“Kenapa sih, Freya?” Rosa memandang putrinya yang tampak masam sejak pulang dari salon.
“Ibu, kenapa mengundang Hana ke sini? Ibu tahu kan, aku tidak suka dia!” Nada suara Freya penuh dengan kekesalan yang tertahan.
Rosa menghela napas panjang, menatap anak perempuannya dengan sabar. “Bagaimanapun, dia sepupumu, Freya.”
“Aku justru malu mengakui anak yatim miskin itu sebagai sepupuku.” Freya menyandarkan tubuhnya di kursi, kedua tangannya melipat di depan dada dengan ekspresi tak senang.
“Freya, jaga ucapanmu. Dia adalah keponakan Ibu, dan Ibu masih bertanggung jawab padanya.” Rosa berbicara dengan nada tegas, meski ada sedikit kekecewaan yang tak bisa ia sembunyikan.
Freya mendengus pelan. Baginya, keberadaan Hana di rumah ini hanyalah gangguan. Hana adalah keponakan Rosa yang selama ini tinggal di panti asuhan. Namun, usianya yang sudah menginjak 17 tahun memaksanya keluar dari sana. Untung saja, Rosa, sang bibi kaya ini bersedia menampungnya untuk sementara waktu.
“Dia akan mulai kuliah tahun depan. Selama menunggu waktunya, biarkan dia di sini membantu pekerjaan para pelayan,” lanjut Rosa, mencoba meredakan ketegangan.
Freya akhirnya tersenyum sinis, meski dalam hatinya tetap kesal. Setidaknya, menurutnya, Hana hanya akan menjadi bagian dari staf rumah tangga, bukan anggota keluarga yang sejajar dengannya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Freya meraih sepotong buah yang sudah dikupas oleh Rosa. Namun, suasana kembali berubah ketika suara Hana terdengar dari arah belakang.
“Bibi, apa aku perlu membersihkan kamar Kak Elena?” Hana bertanya dengan suara lembut.
Freya langsung menyipitkan matanya, menatap Hana dengan sorot yang sinis. Meski begitu, tak ada yang salah dengan penampilan gadis itu. Rambutnya diikat sederhana, wajahnya bersih tanpa riasan, dan serbet yang disampirkan di pundaknya membuatnya tampak seperti seorang pelayan sungguhan.
“Tak perlu,” jawab Rosa sambil tersenyum ramah pada keponakannya.
“Baiklah. Kalau begitu, apa Bibi ingin aku melakukan hal lain?” tanya Hana lagi dengan nada sopan, tetap berdiri tegak menunggu perintah.
Rosa kini menoleh ke arah Freya, berharap putrinya memberi arahan. Namun, Freya justru memutar bola matanya dengan sikap malas. “Kenapa kamu tidak istirahat saja, Hana? Itu kan yang paling mudah untukmu,” ujarnya sarkastis.
Rosa mengabaikan komentar putrinya dan kembali menjawab dengan lembut, “Tak perlu, Hana. Kamu bisa beristirahat.”
Hana tersenyum, mengangguk sopan, dan berbalik menuju ruang istirahat yang biasa digunakan oleh para pelayan. Sesampainya di sana, dia bergabung dengan beberapa wanita dewasa yang sedang mengobrol santai.
“Kata Bibi aku tidak perlu melakukan apa-apa,” ujar Hana sambil duduk di salah satu kursi kosong.
Salah satu pelayan menatapnya dan tersenyum kecil. “Kalau begitu, nikmati waktu istirahatmu. Mau roti?” Dia menunjuk piring berisi beberapa potong roti di meja tengah.
Hana mengangguk pelan dan mengambil satu potong roti. Setidaknya, meski tinggal di rumah megah keluarga Martin, dia merasa sedikit beruntung. Keluarga ini tidak pelit pada pelayan mereka, meski tetap saja, suasana rumah ini terasa dingin dan penuh dengan tatapan tajam dari Freya.
*
Freya berkali-kali memandang ponselnya dengan hati was-was. Panggilan telepon untuk suaminya sama sekali tak dijawab. Bahkan, pesan yang dia kirim sejak tadi pagi sama sekali tak dibuka oleh Glen. Wajah cantiknya berubah tegang, matanya menatap layar ponsel seolah menuntut jawaban.
“Sial!” Freya menggerutu sambil membanting ponselnya di atas ranjang. Napasnya tersengal marah. Tangannya mencengkeram kuat sofa yang ada di dalam kamarnya. Ujung-ujung kukunya yang terawat menekan keras bahan sofa, mencerminkan frustrasi yang mendalam.
Padahal hari ini Freya sudah mengenakan gaun tidur berbahan satin tipis yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna.
Warna merah marun gaun itu memberi kesan menggoda, membuat kulit putihnya terlihat semakin bercahaya. Rambut hitamnya yang panjang dibiarkan tergerai, menambah aura sensualitas yang ia sengaja tunjukkan untuk Glen.
Namun, usaha itu sia-sia. Glen tak pulang. Bahkan sekadar mengangkat telepon pun tidak.
Freya menggigit bibir bawahnya, rasa cemas dan marah bercampur menjadi satu. “Apa dia bersama Elena lagi?” pikirnya dengan nada yang penuh curiga. Bayangan tentang suaminya dan Elena muncul dalam pikirannya.
Freya berdiri dari sofa, melangkah ke arah cermin besar di sudut ruangan. Dia menatap pantulan dirinya, matanya penuh amarah namun juga menyimpan keraguan yang dalam.
Dengan gerakan cepat, dia mengambil botol parfum di meja rias dan menyemprotkannya ke lehernya, lalu ke pergelangan tangan. Aroma mewah itu menyebar, namun tetap tak mampu menutupi kekosongan di dadanya.
“Dia pasti akan pulang,” gumamnya pada dirinya sendiri, berusaha meyakinkan hatinya. Namun, suara dalam kepalanya terus bertanya, “Kalau tidak? Apa kepergian elena justru memberi mereka kesempatan?”
Freya melangkah ke balkon kamarnya, memandang halaman luas rumah keluarga Martin yang remang-remang diterangi lampu taman.
Di kejauhan, suara anjing menggonggong terdengar samar, menambah kesan sunyi malam itu. Dia memeluk tubuhnya sendiri, berusaha mencari kenyamanan dalam dinginnya angin malam.
Di saat yang sama, suara langkah kaki pelan terdengar dari dalam kamarnya. Freya menoleh cepat, senyumnya mengembang begitu mengenali sosok yang sudah dia nantikan sejak tadi.
“Glen, kamu sudah pulang?” Suaranya terdengar lembut, penuh antusiasme. Ia berjalan cepat ke arah suaminya, tubuh rampingnya dibalut gaun satin tipis yang berkilauan terkena cahaya bulan dari balkon, menonjolkan setiap lekuk tubuhnya.
Glen hanya menatapnya sekilas, pandangannya datar namun tajam, seperti menelusuri setiap inci keberadaan Freya tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Mata cokelatnya sejenak terhenti di gaun itu, tapi tatapan tersebut lebih dingin dari yang Freya harapkan.
“Aku mau mandi.”
Hanya itu yang keluar dari mulut Glen sebelum dia melangkah menuju kamar mandi. Freya mengangguk, bergegas mengambilkan handuk untuknya, berusaha menutupi kekecewaan kecil yang merayapi dirinya.
Meski begitu, ada sedikit harapan yang tumbuh di dalam hatinya. Tatapan Glen barusan membuat Freya yakin, pria itu tidak akan bisa mengabaikannya malam ini.
Dengan langkah penuh semangat, ia menyodorkan handuk itu kepada Glen. Tapi Glen tidak mengatakan terima kasih, tidak juga menatapnya lebih dari beberapa detik. Dia hanya mengambil handuk itu dan menutup pintu kamar mandi di belakangnya.
Freya menunggu di luar kamar mandi dengan hati berdebar, membayangkan momen yang ia idamkan akan segera terulang seperti malam sebelumnya. Dia bahkan sudah menyalakan lilin aromaterapi dan menyemprotkan wewangian lembut di kamar mereka.
Namun, di dalam kamar mandi, suasana berbeda jauh. Glen berdiri di bawah pancuran air hangat, membiarkan air mengalir deras di atas tubuhnya yang tegang. Dia memejamkan mata, bukan untuk menikmati relaksasi, melainkan untuk menghalau bayangan yang kembali menyerangnya, bayangan Elena.
Freya yang mengenakan gaun satin tipis tadi memang terlihat menarik, tetapi entah mengapa pikiran Glen justru melayang kepada Elena.
Senyum Elena, tatapan matanya yang lembut, hingga suara tawa kecilnya yang khas, semuanya masih begitu nyata dalam ingatannya, seolah-olah dua tahun tidak pernah berlalu.
Jika saja dia tidak terjebak dalam situasi yang membuatnya harus menikahi Freya, mungkin hidupnya akan jauh berbeda sekarang. Mungkin dia masih bersama Elena, menantikan kelahiran bayi mereka yang kini tinggal kenangan pahit. Glen mengepalkan tangannya, menahan emosi yang tiba-tiba meluap dalam dadanya.
“Glen, kamu masih lama?” Suara ketukan Freya dari luar pintu membuyarkan lamunannya. Suaranya terdengar penuh harap, namun Glen tidak bergeming. Dia tidak ingin menjawab, tidak ingin memberinya harapan palsu.
Setelah beberapa saat, Glen mematikan pancuran, mengeringkan tubuhnya. Saat membuka pintu, ia melihat Freya yang masih berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi menggoda.
“Aku sudah menunggumu,” kata Freya pelan, mendekat sambil menyentuh lengannya. Namun, Glen hanya melewati Freya begitu saja, berjalan menuju ranjang tanpa sepatah kata pun.
“Glen?” panggil Freya dengan nada kecewa.
“Aku lelah,” jawab Glen singkat, membaringkan dirinya di sisi ranjang tanpa melihat ke arah Freya. Dia memejamkan matanya, berharap perempuan itu tidak mengganggunya lagi. Namun, dalam benaknya, nama Elena terus bergaung seperti mantra yang tidak bisa dihapuskan.
Freya berdiri mematung di dekat ranjang, menatap suaminya dengan tatapan terluka. Tangannya mengepal, namun dia menahan diri untuk tidak meluapkan emosinya.
Glen mungkin lelah sekarang, tapi Freya tahu, dia tidak akan menyerah untuk merebut kembali perhatian pria itu, seberapapun sulitnya. Seberapapun hantu bernama Elena terus membayangi pernikahan mereka
“Kamu yakin tak apa sendirian?” Halda kembali bertanya, masih terdengar khawatir. Sejak Elena bercerita bahwa Glen mengunjunginya, rasa cemas Halda semakin meluap.“Tenang saja. Glen tidak akan menyakitiku.” Elena tersenyum seolah ingin memastikan Halda bahwa dia akan baik-baik saja meskipun pergi sendirian. Hari ini adalah jadwal pemeriksaan di dokter kandungan. Masuk ke trimester akhir, dan dia ingin memastikan bahwa janinnya sehat dan berkembang dengan baik.Halda menghela napas, lalu tanpa banyak bicara, ia melaju dengan mobilnya ke kantor. Sementara itu, Elena berjalan masuk ke dalam gedung rumah sakit untuk mengambil nomor antrian di poli obgyn.“Berangkat lebih awal pun tetap saja dapat antrian ke-40?” Elena mengerutkan dahi, merasa heran. Belum puas dengan keadaannya, ia memutuskan untuk menyebrang ke kafe yang ada di dekat rumah sakit. Kafe tersebut sudah buka, dan Elena ingin menunggu sambil membeli camilan.Namun, saat ia baru saja akan memasuki kafe, suara yang dikenal mema
"Ta, tapi, Nyonya…" Halda tampak ragu. Kekhawatiran jelas tergambar di wajahnya, namun sebelum sempat melanjutkan, Elena sudah lebih dulu menarik lengannya, menahan langkahnya agar tidak mundur."Aku bisa, Nyonya. Tapi… apakah tak masalah? Aku juga punya bayi yang masih butuh ASI," tanyanya pelan, seolah memastikan.Wanita tua itu tersenyum lembut, matanya menyiratkan harapan yang besar. Ia menggeleng pelan."Tak masalah, yang terpenting cucuku mendapatkan ASI. Dia sudah seharian tak meminum apa pun," suaranya bergetar, menyiratkan kecemasan seorang nenek yang ketakutan kehilangan darah dagingnya.Tanpa membuang waktu, wanita tua itu bangkit dengan antusias. Ia melambaikan tangan ke arah baby sitter yang menunggu di sudut ruangan. Dengan sigap, baby sitter itu membawa bayi kecil yang terbungkus selimut putih.Elena menatap bayi mungil itu dengan perasaan campur aduk. Wajahnya begitu cantik, namun tampak layu. Kulitnya mulai menguning, pertanda ia b
"Bodoh sekali kamu itu!" Rosa memegang keningnya dengan frustrasi. Seketika, kepalanya terasa pusing. Freya masih meringkuk di atas ranjang, matanya basah oleh air mata yang terus mengalir."Aku nggak nyangka kalau obatnya akan bereaksi seperti itu." Suara Freya terdengar gemetar, menahan tangis."Harusnya kamu bertanya dulu pada ibu sebelum melakukannya!" Rosa mendekat dengan ekspresi serius, tatapannya tajam. "Terus, kamu dapat obat itu dari mana?" Rosa mulai curiga dan menatap Freya dengan penuh tanya.Freya tetap terdiam, matanya menatap kosong. Dia memang sengaja membeli obat pelancar kontraksi secara ilegal dengan bantuan temannya yang bekerja di toko obat."Resep itu bisa jadi masalah besar kalau Glen tahu." Rosa kini menarik tangan Freya dengan kasar, wajahnya penuh ketegangan. "Kamu lupa bagaimana usaha ibumu supaya kamu bisa menikah dengan Glen? Ibu rela membayar pegawai hotel itu dengan harga tinggi supaya dia bisa membawa Glen dan membuatnya t
Setelah acara krematorium selesai, William masih memegang guci berwarna biru laut dengan ukiran bunga matahari yang sangat indah. Guci yang berisi Abu jenazah Sarah, berputar lembut di dalam, seolah membawa kenangan dari masa lalu yang tak akan pernah kembali."Kamu sudah melihat anakmu? Dia sangat cantik. Kulitnya yang kemarin menguning sudah mulai normal. Selain karena sinar bilirubin, ibu juga sudah menemukan pendonor ASI untuknya," kata Widya dengan lembut, mencoba memberi penghiburan. William hanya diam, matanya kosong, mengarahkan pandangannya ke luar jendela."Aku hanya melihatnya sebentar," jawab William pelan. Sebuah kebohongan. Bahkan, dia hanya berhenti di depan halaman rumah sakit tanpa berani masuk ke dalamnya. Dia belum siap menerima kenyataan bahwa putrinya, yang kini tak pernah mengenal ibunya, harus tumbuh tanpa Sarah."Ibu memberinya nama Angel," lanjut Widya, menatap putranya yang masih terdiam. William menoleh, mata yang biasany
"Waktunya menyusui, Nona Angel." Seorang perawat datang memberitahu Elena. Elena yang paham langsung bangkit dan memberi kode pada Halda untuk segera pergi."Kembalilah besok pagi. Aku akan baik-baik saja di sini." Halda, yang melihat Elena cukup yakin, akhirnya mengangguk dan menurutinya. Lagi pula, ada urusan penting malam ini, jadi dia setuju untuk mengikuti permintaan Elena. Sementara itu, Elena melangkah masuk ke ruang khusus menyusui.Tak lama setelah itu, seorang perawat lain datang menggendong seorang bayi mungil dengan selimut pink yang tampak mahal."Suster, kenapa aku merasa sakit ketika dia menyusu?" Elena bertanya sambil menahan rasa sakit saat bibir mungil Angel menyentuh dadanya. Perawat muda itu tersenyum dan menjelaskan."Karena dia belum terbiasa, langit-langit mulut bayi kadang masih kasar pada awalnya," jawab suster tersebut. Elena hanya mengangguk seolah paham, meskipun rasa sakit itu masih terasa. Di sisi lain, dia melihat Angel. Mat
Elena masih menatap lekat-lekat nominal pada cek di tangannya. Jumlahnya begitu besar, nyaris sulit dipercaya. Wanita tua itu benar-benar kaya raya.Suara derit pintu kamar membuatnya tersadar. Tanpa menoleh, ia melirik sekilas ke arah pintu dan mendapati sosok pria yang masuk dengan beberapa kantong belanjaan di tangannya. Dengan sigap, Elena segera menyelipkan cek itu ke dalam kantong mantelnya."Kamu benar-benar lebih suka melihatku sengsara, Kak." Ucapnya dengan nada setengah menyindir.Ia masih kesal dengan Glen. Pria itu sama sekali tak menggubris maksudnya saat mereka berbicara tadi siang. Bahkan sekarang, Glen datang tanpa mengganti pakaian, sepertinya benar-benar tak pulang ke rumah."Aku selalu konsisten dengan ucapanku." Glen menjawab singkat, lalu meletakkan kantong-kantong belanjaan itu ke atas meja.Tatapannya menyipit saat menyadari sesuatu. Di atas meja, sudah tersaji berbagai macam makanan dengan bran
“Siapa lelaki yang menghamilimu, Elena?” tanya Tuan Jacob dengan wajah memerah menahan amarah. Elena hanya menunduk dalam, meskipun demikian dia masih bisa melihat alas kaki dari orang-orang yang tengah berkumpul di ruang tamu saat ini.“Kamu masih tak mau jujur? Sungguh berniat menjadi jalang?” Kini teriakan itu semakin keras. Tuan Jacob membanting gelas kaca yang dia bawa, suaranya menggema dan membuat keheningan di ruangan itu semakin mencekam.“Ayah....” Suara Freya terdengar lembut, dia berdiri dan mendekati lelaki tua yang duduk tegang di sana. “Jangan terlalu keras, ingatlah bahwa tekanan darahmu cukup tinggi.” Bersamaan dengan itu, Elena melirik pria yang duduk di sebelah kursi Freya. Dia hanya bisa menghela napas saat melihat wajah dingin itu menatapnya tanpa ekspresi.“Seharusnya kau banyak belajar dari kakakmu ini. Dia tak sekalipun membuat ulah dan justru membuat keluarga Martin bangga.”Elena memilih untuk tidak menangis. Dia sudah tahu bahwa ayahnya lebih memanjakan Frey
Suara Glen dan Freya menggema di kamar mewah itu. Sudah hampir dini hari, dan Freya merasa seolah waktu berjalan begitu cepat. Dia mendapati suaminya, yang tiba-tiba berubah ganas, mencumbunya dengan cara yang berbeda dari biasanya.“Kamu puas sekarang?” tanya Glen dengan mata dingin, seolah pertanyaan itu tidak lebih dari sekadar formalitas. Freya hanya bisa mengangguk, matanya menatap dalam pada sosok yang bahkan tak mau menatapnya.Ini pertama kalinya, setelah hampir dua tahun menikah, Glen mau berhubungan layaknya pasangan suami istri. Tapi, Freya tahu, itu tidaklah cukup.Setelah itu, Glen langsung bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, tanpa menghiraukan Freya yang masih terbaring lemas di tempat tidur. Suara shower yang menyemprot keras menggusar suasana, menggambarkan penyesalan yang semakin mendalam, meski Glen enggan mengakuinya.“Sialan…” bisik Glen, meninju udara seperti mencari pelampiasan atas kekesalannya.Freya hanya diam, menatap tubuhnya yang masih terbaring lemas
Elena masih menatap lekat-lekat nominal pada cek di tangannya. Jumlahnya begitu besar, nyaris sulit dipercaya. Wanita tua itu benar-benar kaya raya.Suara derit pintu kamar membuatnya tersadar. Tanpa menoleh, ia melirik sekilas ke arah pintu dan mendapati sosok pria yang masuk dengan beberapa kantong belanjaan di tangannya. Dengan sigap, Elena segera menyelipkan cek itu ke dalam kantong mantelnya."Kamu benar-benar lebih suka melihatku sengsara, Kak." Ucapnya dengan nada setengah menyindir.Ia masih kesal dengan Glen. Pria itu sama sekali tak menggubris maksudnya saat mereka berbicara tadi siang. Bahkan sekarang, Glen datang tanpa mengganti pakaian, sepertinya benar-benar tak pulang ke rumah."Aku selalu konsisten dengan ucapanku." Glen menjawab singkat, lalu meletakkan kantong-kantong belanjaan itu ke atas meja.Tatapannya menyipit saat menyadari sesuatu. Di atas meja, sudah tersaji berbagai macam makanan dengan bran
"Waktunya menyusui, Nona Angel." Seorang perawat datang memberitahu Elena. Elena yang paham langsung bangkit dan memberi kode pada Halda untuk segera pergi."Kembalilah besok pagi. Aku akan baik-baik saja di sini." Halda, yang melihat Elena cukup yakin, akhirnya mengangguk dan menurutinya. Lagi pula, ada urusan penting malam ini, jadi dia setuju untuk mengikuti permintaan Elena. Sementara itu, Elena melangkah masuk ke ruang khusus menyusui.Tak lama setelah itu, seorang perawat lain datang menggendong seorang bayi mungil dengan selimut pink yang tampak mahal."Suster, kenapa aku merasa sakit ketika dia menyusu?" Elena bertanya sambil menahan rasa sakit saat bibir mungil Angel menyentuh dadanya. Perawat muda itu tersenyum dan menjelaskan."Karena dia belum terbiasa, langit-langit mulut bayi kadang masih kasar pada awalnya," jawab suster tersebut. Elena hanya mengangguk seolah paham, meskipun rasa sakit itu masih terasa. Di sisi lain, dia melihat Angel. Mat
Setelah acara krematorium selesai, William masih memegang guci berwarna biru laut dengan ukiran bunga matahari yang sangat indah. Guci yang berisi Abu jenazah Sarah, berputar lembut di dalam, seolah membawa kenangan dari masa lalu yang tak akan pernah kembali."Kamu sudah melihat anakmu? Dia sangat cantik. Kulitnya yang kemarin menguning sudah mulai normal. Selain karena sinar bilirubin, ibu juga sudah menemukan pendonor ASI untuknya," kata Widya dengan lembut, mencoba memberi penghiburan. William hanya diam, matanya kosong, mengarahkan pandangannya ke luar jendela."Aku hanya melihatnya sebentar," jawab William pelan. Sebuah kebohongan. Bahkan, dia hanya berhenti di depan halaman rumah sakit tanpa berani masuk ke dalamnya. Dia belum siap menerima kenyataan bahwa putrinya, yang kini tak pernah mengenal ibunya, harus tumbuh tanpa Sarah."Ibu memberinya nama Angel," lanjut Widya, menatap putranya yang masih terdiam. William menoleh, mata yang biasany
"Bodoh sekali kamu itu!" Rosa memegang keningnya dengan frustrasi. Seketika, kepalanya terasa pusing. Freya masih meringkuk di atas ranjang, matanya basah oleh air mata yang terus mengalir."Aku nggak nyangka kalau obatnya akan bereaksi seperti itu." Suara Freya terdengar gemetar, menahan tangis."Harusnya kamu bertanya dulu pada ibu sebelum melakukannya!" Rosa mendekat dengan ekspresi serius, tatapannya tajam. "Terus, kamu dapat obat itu dari mana?" Rosa mulai curiga dan menatap Freya dengan penuh tanya.Freya tetap terdiam, matanya menatap kosong. Dia memang sengaja membeli obat pelancar kontraksi secara ilegal dengan bantuan temannya yang bekerja di toko obat."Resep itu bisa jadi masalah besar kalau Glen tahu." Rosa kini menarik tangan Freya dengan kasar, wajahnya penuh ketegangan. "Kamu lupa bagaimana usaha ibumu supaya kamu bisa menikah dengan Glen? Ibu rela membayar pegawai hotel itu dengan harga tinggi supaya dia bisa membawa Glen dan membuatnya t
"Ta, tapi, Nyonya…" Halda tampak ragu. Kekhawatiran jelas tergambar di wajahnya, namun sebelum sempat melanjutkan, Elena sudah lebih dulu menarik lengannya, menahan langkahnya agar tidak mundur."Aku bisa, Nyonya. Tapi… apakah tak masalah? Aku juga punya bayi yang masih butuh ASI," tanyanya pelan, seolah memastikan.Wanita tua itu tersenyum lembut, matanya menyiratkan harapan yang besar. Ia menggeleng pelan."Tak masalah, yang terpenting cucuku mendapatkan ASI. Dia sudah seharian tak meminum apa pun," suaranya bergetar, menyiratkan kecemasan seorang nenek yang ketakutan kehilangan darah dagingnya.Tanpa membuang waktu, wanita tua itu bangkit dengan antusias. Ia melambaikan tangan ke arah baby sitter yang menunggu di sudut ruangan. Dengan sigap, baby sitter itu membawa bayi kecil yang terbungkus selimut putih.Elena menatap bayi mungil itu dengan perasaan campur aduk. Wajahnya begitu cantik, namun tampak layu. Kulitnya mulai menguning, pertanda ia b
“Kamu yakin tak apa sendirian?” Halda kembali bertanya, masih terdengar khawatir. Sejak Elena bercerita bahwa Glen mengunjunginya, rasa cemas Halda semakin meluap.“Tenang saja. Glen tidak akan menyakitiku.” Elena tersenyum seolah ingin memastikan Halda bahwa dia akan baik-baik saja meskipun pergi sendirian. Hari ini adalah jadwal pemeriksaan di dokter kandungan. Masuk ke trimester akhir, dan dia ingin memastikan bahwa janinnya sehat dan berkembang dengan baik.Halda menghela napas, lalu tanpa banyak bicara, ia melaju dengan mobilnya ke kantor. Sementara itu, Elena berjalan masuk ke dalam gedung rumah sakit untuk mengambil nomor antrian di poli obgyn.“Berangkat lebih awal pun tetap saja dapat antrian ke-40?” Elena mengerutkan dahi, merasa heran. Belum puas dengan keadaannya, ia memutuskan untuk menyebrang ke kafe yang ada di dekat rumah sakit. Kafe tersebut sudah buka, dan Elena ingin menunggu sambil membeli camilan.Namun, saat ia baru saja akan memasuki kafe, suara yang dikenal mema
“Kenapa sih, Freya?” Rosa memandang putrinya yang tampak masam sejak pulang dari salon.“Ibu, kenapa mengundang Hana ke sini? Ibu tahu kan, aku tidak suka dia!” Nada suara Freya penuh dengan kekesalan yang tertahan.Rosa menghela napas panjang, menatap anak perempuannya dengan sabar. “Bagaimanapun, dia sepupumu, Freya.”“Aku justru malu mengakui anak yatim miskin itu sebagai sepupuku.” Freya menyandarkan tubuhnya di kursi, kedua tangannya melipat di depan dada dengan ekspresi tak senang.“Freya, jaga ucapanmu. Dia adalah keponakan Ibu, dan Ibu masih bertanggung jawab padanya.” Rosa berbicara dengan nada tegas, meski ada sedikit kekecewaan yang tak bisa ia sembunyikan.Freya mendengus pelan. Baginya, keberadaan Hana di rumah ini hanyalah gangguan. Hana adalah keponakan Rosa yang selama ini tinggal di panti asuhan. Namun, usianya yang sudah menginjak 17 tahun memaksanya keluar dari sana. Untung saja, Rosa, sang bibi kaya ini bersedia menampungnya untuk sementara waktu.“Dia akan mulai k
“Aku akan segera kembali. Jangan lupa minum vitaminmu!” Halda mengingatkan sebelum melesat pergi dengan mobilnya. Elena mengangguk, menatap mobil itu menjauh hingga menghilang dari pandangan. Begitu Halda pergi, dia menutup pintu dengan cepat dan menghela napas lega.Rumah kecil ini terletak di pinggiran kota, jauh dari hiruk-pikuk dan perhatian keluarganya. Dibeli diam-diam beberapa tahun lalu, rumah ini adalah tempat perlindungannya. Dari dulu, Elena memang ingin melarikan diri dari tekanan keluarga.“Pasti ada yang ketinggalan,” gumam Elena saat melangkah ke arah kamar. Namun, ketukan keras di pintu membuatnya berhenti dan berbalik.“Dasar Halda, pasti ada barangmu yang tertinggal,” Elena mendekati pintu sambil menggerutu. Namun, saat pintu terbuka, tubuhnya mendadak kaku.Sosok di hadapannya membuat napasnya tertahan.“Kau tidak menyuruh tamumu masuk?” suara dingin itu terdengar begitu familiar, menusuk telinga dan perasaannya. Tanpa menunggu undangan Elena, pria itu melangkah mas
Suara Glen dan Freya menggema di kamar mewah itu. Sudah hampir dini hari, dan Freya merasa seolah waktu berjalan begitu cepat. Dia mendapati suaminya, yang tiba-tiba berubah ganas, mencumbunya dengan cara yang berbeda dari biasanya.“Kamu puas sekarang?” tanya Glen dengan mata dingin, seolah pertanyaan itu tidak lebih dari sekadar formalitas. Freya hanya bisa mengangguk, matanya menatap dalam pada sosok yang bahkan tak mau menatapnya.Ini pertama kalinya, setelah hampir dua tahun menikah, Glen mau berhubungan layaknya pasangan suami istri. Tapi, Freya tahu, itu tidaklah cukup.Setelah itu, Glen langsung bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, tanpa menghiraukan Freya yang masih terbaring lemas di tempat tidur. Suara shower yang menyemprot keras menggusar suasana, menggambarkan penyesalan yang semakin mendalam, meski Glen enggan mengakuinya.“Sialan…” bisik Glen, meninju udara seperti mencari pelampiasan atas kekesalannya.Freya hanya diam, menatap tubuhnya yang masih terbaring lemas