Sesampainya mereka di apartemen Renata, Naya sama sekali tidak melepaskan pelukannya. Balita itu cenderung mengunci pergerakan Renata agar tidak menjauh darinya. Naren sendiri kuwalahan dengan kelakuan putrinya yang sangat aneh hari ini.
"Naya, lepaskan mama. Kau tidak bisa memeluknya terus menerus." Naren mencoba menarik putrinya yang masih duduk di atas pangkuan Renata.Balita itu menggeleng keras, semakin mengeratkan pelukannya hingga Renata terdesak antara tubuh Naya dan jok mobil. "Aku akan melepaskan mama jika mama berjanji akan pindah ke rumah kita, papa."Naren kembali menghela napas mendengar itu, putrinya yang pintar tidak akan mudah dibodohi. Lelaki itu beralih pada Renata yang terlihat tidak nyaman. Ya bagaimana bisa seseorang setuju begitu saja dengan ajakan konyol seorang bocah, sekalipun itu adalah anak bosnya sendiri Renata tetap tidak bisa gegabah."Renata, tolong saya, ya?" Pinta Naren pada akhirnya, mereka tidak mungkin terus-terusan seperti ini. Mungkin seiring berjalannya waktu Naya akan mengerti, kali ini ia memohon pada Renata untuk membantunya.Renata tampak ingin menolak sebelum akhirnya Naya kembali terisak di pangkuannya. "Hiks... Aku kan cuma mau punya mama... hiks.""Jangan menangis, manis. Baiklah aku akan tinggal bersamamu, tapi apa boleh aku pulang dan membawa beberapa barang?" Renata mengalah, hatinya melunak tak tega saat melihat Naya menangis."Aku ikut." Balita itu mendongak, matanya yang berair kini berubah menjadi binar."Ayo lepaskan pelukanmu dulu, aku tidak akan meninggalkanmu." Dengan terpaksa Naya melepaskan pelukan eratnya. Kemudian beralih pada sang papa yang menatapnya lamat."Papa tunggu di sini ya, aku akan segera kembali bersama mama." Ujarnya dengan senyuman. Naya turun lebih dulu baru kemudian di susul oleh Renata, mereka berjalan beriringan dengan bergandengan tangan.Dari dalam mobil Naren menatap lamat punggung keduanya, mereka terlihat seperti sepasang ibu dan anak. Naya jelas kentara nyaman berada di dekat Renata, seolah melihat sesosok ibu yang tidak pernah ia temui selama ini.Naya masih terlalu kecil untuk mengetahui fakta mengapa ia tidak memiliki ibu, sejak bayi Naya hanya di rawat oleh Naren dan di bantu oleh neneknya. Anak itu tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu, tanpa cinta dari ibu.Sekarang Naren harus berpikir lebih luas, bagaimana caranya merayu Naya agar tidak lagi mengganggu Renata dan menganggap Renata sebagai ibunya. Bukannya Naren tak suka, perempuan itu cantik dan lemah lembut, mungkin seiring berjalannya waktu Naren bisa saja mencintainya. Tapi belum tentu dengan Renata, Naren tahu jelas dengan tatapan Renata yang tidak nyaman berada di dekatnya.Kedua perempuan berbeda usia itu telah hilang di telan gedung tinggi, Naren hanya bisa menunggu di dalam mobil yang hening. Namun, isi kepalanya sangat berisik sebab memikirkan Naya yang tiba-tiba bisa dekat dengan orang asing. Padahal Naya adalah anak yang sangat susah berinteraksi dengan orang yang tak dikenal.Di sisi lain Naya terus menggandeng tangan Renata hingga mereka sampai di unit milik Renata, apartemen biasa yang tidak terlalu besar. Hanya ada satu kamar, dapur dan ruang tamu yang kecil, Renata tinggal sendirian ia tidak perlu tempat tinggal yang besar sebab akan lebih merasa kesepian. Terlebih apartemen di gedung ini biaya sewanya murah."Mama tinggal sendirian?" Tanya Naya saat mereka masuk ke dalam apartemen, Naya tidak melihat tanda-tanda kehidupan di sini hanya ada rasa sepi yang teramat."Iya, kamu tunggulah sebentar mama akan mengemasi beberapa pakaian." Renata meninggalkan Naya di ruang tamu, balita itu menurut dan duduk di atas sofa.Melihat sekelilingnya yang sangat jauh berbeda dari rumah yang ditinggalinya. Rumahnya sangat besar, ada nenek, papa dan dirinya, lalu ada banyak maid sehingga rumahnya tidak terasa sepi."Kasihan mama, pasti sangat kesepian karena tinggal sendirian selama ini."Renata kembali bimbang saat memasuki kamarnya, mulai ragu apakah keputusannya untuk membantu Naren adalah hal yang benar atau salah. Renata takut jika seperti ini Naya justru akan menahannya lebih lama, balita itu mungkin saja tidak akan mengijinkannya untuk pulang. Sebab ada sebuah harapan yang besar di mata Naya, harapan jika Renata benar-benar menjadi ibunya."Mama, apa kau masih lama?" Panggilan dari luar membuyarkan lamunannya, Renata terkesingkap saat melihat Naya berdiri di ambang pintu kamarnya."Ah tidak, sebentar lagi mama selesai." Renata buru-buru memasukkan beberapa stel pakaian kerja dan rumahan. Mungkin besok ia tidak diminta untuk menginap lagi, maka ia tidak akan membawa banyak pakaian ganti."Mama hanya membawa ini? Mama kan pindah bukan hanya untuk menginap." Naya mendekat, menatap bingung padanya sebab hanya membawa sebuah ransel kecil."Bisa dibereskan besok, jika membawa banyak barang itu akan membuat papamu menunggu lama. Ayo, mama sudah selesai." Renata terpaksa berbohong, sebab jika ia tidak melakukannya Naya akan kembali bertanya.Dengan sedikit tergesa Renata menarik tangan Naya agar mengikuti langkahnya, setelah memastikan unitnya terkunci mereka segera kembali ke lobby untuk menghampiri Naren."Mama, apa kau bisa memasak?" Tanya Naya di sela-sela perjalanan mereka."Bisa, Naya ingin dimasakkan?""Ya, aku mau! Aku selalu berharap bisa merasakan masakan seorang mama." Naya mengangguk cepat, mata jernihnya kembali berbinar membuat Naren yang duduk di sebelahnya melirik manis."Ingin makan apa untuk makan malam?" Sepertinya Renata mulai menikmati perannya sebagai ibu sementara. Di usapnya surai milik Naya dengan lembut."Hmm, apa yaa? Papa ingin makan apa?" Naya beralih pada sang papa yang sibuk menyetir. Sesekali lelaki itu akan melirik karena interaksi keduanya."Papa bisa makan apa saja, terserah mama ingin memasakkan apa, bukankah begitu?" Naren tersenyum dan sedikit mengalihkan tatapannya pada Renata.Mati-matian Renata menahan detak jantungnya yang mulai tidak terkontrol, pipinya memanas sebab Naren baru saja ikut memanggilnya 'mama' terlihat seperti pasangan sungguhan."Setuju, kami akan memakan apapun yang mama masak, pasti enak." Kali ini Renata tidak bisa lagi menahan senyum dan rona di pipi. Mendengar pujian tulus yang tidak pernah ia dengar sebelumnya sungguh membuat hatinya menghangat.Mansion yang sangat luas dan megah kini sungguh berada di hadapannya, Renata sangat kagum dengan mansion yang bahkan tidak pernah masuk ke dalam khayalannya. Biasanya Renata hanya melihat lewat ponsel tetapi kini dia melihatnya secara nyata, dan lebih hebatnya ia akan menginap di mansion nan megah ini.Renata masih tidak percaya sehingga keterkejutannya membuat Naya tersenyum geli, "Mama, kau tidak akan kesepian di apartemen kecilmu lagi. Aku akan menemanimu mulai sekarang."Ah bukankah Naya memang anak yang manis? Jadi seharusnya Renata tidak terkejut dengan ucapan balita yang bahkan usianya belum genap lima tahun."Terima kasih untuk niat baikmu, Naya.""Tidak perlu berterima kasih, kita adalah keluarga mulai sekarang." Naya menggenggam tangan Renata erat, seolah ada sebuah perasaan yang tidak akan terputus dengan mudah."Baiklah, ayo turun. Adegan manisnya bisa kalian lanjut saat di masion." Interupsi Naren yang kini keluar mobil lebih dulu, lalu berjalan memutar dan membukakan pintu untuk Renata dan Naya."Papa, kau juga harus menjaga mama mulai sekarang. Kita adalah keluarga.""Iya sayangku, papa berjanji akan menjaga mama semampu papa." Jawab Naren sembari menatap Renata yang salah tingkah. Lelaki itu terkekeh pelan sebelum akhirnya menggandeng Naya untuk masuk ke dalam mansion."Ayo Renata, anggap saja seperti rumah sendiri." Ujar Naren saat sadar Renata belum juga menyusul mereka.Perempuan itu kelabakan, dengan muka terkejut berjalan cepat menyusul pasangan ayah dan anak itu.Seperti dugaannya, mansion ini dipenuhi barang barang mewah, khas orang kaya yang suka mengoleksi barang-barang mewah dari luar negeri.Renata tidak bisa membayangkan seberapa luas seluruh bangunan mansion milik keluarga Naren yang pasti ini berpuluh kali lipat dari unit apartemennya."Nenek lihat aku membawa mama baru!" Pekik Naya senang saat melihat neneknya duduk di sofa ruang tamu. Wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik.Aldeis, mama Naren, beranjak dari duduknya karena melihat sosok baru yang berjalan di belakang Naren. Perempuan yang terlihat asing dan ini kali pertama Naren membawa seorang perempuan ke rumah."Nenek, mama baruku cantik kan? Aku lebih pintar dari papa nenek! Aku bisa menemukan mamaku sendiri." Sorak Naya senang karena merasa menang dan hebat dari papanya."Ma, ini Renata, Renata ini mama saya." Kenal Naren karena mamanya sudah menuntut penjelasan.Aldeis tersenyum saat Renata mengangkat kepalanya, memberi salam sesopan mungkin. "Halo Renata, kenalkan saya Aldeis orang tua Narendra."Renata dengan sigap menerima uluran tangan Aldeis yang tak lain adalah bosnya juga. "Renata, tante, saya staff di perusahaan pak Naren." Balas Renata canggung.Aldeis jelas tahu rasa canggung saat Renata masuk ke dalam rumahnya, maka sebagai tuan rumah yang baik Aldeis mendekatinya lebih dulu."Kau sangat cantik, kemarilah sayang." Aldeis menarik tangan Renata agar duduk di sebelahnya."Nenek, bolehkan mama tinggal bersama kita? Aku ingin tidur bersama mama." Aldeis mengangguk, "Tentu saja boleh, rumah akan lebih hidup jika ada sosok ibu di dalamnya.""Renata, bolehkah aku bertanya padamu?" Renata mengangguk, tak ia sangka tuan besar dari perusahaannya adalah nyonya yang baik hati."Mengapa Naya menganggapmu sebagai ibunya? Apa Naya yang memintanya?""Naya yang meminta saya tante, sejujurnya saya juga tidak mengerti." Jawab Renata canggung."Baiklah, tidak masalah, kebahagiaan cucuku adalah segalanya. Aku akan meminta maid untuk menyiapkan kamar untukmu.""Terima kasih.""Anggap saja seperti rumah sendiri."Renata mengangguk, ia merasa keluarga ini bukanlah keluarga yang ada di pikirannya, sombong, angkuh dan merasa tinggi. Aldeis memperlakukannya sangat baik."Maid, tolong antar Renata ke kamar yang di sebelah kamar Narendra dan Naya, siapkan juga keperluannya."Renata membungkuk sopan sebelum akhirnya mengikuti seorang maid yang menuntunnya menuju kamar. Kamar yang sangat luar, bahkan lebih luas dari unit apartemennya."Mama ingin bicara denganmu, Narendra." Aldeis beralih pada putranya yang tidak melepaskan tatapan dari Renata.Lelaki itu dengan kaku menoleh pada mamanya, lalu menyandarkan punggung pada sandaran sofa, "ada apa?""Bagaimana ceritanya Naya memaksa seseorang untuk menjadi mamanya? Kau sudah gila? Merepotkan orang lain bukanlah ajaran keluarga kita.""Ma, kau tau sendiri bukan Naya seperti apa jika keinginannya tidak terpenuhi? Dia menangis saat Renata hendak pulang, aku akan bernegosiasi dengan Renata nanti, aku akan menaikkan gajinya karena mau membantu kita.""Menaikkan gaji kau bilang?" Aldeis berdecak. "Menikahlah dengannya dan wujudkan keinginan Naya yang ingin memiliki seorang mama."Naren melotot mendengar ucapan mamanya, sungguh di luar dugaan sang mama yang suka memilih-milih perempuan untuk di jadikan menantu kini tanpa alasan memintanya menikahi Renata yang bahkan tidak mereka kenal."Mama bercanda?" Tanya Naren tak yakin."Tidak, aku yakin Renata adalah perempuan baik-baik, dia tidak terlihat seperti perempuan penjilat yang suka dengan harta. Mama percaya perasaan yang Naya rasakan pada Renata, anak kecil tidak pernah bisa berbohong soal perasaan.""Pernikahan itu melibatkan dua kepala, ma. Belum tentu Renata mau menikah denganku.""Ya kau pikirkan cara untuk membuatnya mencintaimu, Narendra. Kau ini bukan remaja lagi, kau juga harus memikirkan masa tuamu, siapa yang akan menemanimu di masa tua jika bukan pasangan?"Narendra terdiam mendengar mamanya, memang ada benarnya. Tapi tetap saja, menikah bukanlah yang hal main-main. Lagi pula di usianya yang masih 27 tahun, Narendra tidak perlu terburu-buru menikah.Malam ini Renata jelas tidak bisa tidur, tengah malam di sebuah kamar yang asing membuatnya susah untuk terlelap. Bukan karena tidak nyaman, justru kamar ini sangat nyaman dan hangat, berbeda dengan unit apartemennya. Di sisinya Naya sudah terlelap dengan nyenyak, anak itu tidur lebih cepat dari biasanya, begitu kaya Aldeis. Renata menatap wajah damai Naya yang terlihat begitu cantik bahkan saat tertidur, namun juga merasa iba sebab Naya tidak memiliki seorang ibu. Naya dan dirinya hampir mirip, sama-sama tidak memiliki seorang ibu. Bedanya Renata tumbuh besar di panti asuhan dengan keterbatasan dan Naya hidup bergelimang harta dan memiliki keluarga yang menyayanginya. "Aku juga akan menjagamu, Naya." Janji Renata dalam keheningan malam yang bahkan tidak bisa didengar oleh Naya. Perempuan itu tersenyum tipis sebelum akhirnya beranjak dari ranjang, ia haus dan ingin pergi ke dapur untuk minum. Perempuan itu menatap pintu kamar yang terletak di depannya, itu kamar Narendra. Sekeleba
"Good Morning, mama." Gumam Naya pelan tepat di hadapan Renata saat perempuan itu baru saja membuka mata. Renata terkekeh saat Naya memeluknya, menyembunyikan wajah di ceruk lehernya dengan manja. "Naya sudah bangun dari tadi?" Renata menggulir posisinya menjadi miring karena Naya memeluknya dari atas. "Hu.um, Naya menunggu mama bangun. Mama nyenyak sekali tidurnya." "Seharusnya kamu membangunkan mama." "Tapi ini masih terlalu pagi untuk bangun, mama. Naya terbangun lebih awal karena khawatir mama akan pergi sebelum Naya membuka mata." Renata melirik jam dinding yang ternyata masih menunjukkan pukul 5 pagi. Pantas saja di luar masih terlihat gelap. Tapi Naya sudah terlihat segar tanpa kantuk. "Mama tidak akan pergi tanpa pamit, cantik." Mendengarnya Naya semakin mengeratkan pelukan."Langitnya masih gelap. Apa Naya mau kembali tidur?" Tanya Renata sembari mengusap wajah Naya. Gadis kecil itu menatapnya berbinar lewat bola mata yang seperti kacang almond."Tidak, Naya ingin memelu
"Mama, suapin aku ya." Naya yang duduk di sebelah Renata merengek. Gadis kecil itu memegang lengannya dan digoyang-goyangkan."Naya, makan sendiri sarapanmu, kamu bukan lagi bayi." Titah Naren tegas pada Naya. Lelaki itu baru saja duduk dan langsung mendengar Naya merengek."Apasih, aku kan minta pada mama kenapa papa yang sewot?" Naya menatap sinis ke arah sang papa."Naya-" "Tidak apa-apa, sini mama suapin." Belum sempat Naren mengeluarkan kata-kata mutiara Renata lebih dulu menyela. Perempuan itu tidak ingin Naya dan Naren berdebat di depan makanan, tidak sopan.Naren menghela napas kesal saat Naya menatapnya meremehkan, seolah berkata jika apapun yang ia inginkan pasti ia dapatkan termasuk perhatian dari Renata. Di sebelahnya Aldeis hanya terkekeh melihat putranya tak lagi berkutik. Sudah tahu Naya adalah ratu di rumah ini masih saja di lawan."Pelan-pelan mengunyahnya, agar tidak tersedak." Ingat Renata. Sesekali perempuan itu mengusap sudut bibir Naya yang belepotan, tanpa ris
"Narendra, jangan melamun saat menyetir!" Sentak Aldeis saat putra tunggalnya itu hampir menabrak mobil lain."Maaf, Ma.""Kau ini memikirkan apa? Tidak biasanya kau seperti ini." Narendra menggeleng, ia tidak mungkin mengatakan jika tawarannya baru saja ditolak oleh Renata. Bisa-bisa sang mama menertawakannya."Aku hanya kelelahan." Jawab Naren.Aldeis yang duduk di sebelah Naren memincing tidak percaya, sebab jika putranya tengah kelelahan laki-laki itu pasti akan meminta sopir untuk mengantar."Oh ya, bagaimana tawaran bodohmu itu? Apa Renata menerimanya?"Narendra berdecak dalam hati, mengapa sang mama harus mengingat soal itu sekarang. Lelaki itu melirik tanpa menjawab, membuat Aldeis tersenyum miring sebab ia paham hanya dengan raut sebal putranya."Hahaha, apa Mama bilang, Renata itu perempuan baik-baik, dia tidak akan menerima kekonyolanmu."Naren mendengus, sisa sebalnya belum hilang karena tawarannya di tolak."Sudahlah, nikahi saja Renata, dia akan menjadi ibu yang baik unt
"Mama akan menginap lagi kan? Semalam aku tidur sangat nyenyak karena Mama yang menemani."Naya mendongak untuk menatap Renata yang berjalan di sebelahnya. Sepulang dari kedai es krim keduanya hanya berdiam diri di apartemen Renata. Tidak pergi ke sesuatu tempat karena hari ini cuaca sangat panas, Renata takut Naya akan ruam-ruam jika terkena panas.Tetapi berdiam diri di apartemen tidak terlalu buruk, justru lebih menyenangkan ketimbang berdiam diri di ruangan papa dan menunggu papa menyelesaikan pekerjaan. Naya tidak mati kebosanan karena Renata selalu mengajaknya mengobrol, dan Naya dengan senang hati menceritakan tentang Aruni yang alergi kacang lalu Jarvis yang takut belalang padahal laki-laki. Kemudian saat jam makan siang, Naya dihadiahi sepiring spaghetti carbonara buatan Renata yang rasanya sangat lezat, melebihi rasa spagetti di restoran favorit papa. Naya tidak bisa lagi membendung rasa bahagianya, sebab hari ini ia benar-benar merasa telah memiliki seorang mama. "Hai Naya
"Kau baik-baik saja, Renata?" Perempuan berkemeja putih itu mendongak kala bu Mirna, salah satu pengurus panti menepuk pelan bahunya. Bibirnya spontan tersenyum tipis, seolah berkata bahwa ia baik-baik saja, seolah tidak ada yang terjadi pada dirinya. Padahal bekas sayatan yang ia terima satu jam lalu masih begitu membekas."Iya, Bu, aku baik-baik saja." Jawab Renata lembut.Kemudian wanita paruh baya itu menghela napas panjang, lalu duduk tepat di sebelah Renata. Angin malam berhembus kencang, membuat rasa dinginnya menusuk hingga ke tulang. Keduanya duduk di serambi rumah sederhana ditemani langit yang menghitam.Bu Mirna sudah mengenal Renata sejak bayi, sejak perempuan itu ditinggalkan sendirian di depan pintu rumah oleh seseorang. Tanpa surat, tanpa kejelasan. Renata memang telah dewasa, mampu menghidupi dirinya sendiri dan membantu membiayai kebutuhan anak-anak panti. Namun, bu Mirna jelas tahu, Renata hanya perempuan kesepian yang penuh dengan kerapuhan.Senyumnya adalah topeng
"Mamaaa, aku mau mamaaa!""Papa! Aku mau mama!"Sejak sore Naya tidak berhenti menangis, gadis kecil itu terus memekik mencari Renata yang tiba-tiba meninggalkannya saat mandi. Padahal sudah hampir tengah malam, namun Naya sama sekali belum terlihat kelelahan menyuarakan kesedihannya. Membuat semua orang yang berada di mansion khawatir padanya, terutama Naren yang sama sekali tidak melepaskan Naya dari gendongannya."Iya, sayang, besok Papa akan membawa Naya pada mama ya? Sekarang kita istirahat dulu ya."Rayuan Naren lagi-lagi hanya dibalas gelengan, Naya tetap menangis dan semakin erat memeluk leher lelaki itu. Kakinya berayun kuat karena merasa kesal telah ditinggalkan Renata, suara tangisnya yang parau semakin keras membuat hati Naren sakit setengah mati, sebab sebelumnya Naya tidak pernah sesedih ini. Naya memang kerap menangis saat ia tinggal terlalu lama saat bekerja, namun suara tangisnya tak pernah seputus asa ini. Tangannya perlahan mengusap punggung putrinya lembut, meniman
Hari ini matahari terlihat bersinar terang, terasa hangat setelah hujan mengguyur semalaman. Bau tanah yang masih basah bisa dengan jelas tercium, rumput-rumput mengkilau karena basah dan terkena pantulan sinar mentari. Narendra tersenyum begitu putrinya mengerjap beberapa kali karena membiasakan cahaya yang mengganggu penglihatannya. "Selamat pagi, cantiknya Papa." Sapa Naren begitu Naya membuka mata sempurna.Bola matanya yang seperti kacang almond berbinar begitu menyadari hari telah pagi. Tanpa disadari bibir kecil itu tersenyum lebar, kemudian tanpa dikomando melingkarkan kedua tangannya di leher sang papa. Membuat Naren terkekeh dan segera membawa tubuh putrinya itu ke atas pangkuan."Papa sudah janji untuk membawa Naya pada mama, Papa tidak lupa, kan?" Todong Naya. Wajahnya terlihat berseri-seri sekalipun masih jelas terlihat mengantuk."Tidak, sayang. Papa tentu mengingatnya.""Kalau begitu apa boleh Naya tidak ke sekolah hari ini? Naya ingin bersama mama dari pagi." Naren m
"Kalian sedang membicarakan apa?" Tanpa di undang Naren datang, lelaki itu turun dengan kemeja yang belum dikancingkan. Dasi dan jas ditenteng, datang dengan raut penuh penasaran. Suara bariton lelaki itu cukup mengejutkan Naya yang masih serius mendengarkan jawaban Renata. Begitu juga Renata yang sama sekali tidak menyadari kedatangan Narendra. "Membicarakan filosofi nasi goreng." Jawab Renata sembarang. Kedua alis Naren menukik tidak percaya, menatap intens pada Renata yang terlihat gugup. Perempuan itu terburu menyelesaikan bekal Naya dan mengalihkan pendangan ke sembarang arah. Naren tidak percaya jika kedua perempuannya membicarakan tentang filosofi nasi goreng dengan wajah yang serius, memangnya apa? "Iya, Papa. Mama sedang memasak nasi goreng untuk sarapan kita." Beruntungnya Naya yang tidak terlalu mengerti bisa berkompromi tanpa diberi tahu. Dan Beruntung Renata memang membuat nasi goreng pagi ini. "Memangnya apa filosofinya?" Naren bertanya sembari mendekat, dud
Mereka berpindah menuju wardrop, Renata yang lihai dan sudah terbiasa mengurus anak kecil dengan cekatan memakaian Naya seragamnya yang lucu. Lalu seperti permintaan anak itu, Renata menyisir rambutnya yang halus secara perlahan dan membaginya menjadi dua. Naya memiliki banyak sekali jepit rambut dan kunciran, juga pita-pita yang dibelikan oleh nenek. Perempuan itu dengan lihai menguncir rambut Naya menjadi dua, mengikatnya tanpa menimbulkan rasa sakit di kulit kepala, berbeda dengan nenek yang suka mengikat dengan kencang sehingga kulit kepala gadis kecil itu tertarik dan menimbulkan rasa sakit. Setelah mengikatnua dengan karet, Renata meraih dua buah pita berwarna merah muda. Lantas menalikan pita itu ke dua kunciran sebelumnya. Perempuan itu juga menambahkan dua jepit berbentuk lidi secara sejajar di sebelah kanan. Membuat Naya terlihat lebih manis dengan penampilannya. "Nah, sudah. Coba Naya berkaca." Renata memutar tubuh calon putrinya agar menghadap kaca. "WAHHH, CANTIK SE
"Mama sudah tidak marah kan pada Naya?" Mendengar itu Renata dengan cepat beralih, merapikan anak rambut milik Naya dengan senyuman kecil. "Tidak, Mama tidak pernah marah dengan Naya. Mama minta maaf ya sudah membuat Naya ketakutan." "Mama, Naya senang sekali. Mama tidak akan pergi lagi kan? Mama akan selalu berada di dekat Naya kan? Mama sayang Naya kan?" Pertanyaan ber-rantai itu membuat Renata terkekeh sekaligus sedih. Dia merasa lucu dengan bagaimana wajah Naya ketika bertanya padanya, namun juga merasa sedih sebab ternyata Naya menaruh begitu banyak harapan padanya. Harapan agar dia selalu menyanyanginya dan mencintainya, serta untuk tetap tinggal bersamanya. "Mama tidak akan pergi lagi, apapun yang terjadi, Mama juga akan selalu berada di sisi Naya dan Mama sangat-sangat sayang dengan Naya, Mama mencintai Naya seperti hidup Mama sendiri." "Benarkah? Kalau begitu Naya sangat bahagia mendengarnya. Mama mau janji kelingking dengan Naya?" Gadis kecil itu berbinar s
Pagi menjelang dengan tenang, disambut oleh cuitan burung gereja yang terbang melintas dari rumah ke rumah. Hangatnya sinar mentari menandakan dia siap memberi kekuatan bagi siapapun yang akan menjalani aktivitas dengan semangat. Embun-embun yang menempel di pepohonan mulai menetes secara perlahan. Renata merasa Naya semakin terasa erat memeluk perutnya, kepala gadis kecil itu bahkan dengan nyaman disandarkan pada dadanya untuk mencari posisi paling nyaman. Pagi yang sedikit dingin tidak mengganggu Naya untuk tetap terlelap di sebelah Renata. Pada hari-hari biasa, Naya lebih bayak menghabiskan malam sendirian sebab Naren jarang nememaninya tidur. "Sayang, sudah pagi." suara Renata lembut menyapu indra pendengaran. Memberi tahu pada gadis kecilnya jika sudah waktunya untuk melepas pelukan yang terlalu nyaman. "Apa Naya masih sangat mengantuk? Tapi Kau harus berangkat ke sekolah." lanjut Renata dengan sedikit menggoyangkan tubuh Naya. Naya hanya bergumam membalas ucapan Renata,
"Sudah selesai?" Suara bariton itu membuat Renata yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut bukan main. Sebab di sebelah ranjang ada Naren yang berdiri tenang melihat ke arahnya. "Maaf-maaf, aku tidak bermaksud mengagetkanmu." jelasnya terkekeh. "Kau! Bukankan kau bilang akan menunggu di kamar Naya hingga aku selesai membersihkan diri? Kenapa sekarang ada di sini?!" tanya Renata dengan nada yang sedikit tinggi. Dia sedikit panik karena hanya memakai handuk dan dalaman. Kedua tangan wanita itu menyilang di depan dada dan mencoba mengeratkan handuk yang melilit tubuhnya. Naren benar-benar tidak bisa dipercaya! "Kau terlalu lama, aku bosan karena hanya melihat Naya yang tertidur." Jawab si lelaki terlampau santai. "Tapi aku belum ganti baji! Keluar sana!" usir Renata. "Lagian kenapa tidak memakai baju di dalam kamar mandi? Kau sengaja ingin menggodaku ya?" Mendengar itu Renata naik pitam, matanya melotot karena mendengar Naren berbicara kurang ajar padanya. Menggoda katan
"Masuk lah dulu, aku akan menggendong Naya." "Kita masuk bersama saja." Renata keluar dari mobil dan menunggu Naren yang ingin menggendong Naya. Sebab gadis kecil itu sudah terlalu pulas dalam tidurnya sehingga tidak terbangun sama sekali. Mereka berjalan beriringan menuju rumah dengan Renata yang bertugas membuka pintu. Lampu ruang tamu langsung hidup begitu mereka masuk, tidak gelap seperti sebelumnya. Rumah ini cukup luas jika hanya dihuni mereka bertiga, Renata bahkan tidak bisa membayangkan betapa lelahnya jika harus membersihkan rumah sendirian dan merawat Naya secara bersamaan. "Istirahatlah, aku akan membawa Naya ke kamarnya." "Aku tidur dimana?" tanya Renata bingung karena belum tahu harus beristirahat dimana. Barang-barangnya berada di kamar utama, tetapi tidak mungkin dia tidur dengan Naren malam ini. Mereka belum menikah, terlebih Renata baru meminta pembatalan nikah beberapa menit lalu. "Di kamar utama, bersamaku." jawab Naren dengan kedipan sebelah mata. Lelaki i
"Ayo kita pulang." ajak Naren. Lelaki itu berdiri dan mencoba untuk menarik Renata yang masih berjongkok. Dia merasa mereka seperti sepasang kekasih yang masih belasan tahun, sebab orang dewasa tidak mungkin bertengkar di pinggi jalan. Bibir lelaki itu tersenyum kecil, melihat Renata yang berjongkok persis seperti Naya jika sedang menangis. Mereka terlihat sangat mirip. "Aku bisa pulang sendiri." jawab Renata sedikit acuh. Wanita itu menghempaskan tangan Naren yang masih menggenggam tangannya. Wajahnya masam karena kesal bercampur sedih. Renata sepertinya berencana untuk merajuk pada lelaki itu. "Mau pulang ke mana?" "Apartemen." "Itu terlalu jauh dari sini." "Biar saja!" "Dan sudah tidak ada barang-barang milikmu disana." Renata yang sudah berjalan beberapa langkah tiba-tiba terhenti begitu mendengar ucapan Naren. Dia baru teringat jika sudah pindah ke rumah baru Naren sore tadi. Renata meruntuk mengapa dia melupakannya. "Tidak ada pilihan selain pulang bersamaku,
Naren menurunkam lututnya bertumpu pada tanah. Matanya menatap ke arah Renata yang masih setia menunduk, tidak ada niat untuk membalas tatapannya. Pada keadaan ini Naren tidak bisa memegang kendali ayahnya, apa yang diucapkan pria tua itu Naren tidak bisa mengontrolnya. "Renata, aku minta maaf atas nama ayahku. Kau juga harus tahu jika semua ini di luar kendaliku, aku sangat merasa bersalah padamu atas semua perbuatan tak beradab ayahku. Aku sungguh minta maaf padamu." Salah satu tangan Naren meraih telapak tangan Renata yang terasa begitu dingin. Di genggamnya tangan itu agar kembali hangat, menghalau angin kencang yang menerpa tubuh keduanya. "Aku akan mengabulkan semua keinginanmu, Renata, asal jangan minta aku untuk membatalkan pernikahan kita." "Kalau begitu kau egois, Narendra." Tanpa melepas genggaman tangan Naren, Renata mendongak. Membalas tatapan lelaki dihadapannya dengan tatapan yang sukar diartikan. Naren cukup terkejut ketika Renata memanggilnya hanya dengan nam
"Papaa, Naya mau mama, hiks." Naya berteriak seraya terus mengejar Renata yang berlari, kakinya sesekali tersenggal karena Renata berlari lebih cepat. Kaki kecilnya tidak bisa mengejar langkah yang besar. Sedangkan Narendra mengejar dari belakang, berusaha untuk menahan putrinya yang benar-benar terlihat kecewa. Dia juga tidak akan melepaskan Renata segampang itu, mereka memang tidak ada perjanjian namun Renata tidak bisa membatalkan pernikahan begitu saja saat sudah ada kesepakatan. Kalau Renata memaksa, Naren juga bisa lebih memaksa. "Naya!" Pekik Naren ketika Naya kembali terjatuh. Dengan langkah lebih cepat, Naren buru-buru menghampiri putrinya. Sedangkan gadis kecil itu, sekalipun kakinya terasa nyeri dia tetap berusaha untuk bangkit dan ingin kembali mengejar Renata. Suara tangisnya semakin pecah begitu melihat Renata yang semakin menjauh tanpa menoleh ke belakang. Di dalam dekap Naren, Naya menangis lebih keras dan meronta-ronta minta untuk dilepaskan. "Papaaa, mamaa