Lima tahun lalu.
Naura menatap dua garis merah di test pack yang masih digenggamnya erat. Tangannya bergetar, matanya panas, dan jantungnya berdetak kencang. Ini tidak seharusnya terjadi. Ini seharusnya tidak pernah terjadi. Tapi kenyataannya, ia hamil. Dan ia sangat tahu siapa yang harus bertanggung jawab.
Arjuna Dirga Wiratama.
Kakak dari pria yang selama ini ia cintai, atau lebih tepatnya, mantan kekasihnya.
Naura menggigit bibirnya, berusaha menguatkan diri. Dirga harus tahu. Seburuk apa pun situasinya, sekelam apa pun masa lalu mereka, ia tidak bisa menyembunyikan ini. Lila—bayi yang sekarang ada di dalam perutnya—berhak memiliki ayah.
Dengan tekad yang bulat, ia mengambil tasnya dan pergi menuju kantor pusat Wiratama Hospitality Group. Naura tahu bahwa Dirga adalah pewaris utama, CEO yang memegang kendali penuh atas perusahaan itu. Meski baru sebulan tak bertemu, ia yakin Dirga masih seperti yang dulu—penuh percaya diri, berkuasa, dan nyaris tak tersentuh.
Sesampainya di depan gedung megah dengan logo ‘Wiratama Hospitality Group’ yang terpampang besar, Naura menarik napas dalam.
Naura menelan ludah, berusaha mengabaikan rasa tidak nyaman akibat tatapan menghakimi resepsionis itu. Dengan suara yang tetap tenang meskipun ada sedikit getaran, ia berkata,
"Saya ingin bertemu dengan Pak Dirga. Bisakah Anda memberitahu saya di ruangan mana beliau berada?"
Resepsionis itu mengangkat alis, jelas-jelas meremehkan penampilan Naura yang jauh dari kesan profesional atau elegan. Dengan nada skeptis, ia bertanya,
"Maaf, Anda sudah membuat janji sebelumnya?"
Naura menggeleng pelan. "Tidak. Tapi saya perlu bertemu dengannya. Ini penting."
Sang resepsionis mendengus kecil, lalu menatap layar komputer di depannya. "Maaf, Pak Dirga sedang sibuk. Jika Anda tidak memiliki janji, saya tidak bisa membiarkan Anda masuk begitu saja."
Naura mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya. Haruskah ia pergi dan mencari cara lain? Atau tetap bersikeras menemui pria itu sekarang juga?
***
Naura menoleh cepat begitu mendengar namanya dipanggil. Seorang pria dewasa, mungkin seusia Dirga, berdiri tidak jauh darinya dengan senyum ramah. Berbeda dengan resepsionis yang memandangnya dengan tatapan meremehkan, pria ini tampak santai dan bersahabat.
"Ah, kamu Naura, kan?" tanyanya dengan nada akrab.
Naura mengernyit bingung. "Iya, saya Naura."
Pria itu mengulurkan tangan. "Perkenalkan, saya Robi. Sahabat Dirga. Dia pernah bercerita tentang kamu sebelumnya."
Naura menegang sejenak, tidak tahu harus menjawab apa. Namun, sebelum ia sempat merespons, Robi mengangkat tangan sedikit, seolah menyadari ketidaknyamanannya.
"Oh, maaf kalau pertanyaan saya membuatmu kurang nyaman. Tidak usah dijawab kalau kamu tidak mau," katanya dengan senyum menenangkan.
Naura menghela napas lega. "Terima kasih."
Lift terus naik, melewati beberapa lantai dengan cepat. Saat angka di layar digital menunjukkan lantai 30, Robi bergerak sedikit ke depan.
"Saya akan turun di sini," katanya, menekan tombol untuk menghentikan lift. "Kamu tinggal lanjut saja sampai lantai teratas. Ruangan Dirga ada di ujung koridor. Tidak akan sulit menemukannya."
Naura mengangguk pelan. "Terima kasih, Mas Robi."
Pria itu tersenyum sekilas sebelum melangkah keluar. Begitu pintu lift tertutup kembali, Naura menatap pantulan dirinya di dinding baja yang mengilap. Tangannya meremas tali tas, jantungnya berdetak lebih cepat.
Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. Ini bukan saatnya ragu.
Beberapa detik kemudian, lift berbunyi pelan, menandakan bahwa ia telah sampai di lantai 35. Dengan langkah hati-hati, Naura melangkah keluar, matanya langsung disambut oleh koridor luas dengan desain mewah.
Di ujung sana, sebuah pintu besar dengan nama Arjuna Dirga Wiratama terpampang jelas.
Naura sedikit terkejut, tidak menyangka bahwa Dirga pernah menyebut namanya di hadapan sahabatnya. Ia menjabat tangan Robi dengan ragu-ragu, sementara di sudut matanya, ia bisa melihat resepsionis tadi memasang ekspresi terkejut sekaligus canggung.
"Kamu ke sini mau bertemu Dirga?" tanya Robi lagi.
Naura mengangguk pelan.
"Mari ikut saya," kata Robi santai. "Ruangan Dirga ada di lantai 35. Itu area eksklusif khusus CEO, jadi memang tidak sembarang orang bisa masuk."
Pembawaan pria itu begitu humble dan ramah, membuat Naura sedikit lebih tenang. Ia mencoba tersenyum meskipun terasa canggung.
Saat mereka berjalan menuju lift pribadi di sisi lobi, Robi melirik Naura sekilas. "Kelihatannya kamu agak tegang. Apa yang ingin kamu bicarakan dengan Dirga?" tanyanya dengan nada penasaran.
***
Naura menegang sejenak, tidak tahu harus menjawab apa. Namun, sebelum ia sempat merespons, Robi mengangkat tangan sedikit, seolah menyadari ketidaknyamanannya.
"Oh, maaf kalau pertanyaan saya membuatmu kurang nyaman. Tidak usah dijawab kalau kamu tidak mau," katanya dengan senyum menenangkan.
Naura menghela napas lega. "Terima kasih."
Lift terus naik, melewati beberapa lantai dengan cepat. Saat angka di layar digital menunjukkan lantai 30, Robi bergerak sedikit ke depan.
"Saya akan turun di sini," katanya, menekan tombol untuk menghentikan lift. "Kamu tinggal lanjut saja sampai lantai teratas. Ruangan Dirga ada di ujung koridor. Tidak akan sulit menemukannya."
Naura mengangguk pelan. "Terima kasih, Mas Robi."
Pria itu tersenyum sekilas sebelum melangkah keluar. Begitu pintu lift tertutup kembali, Naura menatap pantulan dirinya di dinding baja yang mengilap. Tangannya meremas tali tas, jantungnya berdetak lebih cepat.
Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. Ini bukan saatnya ragu.
Beberapa detik kemudian, lift berbunyi pelan, menandakan bahwa ia telah sampai di lantai 35. Dengan langkah hati-hati, Naura melangkah keluar, matanya langsung disambut oleh koridor luas dengan desain mewah.
Di ujung sana, sebuah pintu besar dengan nama Arjuna Dirga Wiratama terpampang jelas.
***
Dunia Naura seakan runtuh dalam sekejap.
Kakinya terasa lemas, dadanya sesak, dan kepalanya mendadak pusing. Tangannya yang hendak mengetuk pintu langsung membeku di udara.
Suara tawa di dalam ruangan terdengar begitu jelas, seolah menikam hatinya dengan belati tajam.
"Lo berhasil nidurin pacar adik lo itu?"
"Jelas dong, dan ternyata dia masih perawan."
"Gila, beruntung banget lo bisa dapetin perawan di zaman sekarang!"
Naura merasa mual. Ia ingin menutup telinganya, tetapi suara mereka terus menghantamnya tanpa ampun.
"Terus lo keluar di mana?"
"Jelas di dalam lah, bro! Kalau di luar, nggak enak."
Lalu tawa mereka pecah. Riang, puas, tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Sementara Naura berdiri di luar, dengan tangan gemetar, merasakan bagaimana hatinya hancur berkeping-keping.
Tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang masih rata. Bayi yang ada di dalam sana… Apakah ini yang harus ia ceritakan kepada pria yang bahkan tidak menganggapnya lebih dari sekadar permainan semalam?
Air matanya menggenang di sudut mata.
Ia harus pergi.
Tanpa suara, tanpa jejak, Naura melangkah mundur, meninggalkan tempat itu sebelum ia benar-benar kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Happy ReadingDi sebuah bandara internasional yang ramai, Naura Devi Lark menggenggam erat tangan kecil putrinya, Lila Amora Lark. Wajahnya terlihat tenang, meski ada banyak perasaan yang bercampur dalam hatinya. Hari ini, mereka akan kembali ke tanah air setelah bertahun-tahun tinggal di London. Masa berlaku visanya telah habis, dan ini adalah saatnya untuk pulang.Lila, yang baru berusia empat tahun, tampak bersemangat. Gadis kecil itu terus berceloteh dengan bahasa Inggris dan Indonesia yang bercampur, membuat beberapa orang di sekitar mereka tersenyum mendengarnya."Mommy, are we really going to Indonesia? Like, for real?" tanyanya dengan mata berbinar.Naura tersenyum, mengusap lembut rambut cokelat berkilau putrinya. "Yes, sweetheart. Kita akan ke Indonesia."Lila melompat-lompat kecil di tempat, lalu menatap koper berwarna merah muda yang ia tarik sendiri. "Do they have chocolate waffles in Indonesia, Mommy?" tanyanya dengan nada khawatir.Naura terkekeh pelan. "Of course, baby
Di dalam mobil, Dirga duduk dengan wajah tegang, matanya tajam menatap jalanan yang semakin sepi saat malam semakin larut. Ia mengeluarkan ponselnya, menekan sebuah nomor yang sudah sangat ia kenal. Beberapa detik kemudian, suara di ujung telepon menjawab dengan nada tenang namun penuh kewaspadaan."Ya, Tuan Dirga?" suara pria itu terdengar jelas."Anthony," suara Dirga terdengar tegas dan penuh perintah. "Naura ada di bandara sekarang. Dia dan anaknya baru saja sampai. Aku ingin kau memastikan bahwa kalian mengikuti mereka. Mereka menaiki taksi sekarang, pastikan kau tahu alamat tempat tinggalnya. Jangan sampai mereka tahu ada yang mengikutinya."Anthony tidak perlu waktu lama untuk menjawab, suaranya penuh kepatuhan. "Baik, Tuan. Saya akan pastikan semua informasi tentang tempat tinggalnya terkumpul, dan mengikuti mereka dengan hati-hati. Tidak akan ada yang tahu.""Bagus," Dirga menjawab singkat, namun ada nada keras yang mengarah pada ketegasan dalam suara itu. "Aku ingin semuanya
Malam itu, di tengah keheningan yang menggantung di udara, Naura terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Ada sesuatu yang mengusik tidurnya, sebuah suara lirih yang terdengar begitu dekat. Ia menoleh dengan cepat dan menemukan Lila meringkuk di sampingnya, tubuh kecilnya gemetar dengan keringat yang membasahi dahinya."Lila..." bisiknya penuh khawatir. Ia meletakkan telapak tangannya di dahi putrinya dan merasakan panas yang tidak biasa. Secepat kilat, Naura bangkit dari tempat tidur dan mengambil kain bersih, merendamnya dalam air dingin sebelum dengan lembut mengompres dahi anaknya.Lila merintih pelan, napasnya terdengar sedikit berat. Melihat kondisi putrinya seperti ini membuat hati Naura mencengkeram kuat rasa takut, tetapi ia tahu harus tetap tenang. Selama bertahun-tahun di London, ia sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini sendirian. Dengan penuh kesabaran, ia terus mengompres dan memastikan Lila tetap nyaman."Mommy..." Lila berbisik dengan suara lemah, matanya hanya s
Anthony melangkah dengan tenang menuju gerobak bubur tempat Naura dan Lila menikmati sarapan mereka. Dengan sikap santai, ia memesan semangkuk bubur kepada penjual, matanya sesekali melirik ke arah gadis kecil yang tengah lahap menyantap makanannya.Naura tidak terlalu memperhatikan kehadiran pria itu. Baginya, Anthony hanyalah pelanggan lain yang kebetulan datang di saat yang sama. Ia lebih fokus pada Lila, memastikan putrinya menikmati sarapan pertamanya di Indonesia."Enak, kan, sayang?" tanya Naura sambil tersenyum.Lila mengangguk dengan penuh semangat. "Iya, Mommy! Aku like banget!"Anthony yang duduk tak jauh dari mereka memperhatikan interaksi ibu dan anak itu dengan saksama. Waktu yang diberikan Dirga kepadanya tidak banyak. Ia harus segera menyelesaikan tugasnya tanpa menarik perhatian.Saat Naura mengambil dompet dari dalam tasnya untuk membayar, Anthony bergerak cepat. Dengan gerakan yang terlatih, ia menjatuhkan sendoknya ke tanah. "Ah, maaf," gumamnya sambil berjongkok,
Naura melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan perasaan yang kacau. Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang terus berputar tanpa jawaban. Bagaimana bisa Dirga tahu? Apakah dia sudah mendapatkan bukti? Dan jika iya, apa yang akan dia lakukan selanjutnya?Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Lila masih terlalu kecil untuk memahami apa yang sedang terjadi. Gadis kecil itu sekarang tengah duduk di sofa, memainkan bonekanya dengan riang, seolah pertemuan di daycare tadi hanyalah kejadian biasa."Sayang, sekarang waktunya tidur siang," ujar Naura lembut, berusaha menyembunyikan kecemasannya.Lila mengerucutkan bibir. "Tapi aku belum ngantuk, Mommy."Naura tersenyum dan mengusap lembut rambut putrinya. "Kalau begitu, kita baca buku sebentar, lalu tidur, ya?"Lila akhirnya mengangguk setuju. Naura mengambil salah satu buku dongeng favorit putrinya dan mulai membacakan cerita. Tak butuh waktu lama sebelum kelopak mata Lila mulai tertutup perlahan
Lima tahun lalu.Naura menatap dua garis merah di test pack yang masih digenggamnya erat. Tangannya bergetar, matanya panas, dan jantungnya berdetak kencang. Ini tidak seharusnya terjadi. Ini seharusnya tidak pernah terjadi. Tapi kenyataannya, ia hamil. Dan ia sangat tahu siapa yang harus bertanggung jawab.Arjuna Dirga Wiratama.Kakak dari pria yang selama ini ia cintai, atau lebih tepatnya, mantan kekasihnya.Naura menggigit bibirnya, berusaha menguatkan diri. Dirga harus tahu. Seburuk apa pun situasinya, sekelam apa pun masa lalu mereka, ia tidak bisa menyembunyikan ini. Lila—bayi yang sekarang ada di dalam perutnya—berhak memiliki ayah.Dengan tekad yang bulat, ia mengambil tasnya dan pergi menuju kantor pusat Wiratama Hospitality Group. Naura tahu bahwa Dirga adalah pewaris utama, CEO yang memegang kendali penuh atas perusahaan itu. Meski baru sebulan tak bertemu, ia yakin Dirga masih seperti yang dulu—penuh percaya diri, berkuasa, dan nyaris tak tersentuh.Sesampainya di depan g
Naura melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan perasaan yang kacau. Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang terus berputar tanpa jawaban. Bagaimana bisa Dirga tahu? Apakah dia sudah mendapatkan bukti? Dan jika iya, apa yang akan dia lakukan selanjutnya?Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Lila masih terlalu kecil untuk memahami apa yang sedang terjadi. Gadis kecil itu sekarang tengah duduk di sofa, memainkan bonekanya dengan riang, seolah pertemuan di daycare tadi hanyalah kejadian biasa."Sayang, sekarang waktunya tidur siang," ujar Naura lembut, berusaha menyembunyikan kecemasannya.Lila mengerucutkan bibir. "Tapi aku belum ngantuk, Mommy."Naura tersenyum dan mengusap lembut rambut putrinya. "Kalau begitu, kita baca buku sebentar, lalu tidur, ya?"Lila akhirnya mengangguk setuju. Naura mengambil salah satu buku dongeng favorit putrinya dan mulai membacakan cerita. Tak butuh waktu lama sebelum kelopak mata Lila mulai tertutup perlahan
Anthony melangkah dengan tenang menuju gerobak bubur tempat Naura dan Lila menikmati sarapan mereka. Dengan sikap santai, ia memesan semangkuk bubur kepada penjual, matanya sesekali melirik ke arah gadis kecil yang tengah lahap menyantap makanannya.Naura tidak terlalu memperhatikan kehadiran pria itu. Baginya, Anthony hanyalah pelanggan lain yang kebetulan datang di saat yang sama. Ia lebih fokus pada Lila, memastikan putrinya menikmati sarapan pertamanya di Indonesia."Enak, kan, sayang?" tanya Naura sambil tersenyum.Lila mengangguk dengan penuh semangat. "Iya, Mommy! Aku like banget!"Anthony yang duduk tak jauh dari mereka memperhatikan interaksi ibu dan anak itu dengan saksama. Waktu yang diberikan Dirga kepadanya tidak banyak. Ia harus segera menyelesaikan tugasnya tanpa menarik perhatian.Saat Naura mengambil dompet dari dalam tasnya untuk membayar, Anthony bergerak cepat. Dengan gerakan yang terlatih, ia menjatuhkan sendoknya ke tanah. "Ah, maaf," gumamnya sambil berjongkok,
Malam itu, di tengah keheningan yang menggantung di udara, Naura terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Ada sesuatu yang mengusik tidurnya, sebuah suara lirih yang terdengar begitu dekat. Ia menoleh dengan cepat dan menemukan Lila meringkuk di sampingnya, tubuh kecilnya gemetar dengan keringat yang membasahi dahinya."Lila..." bisiknya penuh khawatir. Ia meletakkan telapak tangannya di dahi putrinya dan merasakan panas yang tidak biasa. Secepat kilat, Naura bangkit dari tempat tidur dan mengambil kain bersih, merendamnya dalam air dingin sebelum dengan lembut mengompres dahi anaknya.Lila merintih pelan, napasnya terdengar sedikit berat. Melihat kondisi putrinya seperti ini membuat hati Naura mencengkeram kuat rasa takut, tetapi ia tahu harus tetap tenang. Selama bertahun-tahun di London, ia sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini sendirian. Dengan penuh kesabaran, ia terus mengompres dan memastikan Lila tetap nyaman."Mommy..." Lila berbisik dengan suara lemah, matanya hanya s
Di dalam mobil, Dirga duduk dengan wajah tegang, matanya tajam menatap jalanan yang semakin sepi saat malam semakin larut. Ia mengeluarkan ponselnya, menekan sebuah nomor yang sudah sangat ia kenal. Beberapa detik kemudian, suara di ujung telepon menjawab dengan nada tenang namun penuh kewaspadaan."Ya, Tuan Dirga?" suara pria itu terdengar jelas."Anthony," suara Dirga terdengar tegas dan penuh perintah. "Naura ada di bandara sekarang. Dia dan anaknya baru saja sampai. Aku ingin kau memastikan bahwa kalian mengikuti mereka. Mereka menaiki taksi sekarang, pastikan kau tahu alamat tempat tinggalnya. Jangan sampai mereka tahu ada yang mengikutinya."Anthony tidak perlu waktu lama untuk menjawab, suaranya penuh kepatuhan. "Baik, Tuan. Saya akan pastikan semua informasi tentang tempat tinggalnya terkumpul, dan mengikuti mereka dengan hati-hati. Tidak akan ada yang tahu.""Bagus," Dirga menjawab singkat, namun ada nada keras yang mengarah pada ketegasan dalam suara itu. "Aku ingin semuanya
Happy ReadingDi sebuah bandara internasional yang ramai, Naura Devi Lark menggenggam erat tangan kecil putrinya, Lila Amora Lark. Wajahnya terlihat tenang, meski ada banyak perasaan yang bercampur dalam hatinya. Hari ini, mereka akan kembali ke tanah air setelah bertahun-tahun tinggal di London. Masa berlaku visanya telah habis, dan ini adalah saatnya untuk pulang.Lila, yang baru berusia empat tahun, tampak bersemangat. Gadis kecil itu terus berceloteh dengan bahasa Inggris dan Indonesia yang bercampur, membuat beberapa orang di sekitar mereka tersenyum mendengarnya."Mommy, are we really going to Indonesia? Like, for real?" tanyanya dengan mata berbinar.Naura tersenyum, mengusap lembut rambut cokelat berkilau putrinya. "Yes, sweetheart. Kita akan ke Indonesia."Lila melompat-lompat kecil di tempat, lalu menatap koper berwarna merah muda yang ia tarik sendiri. "Do they have chocolate waffles in Indonesia, Mommy?" tanyanya dengan nada khawatir.Naura terkekeh pelan. "Of course, baby