“Siapa lelaki yang menghamilimu, Elena?” tanya Tuan Jacob dengan wajah memerah menahan amarah. Elena hanya menunduk dalam, meskipun demikian dia masih bisa melihat alas kaki dari orang-orang yang tengah berkumpul di ruang tamu saat ini.
“Kamu masih tak mau jujur? Sungguh berniat menjadi jalang?” Kini teriakan itu semakin keras. Tuan Jacob membanting gelas kaca yang dia bawa, suaranya menggema dan membuat keheningan di ruangan itu semakin mencekam.
“Ayah....” Suara Freya terdengar lembut, dia berdiri dan mendekati lelaki tua yang duduk tegang di sana. “Jangan terlalu keras, ingatlah bahwa tekanan darahmu cukup tinggi.” Bersamaan dengan itu, Elena melirik pria yang duduk di sebelah kursi Freya. Dia hanya bisa menghela napas saat melihat wajah dingin itu menatapnya tanpa ekspresi.
“Seharusnya kau banyak belajar dari kakakmu ini. Dia tak sekalipun membuat ulah dan justru membuat keluarga Martin bangga.”
Elena memilih untuk tidak menangis. Dia sudah tahu bahwa ayahnya lebih memanjakan Freya daripada dirinya.
“Elena, jujur saja. Siapa lelaki itu?” Kini Freya bertanya dengan lembut. Elena hanya mendecih dan tersenyum tipis di ujung bibirnya.
“Lebih baik jika kalian semua tak tahu siapa pria yang menghamiliku.” Jawaban singkat dari Elena membuat wajah Jacob semakin memerah padam. Dua puluh tahun lalu, dia begitu bahagia saat mendengar tangis putri kecilnya itu. Namun sekarang, dia merasa bayi yang dulu dia peluk dengan suka cita seolah kini melemparkan kotoran tepat ke wajahnya sendiri.
“Elena!”
“Apalagi, Ayah? Aku tidak akan mengakuinya. Lalu Ayah mau apa?” Elena menantang balik dengan suara dingin.
“Baiklah, kalau kamu masih tak bisa diatur. Urus hidupmu dan bayi itu sendiri. Mulai detik ini kamu bukan lagi keluarga Martin.” Jacob bangkit, langsung berjalan menuju kamarnya, diikuti oleh Rosa, istrinya, yang sedari tadi hanya diam saja, tak membela ataupun membantah suaminya.
“Kamu berlebihan, sayang.” Rosa mencoba menenangkan Jacob yang kini duduk di pinggiran ranjang mewah mereka.
“Kau tak perlu membelanya, Rosa. Sejak kecil dia selalu dimanja. Dan sekarang, justru semakin liar.” Rosa tersenyum tipis, tidak ingin memperpanjang pembicaraan. Dia tahu betapa kecewanya Jacob pada Elena.
Sementara itu, di ruang tamu, Freya mencoba membantu Elena bangkit. Namun, Elena langsung menghempaskan tangan itu dengan lembut.
“Aku bisa sendiri, Kak.”
“Elena, di luar sedang hujan. Kamu tak akan benar-benar menuruti kata Ayah, bukan?” Elena hanya menatap mata Freya dengan dalam.
“Kamu tak perlu khawatir, aku bisa mengatasinya sendiri.”
“Tunggulah sampai besok pagi. Ayah pasti tak akan keberatan jika kamu bermalam terlebih dahulu.” Freya menarik tangan Elena dan membawanya masuk ke dalam kamar.
Di ruang tamu, kini hanya tersisa satu pria. Dia mengambil sebatang rokok, menyalakannya, dan mengisapnya pelan. Senyum getir muncul di sudut bibirnya, menghilang di antara asap rokok yang membumbung ke udara.
Elena menutup pintu kamarnya dengan sekali hentakan, tanpa membiarkan Freya ikut masuk. Keheningan malam membuat suara itu terdengar menggema, namun dia tak peduli.
Langkahnya gontai saat menuju lemari pakaian di sudut kamar yang sudah tak lagi terasa seperti miliknya.
Lemari itu hanya berisi pakaian-pakaian bekas milik Freya. Gaun-gaun mahal yang dulunya sering dipamerkan Freya kini tergantung di sana, lusuh dan tanpa makna.
Elena menatapnya dengan pandangan kosong, mengingat kapan terakhir kali dia membeli sesuatu yang benar-benar dia sukai. Jawabannya nihil. Semuanya hanyalah sisa-sisa dari apa yang sudah dibuang oleh Freya.
“Seharusnya aku senang bisa keluar dari rumah ini,” gumamnya lirih sambil memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas daypack yang biasa dia bawa ke kampus. Tidak ada barang berharga yang dia miliki di rumah ini, kecuali dirinya sendiri. Dan itu pun sudah dianggap aib.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Halda muncul di layar. Elena menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya mengangkat.
“Mau aku jemput sekarang?” tanya suara itu tanpa basa-basi.
Elena tetap diam, mengumpulkan keberanian untuk menjawab. “Aku... aku butuh waktu beberapa jam lagi. Tunggu sampai semuanya tidur.”
Di ujung telepon, Halda menghela napas panjang. “Baiklah. Aku sudah membersihkan sebagian kamar tamu. Tidak terlalu buruk untuk dipakai bermalam.”
“Terima kasih,” jawab Elena singkat sebelum mematikan panggilan.
Matanya kini beralih pada meja kecil di sebelah ranjang. Di sana, sebuah bingkai foto berdiri dengan sedikit berdebu. Foto seorang gadis muda dengan rambut hitam lebat dan senyum mengembang, memancarkan kebahagiaan yang kini terasa asing. Elena mengambil bingkai itu, menatapnya sejenak, lalu memasukkannya ke dalam tas bersama sisa barang-barangnya.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Seluruh lampu di kediaman keluarga Martin sudah dimatikan, kecuali beberapa di area ruang tamu.
Elena mengintip dari celah pintu kamarnya, memastikan tak ada pelayan yang berkeliaran. Tapi pikirannya mendadak tertawa sinis pada dirinya sendiri.
“Kenapa aku harus takut ketahuan? Bukankah aku sudah diusir?” bisiknya, menertawakan ironi yang dia rasakan.
Dengan langkah lebih percaya diri, dia menyampirkan ransel di pundaknya dan berjalan turun melewati tangga besar rumah itu. Kakinya bergerak pelan, tapi hatinya penuh kepastian. Begitu tiba di ruang tamu, langkahnya terhenti.
Pria itu masih ada di sana.
Duduk di sofa dengan tangan yang bersilang, matanya yang tajam mengawasi setiap gerakan Elena. Dia tak berkata apa-apa, namun tatapannya berbicara lebih banyak dari seribu kalimat. Elena tahu bahwa dia tak akan menghentikan langkahnya. Dan benar saja, pria itu tetap diam saat dia melanjutkan perjalanannya menuju pintu keluar.
Di luar, gerbang besar keluarga Martin yang biasa terkunci rapat kini sedikit terbuka, seperti memberikan jalan. Elena melangkah melewatinya tanpa menoleh ke belakang.
“Elena!” teriakan itu memecah keheningan malam. Sebuah mobil berwarna merah menyala sudah menunggu di seberang jalan. Halda, dengan senyum lebarnya, melambai dari balik kemudi.
Elena tersenyum tipis sebelum masuk ke dalam mobil.
“Sepertinya keluargamu sangat antusias membiarkanmu pergi,” ujar Halda sambil menyalakan mesin. Dia tertawa kecil, tapi nada canda itu seperti duri bagi Elena.
Elena hanya menanggapi dengan senyum pahit.
“Kamu yakin tidak keberatan menampung seorang anak buangan keluarga Martin?”
“Buangan?” Halda menoleh, menatapnya dengan seringai. “Siapa yang akan mempermasalahkan? Ayahmu? Keluarga Martin? Lucu sekali.”
Halda tertawa lebih keras, membuat Elena menghela napas. Halda Trunajaya, keturunan keluarga bangsawan dari kota Norland, memang terkenal dengan kelakuannya yang liar.
Kakeknya adalah pendiri pabrik baja terbesar di daerah itu, sementara keluarga ibunya terkenal sebagai dokter terkemuka. Tapi Halda... dia adalah pengecualian. Lahir dari kemewahan, tapi hidup seakan semua aturan diciptakan untuk dilanggar.
“Kalau mereka berani protes, bilang saja mereka sudah membuang sesuatu yang sebenarnya lebih berharga dari semua yang mereka miliki,” tambah Halda, setengah bercanda, setengah serius.
Elena tak membalas. Matanya hanya menatap ke luar jendela, perlahan tangannya mengusap perutnya yang memang sudah membesar.
“Mau bertaruh? pria yang menghamilimu ini akan mencarimu besok pagi.”
Suara Glen dan Freya menggema di kamar mewah itu. Sudah hampir dini hari, dan Freya merasa seolah waktu berjalan begitu cepat. Dia mendapati suaminya, yang tiba-tiba berubah ganas, mencumbunya dengan cara yang berbeda dari biasanya.“Kamu puas sekarang?” tanya Glen dengan mata dingin, seolah pertanyaan itu tidak lebih dari sekadar formalitas. Freya hanya bisa mengangguk, matanya menatap dalam pada sosok yang bahkan tak mau menatapnya.Ini pertama kalinya, setelah hampir dua tahun menikah, Glen mau berhubungan layaknya pasangan suami istri. Tapi, Freya tahu, itu tidaklah cukup.Setelah itu, Glen langsung bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, tanpa menghiraukan Freya yang masih terbaring lemas di tempat tidur. Suara shower yang menyemprot keras menggusar suasana, menggambarkan penyesalan yang semakin mendalam, meski Glen enggan mengakuinya.“Sialan…” bisik Glen, meninju udara seperti mencari pelampiasan atas kekesalannya.Freya hanya diam, menatap tubuhnya yang masih terbaring lemas
“Aku akan segera kembali. Jangan lupa minum vitaminmu!” Halda mengingatkan sebelum melesat pergi dengan mobilnya. Elena mengangguk, menatap mobil itu menjauh hingga menghilang dari pandangan. Begitu Halda pergi, dia menutup pintu dengan cepat dan menghela napas lega.Rumah kecil ini terletak di pinggiran kota, jauh dari hiruk-pikuk dan perhatian keluarganya. Dibeli diam-diam beberapa tahun lalu, rumah ini adalah tempat perlindungannya. Dari dulu, Elena memang ingin melarikan diri dari tekanan keluarga.“Pasti ada yang ketinggalan,” gumam Elena saat melangkah ke arah kamar. Namun, ketukan keras di pintu membuatnya berhenti dan berbalik.“Dasar Halda, pasti ada barangmu yang tertinggal,” Elena mendekati pintu sambil menggerutu. Namun, saat pintu terbuka, tubuhnya mendadak kaku.Sosok di hadapannya membuat napasnya tertahan.“Kau tidak menyuruh tamumu masuk?” suara dingin itu terdengar begitu familiar, menusuk telinga dan perasaannya. Tanpa menunggu undangan Elena, pria itu melangkah mas
“Kenapa sih, Freya?” Rosa memandang putrinya yang tampak masam sejak pulang dari salon.“Ibu, kenapa mengundang Hana ke sini? Ibu tahu kan, aku tidak suka dia!” Nada suara Freya penuh dengan kekesalan yang tertahan.Rosa menghela napas panjang, menatap anak perempuannya dengan sabar. “Bagaimanapun, dia sepupumu, Freya.”“Aku justru malu mengakui anak yatim miskin itu sebagai sepupuku.” Freya menyandarkan tubuhnya di kursi, kedua tangannya melipat di depan dada dengan ekspresi tak senang.“Freya, jaga ucapanmu. Dia adalah keponakan Ibu, dan Ibu masih bertanggung jawab padanya.” Rosa berbicara dengan nada tegas, meski ada sedikit kekecewaan yang tak bisa ia sembunyikan.Freya mendengus pelan. Baginya, keberadaan Hana di rumah ini hanyalah gangguan. Hana adalah keponakan Rosa yang selama ini tinggal di panti asuhan. Namun, usianya yang sudah menginjak 17 tahun memaksanya keluar dari sana. Untung saja, Rosa, sang bibi kaya ini bersedia menampungnya untuk sementara waktu.“Dia akan mulai k
“Kamu yakin tak apa sendirian?” Halda kembali bertanya, masih terdengar khawatir. Sejak Elena bercerita bahwa Glen mengunjunginya, rasa cemas Halda semakin meluap.“Tenang saja. Glen tidak akan menyakitiku.” Elena tersenyum seolah ingin memastikan Halda bahwa dia akan baik-baik saja meskipun pergi sendirian. Hari ini adalah jadwal pemeriksaan di dokter kandungan. Masuk ke trimester akhir, dan dia ingin memastikan bahwa janinnya sehat dan berkembang dengan baik.Halda menghela napas, lalu tanpa banyak bicara, ia melaju dengan mobilnya ke kantor. Sementara itu, Elena berjalan masuk ke dalam gedung rumah sakit untuk mengambil nomor antrian di poli obgyn.“Berangkat lebih awal pun tetap saja dapat antrian ke-40?” Elena mengerutkan dahi, merasa heran. Belum puas dengan keadaannya, ia memutuskan untuk menyebrang ke kafe yang ada di dekat rumah sakit. Kafe tersebut sudah buka, dan Elena ingin menunggu sambil membeli camilan.Namun, saat ia baru saja akan memasuki kafe, suara yang dikenal mema
"Ta, tapi, Nyonya…" Halda tampak ragu. Kekhawatiran jelas tergambar di wajahnya, namun sebelum sempat melanjutkan, Elena sudah lebih dulu menarik lengannya, menahan langkahnya agar tidak mundur."Aku bisa, Nyonya. Tapi… apakah tak masalah? Aku juga punya bayi yang masih butuh ASI," tanyanya pelan, seolah memastikan.Wanita tua itu tersenyum lembut, matanya menyiratkan harapan yang besar. Ia menggeleng pelan."Tak masalah, yang terpenting cucuku mendapatkan ASI. Dia sudah seharian tak meminum apa pun," suaranya bergetar, menyiratkan kecemasan seorang nenek yang ketakutan kehilangan darah dagingnya.Tanpa membuang waktu, wanita tua itu bangkit dengan antusias. Ia melambaikan tangan ke arah baby sitter yang menunggu di sudut ruangan. Dengan sigap, baby sitter itu membawa bayi kecil yang terbungkus selimut putih.Elena menatap bayi mungil itu dengan perasaan campur aduk. Wajahnya begitu cantik, namun tampak layu. Kulitnya mulai menguning, pertanda ia b
"Bodoh sekali kamu itu!" Rosa memegang keningnya dengan frustrasi. Seketika, kepalanya terasa pusing. Freya masih meringkuk di atas ranjang, matanya basah oleh air mata yang terus mengalir."Aku nggak nyangka kalau obatnya akan bereaksi seperti itu." Suara Freya terdengar gemetar, menahan tangis."Harusnya kamu bertanya dulu pada ibu sebelum melakukannya!" Rosa mendekat dengan ekspresi serius, tatapannya tajam. "Terus, kamu dapat obat itu dari mana?" Rosa mulai curiga dan menatap Freya dengan penuh tanya.Freya tetap terdiam, matanya menatap kosong. Dia memang sengaja membeli obat pelancar kontraksi secara ilegal dengan bantuan temannya yang bekerja di toko obat."Resep itu bisa jadi masalah besar kalau Glen tahu." Rosa kini menarik tangan Freya dengan kasar, wajahnya penuh ketegangan. "Kamu lupa bagaimana usaha ibumu supaya kamu bisa menikah dengan Glen? Ibu rela membayar pegawai hotel itu dengan harga tinggi supaya dia bisa membawa Glen dan membuatnya t
Setelah acara krematorium selesai, William masih memegang guci berwarna biru laut dengan ukiran bunga matahari yang sangat indah. Guci yang berisi Abu jenazah Sarah, berputar lembut di dalam, seolah membawa kenangan dari masa lalu yang tak akan pernah kembali."Kamu sudah melihat anakmu? Dia sangat cantik. Kulitnya yang kemarin menguning sudah mulai normal. Selain karena sinar bilirubin, ibu juga sudah menemukan pendonor ASI untuknya," kata Widya dengan lembut, mencoba memberi penghiburan. William hanya diam, matanya kosong, mengarahkan pandangannya ke luar jendela."Aku hanya melihatnya sebentar," jawab William pelan. Sebuah kebohongan. Bahkan, dia hanya berhenti di depan halaman rumah sakit tanpa berani masuk ke dalamnya. Dia belum siap menerima kenyataan bahwa putrinya, yang kini tak pernah mengenal ibunya, harus tumbuh tanpa Sarah."Ibu memberinya nama Angel," lanjut Widya, menatap putranya yang masih terdiam. William menoleh, mata yang biasany
"Waktunya menyusui, Nona Angel." Seorang perawat datang memberitahu Elena. Elena yang paham langsung bangkit dan memberi kode pada Halda untuk segera pergi."Kembalilah besok pagi. Aku akan baik-baik saja di sini." Halda, yang melihat Elena cukup yakin, akhirnya mengangguk dan menurutinya. Lagi pula, ada urusan penting malam ini, jadi dia setuju untuk mengikuti permintaan Elena. Sementara itu, Elena melangkah masuk ke ruang khusus menyusui.Tak lama setelah itu, seorang perawat lain datang menggendong seorang bayi mungil dengan selimut pink yang tampak mahal."Suster, kenapa aku merasa sakit ketika dia menyusu?" Elena bertanya sambil menahan rasa sakit saat bibir mungil Angel menyentuh dadanya. Perawat muda itu tersenyum dan menjelaskan."Karena dia belum terbiasa, langit-langit mulut bayi kadang masih kasar pada awalnya," jawab suster tersebut. Elena hanya mengangguk seolah paham, meskipun rasa sakit itu masih terasa. Di sisi lain, dia melihat Angel. Mat
Elena masih menatap lekat-lekat nominal pada cek di tangannya. Jumlahnya begitu besar, nyaris sulit dipercaya. Wanita tua itu benar-benar kaya raya.Suara derit pintu kamar membuatnya tersadar. Tanpa menoleh, ia melirik sekilas ke arah pintu dan mendapati sosok pria yang masuk dengan beberapa kantong belanjaan di tangannya. Dengan sigap, Elena segera menyelipkan cek itu ke dalam kantong mantelnya."Kamu benar-benar lebih suka melihatku sengsara, Kak." Ucapnya dengan nada setengah menyindir.Ia masih kesal dengan Glen. Pria itu sama sekali tak menggubris maksudnya saat mereka berbicara tadi siang. Bahkan sekarang, Glen datang tanpa mengganti pakaian, sepertinya benar-benar tak pulang ke rumah."Aku selalu konsisten dengan ucapanku." Glen menjawab singkat, lalu meletakkan kantong-kantong belanjaan itu ke atas meja.Tatapannya menyipit saat menyadari sesuatu. Di atas meja, sudah tersaji berbagai macam makanan dengan bran
"Waktunya menyusui, Nona Angel." Seorang perawat datang memberitahu Elena. Elena yang paham langsung bangkit dan memberi kode pada Halda untuk segera pergi."Kembalilah besok pagi. Aku akan baik-baik saja di sini." Halda, yang melihat Elena cukup yakin, akhirnya mengangguk dan menurutinya. Lagi pula, ada urusan penting malam ini, jadi dia setuju untuk mengikuti permintaan Elena. Sementara itu, Elena melangkah masuk ke ruang khusus menyusui.Tak lama setelah itu, seorang perawat lain datang menggendong seorang bayi mungil dengan selimut pink yang tampak mahal."Suster, kenapa aku merasa sakit ketika dia menyusu?" Elena bertanya sambil menahan rasa sakit saat bibir mungil Angel menyentuh dadanya. Perawat muda itu tersenyum dan menjelaskan."Karena dia belum terbiasa, langit-langit mulut bayi kadang masih kasar pada awalnya," jawab suster tersebut. Elena hanya mengangguk seolah paham, meskipun rasa sakit itu masih terasa. Di sisi lain, dia melihat Angel. Mat
Setelah acara krematorium selesai, William masih memegang guci berwarna biru laut dengan ukiran bunga matahari yang sangat indah. Guci yang berisi Abu jenazah Sarah, berputar lembut di dalam, seolah membawa kenangan dari masa lalu yang tak akan pernah kembali."Kamu sudah melihat anakmu? Dia sangat cantik. Kulitnya yang kemarin menguning sudah mulai normal. Selain karena sinar bilirubin, ibu juga sudah menemukan pendonor ASI untuknya," kata Widya dengan lembut, mencoba memberi penghiburan. William hanya diam, matanya kosong, mengarahkan pandangannya ke luar jendela."Aku hanya melihatnya sebentar," jawab William pelan. Sebuah kebohongan. Bahkan, dia hanya berhenti di depan halaman rumah sakit tanpa berani masuk ke dalamnya. Dia belum siap menerima kenyataan bahwa putrinya, yang kini tak pernah mengenal ibunya, harus tumbuh tanpa Sarah."Ibu memberinya nama Angel," lanjut Widya, menatap putranya yang masih terdiam. William menoleh, mata yang biasany
"Bodoh sekali kamu itu!" Rosa memegang keningnya dengan frustrasi. Seketika, kepalanya terasa pusing. Freya masih meringkuk di atas ranjang, matanya basah oleh air mata yang terus mengalir."Aku nggak nyangka kalau obatnya akan bereaksi seperti itu." Suara Freya terdengar gemetar, menahan tangis."Harusnya kamu bertanya dulu pada ibu sebelum melakukannya!" Rosa mendekat dengan ekspresi serius, tatapannya tajam. "Terus, kamu dapat obat itu dari mana?" Rosa mulai curiga dan menatap Freya dengan penuh tanya.Freya tetap terdiam, matanya menatap kosong. Dia memang sengaja membeli obat pelancar kontraksi secara ilegal dengan bantuan temannya yang bekerja di toko obat."Resep itu bisa jadi masalah besar kalau Glen tahu." Rosa kini menarik tangan Freya dengan kasar, wajahnya penuh ketegangan. "Kamu lupa bagaimana usaha ibumu supaya kamu bisa menikah dengan Glen? Ibu rela membayar pegawai hotel itu dengan harga tinggi supaya dia bisa membawa Glen dan membuatnya t
"Ta, tapi, Nyonya…" Halda tampak ragu. Kekhawatiran jelas tergambar di wajahnya, namun sebelum sempat melanjutkan, Elena sudah lebih dulu menarik lengannya, menahan langkahnya agar tidak mundur."Aku bisa, Nyonya. Tapi… apakah tak masalah? Aku juga punya bayi yang masih butuh ASI," tanyanya pelan, seolah memastikan.Wanita tua itu tersenyum lembut, matanya menyiratkan harapan yang besar. Ia menggeleng pelan."Tak masalah, yang terpenting cucuku mendapatkan ASI. Dia sudah seharian tak meminum apa pun," suaranya bergetar, menyiratkan kecemasan seorang nenek yang ketakutan kehilangan darah dagingnya.Tanpa membuang waktu, wanita tua itu bangkit dengan antusias. Ia melambaikan tangan ke arah baby sitter yang menunggu di sudut ruangan. Dengan sigap, baby sitter itu membawa bayi kecil yang terbungkus selimut putih.Elena menatap bayi mungil itu dengan perasaan campur aduk. Wajahnya begitu cantik, namun tampak layu. Kulitnya mulai menguning, pertanda ia b
“Kamu yakin tak apa sendirian?” Halda kembali bertanya, masih terdengar khawatir. Sejak Elena bercerita bahwa Glen mengunjunginya, rasa cemas Halda semakin meluap.“Tenang saja. Glen tidak akan menyakitiku.” Elena tersenyum seolah ingin memastikan Halda bahwa dia akan baik-baik saja meskipun pergi sendirian. Hari ini adalah jadwal pemeriksaan di dokter kandungan. Masuk ke trimester akhir, dan dia ingin memastikan bahwa janinnya sehat dan berkembang dengan baik.Halda menghela napas, lalu tanpa banyak bicara, ia melaju dengan mobilnya ke kantor. Sementara itu, Elena berjalan masuk ke dalam gedung rumah sakit untuk mengambil nomor antrian di poli obgyn.“Berangkat lebih awal pun tetap saja dapat antrian ke-40?” Elena mengerutkan dahi, merasa heran. Belum puas dengan keadaannya, ia memutuskan untuk menyebrang ke kafe yang ada di dekat rumah sakit. Kafe tersebut sudah buka, dan Elena ingin menunggu sambil membeli camilan.Namun, saat ia baru saja akan memasuki kafe, suara yang dikenal mema
“Kenapa sih, Freya?” Rosa memandang putrinya yang tampak masam sejak pulang dari salon.“Ibu, kenapa mengundang Hana ke sini? Ibu tahu kan, aku tidak suka dia!” Nada suara Freya penuh dengan kekesalan yang tertahan.Rosa menghela napas panjang, menatap anak perempuannya dengan sabar. “Bagaimanapun, dia sepupumu, Freya.”“Aku justru malu mengakui anak yatim miskin itu sebagai sepupuku.” Freya menyandarkan tubuhnya di kursi, kedua tangannya melipat di depan dada dengan ekspresi tak senang.“Freya, jaga ucapanmu. Dia adalah keponakan Ibu, dan Ibu masih bertanggung jawab padanya.” Rosa berbicara dengan nada tegas, meski ada sedikit kekecewaan yang tak bisa ia sembunyikan.Freya mendengus pelan. Baginya, keberadaan Hana di rumah ini hanyalah gangguan. Hana adalah keponakan Rosa yang selama ini tinggal di panti asuhan. Namun, usianya yang sudah menginjak 17 tahun memaksanya keluar dari sana. Untung saja, Rosa, sang bibi kaya ini bersedia menampungnya untuk sementara waktu.“Dia akan mulai k
“Aku akan segera kembali. Jangan lupa minum vitaminmu!” Halda mengingatkan sebelum melesat pergi dengan mobilnya. Elena mengangguk, menatap mobil itu menjauh hingga menghilang dari pandangan. Begitu Halda pergi, dia menutup pintu dengan cepat dan menghela napas lega.Rumah kecil ini terletak di pinggiran kota, jauh dari hiruk-pikuk dan perhatian keluarganya. Dibeli diam-diam beberapa tahun lalu, rumah ini adalah tempat perlindungannya. Dari dulu, Elena memang ingin melarikan diri dari tekanan keluarga.“Pasti ada yang ketinggalan,” gumam Elena saat melangkah ke arah kamar. Namun, ketukan keras di pintu membuatnya berhenti dan berbalik.“Dasar Halda, pasti ada barangmu yang tertinggal,” Elena mendekati pintu sambil menggerutu. Namun, saat pintu terbuka, tubuhnya mendadak kaku.Sosok di hadapannya membuat napasnya tertahan.“Kau tidak menyuruh tamumu masuk?” suara dingin itu terdengar begitu familiar, menusuk telinga dan perasaannya. Tanpa menunggu undangan Elena, pria itu melangkah mas
Suara Glen dan Freya menggema di kamar mewah itu. Sudah hampir dini hari, dan Freya merasa seolah waktu berjalan begitu cepat. Dia mendapati suaminya, yang tiba-tiba berubah ganas, mencumbunya dengan cara yang berbeda dari biasanya.“Kamu puas sekarang?” tanya Glen dengan mata dingin, seolah pertanyaan itu tidak lebih dari sekadar formalitas. Freya hanya bisa mengangguk, matanya menatap dalam pada sosok yang bahkan tak mau menatapnya.Ini pertama kalinya, setelah hampir dua tahun menikah, Glen mau berhubungan layaknya pasangan suami istri. Tapi, Freya tahu, itu tidaklah cukup.Setelah itu, Glen langsung bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, tanpa menghiraukan Freya yang masih terbaring lemas di tempat tidur. Suara shower yang menyemprot keras menggusar suasana, menggambarkan penyesalan yang semakin mendalam, meski Glen enggan mengakuinya.“Sialan…” bisik Glen, meninju udara seperti mencari pelampiasan atas kekesalannya.Freya hanya diam, menatap tubuhnya yang masih terbaring lemas