“Satu, dua, tiga, empat, lima, tuk-tuk.” Renata melirik seorang gadis kecil yang berjalan di sebelahnya dengan cara melangkah satu persatu ke dalam kotak marmer sembari berhitung.
“Enam, tujuh, delapan, tuk-tuk.” Renata tanpa sadar tersenyum saat anak kecil itu kembali berhitung dan berjalan mendahuluinya dengan cara yang masih sama, melangkah dengan hati-hati agar tidak menginjak garis. Dress selutut berwarna merah muda serta jepit rambut berwarna senada yang anak itu kenakan menambah kesan manis.“Dia terlihat menggemaskan.” Gumam Renata masih memperhatikan gadis kecil yang mulai menjauh dari jangkauannya.Sudah lebih dari 3 tahun Renata bekerja di perusahaan ini, berawal dari staff biasa hingga berhasil mendapat promosi dan diangkat sebagai kepala devisi personalia karena kinerjanya. Perempuan berusia 25 tahun itu melangkah dengan yakin, sesekali menyapa pekerja lain yang juga mengenalnya.Selain dikenal mumpuni saat bekerja Renata juga dikenal baik oleh orang disekitarnya. Sayangnya ada banyak sekali yang menunjukkan keirian pada perempuan itu.Pukul 12 siang adalah waktu untuk beristirahat, begitu pula Renata yang bergegas menuju cafetaria untuk mengisi perut. Perempuan itu memilih meja yang terletak di pojok ruangan, duduk sendirian setelah memesan. Renata sudah terbiasa dengan kesendirian, justru perempuan itu akan lebih nyaman menghabiskan waktu istirahat saat hanya ada dirinya.Sesaat setelah pesanannya datang Renata beralih dari ponselnya, mulai menikmati sepiring nasi goreng cabai hijau yang dipasangkan dengan segelas es teh manis.Namun belum lama Renata menikmati makan siangnya seorang gadis kecil yang ia temui di lobby tadi datang mengusiknya, menarik-narik ujung blazer yang ia kenakan dengan senyum polos."Tante cantik, aku mau duduk di sini bolehkan?" Tanya gadis kecil itu yang masih memainkan ujung blazer Renata, menatapnya memohon dengan lucu."Oh hai, tentu saja, duduklah gadis manis." Gadis kecil itu tersenyum lebar saat Renata menyambutnya baik lalu duduk di sebelah Renata."Tante cantik, namaku Naya Narela Narsma." Ucap Naya yang memperkenalkan dirinya seraya mengulurkan tangan. Deretan gigi putihnya terlihat sebab tersenyum lebar."Nama tante Renata, apa kamu anak pak Naren?" Tanya Renata sedikit terkejut saat Naya menyebutkan marga yang sama dengan Narendra, petinggi di perusahaan tempat ia bekerja.Renata belum pernah melihat anak CEOnya selama bekerja ini, ia hanya mendengar jika putri Naren adalah gadis yang ceria dan baik hati, wajahnya cantik jelita dengan rambut coklat bergelombang. Sekarang Renata tidak lagi penasaran karena putri Naren yang di elu-elukan sedang duduk di sebelahnya."Iya, tapi tolong jangan beri tahu yang lain ya, aku tidak mau menjadi pusat perhatian." Renata terkekeh mendengarnya, ternyata selain ceria dan manis Naya juga narsis."Baiklah.""Naya sudah makan? Mau tante pesankan sesuatu?" Tawar Renata saat melihat Naya menatap piring nasi gorengnya.Naya mengangguk cepat dengan tatapan berbinar, "Naya mau nasi goreng juga, boleh kan?"Renata tidak bisa menahan senyumnya saat melihat binar dari bola mata Naya. Perempuan itu mengangguk, lalu beranjak dari duduknya."Tentu saja boleh, tunggu sebentar ya."Tatapan Naya tidak lepas dari langkah Renata yang mulai menjauh untuk memesankan sepiring nasi goreng untuknya, gadis kecil itu tidak meluruhkan senyumnya hingga Renata kembali duduk di sebelahnya. Naya seolah menemukan sosok yang selama ini selalu ia dambakan, gadis kecil itu berbinar dalam tatapannya saat menatap Renata."Tante mau jadi mamaku tidak?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Naya, dengan tatapan polos menatap Renata dengan mata beningnya."Apa?" Tanya Renata memastikan jika tidak salah dengar."Tante, jadi mamaku ya? Aku suka, tante Renata baik." Kali ini Naya meraih tangan Renata.Renata terdiam bingung, perempuan itu masih mencerna permintaan Naya yang terdengar aneh, memintanya untuk menjadi seorang mama? Yang benar saja."Tidak--""Aku memaksa! Mulai sekarang tante Renata menjadi mamaku!" Belum sempat Renata menyangkal Naya sudah dulu mendesak, membuatnya tidak bisa berkata-kata lagi.Naya memeluk tubuh Renata dari samping saat perempuan itu masih membeku terkejut. Membiarkan nasi goreng miliknya menjadi dingin karena telah lama dibiarkan."Naya." Panggil Renata yang terlihat tidak nyaman, bukan karena Naya yang memaksakan pelukannya tapi karena orang-orang mulai memperhatikan keduanya.Interaksi yang tidak biasa Naya lakukan pada orang asing, terlebih anak itu pasti dibatasi untuk berinteraksi dengan sembarang orang. Mungkin jika Naren tahu, bukan Naya yang dimarahi tapi justru orang tersebut."Kenapa? Aku masih ingin memeluk mama." Naya mendongak dengan tatapan polos kemudian kembali mengeratkan kedua tangannya yang melingkari perut Renata."Oke baiklah, kau boleh memelukku lagi nanti, sekarang makan dulu nasi gorengmu ya?" Pinta Renata yang mencoba melepaskan pelukan Naya."Mama berjanji?" Tatap Naya dengan curiga, balita itu memincingkan mata karena pelukannya dilepaskan. Hei papanya saja tidak bisa menolak pelukannya!"Ya, janji. Sekarang makan dulu nasi gorengmu sebelum dingin." Renata bingung harus bersikap bagaimana, ia merasa interaksinya dengan Naya seharusnya tidak terjadi. Renata takut jika tiba-tiba Narendra datang dan memarahinya karena bersama Naya.Tanpa protes Naya mulai menyendok nasi goreng miliknya, sesekali melihat ke arah Renata yang juga melanjutkan makan siang. Perempuan itu menyendok dengan canggung karena ada banyak pasang mata yang memperhatikan. Seolah berinteraksi dengan Naya adalah sesuatu yang di luar nalar."Mama tahu tidak, Naya selalu minta pada papa untuk dicarikan mama baru tapi, papa selalu bilang 'iya besok papa carikan ya Naya' tapi sampai sekarang papa tidak pernah memberikan mama untuk Naya."Renata melirik Naya yang kini meletakkan sendok garpunya dengan lesu, bibirnya mengerucut karena teringat bagaimana papa selalu beralasan saat ia meminta seorang mama."Padahal papa berjanji pada Naya, tapi tidak pernah ditepati. Naya sebal." Kali ini terdengar dengusan dari bibir balita itu. Membuat Renata terkekeh sebab Naya terlihat lucu sekarang."Jadi, Naya ingin mencarinya sendiri?" Renata memang sempat mendengar simpang siur jika Naren adalah seorang duda. Namun Renata tidak pernah tahu jika gosip itu benar adanya, ia kira itu hanya gosip murahan karena istri bosnya tidak pernah datang ke kantor."Betul, aku lelah menunggu papa. Aku ingin mencari sendiri mama yang cantik dan baik."Renata tersenyum tipis mendengar Naya, ambisi anak kecil yang menggebu. Melihat Naya, Renata seolah berkaca pada masa kecilnya, ada sebuah harapan atas keinginan memiliki orang tua yang lengkap sebab itu adalah syukur setiap anak, tapi sebagian dari mereka tidak selalu mendapatkan kesempatan itu.Sama halnya dengan Naya yang menginginkan seorang mama, dulu Renata juga menginginkan dua orang tua yang menyayanginya."Sekarang aku tidak perlu lagi mencarinya karena aku sudah menemukan mama." Ungkap Naya seraya menggenggam tangannya."Bukankah aku lebih hebat dari papa?""Naya, apa kau tahu jika tidak boleh sembarangan meminta seseorang untuk menjadi mama?" Pertanyaan itu melunturkan senyum Naya, dengan mimik wajah kecewa Naya bertanya."Kenapa? Apa Naya tidak boleh memiliki seorang mama?""Bukan, bukan seperti itu. Maksudku, kau tidak boleh meminta seseorang untuk menjadi mama secara sepihak, kau juga harus mendengar pendapatnya apakah ia mau atau tidak.""Lalu, apa mama Renata mau menjadi mamaku?"Renata kembali terdiam mendengar pertanyaan itu, pertanyaan yang bahkan tidak bisa ia jawab dengan sembarangan. Renata tidak mungkin menyetujui hal konyol itu kecuali ia rela dipecat dari perusahaan, tapi saat melihat tatapan memohon dan penuh harapan dari mata Naya, Renata seolah tak mampu untuk berkata tidak.Naya semakin erat menggenggam tangan Renata, entah alasan apa yang membuat gadis kecil itu memaksa Renata menjadi mama untuknya."Naya tahu mama baik, pasti mama mau kan jadi mama Naya?"“Mama, jangan lepas pelukanku!” Naya masih terus memeluk Renata bahkan setelah mereka keluar dari cafetaria, gadis kecil itu sama sekali tidak memberinya celah untuk berpisah. Cekalan tangannya pada lengannya sangat kuat, Renata jadi kualahan sendiri karena Naya yang terus mengikuti kemanapun ia pergi."Mama, pelan-pelan dong kakiku kan kecil." Protes Naya karena Renata yang berjalan cepat. Perempuan itu menunduk hanya untuk mendapati bibir Naya yang merengut."Tolong lepaskan tanganmu, Naya, aku ingin kembali bekerja." "Tidak, aku mau ikut mama. Ayo ke ruangan mama, aku akan beristirahat disana." Renata menghela napas pasrah saat Naya menariknya agar kembali berjalan. Perempuan itu bahkan belum setuju untuk menjadi mama Naya tapi, balita itu seolah tidak peduli. Jujur saja Renata takut pada Naren, bagaimana nasibnya jika Naren tahu putri kesayangannya ikut dengannya. Renata takut dimarahi, sebab Naren selalu mengintimidasi siapapun yang sedang berhadapan dengannya."Naya, apa kamu
Pukul empat sore tepat, Renata menutup laptop serta merapikan berkas-berkas penting yang harus ia lanjutkan besok. Perempuan itu meregangkan badan karena terlalu lama duduk, dilihatnya Naya yang tertidur di atas sofa dengan ponsel miliknya yang menyala digenggaman.Renata meminjamkannya sebab Naya merengek kebosanan, tidak ada buku gambar, tidak ada buku cerita maka Naya meminjam ponsel untuk menonton kartun.Renata beranjak menghampiri Naya, melihat balita itu yang tidur nyenyak membuat Renata tidak tega membangunkannya. Anak manis yang sangat berbeda saat terbangun, terlihat begitu polos dengan wajah cantik jelita, Renata baru sadar jika Naya mirip dengan Narendra. Seperti Narendra versi perempuan.Renata meraih ponselnya untuk disimpan, lalu tanpa berpikir panjang menarik Naya agar anak itu tertidur dalam gendongannya. Renata tidak mungkin meninggalkan Naya sendirian di ruangan sebesar ini hingga Naren menjemputnya."Mama...." Gumam Naya saat tidurnya terusik, balita itu tanpa ragu
Sesampainya mereka di apartemen Renata, Naya sama sekali tidak melepaskan pelukannya. Balita itu cenderung mengunci pergerakan Renata agar tidak menjauh darinya. Naren sendiri kuwalahan dengan kelakuan putrinya yang sangat aneh hari ini."Naya, lepaskan mama. Kau tidak bisa memeluknya terus menerus." Naren mencoba menarik putrinya yang masih duduk di atas pangkuan Renata. Balita itu menggeleng keras, semakin mengeratkan pelukannya hingga Renata terdesak antara tubuh Naya dan jok mobil. "Aku akan melepaskan mama jika mama berjanji akan pindah ke rumah kita, papa." Naren kembali menghela napas mendengar itu, putrinya yang pintar tidak akan mudah dibodohi. Lelaki itu beralih pada Renata yang terlihat tidak nyaman. Ya bagaimana bisa seseorang setuju begitu saja dengan ajakan konyol seorang bocah, sekalipun itu adalah anak bosnya sendiri Renata tetap tidak bisa gegabah."Renata, tolong saya, ya?" Pinta Naren pada akhirnya, mereka tidak mungkin terus-terusan seperti ini. Mungkin seiring be
Malam ini Renata jelas tidak bisa tidur, tengah malam di sebuah kamar yang asing membuatnya susah untuk terlelap. Bukan karena tidak nyaman, justru kamar ini sangat nyaman dan hangat, berbeda dengan unit apartemennya. Di sisinya Naya sudah terlelap dengan nyenyak, anak itu tidur lebih cepat dari biasanya, begitu kaya Aldeis. Renata menatap wajah damai Naya yang terlihat begitu cantik bahkan saat tertidur, namun juga merasa iba sebab Naya tidak memiliki seorang ibu. Naya dan dirinya hampir mirip, sama-sama tidak memiliki seorang ibu. Bedanya Renata tumbuh besar di panti asuhan dengan keterbatasan dan Naya hidup bergelimang harta dan memiliki keluarga yang menyayanginya. "Aku juga akan menjagamu, Naya." Janji Renata dalam keheningan malam yang bahkan tidak bisa didengar oleh Naya. Perempuan itu tersenyum tipis sebelum akhirnya beranjak dari ranjang, ia haus dan ingin pergi ke dapur untuk minum. Perempuan itu menatap pintu kamar yang terletak di depannya, itu kamar Narendra. Sekeleba
"Good Morning, mama." Gumam Naya pelan tepat di hadapan Renata saat perempuan itu baru saja membuka mata. Renata terkekeh saat Naya memeluknya, menyembunyikan wajah di ceruk lehernya dengan manja. "Naya sudah bangun dari tadi?" Renata menggulir posisinya menjadi miring karena Naya memeluknya dari atas. "Hu.um, Naya menunggu mama bangun. Mama nyenyak sekali tidurnya." "Seharusnya kamu membangunkan mama." "Tapi ini masih terlalu pagi untuk bangun, mama. Naya terbangun lebih awal karena khawatir mama akan pergi sebelum Naya membuka mata." Renata melirik jam dinding yang ternyata masih menunjukkan pukul 5 pagi. Pantas saja di luar masih terlihat gelap. Tapi Naya sudah terlihat segar tanpa kantuk. "Mama tidak akan pergi tanpa pamit, cantik." Mendengarnya Naya semakin mengeratkan pelukan."Langitnya masih gelap. Apa Naya mau kembali tidur?" Tanya Renata sembari mengusap wajah Naya. Gadis kecil itu menatapnya berbinar lewat bola mata yang seperti kacang almond."Tidak, Naya ingin memelu
"Mama, suapin aku ya." Naya yang duduk di sebelah Renata merengek. Gadis kecil itu memegang lengannya dan digoyang-goyangkan."Naya, makan sendiri sarapanmu, kamu bukan lagi bayi." Titah Naren tegas pada Naya. Lelaki itu baru saja duduk dan langsung mendengar Naya merengek."Apasih, aku kan minta pada mama kenapa papa yang sewot?" Naya menatap sinis ke arah sang papa."Naya-" "Tidak apa-apa, sini mama suapin." Belum sempat Naren mengeluarkan kata-kata mutiara Renata lebih dulu menyela. Perempuan itu tidak ingin Naya dan Naren berdebat di depan makanan, tidak sopan.Naren menghela napas kesal saat Naya menatapnya meremehkan, seolah berkata jika apapun yang ia inginkan pasti ia dapatkan termasuk perhatian dari Renata. Di sebelahnya Aldeis hanya terkekeh melihat putranya tak lagi berkutik. Sudah tahu Naya adalah ratu di rumah ini masih saja di lawan."Pelan-pelan mengunyahnya, agar tidak tersedak." Ingat Renata. Sesekali perempuan itu mengusap sudut bibir Naya yang belepotan, tanpa ris
"Narendra, jangan melamun saat menyetir!" Sentak Aldeis saat putra tunggalnya itu hampir menabrak mobil lain."Maaf, Ma.""Kau ini memikirkan apa? Tidak biasanya kau seperti ini." Narendra menggeleng, ia tidak mungkin mengatakan jika tawarannya baru saja ditolak oleh Renata. Bisa-bisa sang mama menertawakannya."Aku hanya kelelahan." Jawab Naren.Aldeis yang duduk di sebelah Naren memincing tidak percaya, sebab jika putranya tengah kelelahan laki-laki itu pasti akan meminta sopir untuk mengantar."Oh ya, bagaimana tawaran bodohmu itu? Apa Renata menerimanya?"Narendra berdecak dalam hati, mengapa sang mama harus mengingat soal itu sekarang. Lelaki itu melirik tanpa menjawab, membuat Aldeis tersenyum miring sebab ia paham hanya dengan raut sebal putranya."Hahaha, apa Mama bilang, Renata itu perempuan baik-baik, dia tidak akan menerima kekonyolanmu."Naren mendengus, sisa sebalnya belum hilang karena tawarannya di tolak."Sudahlah, nikahi saja Renata, dia akan menjadi ibu yang baik unt
"Mama akan menginap lagi kan? Semalam aku tidur sangat nyenyak karena Mama yang menemani."Naya mendongak untuk menatap Renata yang berjalan di sebelahnya. Sepulang dari kedai es krim keduanya hanya berdiam diri di apartemen Renata. Tidak pergi ke sesuatu tempat karena hari ini cuaca sangat panas, Renata takut Naya akan ruam-ruam jika terkena panas.Tetapi berdiam diri di apartemen tidak terlalu buruk, justru lebih menyenangkan ketimbang berdiam diri di ruangan papa dan menunggu papa menyelesaikan pekerjaan. Naya tidak mati kebosanan karena Renata selalu mengajaknya mengobrol, dan Naya dengan senang hati menceritakan tentang Aruni yang alergi kacang lalu Jarvis yang takut belalang padahal laki-laki. Kemudian saat jam makan siang, Naya dihadiahi sepiring spaghetti carbonara buatan Renata yang rasanya sangat lezat, melebihi rasa spagetti di restoran favorit papa. Naya tidak bisa lagi membendung rasa bahagianya, sebab hari ini ia benar-benar merasa telah memiliki seorang mama. "Hai Naya
"Kalian sedang membicarakan apa?" Tanpa di undang Naren datang, lelaki itu turun dengan kemeja yang belum dikancingkan. Dasi dan jas ditenteng, datang dengan raut penuh penasaran. Suara bariton lelaki itu cukup mengejutkan Naya yang masih serius mendengarkan jawaban Renata. Begitu juga Renata yang sama sekali tidak menyadari kedatangan Narendra. "Membicarakan filosofi nasi goreng." Jawab Renata sembarang. Kedua alis Naren menukik tidak percaya, menatap intens pada Renata yang terlihat gugup. Perempuan itu terburu menyelesaikan bekal Naya dan mengalihkan pendangan ke sembarang arah. Naren tidak percaya jika kedua perempuannya membicarakan tentang filosofi nasi goreng dengan wajah yang serius, memangnya apa? "Iya, Papa. Mama sedang memasak nasi goreng untuk sarapan kita." Beruntungnya Naya yang tidak terlalu mengerti bisa berkompromi tanpa diberi tahu. Dan Beruntung Renata memang membuat nasi goreng pagi ini. "Memangnya apa filosofinya?" Naren bertanya sembari mendekat, dud
Mereka berpindah menuju wardrop, Renata yang lihai dan sudah terbiasa mengurus anak kecil dengan cekatan memakaian Naya seragamnya yang lucu. Lalu seperti permintaan anak itu, Renata menyisir rambutnya yang halus secara perlahan dan membaginya menjadi dua. Naya memiliki banyak sekali jepit rambut dan kunciran, juga pita-pita yang dibelikan oleh nenek. Perempuan itu dengan lihai menguncir rambut Naya menjadi dua, mengikatnya tanpa menimbulkan rasa sakit di kulit kepala, berbeda dengan nenek yang suka mengikat dengan kencang sehingga kulit kepala gadis kecil itu tertarik dan menimbulkan rasa sakit. Setelah mengikatnua dengan karet, Renata meraih dua buah pita berwarna merah muda. Lantas menalikan pita itu ke dua kunciran sebelumnya. Perempuan itu juga menambahkan dua jepit berbentuk lidi secara sejajar di sebelah kanan. Membuat Naya terlihat lebih manis dengan penampilannya. "Nah, sudah. Coba Naya berkaca." Renata memutar tubuh calon putrinya agar menghadap kaca. "WAHHH, CANTIK SE
"Mama sudah tidak marah kan pada Naya?" Mendengar itu Renata dengan cepat beralih, merapikan anak rambut milik Naya dengan senyuman kecil. "Tidak, Mama tidak pernah marah dengan Naya. Mama minta maaf ya sudah membuat Naya ketakutan." "Mama, Naya senang sekali. Mama tidak akan pergi lagi kan? Mama akan selalu berada di dekat Naya kan? Mama sayang Naya kan?" Pertanyaan ber-rantai itu membuat Renata terkekeh sekaligus sedih. Dia merasa lucu dengan bagaimana wajah Naya ketika bertanya padanya, namun juga merasa sedih sebab ternyata Naya menaruh begitu banyak harapan padanya. Harapan agar dia selalu menyanyanginya dan mencintainya, serta untuk tetap tinggal bersamanya. "Mama tidak akan pergi lagi, apapun yang terjadi, Mama juga akan selalu berada di sisi Naya dan Mama sangat-sangat sayang dengan Naya, Mama mencintai Naya seperti hidup Mama sendiri." "Benarkah? Kalau begitu Naya sangat bahagia mendengarnya. Mama mau janji kelingking dengan Naya?" Gadis kecil itu berbinar s
Pagi menjelang dengan tenang, disambut oleh cuitan burung gereja yang terbang melintas dari rumah ke rumah. Hangatnya sinar mentari menandakan dia siap memberi kekuatan bagi siapapun yang akan menjalani aktivitas dengan semangat. Embun-embun yang menempel di pepohonan mulai menetes secara perlahan. Renata merasa Naya semakin terasa erat memeluk perutnya, kepala gadis kecil itu bahkan dengan nyaman disandarkan pada dadanya untuk mencari posisi paling nyaman. Pagi yang sedikit dingin tidak mengganggu Naya untuk tetap terlelap di sebelah Renata. Pada hari-hari biasa, Naya lebih bayak menghabiskan malam sendirian sebab Naren jarang nememaninya tidur. "Sayang, sudah pagi." suara Renata lembut menyapu indra pendengaran. Memberi tahu pada gadis kecilnya jika sudah waktunya untuk melepas pelukan yang terlalu nyaman. "Apa Naya masih sangat mengantuk? Tapi Kau harus berangkat ke sekolah." lanjut Renata dengan sedikit menggoyangkan tubuh Naya. Naya hanya bergumam membalas ucapan Renata,
"Sudah selesai?" Suara bariton itu membuat Renata yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut bukan main. Sebab di sebelah ranjang ada Naren yang berdiri tenang melihat ke arahnya. "Maaf-maaf, aku tidak bermaksud mengagetkanmu." jelasnya terkekeh. "Kau! Bukankan kau bilang akan menunggu di kamar Naya hingga aku selesai membersihkan diri? Kenapa sekarang ada di sini?!" tanya Renata dengan nada yang sedikit tinggi. Dia sedikit panik karena hanya memakai handuk dan dalaman. Kedua tangan wanita itu menyilang di depan dada dan mencoba mengeratkan handuk yang melilit tubuhnya. Naren benar-benar tidak bisa dipercaya! "Kau terlalu lama, aku bosan karena hanya melihat Naya yang tertidur." Jawab si lelaki terlampau santai. "Tapi aku belum ganti baji! Keluar sana!" usir Renata. "Lagian kenapa tidak memakai baju di dalam kamar mandi? Kau sengaja ingin menggodaku ya?" Mendengar itu Renata naik pitam, matanya melotot karena mendengar Naren berbicara kurang ajar padanya. Menggoda katan
"Masuk lah dulu, aku akan menggendong Naya." "Kita masuk bersama saja." Renata keluar dari mobil dan menunggu Naren yang ingin menggendong Naya. Sebab gadis kecil itu sudah terlalu pulas dalam tidurnya sehingga tidak terbangun sama sekali. Mereka berjalan beriringan menuju rumah dengan Renata yang bertugas membuka pintu. Lampu ruang tamu langsung hidup begitu mereka masuk, tidak gelap seperti sebelumnya. Rumah ini cukup luas jika hanya dihuni mereka bertiga, Renata bahkan tidak bisa membayangkan betapa lelahnya jika harus membersihkan rumah sendirian dan merawat Naya secara bersamaan. "Istirahatlah, aku akan membawa Naya ke kamarnya." "Aku tidur dimana?" tanya Renata bingung karena belum tahu harus beristirahat dimana. Barang-barangnya berada di kamar utama, tetapi tidak mungkin dia tidur dengan Naren malam ini. Mereka belum menikah, terlebih Renata baru meminta pembatalan nikah beberapa menit lalu. "Di kamar utama, bersamaku." jawab Naren dengan kedipan sebelah mata. Lelaki i
"Ayo kita pulang." ajak Naren. Lelaki itu berdiri dan mencoba untuk menarik Renata yang masih berjongkok. Dia merasa mereka seperti sepasang kekasih yang masih belasan tahun, sebab orang dewasa tidak mungkin bertengkar di pinggi jalan. Bibir lelaki itu tersenyum kecil, melihat Renata yang berjongkok persis seperti Naya jika sedang menangis. Mereka terlihat sangat mirip. "Aku bisa pulang sendiri." jawab Renata sedikit acuh. Wanita itu menghempaskan tangan Naren yang masih menggenggam tangannya. Wajahnya masam karena kesal bercampur sedih. Renata sepertinya berencana untuk merajuk pada lelaki itu. "Mau pulang ke mana?" "Apartemen." "Itu terlalu jauh dari sini." "Biar saja!" "Dan sudah tidak ada barang-barang milikmu disana." Renata yang sudah berjalan beberapa langkah tiba-tiba terhenti begitu mendengar ucapan Naren. Dia baru teringat jika sudah pindah ke rumah baru Naren sore tadi. Renata meruntuk mengapa dia melupakannya. "Tidak ada pilihan selain pulang bersamaku,
Naren menurunkam lututnya bertumpu pada tanah. Matanya menatap ke arah Renata yang masih setia menunduk, tidak ada niat untuk membalas tatapannya. Pada keadaan ini Naren tidak bisa memegang kendali ayahnya, apa yang diucapkan pria tua itu Naren tidak bisa mengontrolnya. "Renata, aku minta maaf atas nama ayahku. Kau juga harus tahu jika semua ini di luar kendaliku, aku sangat merasa bersalah padamu atas semua perbuatan tak beradab ayahku. Aku sungguh minta maaf padamu." Salah satu tangan Naren meraih telapak tangan Renata yang terasa begitu dingin. Di genggamnya tangan itu agar kembali hangat, menghalau angin kencang yang menerpa tubuh keduanya. "Aku akan mengabulkan semua keinginanmu, Renata, asal jangan minta aku untuk membatalkan pernikahan kita." "Kalau begitu kau egois, Narendra." Tanpa melepas genggaman tangan Naren, Renata mendongak. Membalas tatapan lelaki dihadapannya dengan tatapan yang sukar diartikan. Naren cukup terkejut ketika Renata memanggilnya hanya dengan nam
"Papaa, Naya mau mama, hiks." Naya berteriak seraya terus mengejar Renata yang berlari, kakinya sesekali tersenggal karena Renata berlari lebih cepat. Kaki kecilnya tidak bisa mengejar langkah yang besar. Sedangkan Narendra mengejar dari belakang, berusaha untuk menahan putrinya yang benar-benar terlihat kecewa. Dia juga tidak akan melepaskan Renata segampang itu, mereka memang tidak ada perjanjian namun Renata tidak bisa membatalkan pernikahan begitu saja saat sudah ada kesepakatan. Kalau Renata memaksa, Naren juga bisa lebih memaksa. "Naya!" Pekik Naren ketika Naya kembali terjatuh. Dengan langkah lebih cepat, Naren buru-buru menghampiri putrinya. Sedangkan gadis kecil itu, sekalipun kakinya terasa nyeri dia tetap berusaha untuk bangkit dan ingin kembali mengejar Renata. Suara tangisnya semakin pecah begitu melihat Renata yang semakin menjauh tanpa menoleh ke belakang. Di dalam dekap Naren, Naya menangis lebih keras dan meronta-ronta minta untuk dilepaskan. "Papaaa, mamaa