenal. Beberapa detik kemudian, suara di ujung telepon menjawab dengan nada tenang namun penuh kewaspadaan.
"Ya, Tuan Dirga?" suara pria itu terdengar jelas.
"Anthony," suara Dirga terdengar tegas dan penuh perintah. "Naura ada di bandara sekarang. Dia dan anaknya baru saja sampai. Aku ingin kau memastikan bahwa kalian mengikuti mereka. Mereka menaiki taksi sekarang, pastikan kau tahu alamat tempat tinggalnya. Jangan sampai mereka tahu ada yang mengikutinya."
Anthony tidak perlu waktu lama untuk menjawab, suaranya penuh kepatuhan. "Baik, Tuan. Saya akan pastikan semua informasi tentang tempat tinggalnya terkumpul, dan mengikuti mereka dengan hati-hati. Tidak akan ada yang tahu."
"Bagus," Dirga menjawab singkat, namun ada nada keras yang mengarah pada ketegasan dalam suara itu. "Aku ingin semuanya berjalan dengan lancar. Aku tidak akan membiarkan Naura menghilang begitu saja lagi."
"Akan segera saya lakukan, Tuan."
Ponsel ditutup, dan Dirga melemparkan pandangannya ke luar jendela. Ia merasa ada perasaan yang tak bisa ia kontrol, gelisah dan marah. Meskipun ia tidak ingin mengakuinya, ia tahu bahwa pertemuan dengan Naura tadi membawa banyak kenangan pahit yang belum terselesaikan. Namun sekarang, dia sudah ada di Indonesia, dan Dirga bertekad untuk mendapatkan jawaban—jawaban tentang kepergiannya lima tahun lalu dan tentang anak yang bersamanya.
***
Di sisi lain, Naura merasa cemas saat melihat taksi yang mereka tumpangi melaju menuju tempat yang sudah ia pilih untuk mereka berdua. Lila tampak mulai tertidur, kepala kecilnya bersandar di bahu ibunya yang penuh dengan pikiran. Naura merasakan ketegangan dalam dirinya, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang di hadapan putrinya.
Tak lama kemudian, taksi berhenti di sebuah kawasan yang cukup sepi, namun aman untuk mereka berdua. Naura menghela napas panjang, bersyukur akhirnya sampai di rumah yang sudah mereka pilih sebelumnya. Ia membuka pintu taksi dan membayar supir dengan sedikit kebingungan di hatinya.
"Mommy, are we home?" Lila bertanya dengan mata setengah terpejam.
"Yes, sweetie, we’re home," jawab Naura sambil mengangkat putrinya dari kursi taksi. Lila memeluknya erat, tubuh kecilnya hampir tidak bisa menahan kantuknya.
Sementara itu, di belakang mereka, Anthony yang menyamar dengan pakaian biasa, duduk di mobil yang tidak jauh dari lokasi tersebut, memerhatikan setiap gerak-gerik Naura dengan seksama. Ia mencatat dengan cepat di ponselnya dan mengirimkan data alamat rumah Naura kepada Dirga, memastikan bahwa perintahnya dijalankan dengan sempurna.
"Alamat sudah saya dapatkan, Tuan Dirga," pesan singkat dari Anthony muncul di layar ponsel Dirga yang sedang menunggu. Dirga langsung merespons dengan cepat.
"Terus ikuti mereka, Anthony. Jangan biarkan mereka tahu ada yang mengikuti."
"Baik, Tuan. Saya akan terus mengawasi."
Dengan informasi yang sudah terkumpul, Dirga merasa sedikit lebih tenang. Namun, hatinya tetap gelisah. Ini baru permulaan. Naura mungkin sudah kembali, tetapi dia tahu bahwa cerita mereka belum selesai. Ia tidak akan membiarkan Naura kembali menghilang dari hidupnya begitu saja, tanpa mengetahui alasan yang sebenarnya.
Di dalam rumah, Naura memasukkan kunci ke dalam pintu dan mengunci dengan cepat. Ia menarik nafas panjang, berusaha menenangkan diri, tapi perasaan cemas dan terperangkap semakin menguat. Ia tahu bahwa ia tidak akan bisa menghindari masa lalunya lebih lama lagi.
Sambil melangkah menuju kamar tidur, ia berusaha tersenyum, mencoba untuk menenangkan Lila. "We’re safe here, sweetheart. Everything will be okay."
Namun, dalam hatinya, Naura tahu bahwa semuanya tidak akan mudah. Dirga—dengan keinginan dan tekadnya—akan selalu mengawasi langkahnya.
***
Dirga menatap layar ponselnya dengan mata yang semakin tajam, merenungi setiap kata yang dikirimkan Anthony. Ia menekan ponselnya, menekan angka-angka yang tak terasa berat di tangannya, namun berat di hatinya. Di luar, malam semakin larut, dan angin dingin menerpa jendela mobilnya. Namun, hatinya terasa lebih dingin daripada angin itu. Perasaan yang sulit dijelaskan menggumpal di dalam dadanya.
"Aku yakin itu anakku," gumam Dirga dalam hati, matanya menatap kosong. Memang, gadis kecil itu memiliki mata yang sama seperti miliknya—warna emerald yang berkilau, yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu di keluarganya.
Jika gadis kecil itu memang miliknya, Dirga tahu satu hal pasti—dia tidak akan diam. Ia akan melangkah lebih jauh, menggunakan segala cara untuk memastikan bahwa Naura dan anak itu ada di sisinya. Tidak peduli seberapa keras atau liciknya cara yang harus ditempuh. Naura mungkin bisa menghindar untuk sementara waktu, tapi Dirga tahu betul bagaimana cara mengendalikan segalanya.
Ia mengeluarkan napas panjang, matanya kini berfokus pada mobil yang mengarah ke rumah Naura. Tak ada yang boleh menghalangi jalanannya kali ini. Ia tidak peduli dengan apa yang mungkin Naura pikirkan atau rasakan. Jika itu berarti ia harus melibatkan orang lain—termasuk Anthony—untuk memastikan Naura dan gadis kecil itu tetap berada dalam jangkauannya, maka Dirga akan melakukannya.
"Apapun caranya," pikir Dirga dengan tegas. "Jika benar dia anakku, aku tidak akan membiarkan mereka pergi begitu saja."
Tapi, ada satu hal yang Dirga belum tahu. Naura takkan mudah diperdaya. Ia tahu betul bahwa kehadirannya—dan terutama anak itu—bukan hanya soal hak atau kepemilikan. Itu soal kenyataan yang lebih dalam, yang mungkin bahkan Dirga sendiri belum sepenuhnya pahami.
Namun, Dirga tidak bisa menahan dirinya. Rasa sakit yang terpendam terlalu dalam, dan ia hanya tahu satu hal: ia ingin mengembalikan semuanya—seperti yang dulu. Mungkin hanya Naura dan gadis kecil itu yang bisa membuat kehidupannya utuh kembali.
Di sisi lain, Naura mulai merasakan berat langkahnya menuju kamar tidur. Dengan hati-hati, ia menidurkan Lila di tempat tidur, melihat putrinya yang tampak sangat lelah setelah perjalanan panjang. Naura mengelus rambut Lila dengan lembut, mencoba meyakinkan dirinya bahwa mereka aman. Namun, ia tahu bahwa perasaan tenang itu hanya sementara. Segala yang ia coba hindari kini datang menghampirinya.
Sementara Dirga, dengan keyakinannya yang semakin kuat, memulai rencana untuk memastikan bahwa Naura—dan gadis kecil itu—akan berada dalam jangkauannya selamanya.
Malam itu, di tengah keheningan yang menggantung di udara, Naura terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Ada sesuatu yang mengusik tidurnya, sebuah suara lirih yang terdengar begitu dekat. Ia menoleh dengan cepat dan menemukan Lila meringkuk di sampingnya, tubuh kecilnya gemetar dengan keringat yang membasahi dahinya."Lila..." bisiknya penuh khawatir. Ia meletakkan telapak tangannya di dahi putrinya dan merasakan panas yang tidak biasa. Secepat kilat, Naura bangkit dari tempat tidur dan mengambil kain bersih, merendamnya dalam air dingin sebelum dengan lembut mengompres dahi anaknya.Lila merintih pelan, napasnya terdengar sedikit berat. Melihat kondisi putrinya seperti ini membuat hati Naura mencengkeram kuat rasa takut, tetapi ia tahu harus tetap tenang. Selama bertahun-tahun di London, ia sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini sendirian. Dengan penuh kesabaran, ia terus mengompres dan memastikan Lila tetap nyaman."Mommy..." Lila berbisik dengan suara lemah, matanya hanya s
Anthony melangkah dengan tenang menuju gerobak bubur tempat Naura dan Lila menikmati sarapan mereka. Dengan sikap santai, ia memesan semangkuk bubur kepada penjual, matanya sesekali melirik ke arah gadis kecil yang tengah lahap menyantap makanannya.Naura tidak terlalu memperhatikan kehadiran pria itu. Baginya, Anthony hanyalah pelanggan lain yang kebetulan datang di saat yang sama. Ia lebih fokus pada Lila, memastikan putrinya menikmati sarapan pertamanya di Indonesia."Enak, kan, sayang?" tanya Naura sambil tersenyum.Lila mengangguk dengan penuh semangat. "Iya, Mommy! Aku like banget!"Anthony yang duduk tak jauh dari mereka memperhatikan interaksi ibu dan anak itu dengan saksama. Waktu yang diberikan Dirga kepadanya tidak banyak. Ia harus segera menyelesaikan tugasnya tanpa menarik perhatian.Saat Naura mengambil dompet dari dalam tasnya untuk membayar, Anthony bergerak cepat. Dengan gerakan yang terlatih, ia menjatuhkan sendoknya ke tanah. "Ah, maaf," gumamnya sambil berjongkok,
Naura melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan perasaan yang kacau. Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang terus berputar tanpa jawaban. Bagaimana bisa Dirga tahu? Apakah dia sudah mendapatkan bukti? Dan jika iya, apa yang akan dia lakukan selanjutnya?Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Lila masih terlalu kecil untuk memahami apa yang sedang terjadi. Gadis kecil itu sekarang tengah duduk di sofa, memainkan bonekanya dengan riang, seolah pertemuan di daycare tadi hanyalah kejadian biasa."Sayang, sekarang waktunya tidur siang," ujar Naura lembut, berusaha menyembunyikan kecemasannya.Lila mengerucutkan bibir. "Tapi aku belum ngantuk, Mommy."Naura tersenyum dan mengusap lembut rambut putrinya. "Kalau begitu, kita baca buku sebentar, lalu tidur, ya?"Lila akhirnya mengangguk setuju. Naura mengambil salah satu buku dongeng favorit putrinya dan mulai membacakan cerita. Tak butuh waktu lama sebelum kelopak mata Lila mulai tertutup perlahan
Lima tahun lalu.Naura menatap dua garis merah di test pack yang masih digenggamnya erat. Tangannya bergetar, matanya panas, dan jantungnya berdetak kencang. Ini tidak seharusnya terjadi. Ini seharusnya tidak pernah terjadi. Tapi kenyataannya, ia hamil. Dan ia sangat tahu siapa yang harus bertanggung jawab.Arjuna Dirga Wiratama.Kakak dari pria yang selama ini ia cintai, atau lebih tepatnya, mantan kekasihnya.Naura menggigit bibirnya, berusaha menguatkan diri. Dirga harus tahu. Seburuk apa pun situasinya, sekelam apa pun masa lalu mereka, ia tidak bisa menyembunyikan ini. Lila—bayi yang sekarang ada di dalam perutnya—berhak memiliki ayah.Dengan tekad yang bulat, ia mengambil tasnya dan pergi menuju kantor pusat Wiratama Hospitality Group. Naura tahu bahwa Dirga adalah pewaris utama, CEO yang memegang kendali penuh atas perusahaan itu. Meski baru sebulan tak bertemu, ia yakin Dirga masih seperti yang dulu—penuh percaya diri, berkuasa, dan nyaris tak tersentuh.Sesampainya di depan g
Happy ReadingDi sebuah bandara internasional yang ramai, Naura Devi Lark menggenggam erat tangan kecil putrinya, Lila Amora Lark. Wajahnya terlihat tenang, meski ada banyak perasaan yang bercampur dalam hatinya. Hari ini, mereka akan kembali ke tanah air setelah bertahun-tahun tinggal di London. Masa berlaku visanya telah habis, dan ini adalah saatnya untuk pulang.Lila, yang baru berusia empat tahun, tampak bersemangat. Gadis kecil itu terus berceloteh dengan bahasa Inggris dan Indonesia yang bercampur, membuat beberapa orang di sekitar mereka tersenyum mendengarnya."Mommy, are we really going to Indonesia? Like, for real?" tanyanya dengan mata berbinar.Naura tersenyum, mengusap lembut rambut cokelat berkilau putrinya. "Yes, sweetheart. Kita akan ke Indonesia."Lila melompat-lompat kecil di tempat, lalu menatap koper berwarna merah muda yang ia tarik sendiri. "Do they have chocolate waffles in Indonesia, Mommy?" tanyanya dengan nada khawatir.Naura terkekeh pelan. "Of course, baby
Lima tahun lalu.Naura menatap dua garis merah di test pack yang masih digenggamnya erat. Tangannya bergetar, matanya panas, dan jantungnya berdetak kencang. Ini tidak seharusnya terjadi. Ini seharusnya tidak pernah terjadi. Tapi kenyataannya, ia hamil. Dan ia sangat tahu siapa yang harus bertanggung jawab.Arjuna Dirga Wiratama.Kakak dari pria yang selama ini ia cintai, atau lebih tepatnya, mantan kekasihnya.Naura menggigit bibirnya, berusaha menguatkan diri. Dirga harus tahu. Seburuk apa pun situasinya, sekelam apa pun masa lalu mereka, ia tidak bisa menyembunyikan ini. Lila—bayi yang sekarang ada di dalam perutnya—berhak memiliki ayah.Dengan tekad yang bulat, ia mengambil tasnya dan pergi menuju kantor pusat Wiratama Hospitality Group. Naura tahu bahwa Dirga adalah pewaris utama, CEO yang memegang kendali penuh atas perusahaan itu. Meski baru sebulan tak bertemu, ia yakin Dirga masih seperti yang dulu—penuh percaya diri, berkuasa, dan nyaris tak tersentuh.Sesampainya di depan g
Naura melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan perasaan yang kacau. Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang terus berputar tanpa jawaban. Bagaimana bisa Dirga tahu? Apakah dia sudah mendapatkan bukti? Dan jika iya, apa yang akan dia lakukan selanjutnya?Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Lila masih terlalu kecil untuk memahami apa yang sedang terjadi. Gadis kecil itu sekarang tengah duduk di sofa, memainkan bonekanya dengan riang, seolah pertemuan di daycare tadi hanyalah kejadian biasa."Sayang, sekarang waktunya tidur siang," ujar Naura lembut, berusaha menyembunyikan kecemasannya.Lila mengerucutkan bibir. "Tapi aku belum ngantuk, Mommy."Naura tersenyum dan mengusap lembut rambut putrinya. "Kalau begitu, kita baca buku sebentar, lalu tidur, ya?"Lila akhirnya mengangguk setuju. Naura mengambil salah satu buku dongeng favorit putrinya dan mulai membacakan cerita. Tak butuh waktu lama sebelum kelopak mata Lila mulai tertutup perlahan
Anthony melangkah dengan tenang menuju gerobak bubur tempat Naura dan Lila menikmati sarapan mereka. Dengan sikap santai, ia memesan semangkuk bubur kepada penjual, matanya sesekali melirik ke arah gadis kecil yang tengah lahap menyantap makanannya.Naura tidak terlalu memperhatikan kehadiran pria itu. Baginya, Anthony hanyalah pelanggan lain yang kebetulan datang di saat yang sama. Ia lebih fokus pada Lila, memastikan putrinya menikmati sarapan pertamanya di Indonesia."Enak, kan, sayang?" tanya Naura sambil tersenyum.Lila mengangguk dengan penuh semangat. "Iya, Mommy! Aku like banget!"Anthony yang duduk tak jauh dari mereka memperhatikan interaksi ibu dan anak itu dengan saksama. Waktu yang diberikan Dirga kepadanya tidak banyak. Ia harus segera menyelesaikan tugasnya tanpa menarik perhatian.Saat Naura mengambil dompet dari dalam tasnya untuk membayar, Anthony bergerak cepat. Dengan gerakan yang terlatih, ia menjatuhkan sendoknya ke tanah. "Ah, maaf," gumamnya sambil berjongkok,
Malam itu, di tengah keheningan yang menggantung di udara, Naura terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Ada sesuatu yang mengusik tidurnya, sebuah suara lirih yang terdengar begitu dekat. Ia menoleh dengan cepat dan menemukan Lila meringkuk di sampingnya, tubuh kecilnya gemetar dengan keringat yang membasahi dahinya."Lila..." bisiknya penuh khawatir. Ia meletakkan telapak tangannya di dahi putrinya dan merasakan panas yang tidak biasa. Secepat kilat, Naura bangkit dari tempat tidur dan mengambil kain bersih, merendamnya dalam air dingin sebelum dengan lembut mengompres dahi anaknya.Lila merintih pelan, napasnya terdengar sedikit berat. Melihat kondisi putrinya seperti ini membuat hati Naura mencengkeram kuat rasa takut, tetapi ia tahu harus tetap tenang. Selama bertahun-tahun di London, ia sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini sendirian. Dengan penuh kesabaran, ia terus mengompres dan memastikan Lila tetap nyaman."Mommy..." Lila berbisik dengan suara lemah, matanya hanya s
Di dalam mobil, Dirga duduk dengan wajah tegang, matanya tajam menatap jalanan yang semakin sepi saat malam semakin larut. Ia mengeluarkan ponselnya, menekan sebuah nomor yang sudah sangat ia kenal. Beberapa detik kemudian, suara di ujung telepon menjawab dengan nada tenang namun penuh kewaspadaan."Ya, Tuan Dirga?" suara pria itu terdengar jelas."Anthony," suara Dirga terdengar tegas dan penuh perintah. "Naura ada di bandara sekarang. Dia dan anaknya baru saja sampai. Aku ingin kau memastikan bahwa kalian mengikuti mereka. Mereka menaiki taksi sekarang, pastikan kau tahu alamat tempat tinggalnya. Jangan sampai mereka tahu ada yang mengikutinya."Anthony tidak perlu waktu lama untuk menjawab, suaranya penuh kepatuhan. "Baik, Tuan. Saya akan pastikan semua informasi tentang tempat tinggalnya terkumpul, dan mengikuti mereka dengan hati-hati. Tidak akan ada yang tahu.""Bagus," Dirga menjawab singkat, namun ada nada keras yang mengarah pada ketegasan dalam suara itu. "Aku ingin semuanya
Happy ReadingDi sebuah bandara internasional yang ramai, Naura Devi Lark menggenggam erat tangan kecil putrinya, Lila Amora Lark. Wajahnya terlihat tenang, meski ada banyak perasaan yang bercampur dalam hatinya. Hari ini, mereka akan kembali ke tanah air setelah bertahun-tahun tinggal di London. Masa berlaku visanya telah habis, dan ini adalah saatnya untuk pulang.Lila, yang baru berusia empat tahun, tampak bersemangat. Gadis kecil itu terus berceloteh dengan bahasa Inggris dan Indonesia yang bercampur, membuat beberapa orang di sekitar mereka tersenyum mendengarnya."Mommy, are we really going to Indonesia? Like, for real?" tanyanya dengan mata berbinar.Naura tersenyum, mengusap lembut rambut cokelat berkilau putrinya. "Yes, sweetheart. Kita akan ke Indonesia."Lila melompat-lompat kecil di tempat, lalu menatap koper berwarna merah muda yang ia tarik sendiri. "Do they have chocolate waffles in Indonesia, Mommy?" tanyanya dengan nada khawatir.Naura terkekeh pelan. "Of course, baby