Share

5. Negosiasi

Penulis: Reaa Hamida
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Malam ini Renata jelas tidak bisa tidur, tengah malam di sebuah kamar yang asing membuatnya susah untuk terlelap. Bukan karena tidak nyaman, justru kamar ini sangat nyaman dan hangat, berbeda dengan unit apartemennya.

Di sisinya Naya sudah terlelap dengan nyenyak, anak itu tidur lebih cepat dari biasanya, begitu kaya Aldeis. Renata menatap wajah damai Naya yang terlihat begitu cantik bahkan saat tertidur, namun juga merasa iba sebab Naya tidak memiliki seorang ibu.

Naya dan dirinya hampir mirip, sama-sama tidak memiliki seorang ibu. Bedanya Renata tumbuh besar di panti asuhan dengan keterbatasan dan Naya hidup bergelimang harta dan memiliki keluarga yang menyayanginya.

"Aku juga akan menjagamu, Naya." Janji Renata dalam keheningan malam yang bahkan tidak bisa didengar oleh Naya.

Perempuan itu tersenyum tipis sebelum akhirnya beranjak dari ranjang, ia haus dan ingin pergi ke dapur untuk minum. Perempuan itu menatap pintu kamar yang terletak di depannya, itu kamar Narendra.

Sekelebat pikiran menghantui Renata, apakah pemilik kamar itu sudah terlelap? Atau justru masih terjaga di tengah malam seperti dirinya? Renata menggeleng saat rasa penasaran itu hinggap. Memang apa urusannya dengan dirinya?

Perempuan itu kembali berjalan, menyusuri tangga. Dapur ada di lantai satu dan terletak paling belakang, lampu-lampu yang terang sudah dimatikan hanya sisa beberapa sebagai penerang.

Mansion ini memang besar tapi entah mengapa tidak terasa menyeramkan. Seperti dilapisi pelindung agar penghuninya merasa aman.

Renata membuka lemari pendingin untuk mencari air mineral, cuaca memang sedang panas-panasnya dan minum dingin di tengah malam bukanlah sesuatu yang buruk.

"Renata?" Renata terlonjak begitu ada suara memanggil tepat di belakangnya.

"Maaf, maaf aku tidak sengaja mengagetkanmu." Naren menahan bahu Renata karena perempuan itu sempat terhuyung karena terkejut.

"Oke, tidak apa-apa."

"Kau sedang apa? Tidak tidur?" Tanya Naren setelah mundur beberapa langkah agar Renata bisa bergerak bebas.

"Saya tidak bisa tidur di tempat asing, bukan karena tidak nyaman tapi, seperti beradaptasi?" Naren mengangguk mengerti, lalu duduk di salah satu kursi dan tidak lupa mendorongkan satu untuk Renata.

"Ya aku mengerti, duduklah. Ada yang ingin aku bicarakan padamu." Suruh Naren yang disambut kerutan pada kening Renata.

"Bapak ingin membicarakan apa?" Walau begitu Renata tetap duduk di hadapan Naren. Meletakkan gelas serta botol air dingin yang seharusnya ia nikmati sekarang.

"Sebentar, tolong biarkan saya minum dulu ya, pak, saya haus." Sela Renata saat Naren hendak memulai pembicaraan mereka.

Lelaki itu mengangguk dan memperhatikan setiap gerak yang Renata buat. Perempuan yang sudah ia kenal bertahun-tahun ini ternyata jauh lebih cantik tanpa riasan. Sangat berbeda jika sedang berada di kantor, di kantor Renata terlihat begitu dewasa tetapi kali ini di hadapannya Renata terlihat seperti seorang gadis remaja yang polos.

"Sudah."

"Aku ingin bernegosiasi denganmu." Ucap Naren tanpa basa-basi.

"Bernegosisasi? Tentang apa?"

"Naya."

Renata mengernyit bingung.

"Aku ingin meminta tolong mungkin untuk beberapa waktu, apa kau bisa menjaga Naya? Anggaplah Naya seperti putrimu sendiri, dengan kata lain berpura-puralah menjadi mamanya."

"Tenang, ini tidak gratis. Aku akan menaikkan gajimu jika kau bersedia."

"Maksud pak Naren sama saja saya di kontrak untuk menjadi mama Naya tanpa batas waktu?" Naren mengangguk.

Naren rasa ini satu-satunya jalan selain menikahi Renata seperti saran ibunya. Bukankah aneh jika ia menikahi Renata sedangkan mereka tidak mengenal secara pribadi? Selain itu mereka tidak saling mencintai.

"Oh ya, jangan panggil aku pak jika di luar jam kerja, aku bukan ayahmu."

"Ah maaf. Lalu saya harus memanggil apa? Kak?"

"Apa aku terlihat setua itu?" Naren mendengus.

"Bukan begitu, tapi dibanding saya pak Naren terlihat lebih tua." Naren berdesis saat Renata kembali memanggilnya pak.

"Menurut saya panggilan kak bukanlah panggilan yang buruk."

"Terserah kau saja asal jangan panggil aku pak."

Naren menatap Renata yang tanpak ragu, perempuan berambut panjang itu bahkan memainkan ujung kuku-kukunya.

“Jadi bagaimana? Apa kau setuju?” Tanya Naren penuh harap.

Mewujudkan keinginan Naya bukanlah hal yang mudah, memang bisa saja ia mencari istri karena pasti ada banyak wanita yang bersedia. Tapi Naren tidak mungkin gegabah dan sembarangan dalam hal pernikahan yang sakral, Naren menikah untuk sehidup semati.

“Bagaimana dengan kontrak beberapa bulan? Maksud saya begini, saya tidak mungkin terus-terusan menjadi mama pura-pura untuk Naya karena saya juga memiliki kehidupan pribadi. Saya tahu pak Naren akan membayar banyak, tapi jika dengan kontrak tanpa batas saya pikir itu bisa merugikan sebelah pihak.”

“Merugikan? Aku membayarmu untuk bekerja, anggap saja kau sedang lembur. Selain itu aku juga tidak akan mengganggu urusan pribadimu, kau hanya perlu menemani Naya.”

Renata menggigit bibir bawahnya, persoalan gaji memang menggiurkan tapi, ini bukan pekerjaan sembarangan. Bagaimana jika Naya benar-benar menganggapnya setuju untuk menjadi mamanya?

Lantas seberapa kecewanya Naya saat tahu itu hanya kepura-puraan?

"Kontrak tanpa batas waktu, itu artinya saya tidak tahu sampai kapan saya harus bekerja sebagai mama pura-pura untuk Naya. Menurut saya itu merugikan."

"Apa kau juga dikontrak di perusahaanku?"

"Saya sudah pegawai tetap pak."

"Kalau begitu anggap saja pekerjaan ini juga begitu, kau bisa menyudahi saat kau merasa pekerjaan ini benar-benar merugikanmu. Bagaimana?"

Renata menghela napas pasrah saat Naren mendesaknya seolah ia tidak memiliki celah untuk menolak.

“Tapi, tetap saja...”

“Tiga kali lipat, aku akan membayarmu tiga kali lipat dari gajimu yang sekarang setiap bulannya.” Tawar Naren tanpa berpikir panjang.

Renata tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, tiga kali lipat dari gajinya bekerja di kantor hanya ditambah dengan menjadi mama pura-pura untuk Naya?

“Bagaimana?” Sebelah alis Naren terangkat, menunggu jawaban dari Renata yang sulit untuk ditolak.

Naren tahu Renata pasti membutuhkan banyak uang untuk menyambung hidup dan mengeluarkan kocek sebesar itu demi membuat Naya bahagia sama sekali tidak masalah.

“Boleh saya memikirkannya dulu?”

Naren terkekeh mendengarnya, lalu mengangguk setuju. Tawarannya akan mendapat pertimbangan yang sulit untuk di tolak, dengan gaji yang besar Renata bisa pindah dari apartemennya yang kecil dan hidup lebih layak.

“Oke, apa kau bisa menjawabnya besok pagi?"

"Akan saya usahakan." Naren tersenyum miring saat tahu Renata menatapnya gamang. Dan lelaki itu yakin, Renata akan menerima tawarannya.

Naren beranjak dari duduknya, berlalu meninggalkan Renata yang masih dilanda keraguan. Sejujurnya Naren juga tidak ingin melakukan hal konyol seperti ini, bagaimana bisa ia membayar seseorang untuk berpura-pura menjadi mama putrinya? Jika bukan karena Naya yang menginginkan Renata untuk menjadi mama sambungnya, Naren tidak akan pernah melakukannya.

Setelah meninggalkan dapur Naren tidak kembali ke kamarnya, lelaki itu justru masuk ke kamar Naya. Berbaring di sebelah putrinya dengan posisi menyamping, menatap betapa damai wajah putrinya yang tertidur nyenyak membuat hatinya kembali membiru, merasa bersalah karena usahanya selama ini untuk membuat Naya bahagia ternyata belum juga terbayar lunas.

Perlahan Naren mengusap pipi putrinya lembut, lalu mencium pipi putrinya penuh sayang. Mungkin Naren memiliki banyak harta, ia bisa mendapatkan apapun dengan kekuasaannya. Tapi melihat Naya sebahagia hari ini menamparnya dengan kenyataan jika uang yang ia punya ternyata tidak bisa membeli kebahagiaan untuk Naya.

"Apapun akan papa lakukan untuk Naya, maaf karena papa belum bisa memenuhi permintaan Naya untuk mencarikan mama."

"Kali ini, papa akan mengusahakannya untuk Naya. Bahagia selalu putri papa yang paling cantik, papa sayang Naya."

Bab terkait

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   6. Naren yang bodoh

    "Good Morning, mama." Gumam Naya pelan tepat di hadapan Renata saat perempuan itu baru saja membuka mata. Renata terkekeh saat Naya memeluknya, menyembunyikan wajah di ceruk lehernya dengan manja. "Naya sudah bangun dari tadi?" Renata menggulir posisinya menjadi miring karena Naya memeluknya dari atas. "Hu.um, Naya menunggu mama bangun. Mama nyenyak sekali tidurnya." "Seharusnya kamu membangunkan mama." "Tapi ini masih terlalu pagi untuk bangun, mama. Naya terbangun lebih awal karena khawatir mama akan pergi sebelum Naya membuka mata." Renata melirik jam dinding yang ternyata masih menunjukkan pukul 5 pagi. Pantas saja di luar masih terlihat gelap. Tapi Naya sudah terlihat segar tanpa kantuk. "Mama tidak akan pergi tanpa pamit, cantik." Mendengarnya Naya semakin mengeratkan pelukan."Langitnya masih gelap. Apa Naya mau kembali tidur?" Tanya Renata sembari mengusap wajah Naya. Gadis kecil itu menatapnya berbinar lewat bola mata yang seperti kacang almond."Tidak, Naya ingin memelu

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   7. Menolak?

    "Mama, suapin aku ya." Naya yang duduk di sebelah Renata merengek. Gadis kecil itu memegang lengannya dan digoyang-goyangkan."Naya, makan sendiri sarapanmu, kamu bukan lagi bayi." Titah Naren tegas pada Naya. Lelaki itu baru saja duduk dan langsung mendengar Naya merengek."Apasih, aku kan minta pada mama kenapa papa yang sewot?" Naya menatap sinis ke arah sang papa."Naya-" "Tidak apa-apa, sini mama suapin." Belum sempat Naren mengeluarkan kata-kata mutiara Renata lebih dulu menyela. Perempuan itu tidak ingin Naya dan Naren berdebat di depan makanan, tidak sopan.Naren menghela napas kesal saat Naya menatapnya meremehkan, seolah berkata jika apapun yang ia inginkan pasti ia dapatkan termasuk perhatian dari Renata. Di sebelahnya Aldeis hanya terkekeh melihat putranya tak lagi berkutik. Sudah tahu Naya adalah ratu di rumah ini masih saja di lawan."Pelan-pelan mengunyahnya, agar tidak tersedak." Ingat Renata. Sesekali perempuan itu mengusap sudut bibir Naya yang belepotan, tanpa ris

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   8. Es krim sepulang sekolah

    "Narendra, jangan melamun saat menyetir!" Sentak Aldeis saat putra tunggalnya itu hampir menabrak mobil lain."Maaf, Ma.""Kau ini memikirkan apa? Tidak biasanya kau seperti ini." Narendra menggeleng, ia tidak mungkin mengatakan jika tawarannya baru saja ditolak oleh Renata. Bisa-bisa sang mama menertawakannya."Aku hanya kelelahan." Jawab Naren.Aldeis yang duduk di sebelah Naren memincing tidak percaya, sebab jika putranya tengah kelelahan laki-laki itu pasti akan meminta sopir untuk mengantar."Oh ya, bagaimana tawaran bodohmu itu? Apa Renata menerimanya?"Narendra berdecak dalam hati, mengapa sang mama harus mengingat soal itu sekarang. Lelaki itu melirik tanpa menjawab, membuat Aldeis tersenyum miring sebab ia paham hanya dengan raut sebal putranya."Hahaha, apa Mama bilang, Renata itu perempuan baik-baik, dia tidak akan menerima kekonyolanmu."Naren mendengus, sisa sebalnya belum hilang karena tawarannya di tolak."Sudahlah, nikahi saja Renata, dia akan menjadi ibu yang baik unt

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   9. Dia perempuan tidak jelas!

    "Mama akan menginap lagi kan? Semalam aku tidur sangat nyenyak karena Mama yang menemani."Naya mendongak untuk menatap Renata yang berjalan di sebelahnya. Sepulang dari kedai es krim keduanya hanya berdiam diri di apartemen Renata. Tidak pergi ke sesuatu tempat karena hari ini cuaca sangat panas, Renata takut Naya akan ruam-ruam jika terkena panas.Tetapi berdiam diri di apartemen tidak terlalu buruk, justru lebih menyenangkan ketimbang berdiam diri di ruangan papa dan menunggu papa menyelesaikan pekerjaan. Naya tidak mati kebosanan karena Renata selalu mengajaknya mengobrol, dan Naya dengan senang hati menceritakan tentang Aruni yang alergi kacang lalu Jarvis yang takut belalang padahal laki-laki. Kemudian saat jam makan siang, Naya dihadiahi sepiring spaghetti carbonara buatan Renata yang rasanya sangat lezat, melebihi rasa spagetti di restoran favorit papa. Naya tidak bisa lagi membendung rasa bahagianya, sebab hari ini ia benar-benar merasa telah memiliki seorang mama. "Hai Naya

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   10. Hidupmu berharga

    "Kau baik-baik saja, Renata?" Perempuan berkemeja putih itu mendongak kala bu Mirna, salah satu pengurus panti menepuk pelan bahunya. Bibirnya spontan tersenyum tipis, seolah berkata bahwa ia baik-baik saja, seolah tidak ada yang terjadi pada dirinya. Padahal bekas sayatan yang ia terima satu jam lalu masih begitu membekas."Iya, Bu, aku baik-baik saja." Jawab Renata lembut.Kemudian wanita paruh baya itu menghela napas panjang, lalu duduk tepat di sebelah Renata. Angin malam berhembus kencang, membuat rasa dinginnya menusuk hingga ke tulang. Keduanya duduk di serambi rumah sederhana ditemani langit yang menghitam.Bu Mirna sudah mengenal Renata sejak bayi, sejak perempuan itu ditinggalkan sendirian di depan pintu rumah oleh seseorang. Tanpa surat, tanpa kejelasan. Renata memang telah dewasa, mampu menghidupi dirinya sendiri dan membantu membiayai kebutuhan anak-anak panti. Namun, bu Mirna jelas tahu, Renata hanya perempuan kesepian yang penuh dengan kerapuhan.Senyumnya adalah topeng

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   11. Naya mau mama

    "Mamaaa, aku mau mamaaa!""Papa! Aku mau mama!"Sejak sore Naya tidak berhenti menangis, gadis kecil itu terus memekik mencari Renata yang tiba-tiba meninggalkannya saat mandi. Padahal sudah hampir tengah malam, namun Naya sama sekali belum terlihat kelelahan menyuarakan kesedihannya. Membuat semua orang yang berada di mansion khawatir padanya, terutama Naren yang sama sekali tidak melepaskan Naya dari gendongannya."Iya, sayang, besok Papa akan membawa Naya pada mama ya? Sekarang kita istirahat dulu ya."Rayuan Naren lagi-lagi hanya dibalas gelengan, Naya tetap menangis dan semakin erat memeluk leher lelaki itu. Kakinya berayun kuat karena merasa kesal telah ditinggalkan Renata, suara tangisnya yang parau semakin keras membuat hati Naren sakit setengah mati, sebab sebelumnya Naya tidak pernah sesedih ini. Naya memang kerap menangis saat ia tinggal terlalu lama saat bekerja, namun suara tangisnya tak pernah seputus asa ini. Tangannya perlahan mengusap punggung putrinya lembut, meniman

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   12. Jessica?

    Hari ini matahari terlihat bersinar terang, terasa hangat setelah hujan mengguyur semalaman. Bau tanah yang masih basah bisa dengan jelas tercium, rumput-rumput mengkilau karena basah dan terkena pantulan sinar mentari. Narendra tersenyum begitu putrinya mengerjap beberapa kali karena membiasakan cahaya yang mengganggu penglihatannya. "Selamat pagi, cantiknya Papa." Sapa Naren begitu Naya membuka mata sempurna.Bola matanya yang seperti kacang almond berbinar begitu menyadari hari telah pagi. Tanpa disadari bibir kecil itu tersenyum lebar, kemudian tanpa dikomando melingkarkan kedua tangannya di leher sang papa. Membuat Naren terkekeh dan segera membawa tubuh putrinya itu ke atas pangkuan."Papa sudah janji untuk membawa Naya pada mama, Papa tidak lupa, kan?" Todong Naya. Wajahnya terlihat berseri-seri sekalipun masih jelas terlihat mengantuk."Tidak, sayang. Papa tentu mengingatnya.""Kalau begitu apa boleh Naya tidak ke sekolah hari ini? Naya ingin bersama mama dari pagi." Naren m

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   13. Jangan kabur!

    "Renata!" Perempuan berkemeja hitam itu memberhentikan langkahnya saat menyadari ada seseorang yang memanggilnya. Saat tubuhnya berbalik dan melihat Naren berdiri tak jauh darinya Renata terdiam. Wajahnya berubah panik ketika Naren mulai melangkah mendekatinya."Kau mau ke mana?" Tanya Naren saat sudah berdiri tepat di hadapan Renata.Laki-laki itu menunduk saat menatap Renata, tak seperti biasanya yang selalu menatap lawan bicaranya dengan tajam dan angkuh, kali ini Naren menatap dengan lembut. Tetapi yang ditatap justru menunduk takut, Naren semakin merasa bersalah kala mengingat semua perkataan Nawes pada perempuan tak bersalah ini. "Saya mau ke cafetaria, Pak." Jawab Renata pelan. Dari gelagatnya saja Naren tahu jika perempuan ini tak nyaman berdiri di dekatnya."Ikutlah denganku." Ajak Naren yang langsung membuat Renata mendongak.Matanya melotot karena terkejut dengan tindakan laki-laki itu. Sebelum tangan Naren menyentuh tangannya Renata sudah lebih dulu mundur, membuat lelak

Bab terbaru

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   39. Sarapan bersama seperti keluarga

    "Kalian sedang membicarakan apa?" Tanpa di undang Naren datang, lelaki itu turun dengan kemeja yang belum dikancingkan. Dasi dan jas ditenteng, datang dengan raut penuh penasaran. Suara bariton lelaki itu cukup mengejutkan Naya yang masih serius mendengarkan jawaban Renata. Begitu juga Renata yang sama sekali tidak menyadari kedatangan Narendra. "Membicarakan filosofi nasi goreng." Jawab Renata sembarang. Kedua alis Naren menukik tidak percaya, menatap intens pada Renata yang terlihat gugup. Perempuan itu terburu menyelesaikan bekal Naya dan mengalihkan pendangan ke sembarang arah. Naren tidak percaya jika kedua perempuannya membicarakan tentang filosofi nasi goreng dengan wajah yang serius, memangnya apa? "Iya, Papa. Mama sedang memasak nasi goreng untuk sarapan kita." Beruntungnya Naya yang tidak terlalu mengerti bisa berkompromi tanpa diberi tahu. Dan Beruntung Renata memang membuat nasi goreng pagi ini. "Memangnya apa filosofinya?" Naren bertanya sembari mendekat, dud

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   38. Bercakap dengan Mama

    Mereka berpindah menuju wardrop, Renata yang lihai dan sudah terbiasa mengurus anak kecil dengan cekatan memakaian Naya seragamnya yang lucu. Lalu seperti permintaan anak itu, Renata menyisir rambutnya yang halus secara perlahan dan membaginya menjadi dua. Naya memiliki banyak sekali jepit rambut dan kunciran, juga pita-pita yang dibelikan oleh nenek. Perempuan itu dengan lihai menguncir rambut Naya menjadi dua, mengikatnya tanpa menimbulkan rasa sakit di kulit kepala, berbeda dengan nenek yang suka mengikat dengan kencang sehingga kulit kepala gadis kecil itu tertarik dan menimbulkan rasa sakit. Setelah mengikatnua dengan karet, Renata meraih dua buah pita berwarna merah muda. Lantas menalikan pita itu ke dua kunciran sebelumnya. Perempuan itu juga menambahkan dua jepit berbentuk lidi secara sejajar di sebelah kanan. Membuat Naya terlihat lebih manis dengan penampilannya. "Nah, sudah. Coba Naya berkaca." Renata memutar tubuh calon putrinya agar menghadap kaca. "WAHHH, CANTIK SE

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   37. Pagi yang membahagiakan

    "Mama sudah tidak marah kan pada Naya?" Mendengar itu Renata dengan cepat beralih, merapikan anak rambut milik Naya dengan senyuman kecil. "Tidak, Mama tidak pernah marah dengan Naya. Mama minta maaf ya sudah membuat Naya ketakutan." "Mama, Naya senang sekali. Mama tidak akan pergi lagi kan? Mama akan selalu berada di dekat Naya kan? Mama sayang Naya kan?" Pertanyaan ber-rantai itu membuat Renata terkekeh sekaligus sedih. Dia merasa lucu dengan bagaimana wajah Naya ketika bertanya padanya, namun juga merasa sedih sebab ternyata Naya menaruh begitu banyak harapan padanya. Harapan agar dia selalu menyanyanginya dan mencintainya, serta untuk tetap tinggal bersamanya. "Mama tidak akan pergi lagi, apapun yang terjadi, Mama juga akan selalu berada di sisi Naya dan Mama sangat-sangat sayang dengan Naya, Mama mencintai Naya seperti hidup Mama sendiri." "Benarkah? Kalau begitu Naya sangat bahagia mendengarnya. Mama mau janji kelingking dengan Naya?" Gadis kecil itu berbinar s

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   36. Satu kecupan untuk permulaan

    Pagi menjelang dengan tenang, disambut oleh cuitan burung gereja yang terbang melintas dari rumah ke rumah. Hangatnya sinar mentari menandakan dia siap memberi kekuatan bagi siapapun yang akan menjalani aktivitas dengan semangat. Embun-embun yang menempel di pepohonan mulai menetes secara perlahan. Renata merasa Naya semakin terasa erat memeluk perutnya, kepala gadis kecil itu bahkan dengan nyaman disandarkan pada dadanya untuk mencari posisi paling nyaman. Pagi yang sedikit dingin tidak mengganggu Naya untuk tetap terlelap di sebelah Renata. Pada hari-hari biasa, Naya lebih bayak menghabiskan malam sendirian sebab Naren jarang nememaninya tidur. "Sayang, sudah pagi." suara Renata lembut menyapu indra pendengaran. Memberi tahu pada gadis kecilnya jika sudah waktunya untuk melepas pelukan yang terlalu nyaman. "Apa Naya masih sangat mengantuk? Tapi Kau harus berangkat ke sekolah." lanjut Renata dengan sedikit menggoyangkan tubuh Naya. Naya hanya bergumam membalas ucapan Renata,

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   35. Malam panjang

    "Sudah selesai?" Suara bariton itu membuat Renata yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut bukan main. Sebab di sebelah ranjang ada Naren yang berdiri tenang melihat ke arahnya. "Maaf-maaf, aku tidak bermaksud mengagetkanmu." jelasnya terkekeh. "Kau! Bukankan kau bilang akan menunggu di kamar Naya hingga aku selesai membersihkan diri? Kenapa sekarang ada di sini?!" tanya Renata dengan nada yang sedikit tinggi. Dia sedikit panik karena hanya memakai handuk dan dalaman. Kedua tangan wanita itu menyilang di depan dada dan mencoba mengeratkan handuk yang melilit tubuhnya. Naren benar-benar tidak bisa dipercaya! "Kau terlalu lama, aku bosan karena hanya melihat Naya yang tertidur." Jawab si lelaki terlampau santai. "Tapi aku belum ganti baji! Keluar sana!" usir Renata. "Lagian kenapa tidak memakai baju di dalam kamar mandi? Kau sengaja ingin menggodaku ya?" Mendengar itu Renata naik pitam, matanya melotot karena mendengar Naren berbicara kurang ajar padanya. Menggoda katan

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   34. penghujung malam

    "Masuk lah dulu, aku akan menggendong Naya." "Kita masuk bersama saja." Renata keluar dari mobil dan menunggu Naren yang ingin menggendong Naya. Sebab gadis kecil itu sudah terlalu pulas dalam tidurnya sehingga tidak terbangun sama sekali. Mereka berjalan beriringan menuju rumah dengan Renata yang bertugas membuka pintu. Lampu ruang tamu langsung hidup begitu mereka masuk, tidak gelap seperti sebelumnya. Rumah ini cukup luas jika hanya dihuni mereka bertiga, Renata bahkan tidak bisa membayangkan betapa lelahnya jika harus membersihkan rumah sendirian dan merawat Naya secara bersamaan. "Istirahatlah, aku akan membawa Naya ke kamarnya." "Aku tidur dimana?" tanya Renata bingung karena belum tahu harus beristirahat dimana. Barang-barangnya berada di kamar utama, tetapi tidak mungkin dia tidur dengan Naren malam ini. Mereka belum menikah, terlebih Renata baru meminta pembatalan nikah beberapa menit lalu. "Di kamar utama, bersamaku." jawab Naren dengan kedipan sebelah mata. Lelaki i

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   33. kesempatan kedua?

    "Ayo kita pulang." ajak Naren. Lelaki itu berdiri dan mencoba untuk menarik Renata yang masih berjongkok. Dia merasa mereka seperti sepasang kekasih yang masih belasan tahun, sebab orang dewasa tidak mungkin bertengkar di pinggi jalan. Bibir lelaki itu tersenyum kecil, melihat Renata yang berjongkok persis seperti Naya jika sedang menangis. Mereka terlihat sangat mirip. "Aku bisa pulang sendiri." jawab Renata sedikit acuh. Wanita itu menghempaskan tangan Naren yang masih menggenggam tangannya. Wajahnya masam karena kesal bercampur sedih. Renata sepertinya berencana untuk merajuk pada lelaki itu. "Mau pulang ke mana?" "Apartemen." "Itu terlalu jauh dari sini." "Biar saja!" "Dan sudah tidak ada barang-barang milikmu disana." Renata yang sudah berjalan beberapa langkah tiba-tiba terhenti begitu mendengar ucapan Naren. Dia baru teringat jika sudah pindah ke rumah baru Naren sore tadi. Renata meruntuk mengapa dia melupakannya. "Tidak ada pilihan selain pulang bersamaku,

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   32. Kami berbicara

    Naren menurunkam lututnya bertumpu pada tanah. Matanya menatap ke arah Renata yang masih setia menunduk, tidak ada niat untuk membalas tatapannya. Pada keadaan ini Naren tidak bisa memegang kendali ayahnya, apa yang diucapkan pria tua itu Naren tidak bisa mengontrolnya. "Renata, aku minta maaf atas nama ayahku. Kau juga harus tahu jika semua ini di luar kendaliku, aku sangat merasa bersalah padamu atas semua perbuatan tak beradab ayahku. Aku sungguh minta maaf padamu." Salah satu tangan Naren meraih telapak tangan Renata yang terasa begitu dingin. Di genggamnya tangan itu agar kembali hangat, menghalau angin kencang yang menerpa tubuh keduanya. "Aku akan mengabulkan semua keinginanmu, Renata, asal jangan minta aku untuk membatalkan pernikahan kita." "Kalau begitu kau egois, Narendra." Tanpa melepas genggaman tangan Naren, Renata mendongak. Membalas tatapan lelaki dihadapannya dengan tatapan yang sukar diartikan. Naren cukup terkejut ketika Renata memanggilnya hanya dengan nam

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   31. Renata, aku mohon padamu.

    "Papaa, Naya mau mama, hiks." Naya berteriak seraya terus mengejar Renata yang berlari, kakinya sesekali tersenggal karena Renata berlari lebih cepat. Kaki kecilnya tidak bisa mengejar langkah yang besar. Sedangkan Narendra mengejar dari belakang, berusaha untuk menahan putrinya yang benar-benar terlihat kecewa. Dia juga tidak akan melepaskan Renata segampang itu, mereka memang tidak ada perjanjian namun Renata tidak bisa membatalkan pernikahan begitu saja saat sudah ada kesepakatan. Kalau Renata memaksa, Naren juga bisa lebih memaksa. "Naya!" Pekik Naren ketika Naya kembali terjatuh. Dengan langkah lebih cepat, Naren buru-buru menghampiri putrinya. Sedangkan gadis kecil itu, sekalipun kakinya terasa nyeri dia tetap berusaha untuk bangkit dan ingin kembali mengejar Renata. Suara tangisnya semakin pecah begitu melihat Renata yang semakin menjauh tanpa menoleh ke belakang. Di dalam dekap Naren, Naya menangis lebih keras dan meronta-ronta minta untuk dilepaskan. "Papaaa, mamaa

DMCA.com Protection Status