Dengan pipi semerah tomat, Dilara mati matian memalingkan pandangannya ke arah lain. Kala tubuhnya di rebahkan di atas ranjang yang ada di dalam ruangan itu. Karena infus sudah terlepas, tidak ada alasan lain bagi David untuk mengajak istrinya tidur di ranjang yang ada di ruangan itu. Karena memang sebenarnya itu ruang itu, bukan lah ruangan inap. "Kenapa Tuan David terus memandang ku dengan tatapan seperti itu? Kan aku sendiri merasa sangat risih," gumam Dilara dalam hatinya, lantas ia pun menutup matanya, karena tidak kuat dengan tatapan maut yang di berikan oleh David. Pesona yang di layangkan oleh David, benar benar membuat dirinya mabuk kepayang. "Bukankah sedari tadi kamu itu memandang wajah ku, dan memainkan jari jemari mu itu di wajah ku. Kenapa sekarang kamu malah menutup wajah mu sendiri, saat wajah kita berdua sudah sedekat ini?" tanya David heran, ia sebenarnya sudah terbangun dari tadi. Cuman ia memang membiarkan istrinya itu mengungkapkan apa yang ada di dalam hatin
David nampak membaca hasil tes milik Keira istrinya. "Ternyata ginjal milik Keira itu dua, dan ginjal milik Dilara sendiri juga sama sama dua. Jika memang Dilara terbukti sebagai Ara, wanita kecil yang aku cari. Hukuman apa yang pantas untuk aku berikan pada wanita pembohong itu," gumam David dalam hatinya, ia masih mengingat , jika Keira adalah mantan istri dan juga ibu dari darah dagingnya. Mengingat Tes DNA itu belum keluar perihal Devandra. David berjalan ke arah kaca, dimana istri yang selama ini dia cintai dan perlakukan seperti putri raja nampak mengamuk dan juga berteriak kesetanan dengan tatapan kosong. Dengan tangan yang hanya di balut oleh perban. Keira terus saja mengamuk. "Tuan David, apakah ada tindakan yang perlu kami lakukan untuk Nyonya Keira? Seperti operasi, karena saya taku. Jika di biarkan lukanya akan mengalami infeksi," kata salah seorang bawhannya dengan pakaian medis. "Biarkan dia seperti ini dulu! Ini adalah hukuman yang pantas untuk nya, karena
"Dilara ... Apakah ada yang sakit? Kenapa kamu itu malah diam mematung seperti ini?" Pertanyaan dari David sukses membuat lamunan Dilara pun buyar. Selama seberapa hari ini, jika bertemu dengan David. Ntah kenapa bayang bayang memalukan saat berada di dalam rumah sakit terus terlintas di dalam otak dan juga pikirannya. Dengan wajah polosnya, Dilara reflek melihat ke arah wajah David dengan bola mata hitam legam dan juga besar itu. Namun, setelah dirinya tersadar. Dilara buru buru memalingkan pandangan nya lagi ke arah lain. David sungguh di buat gemas, dengan tingkah istrinya saat ini. Lantas ia pun berjalan cepat ke arah Dilara. Tanpa banyak bicara langsung menggendong tubuh istrinya itu ala bridal style. "Tu - tuan kenapa anda sekarang ini menggendong saya?" tanya Dilara polos. "Kenapa harus berbicara dengan nada formal?" Bukanya menjawab pertanyaan istrinya, David malah balik mengajukan pertanyaan. "Maaf," sahut Dilara. "Aku akan merebahkan tubuh mu di atas kasur,"
"Kenapa anda terus berpikir buruk tentang saya Tuan? Bahkan sebelumnya anda juga terlalu percaya pada fitnah fitnah keji yang di tunjukkan pada saya," teriak Dilara sembari terus terisak. Bahkan ia menjeda ucapannya untuk mengambil nafas dalam dalam terlebih dahulu. Akhirnya beberapa hal yang sebelum nya hanya bisa Dilara pendam, sekarang ini seperti sebuah bom waktu yang akhirnya meledak juga. Dilara sendiri juga sebenarnya bingung, keberanian nya itu sebenarnya datang dari mana. Dia hanya orang kecil dan tidak mempunyai koneksi, sebenarnya mana berani melawan David yang mempunyai banyak bawahan dan juga bodyguard. "Sebelumnya Tuan juga sangat tega dengan mempercayai beberapa tuduhan keji yang di berikan kepada ku. Bahkan Tuan juga memberikan hukuman yang sangat kejam pada ku!" Dilara terus mengeluarkan unek unek yang selama ini ia pendam dan juga begitu menyesakkan di dadanya. David merasa aneh dengan perasaannya sendiri. Ia tidak marah, justru menatap istrinya, Dilara, dengan
Di jalanan kumuh yang ada di pinggiran kota, seorang pria terlihat meringkuk sembari menatap ke arah langit yang mendung. "Tuhan, aku mohon bantu aku melewati semua cobaan yang berat ini dengan lancar. Semoga beberapa tahun lagi, syaraf syaraf di tubuh ku itu bisa kembali normal. Walau pun itu mustahil, semoga saja bisa. Karena aku ingin bisa menebus kesalahan ku pada seseorang," ujar pria itu dalam hatinya. Banyak sekali syaraf di tubuh pria itu yang lumpuh atau pun mati. Namun, ia mengharap kan mukjizat dari Tuhan. Berharap sebuah keajaiban. Karena setelah beberapa hari merenung, ia baru menyadari. Jika dirinya begitu dalam menyakiti seseorang, dan sangat berharap bisa menembus kesalahan itu. Tiba tiba ada seorang perempuan kecil yang menghampiri dirinya. "Tuan ... Ada seseorang yang memberikan makanan ini untuk mu." Gadis kecil itu nampak menyerahkan sebuah tas yang berisi makanan. Pria itu hanya bisa menjawab ucapan gadis kecil itu dengan anggukan kepala, tanpa bisa menjawa
"Ara cucu ku, akhirnya kita akan di pertemukan kembali. Dari awal Kakek yakin. Kalau kamu masih hidup sayang, walaupun para polisi dan agen yakin kamu tidak selamat, karena arus sungai saat itu pasti mengalir ke arah pedalaman dan melewati tebing yang curam," gumam Ditya dengan air mata yang terus menetes dan juga mengalir melewati ke dua pipi keriputnya. Tangan nya nampak menggenggam bingkai foto yang berisi gambar gadis kecil yang cantik. Selama beberapa tahun, Ditya berusaha untuk mencari keberadaan cucunya. Ia sudah membayar banyak agen, bahkan tak ayal dirinya juga menyewa para ninja. Untuk menelusuri arus sungai. Berharap jika cucunya terdampar di sekitaran sungai di mana cucunya itu terjatuh dan di pertemukan dalam keadaan hidup hidup. Namun, selepas cucunya jatuh ke sungai, Ditya tidak pernah melewatkan satu detik pun untuk tidak mencari keberadaan cucunya, dan hal itu berlangsung selama beberapa hari dirinya ikut mencari. Ditya melirik ke arah kertas yang berisi hasil tes
Sebelum Arman dan juga ibunya Agnes itu datang ke ruangan milik Ibnu, Dilara merasa seperti bertemu dengan sosok ayah yang sudah sangat lama sekali dia rindukan. Ibnu terlihat hangat bahkan mau menerima kebaikannya. Namun, kebahagiaan yang di rasakan Dilara tiba tiba harus menghilang dalam sekejab, setelah kedatangan mantan suami dan juga mantan ibu mertuanya. Di tambah lagi, ternyata ayahnya yang ia kira berubah menjadi baik karena penyakitnya. Ternyata malah kembali menjual dirinya. "Ayah ... Apakah yang di katakan mereka itu benar?" tanya Dilara dengan tatapan nanar saat tatapannya itu menjurus ke arah ke dua bola mata Ibnu. Ibnu sendiri memasang ekpresi wajah yang sulit untuk di deskripsikan. Namun, kesedihan dan juga penyesalan terlihat dari ke dua bola matanya. "Kenapa Ayah begitu tega, melakukan hal ini berkali kali ke pada ku? Apa kesalahan ku? Kenapa tega menjual ku? Aku itu manusia bukan sebuah barang yang pantas untuk Ayah jual maupun sewakan berkali kali." Be
Dengan air mata yang terus berderai, dan juga kesadaran yang semakin menipis, Ibnu terlihat menyesali kesalahannya. Kala tubuh Dilara di bawa paksa oleh pengawal Agnes. Saat para nakes atau keluarga pasien yang lain, menanyakan perihal Dilara yang pingsan. Agnes dengan enteng nampak menjawab jika pengawal yang menggendong Dilara adalah suaminya. Sungguh kebohongan yang luar biasa, Arman sendiri hanya bisa mengikuti ibunya tanpa bisa menyuarakan pendapat nya. Kini mereka melakukan perjalanan ke klinik pribadi dokter yang mau membantu mereka. Dokter yang terkenal akan kelicikannya. Tak berselang lama, mobil Maybach hitam yang membawa rombongan Agnes pun sampai di sebuah klinik yang berada di daerah terpencil. "Mah ... Apakah Mamah itu yakin? Melakukan ini? Kalau terjadi sesuatu pada Dilara bagaimana?" tanya Arman dengan nada khawatir sebelum turun dari mobil Maybach hitam itu. Arman nampak melirik dan terus melihat ke arah Dilara yang masih memejam kan mata dan dalam posisi yang
Sekarang ini Esti sedang memandang wajah David yang sedang terlelap didalam pesawat. Dia sama sekali tidak berkedip, kala menatap wajah tampan David. Walaupun dia sadar, sampai kapanpun dia tidak akan bisa mendapatkan hati David atau pun hidup bersamanya. Bahkan tak lama lagi, dia juga pasti akan dikeluarkan dari pekerjaannya. Mengingat Dilara sudah tidak nyaman akan keberadaannya, tapi semua itu gak masalah. Esti juga sudah mengambil keputusan, apapun yang terjadi. Dia akan menghargai semua keputusan yang dibuat oleh David, dia memilih untuk menyimpan perasaannya yang salah itu rapat-rapat. Toh, kalau dia berada diposisi sama seperti Dilara. Dia juga akan melakukan hal yang sama seperti yang Dilara lakukan, karena dia memahami Dilara memang sedang berhati -hati. Mengingat sebelumnya hal jahat yang dilakukan oleh Laras pada Dilara. Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke dalam ponsel milik David, Laras ingin abai. Tapi, mengingat semua ini demi tugasnya menemu
"Berani-beraninya kamu melakukan hal seperti ini padaku! Aku akan membuat perhitungan padamu, dan suamiku tidak akan pernah melepaskanmu," kata Dilara seraya menjauhkan tangan Albert yang sebelumnya memegang dagunya dengan sangat kasar. Dilara tidak tahu situasi yang sebenarnya terjadi. "Hmmm, mungkin nanti saat malam pertama aku akan membuat perhitungan padamu!" kata Albert dengan nada suara yang semakin membuat Dilara jijik. "Jangan harap, siapa juga yang mau malam pertama denganmu! Gak usah mengkhayal deh!" sahut Dilara. Netranya menatap ke arah sekeliling, dia terlihat berpikiran dengan sangat keras. "Walaupun sekarang yang terjadi sebuah mimpi! Aku pun gak sudi memimpikan mu, lebih baik aku pergi dari sini sekarang!" "Aku gak menyangka, dibalik tampang polos dan bikin iba. Ternyata Nyonya David ini sangatlah galak dan sombong," ucap Albert seraya bangkit berdiri. Memberikan jalan pada Dilara yang ingin bangkit dari ranjang, karena tubuh besarnya sebelumnya mengh
"Kalau bukan karena kakek tua bangka itu yang membuat Dilara bertemu dengan Albert, situasinya gak bakalan mungkin jadi seperti sekarang ini," gumam David dengan gigi gemertak. Wajahnya sekarang ini benar-benar terlihat sangat sura... David mengepalkan tangannya di atas kemudi, matanya mengikuti pantulan lampu mobil Albert yang semakin menjauh. Esti tiba-tiba saja masuk dan duduk di sampingnya, matanya sesekali mencuri pandang ke arah David, khawatir akan keselamatannya. "Kenapa kau masuk ke dalam? Keluar!!" David murka. "Tuan, sopir Anda tadi dibius oleh seseorang, biar saya yang mengemudikan!" kilah Esti. "Esti, cukup," suara David terdengar tegas dan datar, mencerminkan kekecewaan yang mendalam. "Biarkan aku yang mengemudi." Tapi Esti, dengan lembut menaruh tangannya di atas tangan David yang masih mengepal di kemudi. "Tuan, saya hanya ingin memastikan Anda selamat. Emosi Anda sangat tinggi sekarang, bukan waktu yang tepat untuk mengemudi," ucapnya dengan s
Sekarang ini Dilara kembali mendapatkan perawatan intensif dari pihak rumah sakit, sementara David menunggu didepan pintu perawatan dengan sangat cemas. "Esti, memangnya apa yang terjadi?" kata David dengan suara mengintimidasi. Esti sendiri juga bingung, kenapa Dilara bisa bersikap overprotektif kepada dirinya? Padahal saat dulu dia menjadi suster pribadi Dilara, Dilara tidak seperti itu. Esti malah menunduk, ia sekarang ini terlihat sedang berpikiran keras. "Esti kenapa kamu hanya diam saja! Ayo jawab pertanyaan yang barusan aku berikan!" desak David. Esti mendongak, jantungnya dibuat berhenti berdetak seketika kala melihat kedua bola mata biru David. Ntah sejak kapan benih-benih cinta itu tumbuh didalam hatinya, namun yang tidak bisa dipungkiri sekarang ini Esti sendiri gak bisa mengendalikan dirinya. "Apakah ini karma? Karena dulu aku pernah membatin Indira yang sangat bucin dan rela melakukan segala cara untuk mendapatkan Etnan?" gumam Esti dalam hatinya.
Para dokter terlihat panik, bahkan mengatakan beberapa kemungkinan yang bisa saja terjadi pada Dilara. David terhuyung keluar dari ruangan ICU, kepanikannya tergambar jelas dari raut wajahnya yang pucat dan langkah kakinya yang tidak stabil. Dia tidak rela meninggalkan Dilara yang sedang berjuang melawan maut, namun keadaan mendesaknya untuk mencari jawaban. Dengan gemetar, dia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menekan nomor Albert dengan cepat. "Albert, apa yang telah kau lakukan dengan suntikan itu? Keadaan Dilara malah semakin buruk, dia henti jantung berkali-kali!" suara David bergetar, penuh amarah dan kekhawatiran. Dari seberang sana, Albert menjawab dengan suara yang terdengar santai, "Memang itu efeknya, nanti satu jam lagi dia pasti sudah sadar. Walaupun masih linglung, ya sudah aku lagi sibuk." Ucapannya seolah menambah bensin ke api kemarahan David. David mengepalkan tangannya, urat-urat di lehernya menegang. "Bagaimana aku bisa begitu tenang?! Ini b
Karena tidak memiliki pilihan lain lagi, David pun setuju untuk berlutut dibawah kaki Albert demi sebuah obat penawar racun untuk istri tercintanya. David, dengan pakaian yang sudah lusuh dan tatapan mata yang penuh keputusasaan, berlutut di lantai yang dingin dan keras di depan Albert. Wajahnya yang biasanya penuh wibawa dan kepercayaan diri kini terlihat pucat dan lemah. Albert, dengan senyum sinis, menyalakan kamera ponselnya, cahaya dari layar ponsel memantulkan kegembiraan yang kelam di matanya. "Apa yang kamu lakukan?" seru David, suaranya gemetar namun masih terdengar marah. "Aku sedang merekam apa yang dilakukan orang yang paling berkuasa di kota ini," jawab Albert dengan nada mengejek, "dunia bisnis sangat kejam. Setelah ini aku akan banyak mendapatkan kolega bisnis." David mengepalkan tangan, rasa sakit dan marah bercampur menjadi satu. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena dinginnya lantai tapi juga karena perasaan terhina yang mendalam. Albert terus mer
"Menyerahkan Dilara? Itu gak bakalan terjadi!" Sergah David dengan amarah yang mulai meluap. Sementara Albert terlihat masih bersikap sombong dan juga sangat angkuh. Melihat ekspresi Albert yang tidak wajar, David bisa melihat betapa seriusnya masalah yang ia hadapi sekarang ini. "David ... Sekarang istrimu itu belum sadarkan diri bukan? Walaupun dokter terbaik di seluruh negeri ini sudah dikerahkan," kata Albert seraya tersenyum. Kedua tangan David nampak terkepal erat, kala melihat senyuman penuh kemenangan yang ditunjukkan oleh Albert. "Kau ... " David nampak menunjuk wajah Albert dengan telunjuk tangannya. Albert nampak berdiri lalu menyodorkan sebuah kertas tepat ke tangan David. "Ini adalah surat perjanjian." David dengan kasar mengambil kertas yang ada di tangan Albert. Ia menanggapi ucapan Albert dengan berkata, "iya aku tahu kalau ini adalah surat perjanjian. Siapa bilang kalau ini surat elektronik." Albert sedikit bingung, setelah mendengar ucapan Dav
David sangat panik, melihat Dilara yang tidak sadarkan diri. "Dilara!" Ia berpikiran cemas, menduga bisa saja hal yang terjadi pada Dilara sekarang ini karena masalah ginjalnya. "Gak ... Aku gak boleh berpikiran buruk tentang kesehatan Dilara. Bukankah seharusnya sudah tidak ada masalah tentang ginjalnya?" Gumam David seraya menggendong tubuh istrinya menuju ke pusat layanan kesehatan terdekat yang ada dipantai Maldives. Padahal baru saja David punya niatan untuk memfoto Dilara dibawah cahaya sunset, tapi malah istri tercintanya itu pingsan. Tak berselang lama, akhirnya pun David sampai dipusat layanan kesehatan. David menelpon asisten pribadinya. "Esti, tolong siapkan helikopter untuk kembali ke negara kita sekarang!!" Mendengar perintah David, Esti malah dibuat bingung. "Memangnya Tuan David itu sekarang ini ada dimana?" "Kamu gak tahu, sekarang aku ada dimana?" David malah balik tanya. Esti melihat kembali layar ponselnya, untuk memastikan. Apakah
Laras dengan santainya berjalan ke arah sisi Albert Wongso, tatapan matanya sinis melirik ke arah Ditya yang mematung dengan raut muka merah padam. Darah Ditya seakan mendidih, jantungnya berdegup kencang saat menyaksikan pembantunya yang tak tahu malu itu berdiri dengan angkuh di samping orang yang selama ini sangat dia percayai. Ditya tertawa sini, lalu dia berkata, "Ternyata, hal buruk itu sudah kalian berdua rencanakan sebelumnya." Suaranya gemetar, mengingat kejadian di kamar dimana Laras dengan liciknya memberikan obat perangsang kepadanya. "Iya, tentu saja. Aku adalah orang yang pintar, gak mungkin jika seorang pelayan rendahan memiliki banyak uang untuk membeli beberapa kamera tersembunyi itu, ingat apapun yang terjadi kau harus bertanggung Jawab apa yang sudah kamu lakukan,," sahut Laras dengan nada tinggi dan penuh keangkuhan. Dia menatap Ditya dengan pandangan yang penuh kemenangan, seolah-olah telah memenangkan pertarungan yang tidak seimbang. "Kalau kau