David hanya diam, melewati tubuh Arman begitu saja. Bahkan saat Arman menyapa dirinya, David seakan akan tidak peduli. "Bagaimana keadaan istri saya?" tanya David dengan suara yang meninggi, hal itu sengaja ia lakukan agar Arman bisa mendengar apa yang dirinya katakan. Arman sendiri, sampai sekarang ini masih berdiri mematung di tengah tengah pintu ruangan Dilara. "Ibu Dilara mengalami kecapean saja Pak ... Dan sedikit mengalami pendarahan," sahut Dokter yang berada di dalam ruangan, sementara ke empat perawat yang ada di dalam kamar Dilara, nampak mengelilingi tubuh Dilara dengan berdiri melingkar. Guna menutupi tubuh Dilara agar tidak terlihat oleh Arman. "Apakah bayi ku di dalam kandungannya baik baik saja?" tanya David, sembari berjalan mendekat ke arah brangkar istrinya. David nampak memberikan kode, pada seorang perawat agar mengusir Arman yang sedari tadi berdiri di tengah tengah pintu. "Tolong Pak, lebih baik anda keluar dulu dari ruangan ini!" perawat itu berusaha untu
"Kenapa kalian tidak segera menolong ku terlebih dahulu? Sekarang ini aku kesakitan! Rumah sakit macam apa ini? Yang tidak mementingkan keselamatan pasien nya terlebih dahulu!" Seorang wanita terlihat membentak bentak para tenaga kesehatan, kala tubuh nya sedang di lakukan Rontgen untuk melihat jumlah ginjal nya. "Harusnya kalian itu fokus mengambil peluru yang bersarang di dalam tubuh ku! Baru kalian melakukan USG!" "Tolong Nyonya Keira! Anda lebih baik diam, karena semua ini memang perintah dari Tuan David. Kami semua benar benar tidak berdaya, dan kami juga sangat menyayangi nyawa kami," salah satu Dokter yang sedang melakukan Rontgen pada wanita itu. Ternyata wanita itu adalah Keira, ya sekarang ini dirinya terlihat begitu mengenaskan. Bahkan luka bekas tembakan yang ada di tangannya hanya di balut dengan kain saja. Sama sekali belum mendapatkan sebuah pertolongan. Wajah nya terlihat kesakitan, bahkan air mata juga terus mengalir dari ke dua pelupuk matanya tanpa dirinya itu s
"Apa?" tanya David dengan wajah terkejut. Bahkan dia menatap Dilara dengan tatapan lekat, untuk mencari kebohongan didalam sor mata wanita didepannya itu. "Iya, kalau aku bilang. Aku itu Ara teman masa kecil mu yang mendonorkan ginjal nya pada mu, apakah kamu itu akan percaya David?" Dilara malah balik bertanya. Ke dua alis David nampak menyatu, sungguh ucapan yang barusan keluar dari bibir Dilara membuat nya termenung dan berpikir. "Bagaimana Dilara tahu perihal Ara ... Donor ginjal dan juga pangeran capung? Bahkan Keira sendiri tidak pernah membahas perihal pangeran capung," gumam David dalam hatinya, dirinya masih menimang nimang ucapan Dilara. Karena ucapan yang barusan keluar dari bibir manis Dilara, sungguh sangat masuk akal. Dan benar benar membuatnya mengingat perihal bayang bayang masa lalunya. "Dilara? Apakah kamu benar benar yakin dengan apa yang baru saja kamu katakan?" Dengan sedikit ragu, Dilara nampak mengangguk kan kepalanya. "Jujur David, setelah hany
"Apa yang terjadi? Apakah kalian berdua saling mengenal?" tanya David, ia bersikap pura pura tidak mengetahui latar belakang istrinya. "Tu - tuan David," beo Dilara. Ucapan yang barusan keluar dari bibir Dilara, sampai di telinga Arman. "Kenapa Dilara memanggil suaminya dengan sebutan Tuan? Ya ... Pasti feeling ku benar, tidak mungkin orang seperti Tuan David mau menikahi seorang wanita seperti Dilara?" gumam Arman dalam hatinya. Memang kenapa dengan wanita seperti Dilara? Seperti nya Arman terlalu menganggap remeh dan juga enteng perihal posisi mantan istrinya itu. "Sa - saya tidak mengenalnya Tuan, tolong bantu saya untuk menyuruhnya segera keluar dari sini," ujar Dilara sembari menatap David dengan tatapan memohon. Semua ucapan yang barusan keluar dari bibir Arman benar benar menyakiti hati Dilara. Iya, Dilara tahu, jika mantan suaminya itu meminta maaf untuk kesalahan tempo lalu. Namun, dengan mencari pembenaran perihal masa lalu yang menyakitkan itu. Mantan suaminya itu
Dengan pipi semerah tomat, Dilara mati matian memalingkan pandangannya ke arah lain. Kala tubuhnya di rebahkan di atas ranjang yang ada di dalam ruangan itu. Karena infus sudah terlepas, tidak ada alasan lain bagi David untuk mengajak istrinya tidur di ranjang yang ada di ruangan itu. Karena memang sebenarnya itu ruang itu, bukan lah ruangan inap. "Kenapa Tuan David terus memandang ku dengan tatapan seperti itu? Kan aku sendiri merasa sangat risih," gumam Dilara dalam hatinya, lantas ia pun menutup matanya, karena tidak kuat dengan tatapan maut yang di berikan oleh David. Pesona yang di layangkan oleh David, benar benar membuat dirinya mabuk kepayang. "Bukankah sedari tadi kamu itu memandang wajah ku, dan memainkan jari jemari mu itu di wajah ku. Kenapa sekarang kamu malah menutup wajah mu sendiri, saat wajah kita berdua sudah sedekat ini?" tanya David heran, ia sebenarnya sudah terbangun dari tadi. Cuman ia memang membiarkan istrinya itu mengungkapkan apa yang ada di dalam hatin
David nampak membaca hasil tes milik Keira istrinya. "Ternyata ginjal milik Keira itu dua, dan ginjal milik Dilara sendiri juga sama sama dua. Jika memang Dilara terbukti sebagai Ara, wanita kecil yang aku cari. Hukuman apa yang pantas untuk aku berikan pada wanita pembohong itu," gumam David dalam hatinya, ia masih mengingat , jika Keira adalah mantan istri dan juga ibu dari darah dagingnya. Mengingat Tes DNA itu belum keluar perihal Devandra. David berjalan ke arah kaca, dimana istri yang selama ini dia cintai dan perlakukan seperti putri raja nampak mengamuk dan juga berteriak kesetanan dengan tatapan kosong. Dengan tangan yang hanya di balut oleh perban. Keira terus saja mengamuk. "Tuan David, apakah ada tindakan yang perlu kami lakukan untuk Nyonya Keira? Seperti operasi, karena saya taku. Jika di biarkan lukanya akan mengalami infeksi," kata salah seorang bawhannya dengan pakaian medis. "Biarkan dia seperti ini dulu! Ini adalah hukuman yang pantas untuk nya, karena
"Dilara ... Apakah ada yang sakit? Kenapa kamu itu malah diam mematung seperti ini?" Pertanyaan dari David sukses membuat lamunan Dilara pun buyar. Selama seberapa hari ini, jika bertemu dengan David. Ntah kenapa bayang bayang memalukan saat berada di dalam rumah sakit terus terlintas di dalam otak dan juga pikirannya. Dengan wajah polosnya, Dilara reflek melihat ke arah wajah David dengan bola mata hitam legam dan juga besar itu. Namun, setelah dirinya tersadar. Dilara buru buru memalingkan pandangan nya lagi ke arah lain. David sungguh di buat gemas, dengan tingkah istrinya saat ini. Lantas ia pun berjalan cepat ke arah Dilara. Tanpa banyak bicara langsung menggendong tubuh istrinya itu ala bridal style. "Tu - tuan kenapa anda sekarang ini menggendong saya?" tanya Dilara polos. "Kenapa harus berbicara dengan nada formal?" Bukanya menjawab pertanyaan istrinya, David malah balik mengajukan pertanyaan. "Maaf," sahut Dilara. "Aku akan merebahkan tubuh mu di atas kasur,"
"Kenapa anda terus berpikir buruk tentang saya Tuan? Bahkan sebelumnya anda juga terlalu percaya pada fitnah fitnah keji yang di tunjukkan pada saya," teriak Dilara sembari terus terisak. Bahkan ia menjeda ucapannya untuk mengambil nafas dalam dalam terlebih dahulu. Akhirnya beberapa hal yang sebelum nya hanya bisa Dilara pendam, sekarang ini seperti sebuah bom waktu yang akhirnya meledak juga. Dilara sendiri juga sebenarnya bingung, keberanian nya itu sebenarnya datang dari mana. Dia hanya orang kecil dan tidak mempunyai koneksi, sebenarnya mana berani melawan David yang mempunyai banyak bawahan dan juga bodyguard. "Sebelumnya Tuan juga sangat tega dengan mempercayai beberapa tuduhan keji yang di berikan kepada ku. Bahkan Tuan juga memberikan hukuman yang sangat kejam pada ku!" Dilara terus mengeluarkan unek unek yang selama ini ia pendam dan juga begitu menyesakkan di dadanya. David merasa aneh dengan perasaannya sendiri. Ia tidak marah, justru menatap istrinya, Dilara, dengan
Laras dengan santainya berjalan ke arah sisi Albert Wongso, tatapan matanya sinis melirik ke arah Ditya yang mematung dengan raut muka merah padam. Darah Ditya seakan mendidih, jantungnya berdegup kencang saat menyaksikan pembantunya yang tak tahu malu itu berdiri dengan angkuh di samping orang yang selama ini sangat dia percayai. Ditya tertawa sini, lalu dia berkata, "Ternyata, hal buruk itu sudah kalian berdua rencanakan sebelumnya." Suaranya gemetar, mengingat kejadian di kamar dimana Laras dengan liciknya memberikan obat perangsang kepadanya. "Iya, tentu saja. Aku adalah orang yang pintar, gak mungkin jika seorang pelayan rendahan memiliki banyak uang untuk membeli beberapa kamera tersembunyi itu, ingat apapun yang terjadi kau harus bertanggung Jawab apa yang sudah kamu lakukan,," sahut Laras dengan nada tinggi dan penuh keangkuhan. Dia menatap Ditya dengan pandangan yang penuh kemenangan, seolah-olah telah memenangkan pertarungan yang tidak seimbang. "Kalau kau
David bingung melihat ekspresi wajah istrinya yang terlihat begitu terkejut. "Sayang, apa yang terjadi?" tanya David khawatir. 'Gimana ini? Apakah harus jujur, tapi sekarang ini kakek melakukan hal yang membuatku membencinya. Bahkan David bisa juga muak dengannya.' 'Tapi bagaimana pun juga, kakek adalah kakek kandungku. Orang yang berjasa merawat ku setelah kedua orang tuaku tiada, takutnya nanti kalau David itu beneran benci sama kakek.' Melihat istrinya melamun gak jelas, David pun mencium bibir istrinya. Hal itu langsung membuat lamunan Dilara buyar, bahkan wajah malah menjadi merah merona. "David," teriak Dilara pura-pura kesal. "Kenapa kamu tiba-tiba mencium ku." "Kenapa? Gak ada yang salah dengan mencium bibir istriku sendiri, hmm ... Bahkan seluruh tubuhmu, aku juga sudah melihatnya," goda David dengan nada nakal. Hal itu membuat wajah Dilara semakin merah, bahkan terlihat seperti kepiting rebus. "Ayo kita main dulu!" ajak David seraya menaikkan turunkan
"Apa gara-gara baku hantam tadi? Ada sesuatu yang serius dengan kepalamu?" Wajah David nampak kebingungan setelah mendengar celotehan istrinya. David sontak memegang kepalanya sendiri, dia mencoba mengingat. 'Bukankah tadi saat bertengkar dengan Samuel, tidak memakai kepala?' gumam David tanpa sadar dalam hatinya. Otaknya masih terus mengingat. Tapi yang dia ingat, tadi otaknya masih utuh dan tidak terkena guncangan apapun. "Ayo kita kerumah sakit! Periksakan kepalamu, kenapa bisa kamu itu tiba -tiba lupa. Jika semua uangmu itu ada di aku," kata Dilara dengan nada khawatir. Wajah kebingungan yang sebelumnya ditunjukkan David langsung berubah masam. Setelah dia menyadari pikiran konyol yang ada didalam otak istrinya. "Astaga Dilara, kamu mengira kalau aku itu pikun. Bahkan takutnya nanti aku dengan mudah melupakan jika kamu itu istriku, itu-kan hal yang kamu takutkan sekarang," tebak David yang mana langsung mendapatkan anggukan kepala dari Dilara. Dilara memas
"Dilara, ayo kita pergi dari sini!" titah David dengan wajah masam. Melihat tangan istrinya yang masih disentuh orang lain, sifat posesif David muncul. "Dilara sepertinya kamu sudah menikah, kenapa tidak mengundangku?" tanya pria itu, dia enggan melepaskan tangannya dari tangan Dilara. "Samuel, sudah lama sekali kita gak bertemu. Bahkan aku belum pernah mendengar kabarmu. Bagaimana caranya aku memberikan undangan?" jawab Dilara tanpa rasa canggung menghangat kedekatan mereka dulu. Dilara terus memperhatikan Samuel dari atas ke bawah. "Samuel, aku gak tahu kalau kamu bisa berubah begini! Lepaskan dulu, suamiku sangat posesif," titah Dilara dengan senyuman lebar, bahkan ucapannya diselingi dengan canda dan tawa. Dahi David mengernyit, dia bingung dengan sikap istrinya. 'Kenapa dia begitu berani? Bermesraan dengan pria lain didepanku?' David menatap tajam ke arah istrinya. "Oh ... Ya." Samuel menaikkan satu alisnya. Dia menatap Dilara dengan tatapan yang sulit untuk didesk
"Aku ingin sekali menghancurkan kehidupan cucumu dengan suami bucin -nya. Cucumu itu telah merebut David- ku," jawab Laras berbisik tepat ditelinga Ditya. Dengan wajah yang terlihat jijik, Ditya menjauhkan tubuh Laras yang begitu dekat dengannya. Selama ini dia bisa bertahan menjadi duda yang hanya setia kepada mendiang istrinya, kalau tidak gara-gara Laras. Ditya mungkin saja masih duda sampai sekarang. Melihat tatapan Ditya, Laras hanya tersenyum sarkas. Tapi Ditya mengerti arti dari senyuman Laras itu. "Jadi kau menjebakku agar menikahimu demi menghancurkan cucuku sendiri. Kau gak pantas buat David. Kau harusnya sadar diri, hanya pembantu," kata Ditya melotot tajam. Laras tertawa sarkas lalu berkata, "setelah kamu menikahiku, tentu saja aku bukan pembantu lagi." Ditya ingin mencekik Laras, tapi Laras malah tertawa keras dan terlihat seperti orang gila. "Disini ada beberapa kamera yang sudah aku pasang, dan kamera itu sudah terhubung dengan seseorang." U
Laras merasakan jantungnya berdebar kencang saat menerima telepon dari Aland. Dia tahu, dirinya sebelumnya terlalu sombong. Demi membuat David dan Dilara menderita, dia harus mengeluarkan banyak sekali uang untuk Devandra. Bahkan seluruh tabungannya yang dia kumpulkan saat bekerja pada David sebelumnya sudah habis. Suara Aland terdengar lelah namun lega, "Laras, aku dan Devandra sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Tapi aku butuh uang untuk biaya taksi dan beberapa keperluan lain." Laras menggigit bibirnya, berusaha keras untuk tenang. Dengan suara yang berusaha terdengar meyakinkan, dia menjawab, "Tenang, aku akan mengurusnya. Aku tahu bagaimana mendapatkan uang dari kakek Ditya. Aku akan segera mengirimkan uangnya padamu." Dari balik telepon Aland bingung, dahinya nampak berkerut. Tapi, dia dan Laras hanya partner. Dia membantu Laras, dan Laras sendiri membantunya untuk tetap hidup. Garis ketegangan tergambar jelas di wajah Laras saat dia memutuskan panggilan
Indira melahirkan, tapi dia tidak dibawa ke layanan kesehatan melainkan melahirkan di camp agen. Indira menggenggam erat tangan Esti saat mengucapkan kata-kata penuh kebencian itu. Matanya yang merah menatap lurus ke arah bayi yang baru saja dia lahirkan. "Aku benci anak ini," gumamnya hampir tak terdengar. Bayi itu menangis, suaranya melengking kecil memecah kesunyian ruangan, namun tidak mampu mencairkan kebekuan di hati Indira. Esti, dengan lembut membelai punggung Indira, mencoba menenangkan teman baiknya itu. "Indira, dia bayi yang tidak berdosa. Jangan biarkan luka dari masa lalumu meracuni hati ini," ucap Esti, suaranya penuh kelembutan dan pengertian. Tetapi, Indira hanya menggigit bibirnya, matanya tak lepas dari wajah bayi yang terlalu mirip dengan Etnan, pria yang telah memberinya luka begitu dalam. "Bagaimana mungkin aku mencintai sesuatu yang selalu mengingatkanku pada dia?" kata Indira dengan nada getir. Esti menghela napas, hatinya terasa berat m
Dilara merasa kesulitan untuk melanjutkan kata-katanya. Sementara kedua alis David nampak menyatu. "Ada apa memangnya antara kakek Ditya dan juga Laras?" tanya David bingung. Bahkan rasa penasaran mulai membuncah didalam dirinya. Baru kali ini, David merasa sekepo ini tentang urusan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dirinya. "Kakek Ditya melakukan hubungan terlarang dengan Laras, nanti aku akan menikahkan mereka berdua kalau Laras itu hamil," celetuk Dilara yang mana membuat David semakin terkejut. Mengingat Laras juga seumurannya. "Astaga," sahut David, kedua bola matanya langsung menatap ke arah langit yang dipenuhi bintang. "Ayo sekarang pindah dari rumah kakekku, kita tinggal dimansionmu!" titah Dilara matanya sembab. David ingin menolak mengingat sudah tengah malam, tapi istrinya bersikeras. Di bawah langit yang berkelip bintang, David menelan ludah, berusaha mencerna informasi yang baru saja dihembuskan oleh istrinya. "Mengapa kau bilang
Laras terisak dalam ruangan itu, air matanya mengalir membasahi pipinya yang pucat. Rambutnya yang biasanya rapi kini acak-acakan, dan bajunya yang terbuat dari kain halus tampak kusut dan berserakan. Namun, di balik air mata dan rupa yang menyedihkan itu, ada senyuman tipis yang tersembunyi di sudut bibirnya. Rencananya telah berjalan dengan mulus. Di hadapannya, Kakek Ditya berdiri dengan wajah yang bingung dan terkejut, tangannya gemetar. Giginya gemertak, merasakan sebuah amarah yang tak bisa tertahankan. Dia ingin sekali mengejar cucunya Dilara yang marah karena memergoki aksinya yang tdia "Kakek Ditya, kamu harus bertanggung jawab. Karena kamu telah melakukan hal buruk padaku," ucap Laras dengan suara yang lirih namun penuh dengan tuduhan. Kakek Ditya, yang semula ingin menyalahkan Laras, kini terhenti kata-katanya. Dia menatap Dilara, yang berlari ke luar kamarnya, ingin mengejarnya namun kaki tuanya tidak secepat dulu. Ditya menoleh kembali ke Laras,