"Bodoh sekali kamu itu!" Rosa memegang keningnya dengan frustrasi. Seketika, kepalanya terasa pusing. Freya masih meringkuk di atas ranjang, matanya basah oleh air mata yang terus mengalir.
"Aku nggak nyangka kalau obatnya akan bereaksi seperti itu." Suara Freya terdengar gemetar, menahan tangis.
"Harusnya kamu bertanya dulu pada ibu sebelum melakukannya!" Rosa mendekat dengan ekspresi serius, tatapannya tajam. "Terus, kamu dapat obat itu dari mana?" Rosa mulai curiga dan menatap Freya dengan penuh tanya.
Freya tetap terdiam, matanya menatap kosong. Dia memang sengaja membeli obat pelancar kontraksi secara ilegal dengan bantuan temannya yang bekerja di toko obat.
"Resep itu bisa jadi masalah besar kalau Glen tahu." Rosa kini menarik tangan Freya dengan kasar, wajahnya penuh ketegangan. "Kamu lupa bagaimana usaha ibumu supaya kamu bisa menikah dengan Glen? Ibu rela membayar pegawai hotel itu dengan harga tinggi supaya dia bisa membawa Glen dan membuatnya terjebak tidur denganmu. Kamu justru menghancurkannya semudah ini!" Freya semakin meringis, isakannya semakin keras.
"Maafkan aku, Bu," Freya berkata terbata, "Tapi aku nggak mau bercerai dengan Glen. Aku baru saja mendapatkan malam pertama dengannya."
Rosa menghela napas panjang, matanya terpejam sejenak, seolah mencoba menenangkan diri. "Sudahlah, redakan dulu tangismu," ujarnya dengan suara datar. "Ibu ada urusan dulu." Tanpa menunggu jawaban, Rosa berbalik dan meninggalkan Freya di kamar sendirian, dengan hatinya yang terasa semakin berat.
Di balik pilar tinggi di sebelah kamar Freya, Hana tampak tersenyum samar, menggerakkan ujung serbetnya dengan santai. Lalu, ia berjalan turun menuju dapur, di mana beberapa pelayan sedang beristirahat.
"Kamu sudah mengantarkan teh untuk Nyonya Freya?" Winda, salah satu pelayan tua, bertanya dengan hati-hati.
Hana mengangguk pelan, wajahnya terlihat murung. "Kak Freya nampaknya nggak baik-baik saja. Dia menangis dan mengurung diri sejak tadi. Aku takut untuk mengganggunya."
Winda hanya tersenyum bijak, kemudian menepuk pundak Hana lembut. "Ini oleh-oleh dari Nyonya Besar. Cicipilah!" Winda mengarahkan Hana ke sebuah toples biskuit yang masih utuh.
Dengan perlahan, Hana mengambil sebiji biskuit, menggigitnya. Rasa cokelat dan almond yang berpadu sempurna di lidahnya.
Kediaman Keluarga Renand
Hari itu, suasana di kediaman keluarga Renand tampak sibuk. Widya, wanita paruh baya yang selalu tampak rapi, kini mengenakan pakaian serba putih dengan kacamata hitamnya yang khas.
"Ibu yakin mau ikut?" suara Alex, putra sulungnya yang baru tiba dari London, terdengar. Wanita tua anggun itu mengangguk perlahan.
"Aku sudah menganggap Sarah sebagai anakku sendiri. Anggap saja ini sebagai salam perpisahan terakhir untuknya," jawab Widya, sambil menghela napas berat.
Selama empat tahun terakhir, dia tinggal bersama Sarah, menantu yang selalu berperan bijaksana. Sarah, putri tunggal keluarga Hartono, memang menjadi menantu idaman, meski tak memiliki umur panjang.
"Willi sudah berangkat duluan. Dia ingin menjenguk bayinya sebelum menuju rumah duka," tambah Alex. Nyonya Renand mengangguk mengerti, lalu dengan lembut Alex mengambil tangan ibunya yang semakin keriput dan membimbingnya untuk turun ke lantai bawah.
Para pelayan yang mengenakan pakaian serba hitam sudah berbaris rapi di bawah tangga. Mereka menunduk dengan hormat ketika wanita itu melewati mereka.
"Sebagai orang tua Sarah, izinkan aku untuk meminta maaf atas segala kesalahan yang dilakukan Sarah selama hidupnya," ujar wanita itu dengan suara lembut. Setelah itu, dia memasuki mobil mewah berwarna hitam metalik yang sudah menunggu.
Begitu tiba di rumah duka, suasana yang menyelimuti berbeda dengan kebanyakan tempat peristirahatan terakhir. Bukan suasana yang kelam dan penuh duka, melainkan tempat itu terasa seperti grand heaven yang penuh kemewahan.
Meskipun seluruh ruang diselimuti warna hitam dan putih, namun detail keindahan yang ditampilkan begitu mencolok. Lampu kristal yang menggantung megah, karpet merah yang bersih dan halus, serta patung-patung klasik yang menghiasi ruang utama. Seolah, mereka yang datang kesana bukan hanya untuk merasakan kehilangan, tetapi untuk menghormati hidup Sarah dengan cara yang sangat berbeda.
Alex membuka pintu mobil dengan hati-hati, memberi kesempatan pada sang ibu untuk keluar. Dengan langkah perlahan, mereka memasuki ruangan yang penuh dengan orang-orang terhormat. Suasana hening, hanya terdengar bisik-bisik orang yang datang, semua menundukkan kepala, menghormati kepergian Sarah. Namun, yang membuatnya semakin ganjil adalah tidak ada satu pun wajah yang terlihat benar-benar berduka. Semua tampak seperti datang untuk sebuah pertemuan, atau lebih tepatnya, sebuah acara.
Di tengah-tengah ruangan, sebuah peti mati mewah terbuat dari kayu jati berlapis perak terletak anggun, dikelilingi oleh bunga-bunga segar yang tidak biasa, bunga-bunga langka dari Eropa, yang hanya bisa didapat dengan biaya yang sangat mahal.
“Willi,” sapa Widya pelan saat melihat William berdiri mematung di dekat peti jenazah Sarah.
William hanya menoleh sebentar, ekspresinya tetap datar, tak memperlihatkan emosi sedikit pun. Setelah itu, pandangannya kembali tertuju pada tubuh mendiang Sarah yang terbaring dalam kedamaian, seolah masih tidur.
Suasana semakin hening ketika rombongan keluarga Hartono tiba. Hanya tersisa Tuan Hartono yang sudah menua karena usia, sementara orang tua Sarah sudah lebih dulu meninggal setahun yang lalu dalam kecelakaan helikopter di daerah Bukit Bintang.
“Aku berterima kasih karena di sisa akhir hidup cucuku, kalian semua menemani dengan begitu banyak perhatian. Aku yakin dia pergi dengan keadaan damai,” kata Tuan Hartono, suara beratnya bergetar sedikit. Ia memandang tubuh Sarah yang terbaring dengan wajah cantik, terhias rapi seperti orang yang sedang tertidur lelap.
Widya hanya memandang dengan hening, matanya menatap wajah cantik Sarah yang tampak begitu damai. Namun, di dalam hatinya, perasaan tidak bisa dijelaskan meresap perlahan.
Di sebelah Tuan Hartono, ada seorang pria yang tampak lebih muda, pria itu adalah Doni, adik ipar Tuan Hartono dan juga purnawirawan yang selalu terlihat serius. Sejak tadi, Doni hanya fokus pada William, seolah menilai sesuatu yang tersembunyi di balik sikap dingin pria itu.
Namun, tak ada yang tahu. Tak ada yang bisa menangkap senyum tipis yang tiba-tiba muncul di wajah Doni. Sebuah senyum yang begitu kecil dan samar, seolah menunjukkan kebahagiaan yang tersembunyi di balik kematian Sarah. Tapi Doni tak sendirian, sosok disebelahnya juga sama saja.
Dia merasa bahwa kematian Sarah adalah satu langkah maju untuk mncapai sebuah tujuan.
Setelah acara krematorium selesai, William masih memegang guci berwarna biru laut dengan ukiran bunga matahari yang sangat indah. Guci yang berisi Abu jenazah Sarah, berputar lembut di dalam, seolah membawa kenangan dari masa lalu yang tak akan pernah kembali."Kamu sudah melihat anakmu? Dia sangat cantik. Kulitnya yang kemarin menguning sudah mulai normal. Selain karena sinar bilirubin, ibu juga sudah menemukan pendonor ASI untuknya," kata Widya dengan lembut, mencoba memberi penghiburan. William hanya diam, matanya kosong, mengarahkan pandangannya ke luar jendela."Aku hanya melihatnya sebentar," jawab William pelan. Sebuah kebohongan. Bahkan, dia hanya berhenti di depan halaman rumah sakit tanpa berani masuk ke dalamnya. Dia belum siap menerima kenyataan bahwa putrinya, yang kini tak pernah mengenal ibunya, harus tumbuh tanpa Sarah."Ibu memberinya nama Angel," lanjut Widya, menatap putranya yang masih terdiam. William menoleh, mata yang biasany
"Waktunya menyusui, Nona Angel." Seorang perawat datang memberitahu Elena. Elena yang paham langsung bangkit dan memberi kode pada Halda untuk segera pergi."Kembalilah besok pagi. Aku akan baik-baik saja di sini." Halda, yang melihat Elena cukup yakin, akhirnya mengangguk dan menurutinya. Lagi pula, ada urusan penting malam ini, jadi dia setuju untuk mengikuti permintaan Elena. Sementara itu, Elena melangkah masuk ke ruang khusus menyusui.Tak lama setelah itu, seorang perawat lain datang menggendong seorang bayi mungil dengan selimut pink yang tampak mahal."Suster, kenapa aku merasa sakit ketika dia menyusu?" Elena bertanya sambil menahan rasa sakit saat bibir mungil Angel menyentuh dadanya. Perawat muda itu tersenyum dan menjelaskan."Karena dia belum terbiasa, langit-langit mulut bayi kadang masih kasar pada awalnya," jawab suster tersebut. Elena hanya mengangguk seolah paham, meskipun rasa sakit itu masih terasa. Di sisi lain, dia melihat Angel. Mat
Elena masih menatap lekat-lekat nominal pada cek di tangannya. Jumlahnya begitu besar, nyaris sulit dipercaya. Wanita tua itu benar-benar kaya raya.Suara derit pintu kamar membuatnya tersadar. Tanpa menoleh, ia melirik sekilas ke arah pintu dan mendapati sosok pria yang masuk dengan beberapa kantong belanjaan di tangannya. Dengan sigap, Elena segera menyelipkan cek itu ke dalam kantong mantelnya."Kamu benar-benar lebih suka melihatku sengsara, Kak." Ucapnya dengan nada setengah menyindir.Ia masih kesal dengan Glen. Pria itu sama sekali tak menggubris maksudnya saat mereka berbicara tadi siang. Bahkan sekarang, Glen datang tanpa mengganti pakaian, sepertinya benar-benar tak pulang ke rumah."Aku selalu konsisten dengan ucapanku." Glen menjawab singkat, lalu meletakkan kantong-kantong belanjaan itu ke atas meja.Tatapannya menyipit saat menyadari sesuatu. Di atas meja, sudah tersaji berbagai macam makanan dengan bran
Elena duduk di tepi ranjang rumah sakit. Di sampingnya, Glen berdiri diam. Tatapannya lekat, penuh dengan emosi yang sulit diartikan. Elena tahu pria itu ingin mengatakan sesuatu, tapi ia lebih memilih diam."Glen, aku mohon padamu, jangan semakin mempersulitku saat ini." Suara Elena lirih, penuh kepenatan.Glen tetap tak bergeming. Matanya menyusuri wajah Elena yang lelah. Seberapapun keras Elena berusaha mengusirnya, Glen tak akan pergi."Kamu tak bertanya tentang kabar ayahmu?" tanyanya pelan.Elena mendengar pertanyaan itu, tapi sengaja mengabaikannya. Jacob, ayahnya. Ia memang merindukan sosok tua itu, tetapi setiap kali mengingat amarah dan kekecewaan yang terpancar dari matanya terakhir kali mereka bertemu, Elena mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih jauh."Dia mungkin belum tahu. Kecuali ada yang memberitahunya, tapi aku yakin itu tak akan terjadi," lanjut Glen dengan nada samar.Dia mengulas senyum tipis, lalu tanpa izin mendeka
“Siapa lelaki yang menghamilimu, Elena?” tanya Tuan Jacob dengan wajah memerah menahan amarah. Elena hanya menunduk dalam, meskipun demikian dia masih bisa melihat alas kaki dari orang-orang yang tengah berkumpul di ruang tamu saat ini.“Kamu masih tak mau jujur? Sungguh berniat menjadi jalang?” Kini teriakan itu semakin keras. Tuan Jacob membanting gelas kaca yang dia bawa, suaranya menggema dan membuat keheningan di ruangan itu semakin mencekam.“Ayah....” Suara Freya terdengar lembut, dia berdiri dan mendekati lelaki tua yang duduk tegang di sana. “Jangan terlalu keras, ingatlah bahwa tekanan darahmu cukup tinggi.” Bersamaan dengan itu, Elena melirik pria yang duduk di sebelah kursi Freya. Dia hanya bisa menghela napas saat melihat wajah dingin itu menatapnya tanpa ekspresi.“Seharusnya kau banyak belajar dari kakakmu ini. Dia tak sekalipun membuat ulah dan justru membuat keluarga Martin bangga.”Elena memilih untuk tidak menangis. Dia sudah tahu bahwa ayahnya lebih memanjakan Frey
Suara Glen dan Freya menggema di kamar mewah itu. Sudah hampir dini hari, dan Freya merasa seolah waktu berjalan begitu cepat. Dia mendapati suaminya, yang tiba-tiba berubah ganas, mencumbunya dengan cara yang berbeda dari biasanya.“Kamu puas sekarang?” tanya Glen dengan mata dingin, seolah pertanyaan itu tidak lebih dari sekadar formalitas. Freya hanya bisa mengangguk, matanya menatap dalam pada sosok yang bahkan tak mau menatapnya.Ini pertama kalinya, setelah hampir dua tahun menikah, Glen mau berhubungan layaknya pasangan suami istri. Tapi, Freya tahu, itu tidaklah cukup.Setelah itu, Glen langsung bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, tanpa menghiraukan Freya yang masih terbaring lemas di tempat tidur. Suara shower yang menyemprot keras menggusar suasana, menggambarkan penyesalan yang semakin mendalam, meski Glen enggan mengakuinya.“Sialan…” bisik Glen, meninju udara seperti mencari pelampiasan atas kekesalannya.Freya hanya diam, menatap tubuhnya yang masih terbaring lemas
“Aku akan segera kembali. Jangan lupa minum vitaminmu!” Halda mengingatkan sebelum melesat pergi dengan mobilnya. Elena mengangguk, menatap mobil itu menjauh hingga menghilang dari pandangan. Begitu Halda pergi, dia menutup pintu dengan cepat dan menghela napas lega.Rumah kecil ini terletak di pinggiran kota, jauh dari hiruk-pikuk dan perhatian keluarganya. Dibeli diam-diam beberapa tahun lalu, rumah ini adalah tempat perlindungannya. Dari dulu, Elena memang ingin melarikan diri dari tekanan keluarga.“Pasti ada yang ketinggalan,” gumam Elena saat melangkah ke arah kamar. Namun, ketukan keras di pintu membuatnya berhenti dan berbalik.“Dasar Halda, pasti ada barangmu yang tertinggal,” Elena mendekati pintu sambil menggerutu. Namun, saat pintu terbuka, tubuhnya mendadak kaku.Sosok di hadapannya membuat napasnya tertahan.“Kau tidak menyuruh tamumu masuk?” suara dingin itu terdengar begitu familiar, menusuk telinga dan perasaannya. Tanpa menunggu undangan Elena, pria itu melangkah mas
“Kenapa sih, Freya?” Rosa memandang putrinya yang tampak masam sejak pulang dari salon.“Ibu, kenapa mengundang Hana ke sini? Ibu tahu kan, aku tidak suka dia!” Nada suara Freya penuh dengan kekesalan yang tertahan.Rosa menghela napas panjang, menatap anak perempuannya dengan sabar. “Bagaimanapun, dia sepupumu, Freya.”“Aku justru malu mengakui anak yatim miskin itu sebagai sepupuku.” Freya menyandarkan tubuhnya di kursi, kedua tangannya melipat di depan dada dengan ekspresi tak senang.“Freya, jaga ucapanmu. Dia adalah keponakan Ibu, dan Ibu masih bertanggung jawab padanya.” Rosa berbicara dengan nada tegas, meski ada sedikit kekecewaan yang tak bisa ia sembunyikan.Freya mendengus pelan. Baginya, keberadaan Hana di rumah ini hanyalah gangguan. Hana adalah keponakan Rosa yang selama ini tinggal di panti asuhan. Namun, usianya yang sudah menginjak 17 tahun memaksanya keluar dari sana. Untung saja, Rosa, sang bibi kaya ini bersedia menampungnya untuk sementara waktu.“Dia akan mulai k
Elena duduk di tepi ranjang rumah sakit. Di sampingnya, Glen berdiri diam. Tatapannya lekat, penuh dengan emosi yang sulit diartikan. Elena tahu pria itu ingin mengatakan sesuatu, tapi ia lebih memilih diam."Glen, aku mohon padamu, jangan semakin mempersulitku saat ini." Suara Elena lirih, penuh kepenatan.Glen tetap tak bergeming. Matanya menyusuri wajah Elena yang lelah. Seberapapun keras Elena berusaha mengusirnya, Glen tak akan pergi."Kamu tak bertanya tentang kabar ayahmu?" tanyanya pelan.Elena mendengar pertanyaan itu, tapi sengaja mengabaikannya. Jacob, ayahnya. Ia memang merindukan sosok tua itu, tetapi setiap kali mengingat amarah dan kekecewaan yang terpancar dari matanya terakhir kali mereka bertemu, Elena mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih jauh."Dia mungkin belum tahu. Kecuali ada yang memberitahunya, tapi aku yakin itu tak akan terjadi," lanjut Glen dengan nada samar.Dia mengulas senyum tipis, lalu tanpa izin mendeka
Elena masih menatap lekat-lekat nominal pada cek di tangannya. Jumlahnya begitu besar, nyaris sulit dipercaya. Wanita tua itu benar-benar kaya raya.Suara derit pintu kamar membuatnya tersadar. Tanpa menoleh, ia melirik sekilas ke arah pintu dan mendapati sosok pria yang masuk dengan beberapa kantong belanjaan di tangannya. Dengan sigap, Elena segera menyelipkan cek itu ke dalam kantong mantelnya."Kamu benar-benar lebih suka melihatku sengsara, Kak." Ucapnya dengan nada setengah menyindir.Ia masih kesal dengan Glen. Pria itu sama sekali tak menggubris maksudnya saat mereka berbicara tadi siang. Bahkan sekarang, Glen datang tanpa mengganti pakaian, sepertinya benar-benar tak pulang ke rumah."Aku selalu konsisten dengan ucapanku." Glen menjawab singkat, lalu meletakkan kantong-kantong belanjaan itu ke atas meja.Tatapannya menyipit saat menyadari sesuatu. Di atas meja, sudah tersaji berbagai macam makanan dengan bran
"Waktunya menyusui, Nona Angel." Seorang perawat datang memberitahu Elena. Elena yang paham langsung bangkit dan memberi kode pada Halda untuk segera pergi."Kembalilah besok pagi. Aku akan baik-baik saja di sini." Halda, yang melihat Elena cukup yakin, akhirnya mengangguk dan menurutinya. Lagi pula, ada urusan penting malam ini, jadi dia setuju untuk mengikuti permintaan Elena. Sementara itu, Elena melangkah masuk ke ruang khusus menyusui.Tak lama setelah itu, seorang perawat lain datang menggendong seorang bayi mungil dengan selimut pink yang tampak mahal."Suster, kenapa aku merasa sakit ketika dia menyusu?" Elena bertanya sambil menahan rasa sakit saat bibir mungil Angel menyentuh dadanya. Perawat muda itu tersenyum dan menjelaskan."Karena dia belum terbiasa, langit-langit mulut bayi kadang masih kasar pada awalnya," jawab suster tersebut. Elena hanya mengangguk seolah paham, meskipun rasa sakit itu masih terasa. Di sisi lain, dia melihat Angel. Mat
Setelah acara krematorium selesai, William masih memegang guci berwarna biru laut dengan ukiran bunga matahari yang sangat indah. Guci yang berisi Abu jenazah Sarah, berputar lembut di dalam, seolah membawa kenangan dari masa lalu yang tak akan pernah kembali."Kamu sudah melihat anakmu? Dia sangat cantik. Kulitnya yang kemarin menguning sudah mulai normal. Selain karena sinar bilirubin, ibu juga sudah menemukan pendonor ASI untuknya," kata Widya dengan lembut, mencoba memberi penghiburan. William hanya diam, matanya kosong, mengarahkan pandangannya ke luar jendela."Aku hanya melihatnya sebentar," jawab William pelan. Sebuah kebohongan. Bahkan, dia hanya berhenti di depan halaman rumah sakit tanpa berani masuk ke dalamnya. Dia belum siap menerima kenyataan bahwa putrinya, yang kini tak pernah mengenal ibunya, harus tumbuh tanpa Sarah."Ibu memberinya nama Angel," lanjut Widya, menatap putranya yang masih terdiam. William menoleh, mata yang biasany
"Bodoh sekali kamu itu!" Rosa memegang keningnya dengan frustrasi. Seketika, kepalanya terasa pusing. Freya masih meringkuk di atas ranjang, matanya basah oleh air mata yang terus mengalir."Aku nggak nyangka kalau obatnya akan bereaksi seperti itu." Suara Freya terdengar gemetar, menahan tangis."Harusnya kamu bertanya dulu pada ibu sebelum melakukannya!" Rosa mendekat dengan ekspresi serius, tatapannya tajam. "Terus, kamu dapat obat itu dari mana?" Rosa mulai curiga dan menatap Freya dengan penuh tanya.Freya tetap terdiam, matanya menatap kosong. Dia memang sengaja membeli obat pelancar kontraksi secara ilegal dengan bantuan temannya yang bekerja di toko obat."Resep itu bisa jadi masalah besar kalau Glen tahu." Rosa kini menarik tangan Freya dengan kasar, wajahnya penuh ketegangan. "Kamu lupa bagaimana usaha ibumu supaya kamu bisa menikah dengan Glen? Ibu rela membayar pegawai hotel itu dengan harga tinggi supaya dia bisa membawa Glen dan membuatnya t
"Ta, tapi, Nyonya…" Halda tampak ragu. Kekhawatiran jelas tergambar di wajahnya, namun sebelum sempat melanjutkan, Elena sudah lebih dulu menarik lengannya, menahan langkahnya agar tidak mundur."Aku bisa, Nyonya. Tapi… apakah tak masalah? Aku juga punya bayi yang masih butuh ASI," tanyanya pelan, seolah memastikan.Wanita tua itu tersenyum lembut, matanya menyiratkan harapan yang besar. Ia menggeleng pelan."Tak masalah, yang terpenting cucuku mendapatkan ASI. Dia sudah seharian tak meminum apa pun," suaranya bergetar, menyiratkan kecemasan seorang nenek yang ketakutan kehilangan darah dagingnya.Tanpa membuang waktu, wanita tua itu bangkit dengan antusias. Ia melambaikan tangan ke arah baby sitter yang menunggu di sudut ruangan. Dengan sigap, baby sitter itu membawa bayi kecil yang terbungkus selimut putih.Elena menatap bayi mungil itu dengan perasaan campur aduk. Wajahnya begitu cantik, namun tampak layu. Kulitnya mulai menguning, pertanda ia b
“Kamu yakin tak apa sendirian?” Halda kembali bertanya, masih terdengar khawatir. Sejak Elena bercerita bahwa Glen mengunjunginya, rasa cemas Halda semakin meluap.“Tenang saja. Glen tidak akan menyakitiku.” Elena tersenyum seolah ingin memastikan Halda bahwa dia akan baik-baik saja meskipun pergi sendirian. Hari ini adalah jadwal pemeriksaan di dokter kandungan. Masuk ke trimester akhir, dan dia ingin memastikan bahwa janinnya sehat dan berkembang dengan baik.Halda menghela napas, lalu tanpa banyak bicara, ia melaju dengan mobilnya ke kantor. Sementara itu, Elena berjalan masuk ke dalam gedung rumah sakit untuk mengambil nomor antrian di poli obgyn.“Berangkat lebih awal pun tetap saja dapat antrian ke-40?” Elena mengerutkan dahi, merasa heran. Belum puas dengan keadaannya, ia memutuskan untuk menyebrang ke kafe yang ada di dekat rumah sakit. Kafe tersebut sudah buka, dan Elena ingin menunggu sambil membeli camilan.Namun, saat ia baru saja akan memasuki kafe, suara yang dikenal mema
“Kenapa sih, Freya?” Rosa memandang putrinya yang tampak masam sejak pulang dari salon.“Ibu, kenapa mengundang Hana ke sini? Ibu tahu kan, aku tidak suka dia!” Nada suara Freya penuh dengan kekesalan yang tertahan.Rosa menghela napas panjang, menatap anak perempuannya dengan sabar. “Bagaimanapun, dia sepupumu, Freya.”“Aku justru malu mengakui anak yatim miskin itu sebagai sepupuku.” Freya menyandarkan tubuhnya di kursi, kedua tangannya melipat di depan dada dengan ekspresi tak senang.“Freya, jaga ucapanmu. Dia adalah keponakan Ibu, dan Ibu masih bertanggung jawab padanya.” Rosa berbicara dengan nada tegas, meski ada sedikit kekecewaan yang tak bisa ia sembunyikan.Freya mendengus pelan. Baginya, keberadaan Hana di rumah ini hanyalah gangguan. Hana adalah keponakan Rosa yang selama ini tinggal di panti asuhan. Namun, usianya yang sudah menginjak 17 tahun memaksanya keluar dari sana. Untung saja, Rosa, sang bibi kaya ini bersedia menampungnya untuk sementara waktu.“Dia akan mulai k
“Aku akan segera kembali. Jangan lupa minum vitaminmu!” Halda mengingatkan sebelum melesat pergi dengan mobilnya. Elena mengangguk, menatap mobil itu menjauh hingga menghilang dari pandangan. Begitu Halda pergi, dia menutup pintu dengan cepat dan menghela napas lega.Rumah kecil ini terletak di pinggiran kota, jauh dari hiruk-pikuk dan perhatian keluarganya. Dibeli diam-diam beberapa tahun lalu, rumah ini adalah tempat perlindungannya. Dari dulu, Elena memang ingin melarikan diri dari tekanan keluarga.“Pasti ada yang ketinggalan,” gumam Elena saat melangkah ke arah kamar. Namun, ketukan keras di pintu membuatnya berhenti dan berbalik.“Dasar Halda, pasti ada barangmu yang tertinggal,” Elena mendekati pintu sambil menggerutu. Namun, saat pintu terbuka, tubuhnya mendadak kaku.Sosok di hadapannya membuat napasnya tertahan.“Kau tidak menyuruh tamumu masuk?” suara dingin itu terdengar begitu familiar, menusuk telinga dan perasaannya. Tanpa menunggu undangan Elena, pria itu melangkah mas