Share

7. Menolak?

Penulis: Reaa Hamida
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Mama, suapin aku ya." Naya yang duduk di sebelah Renata merengek. Gadis kecil itu memegang lengannya dan digoyang-goyangkan.

"Naya, makan sendiri sarapanmu, kamu bukan lagi bayi." Titah Naren tegas pada Naya. Lelaki itu baru saja duduk dan langsung mendengar Naya merengek.

"Apasih, aku kan minta pada mama kenapa papa yang sewot?" Naya menatap sinis ke arah sang papa.

"Naya-"

"Tidak apa-apa, sini mama suapin."

Belum sempat Naren mengeluarkan kata-kata mutiara Renata lebih dulu menyela. Perempuan itu tidak ingin Naya dan Naren berdebat di depan makanan, tidak sopan.

Naren menghela napas kesal saat Naya menatapnya meremehkan, seolah berkata jika apapun yang ia inginkan pasti ia dapatkan termasuk perhatian dari Renata.

Di sebelahnya Aldeis hanya terkekeh melihat putranya tak lagi berkutik. Sudah tahu Naya adalah ratu di rumah ini masih saja di lawan.

"Pelan-pelan mengunyahnya, agar tidak tersedak." Ingat Renata. Sesekali perempuan itu mengusap sudut bibir Naya yang belepotan, tanpa risih dan jijik sama sekali.

Renata terlihat seperti seorang ibu yang tengah menyuapi putrinya. Ketelatenan perempuan itu saat menyuapi Naya sedikit membuat hati Naren terenyuh. Putrinya yang sangat tidak menyukai orang asing kini terlihat sangat nyaman di dekat Renata.

"Aku mau susu."

Bahkan saat Naya meminta susu dengan sigap Renata langsung meraih gelasnya, memberikan pada Naya yang kehausan.

Naya yang biasanya pemilih saat makan kini seolah tidak peduli dengan apa yang masuk ke dalam mulutnya. Aldeis dan Naren sampai terheran-heran sebab biasanya Naya selalu beralasan agar tidak sarapan. Tapi dengan Renata, Naya menurut tanpa protes sedikitpun.

"Pelan-pelan saja, Naya, kau masih memiliki sisa waktu yang cukup untuk berangkat ke sekolah."

Renata mengulas senyum saat melihat sikap Naya, gadis kecil ini mengingatkannya pada anak-anak panti yang selalu bersemangat setiap jam makan. Mereka akan duduk berjajar menunggu giliran hanya untuk seporsi nasi dengan lauk seadanya.

Mengingat itu membuat Renata menjadi rindu tempat di mana ia dibesarkan. Sudah satu bulan Renata belum berkunjung karena sibuk, mungkin jika ia memiliki waktu luang di akhir pekan nanti ia akan berkunjung ke panti.

"Mama, aku sudah kenyang." Ujar Naya sembari meletakkan gelasnya.

Renata mengangguk lalu segera menghabiskan sarapan miliknya yang tertunda. Selama hidupnya Renata tidak pernah mendapati banyak makanan di meja makan, baru kali ini. Saat ia sudah bekerja pun Renata tetap harus menghemat karena sebagian dari gajinya harus ia berikan pada ibu panti untuk membantu anak-anak lain.

Ternyata menjadi orang kaya itu enak sekali ya, sekali makan saja ada banyak pilihannya. Sedangkan ia setiap hari masih harus berpikir harus membeli lauk apa yang murah untuk dijadikan makan malam.

"Kalau kau sudah selesai segera ke mobil, jangan lama-lama." Ujar Naren yang beranjak dari duduknya.

Laki-laki itu meraih jas dan tas kerjanya, kemudian mendekat pada Naya untuk mencium pipi gadis kecil itu, baru ia beranjak dari ruang makan.

"Renata, nikmati saja sarapanmu dan tidak usah pedulikan Naren. Jika ditinggal pun masih ada banyak sopir di rumah ini." Sanggah Aldeis.

Wanita paruh baya itu mengerlingkan mata jengkel saat melihat kelakuan putranya angkuh.

"Terima kasih, tante, tapi saya sudah selesai. Saya akan bergegas agar pak Naren tidak menunggu terlalu lama, terima kasih untuk sarapannya." Papar Renata sendu.

Perempuan itu tersenyum menatap Aldeis, wanita paruh baya yang tulus menyambutnya. Satu hari berada di rumah ini Aldeis benar-benar memperlakukannya dengan baik.

"Baiklah kalau begitu, hati-hati ya."

Renata berjalan keluar rumah megah ini sembari menggandeng Naya, sedangkan tangan sebelah kiri menenteng tas ransel bergambar barbie milik Naya.

Gadis kecil itu berjalan riang, rambutnya yang dikuncir dua ikut bergoyang-goyang. Menambah kesan imut dan cantik dalam diri Naya.

"Aku mau duduk bersama mama, di depan." Pinta Naya.

Renata tanpa menolak menuruti permintaan Naya, menarik klop pintu penumpang di sebelah Naren seperti kemarin. Naya terlihat nyaman duduk dipangkuan Renata, sesekali bersandar pada tubuh Renata.

"Papa, nanti tidak usah menjemputku ya. Aku ingin mama yang menjemputku dan papa tidak boleh protes." Ujar Naya.

Suara kecil itu membelah sepi diantara Renata dan Naren, keduanya hanya saling melirik sesekali.

"Terserah Naya saja asal jangan merepotkan mama Renata."

"Aku tidak pernah merepotkan seseorang, huh." Sangkal Naya yang merasa tak terima selalu dikata merepotkan.

"Ya ya, terserah. Oh iya, mungkin papa akan pulang malam karena hari ini ada rapat pemegang saham. Kau diamlah di rumah dan jangan membuat onar dengan suster, Naya."

"Aku tidak pulang, aku akan bersama mama sampai malam. Aku akan pergi dari rumah karena papa tidak menyayangiku." Balas Naya terlalu dramatis.

Naren sudah terbiasa dengan sifat putrinya yang terkadang memang aneh, tapi bagaimanapun Naya tetaplah darah dagingnya.

"Turun lah, kita sudah sampai." Putus Naren saat mobil berhenti tepat di lingkungan sekolah Naya.

"Pak Naren, tolong tunggu sebentar saya akan mengantarkan Naya sampai gerbang."

Tanpa menunggu jawaban Naren, Renata lebih dulu keluar dari mobil bersama Naya. Perempuan itu menggandeng Naya, menuntun gadis kecil itu agar hati-hati dalam melangkah.

Naren menatap lamat pemandangan itu, sedikit tertampar sebab ia tidak pernah turun dari mobil untuk mengantar Naya hingga gerbang. Kedua sudut bibirnya teryarik ke atas saat melihat Naya memeluk Renata sembari tersenyum ceria, sebelum akhirnya mereka berpisah dengan lambaian.

Saat Renata kembali ke arah mobilnya, Naren terdiam. Perempuan itu entah mengapa terlihat mirip dengan mendiang istrinya, senyumnya yang terlukis indah, cara berjalannya yang anggun dan mata hitam yang bersinar. Yang membedakan mereka berdua hanya panjang rambut dan postur tubuh.

Renata memiliki rambut panjang lurus yang berkilau sedangkan Safala, mendiang istrinya berambut pendek sedikit bergelombang seperti Naya. Renata terlihat sedikit tinggi dan lebih kurus dari Safala.

Kenapa Naren baru menyadarinya setelah mereka bertemu untuk kesekian kali?

"Pak Naren, maaf karena terlalu lama."

Naren tidak menjawab, setelah perempuan itu duduk sempurna Naren segera melajukan mobil, membentang jalanan ramai penuh hiruk pikuk untuk menuju kantor.

Perjalanan keduanya dipenuhi keheningan, Renata tidak berani membuka suara sebab Naren terlihat dingin. Perempuan itu hanya mampu berdoa semoga saja Naren tidak melampiaskan kekesalannya pada pekerjaan Renata.

Jari-jari Renata memelintir rok yang ia kenakan, berusaha mengendalikan rasa tak nyaman yang bersarang pada hatinya, satu mobil bersama Naren entah mengapa membuat perjalanan terasa lebih lama.

"Apa keputusanmu untuk tawaran semalam?" tanya Naren tiba-tiba.

Lelaki itu bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan, tidak pula menoleh pada Renata yang terkejut karena pertanyaannya.

"Ah, maaf, pak. Saya tidak bisa melakukannya."

"Kenapa? Kau merasa kurang atas gaji yang ku tawarkan?"

"Bukan begitu."

Renata menegakkan duduknya, perempuan itu terlihat menggigit bibir bawahnya gamang. Lalu menatap Naren yang masih fokus pada jalanan.

"Lalu?"

"Saya hanya merasa itu tidak benar, suatu hari nanti saya akan melukai perasaan Naya, jika Naya tahu saya berpura-pura menjadi mamanya hanya demi uang."

"Saya memang butuh uang pak Naren, tapi saya tidak mau bekerja dengan cara seperti ini." Jelas Renata.

Ternyata kaca mata yang dipakai Aldeis memang tidak pernah salah dalam menilai seseorang. Dan Naren tidak bisa membuktikan pada sang mama jika Renata adalah perempuan yang menggilai harta.

Perempuan itu entah naif atau memang benar baik, Naren tidak bisa menilainya hanya dalam sekejap.

"Kau benar menolak awaranku? Aku tahu kau berusaha membantu panti asuhan tempatmu tinggal dulu, kau butuh uang Renata jangan naif."

Mencari latar belakang perempuan seperti Renata bukanlah hal yang susah bagi Naren. Itulan sebabnya lelaki itu tahu dari mana asal Renata.

"Benar, saya memang perempuan yang tidak punya apa-apa. Tapi saya bukanlah seseorang yang naif, saya memang besar di sebuah panti asuhan, tidak punya rumah yang layak, hidup seadanya, tapi kami diajarkan untuk menjadi orang yang tulus. Kami dibesarkan dengan cukup pengertian dan diajari untuk menjadi orang baik."

"Pak Narendra, semua orang memang membutuhkan uang, tapi tidak semua orang berusaha mendapatkan uang dengan cara yang sama. Mungkin anda bilang saya naif karena menolak tiga kali lipat dari gaji yang saya terima di perusahaan. Namun saya tidak menyukai cara untuk mendapatkan uang itu, sebab akan ada seseorang yang berdarah kesakitan karena ulah saya."

Bab terkait

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   8. Es krim sepulang sekolah

    "Narendra, jangan melamun saat menyetir!" Sentak Aldeis saat putra tunggalnya itu hampir menabrak mobil lain."Maaf, Ma.""Kau ini memikirkan apa? Tidak biasanya kau seperti ini." Narendra menggeleng, ia tidak mungkin mengatakan jika tawarannya baru saja ditolak oleh Renata. Bisa-bisa sang mama menertawakannya."Aku hanya kelelahan." Jawab Naren.Aldeis yang duduk di sebelah Naren memincing tidak percaya, sebab jika putranya tengah kelelahan laki-laki itu pasti akan meminta sopir untuk mengantar."Oh ya, bagaimana tawaran bodohmu itu? Apa Renata menerimanya?"Narendra berdecak dalam hati, mengapa sang mama harus mengingat soal itu sekarang. Lelaki itu melirik tanpa menjawab, membuat Aldeis tersenyum miring sebab ia paham hanya dengan raut sebal putranya."Hahaha, apa Mama bilang, Renata itu perempuan baik-baik, dia tidak akan menerima kekonyolanmu."Naren mendengus, sisa sebalnya belum hilang karena tawarannya di tolak."Sudahlah, nikahi saja Renata, dia akan menjadi ibu yang baik unt

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   9. Dia perempuan tidak jelas!

    "Mama akan menginap lagi kan? Semalam aku tidur sangat nyenyak karena Mama yang menemani."Naya mendongak untuk menatap Renata yang berjalan di sebelahnya. Sepulang dari kedai es krim keduanya hanya berdiam diri di apartemen Renata. Tidak pergi ke sesuatu tempat karena hari ini cuaca sangat panas, Renata takut Naya akan ruam-ruam jika terkena panas.Tetapi berdiam diri di apartemen tidak terlalu buruk, justru lebih menyenangkan ketimbang berdiam diri di ruangan papa dan menunggu papa menyelesaikan pekerjaan. Naya tidak mati kebosanan karena Renata selalu mengajaknya mengobrol, dan Naya dengan senang hati menceritakan tentang Aruni yang alergi kacang lalu Jarvis yang takut belalang padahal laki-laki. Kemudian saat jam makan siang, Naya dihadiahi sepiring spaghetti carbonara buatan Renata yang rasanya sangat lezat, melebihi rasa spagetti di restoran favorit papa. Naya tidak bisa lagi membendung rasa bahagianya, sebab hari ini ia benar-benar merasa telah memiliki seorang mama. "Hai Naya

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   10. Hidupmu berharga

    "Kau baik-baik saja, Renata?" Perempuan berkemeja putih itu mendongak kala bu Mirna, salah satu pengurus panti menepuk pelan bahunya. Bibirnya spontan tersenyum tipis, seolah berkata bahwa ia baik-baik saja, seolah tidak ada yang terjadi pada dirinya. Padahal bekas sayatan yang ia terima satu jam lalu masih begitu membekas."Iya, Bu, aku baik-baik saja." Jawab Renata lembut.Kemudian wanita paruh baya itu menghela napas panjang, lalu duduk tepat di sebelah Renata. Angin malam berhembus kencang, membuat rasa dinginnya menusuk hingga ke tulang. Keduanya duduk di serambi rumah sederhana ditemani langit yang menghitam.Bu Mirna sudah mengenal Renata sejak bayi, sejak perempuan itu ditinggalkan sendirian di depan pintu rumah oleh seseorang. Tanpa surat, tanpa kejelasan. Renata memang telah dewasa, mampu menghidupi dirinya sendiri dan membantu membiayai kebutuhan anak-anak panti. Namun, bu Mirna jelas tahu, Renata hanya perempuan kesepian yang penuh dengan kerapuhan.Senyumnya adalah topeng

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   11. Naya mau mama

    "Mamaaa, aku mau mamaaa!""Papa! Aku mau mama!"Sejak sore Naya tidak berhenti menangis, gadis kecil itu terus memekik mencari Renata yang tiba-tiba meninggalkannya saat mandi. Padahal sudah hampir tengah malam, namun Naya sama sekali belum terlihat kelelahan menyuarakan kesedihannya. Membuat semua orang yang berada di mansion khawatir padanya, terutama Naren yang sama sekali tidak melepaskan Naya dari gendongannya."Iya, sayang, besok Papa akan membawa Naya pada mama ya? Sekarang kita istirahat dulu ya."Rayuan Naren lagi-lagi hanya dibalas gelengan, Naya tetap menangis dan semakin erat memeluk leher lelaki itu. Kakinya berayun kuat karena merasa kesal telah ditinggalkan Renata, suara tangisnya yang parau semakin keras membuat hati Naren sakit setengah mati, sebab sebelumnya Naya tidak pernah sesedih ini. Naya memang kerap menangis saat ia tinggal terlalu lama saat bekerja, namun suara tangisnya tak pernah seputus asa ini. Tangannya perlahan mengusap punggung putrinya lembut, meniman

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   12. Jessica?

    Hari ini matahari terlihat bersinar terang, terasa hangat setelah hujan mengguyur semalaman. Bau tanah yang masih basah bisa dengan jelas tercium, rumput-rumput mengkilau karena basah dan terkena pantulan sinar mentari. Narendra tersenyum begitu putrinya mengerjap beberapa kali karena membiasakan cahaya yang mengganggu penglihatannya. "Selamat pagi, cantiknya Papa." Sapa Naren begitu Naya membuka mata sempurna.Bola matanya yang seperti kacang almond berbinar begitu menyadari hari telah pagi. Tanpa disadari bibir kecil itu tersenyum lebar, kemudian tanpa dikomando melingkarkan kedua tangannya di leher sang papa. Membuat Naren terkekeh dan segera membawa tubuh putrinya itu ke atas pangkuan."Papa sudah janji untuk membawa Naya pada mama, Papa tidak lupa, kan?" Todong Naya. Wajahnya terlihat berseri-seri sekalipun masih jelas terlihat mengantuk."Tidak, sayang. Papa tentu mengingatnya.""Kalau begitu apa boleh Naya tidak ke sekolah hari ini? Naya ingin bersama mama dari pagi." Naren m

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   13. Jangan kabur!

    "Renata!" Perempuan berkemeja hitam itu memberhentikan langkahnya saat menyadari ada seseorang yang memanggilnya. Saat tubuhnya berbalik dan melihat Naren berdiri tak jauh darinya Renata terdiam. Wajahnya berubah panik ketika Naren mulai melangkah mendekatinya."Kau mau ke mana?" Tanya Naren saat sudah berdiri tepat di hadapan Renata.Laki-laki itu menunduk saat menatap Renata, tak seperti biasanya yang selalu menatap lawan bicaranya dengan tajam dan angkuh, kali ini Naren menatap dengan lembut. Tetapi yang ditatap justru menunduk takut, Naren semakin merasa bersalah kala mengingat semua perkataan Nawes pada perempuan tak bersalah ini. "Saya mau ke cafetaria, Pak." Jawab Renata pelan. Dari gelagatnya saja Naren tahu jika perempuan ini tak nyaman berdiri di dekatnya."Ikutlah denganku." Ajak Naren yang langsung membuat Renata mendongak.Matanya melotot karena terkejut dengan tindakan laki-laki itu. Sebelum tangan Naren menyentuh tangannya Renata sudah lebih dulu mundur, membuat lelak

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   14. Nasi goreng udang cumi

    "Mama!" Panggil Naya yang berlari dari dalam sekolah.Gadis kecil itu memeluk kaki Renata erat, seolah ingin menyalurkan rasa rindunya yang teramat. Wajahnya berseri begitu kepalanya mendongak hanya untuk melihat wajah Renata. Bibirnya tersenyum lebar menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi."Mama, Naya kangen sekali." Ujar Naya lagi.Renata tak bisa jika tak tersenyum, dengan lembut ia melepas pelukan Naya pada kakinya. Kemudian mensejajarkan tingginya dengan Naya, tangannya mengusap kepala gadis kecil itu sayang. Mengatakan bahwa ia juga rindu pada Naya dan merasa bersalah karena kemarin pergi tanpa berpamitan."Mama juga rindu Naya. Kok matanya sembab, Naya habis menangis?" Tanya Renata.Saat menyadari mata Naya sedikit sembab dan wajahnya yang sayu. Perempuan itu tanpa menunggu jawaban Naya berangsur menarik tubuh kecil itu, merengkuhnya dalam pelukan hangat. Tanpa ia sadari, Naren yang berdiri tepat di sebelahnya tersenyum tulus melihat interaksinya dengan Naya. "Naya menang

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   15. Makan siang bersama

    "Naya tunggu di sini saja ya, biar Mama yang memasak." Setelah kurang dari satu jam berbelanja, mereka segera pulang ke apartemen Renata. Ini kali pertama bagi Naren masuk ke dalam tempat tinggal kecil Renata. Jelas sangat berbeda dengan tempat tinggalnya yang besar luar biasa. Matanya tak lepas dari seisi penjuru tempat ini, sedikit tidak percaya jika perempuan itu benar-benar hidup secukupnya. Tidak ada banyak perabotan di dalamnya, dapurnya terlihat dari ruang tamu, hanya ada satu kamar tidur dengan kamar mandi di luar. Namun, Naren akui tempat tinggal Renata terasa begitu hangat dan nyaman, semua barangnya ditata rapi membuat sepetak tempat tinggal ini tidak terlihat sempit."Aku mau lihat Mama masak, pliss." Lamunan Naren terpecah begitu mendengar rengekan putrinya, gadis kecil itu berjalan membuntunti Renata yang berangsur menuju dapur membawa semua bahan masakan. Gadis kecilnya terlihat sangat manja, terlihat sangat antusias mengikuti Renata ke dapur untuk melihat perempuan i

Bab terbaru

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   39. Sarapan bersama seperti keluarga

    "Kalian sedang membicarakan apa?" Tanpa di undang Naren datang, lelaki itu turun dengan kemeja yang belum dikancingkan. Dasi dan jas ditenteng, datang dengan raut penuh penasaran. Suara bariton lelaki itu cukup mengejutkan Naya yang masih serius mendengarkan jawaban Renata. Begitu juga Renata yang sama sekali tidak menyadari kedatangan Narendra. "Membicarakan filosofi nasi goreng." Jawab Renata sembarang. Kedua alis Naren menukik tidak percaya, menatap intens pada Renata yang terlihat gugup. Perempuan itu terburu menyelesaikan bekal Naya dan mengalihkan pendangan ke sembarang arah. Naren tidak percaya jika kedua perempuannya membicarakan tentang filosofi nasi goreng dengan wajah yang serius, memangnya apa? "Iya, Papa. Mama sedang memasak nasi goreng untuk sarapan kita." Beruntungnya Naya yang tidak terlalu mengerti bisa berkompromi tanpa diberi tahu. Dan Beruntung Renata memang membuat nasi goreng pagi ini. "Memangnya apa filosofinya?" Naren bertanya sembari mendekat, dud

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   38. Bercakap dengan Mama

    Mereka berpindah menuju wardrop, Renata yang lihai dan sudah terbiasa mengurus anak kecil dengan cekatan memakaian Naya seragamnya yang lucu. Lalu seperti permintaan anak itu, Renata menyisir rambutnya yang halus secara perlahan dan membaginya menjadi dua. Naya memiliki banyak sekali jepit rambut dan kunciran, juga pita-pita yang dibelikan oleh nenek. Perempuan itu dengan lihai menguncir rambut Naya menjadi dua, mengikatnya tanpa menimbulkan rasa sakit di kulit kepala, berbeda dengan nenek yang suka mengikat dengan kencang sehingga kulit kepala gadis kecil itu tertarik dan menimbulkan rasa sakit. Setelah mengikatnua dengan karet, Renata meraih dua buah pita berwarna merah muda. Lantas menalikan pita itu ke dua kunciran sebelumnya. Perempuan itu juga menambahkan dua jepit berbentuk lidi secara sejajar di sebelah kanan. Membuat Naya terlihat lebih manis dengan penampilannya. "Nah, sudah. Coba Naya berkaca." Renata memutar tubuh calon putrinya agar menghadap kaca. "WAHHH, CANTIK SE

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   37. Pagi yang membahagiakan

    "Mama sudah tidak marah kan pada Naya?" Mendengar itu Renata dengan cepat beralih, merapikan anak rambut milik Naya dengan senyuman kecil. "Tidak, Mama tidak pernah marah dengan Naya. Mama minta maaf ya sudah membuat Naya ketakutan." "Mama, Naya senang sekali. Mama tidak akan pergi lagi kan? Mama akan selalu berada di dekat Naya kan? Mama sayang Naya kan?" Pertanyaan ber-rantai itu membuat Renata terkekeh sekaligus sedih. Dia merasa lucu dengan bagaimana wajah Naya ketika bertanya padanya, namun juga merasa sedih sebab ternyata Naya menaruh begitu banyak harapan padanya. Harapan agar dia selalu menyanyanginya dan mencintainya, serta untuk tetap tinggal bersamanya. "Mama tidak akan pergi lagi, apapun yang terjadi, Mama juga akan selalu berada di sisi Naya dan Mama sangat-sangat sayang dengan Naya, Mama mencintai Naya seperti hidup Mama sendiri." "Benarkah? Kalau begitu Naya sangat bahagia mendengarnya. Mama mau janji kelingking dengan Naya?" Gadis kecil itu berbinar s

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   36. Satu kecupan untuk permulaan

    Pagi menjelang dengan tenang, disambut oleh cuitan burung gereja yang terbang melintas dari rumah ke rumah. Hangatnya sinar mentari menandakan dia siap memberi kekuatan bagi siapapun yang akan menjalani aktivitas dengan semangat. Embun-embun yang menempel di pepohonan mulai menetes secara perlahan. Renata merasa Naya semakin terasa erat memeluk perutnya, kepala gadis kecil itu bahkan dengan nyaman disandarkan pada dadanya untuk mencari posisi paling nyaman. Pagi yang sedikit dingin tidak mengganggu Naya untuk tetap terlelap di sebelah Renata. Pada hari-hari biasa, Naya lebih bayak menghabiskan malam sendirian sebab Naren jarang nememaninya tidur. "Sayang, sudah pagi." suara Renata lembut menyapu indra pendengaran. Memberi tahu pada gadis kecilnya jika sudah waktunya untuk melepas pelukan yang terlalu nyaman. "Apa Naya masih sangat mengantuk? Tapi Kau harus berangkat ke sekolah." lanjut Renata dengan sedikit menggoyangkan tubuh Naya. Naya hanya bergumam membalas ucapan Renata,

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   35. Malam panjang

    "Sudah selesai?" Suara bariton itu membuat Renata yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut bukan main. Sebab di sebelah ranjang ada Naren yang berdiri tenang melihat ke arahnya. "Maaf-maaf, aku tidak bermaksud mengagetkanmu." jelasnya terkekeh. "Kau! Bukankan kau bilang akan menunggu di kamar Naya hingga aku selesai membersihkan diri? Kenapa sekarang ada di sini?!" tanya Renata dengan nada yang sedikit tinggi. Dia sedikit panik karena hanya memakai handuk dan dalaman. Kedua tangan wanita itu menyilang di depan dada dan mencoba mengeratkan handuk yang melilit tubuhnya. Naren benar-benar tidak bisa dipercaya! "Kau terlalu lama, aku bosan karena hanya melihat Naya yang tertidur." Jawab si lelaki terlampau santai. "Tapi aku belum ganti baji! Keluar sana!" usir Renata. "Lagian kenapa tidak memakai baju di dalam kamar mandi? Kau sengaja ingin menggodaku ya?" Mendengar itu Renata naik pitam, matanya melotot karena mendengar Naren berbicara kurang ajar padanya. Menggoda katan

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   34. penghujung malam

    "Masuk lah dulu, aku akan menggendong Naya." "Kita masuk bersama saja." Renata keluar dari mobil dan menunggu Naren yang ingin menggendong Naya. Sebab gadis kecil itu sudah terlalu pulas dalam tidurnya sehingga tidak terbangun sama sekali. Mereka berjalan beriringan menuju rumah dengan Renata yang bertugas membuka pintu. Lampu ruang tamu langsung hidup begitu mereka masuk, tidak gelap seperti sebelumnya. Rumah ini cukup luas jika hanya dihuni mereka bertiga, Renata bahkan tidak bisa membayangkan betapa lelahnya jika harus membersihkan rumah sendirian dan merawat Naya secara bersamaan. "Istirahatlah, aku akan membawa Naya ke kamarnya." "Aku tidur dimana?" tanya Renata bingung karena belum tahu harus beristirahat dimana. Barang-barangnya berada di kamar utama, tetapi tidak mungkin dia tidur dengan Naren malam ini. Mereka belum menikah, terlebih Renata baru meminta pembatalan nikah beberapa menit lalu. "Di kamar utama, bersamaku." jawab Naren dengan kedipan sebelah mata. Lelaki i

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   33. kesempatan kedua?

    "Ayo kita pulang." ajak Naren. Lelaki itu berdiri dan mencoba untuk menarik Renata yang masih berjongkok. Dia merasa mereka seperti sepasang kekasih yang masih belasan tahun, sebab orang dewasa tidak mungkin bertengkar di pinggi jalan. Bibir lelaki itu tersenyum kecil, melihat Renata yang berjongkok persis seperti Naya jika sedang menangis. Mereka terlihat sangat mirip. "Aku bisa pulang sendiri." jawab Renata sedikit acuh. Wanita itu menghempaskan tangan Naren yang masih menggenggam tangannya. Wajahnya masam karena kesal bercampur sedih. Renata sepertinya berencana untuk merajuk pada lelaki itu. "Mau pulang ke mana?" "Apartemen." "Itu terlalu jauh dari sini." "Biar saja!" "Dan sudah tidak ada barang-barang milikmu disana." Renata yang sudah berjalan beberapa langkah tiba-tiba terhenti begitu mendengar ucapan Naren. Dia baru teringat jika sudah pindah ke rumah baru Naren sore tadi. Renata meruntuk mengapa dia melupakannya. "Tidak ada pilihan selain pulang bersamaku,

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   32. Kami berbicara

    Naren menurunkam lututnya bertumpu pada tanah. Matanya menatap ke arah Renata yang masih setia menunduk, tidak ada niat untuk membalas tatapannya. Pada keadaan ini Naren tidak bisa memegang kendali ayahnya, apa yang diucapkan pria tua itu Naren tidak bisa mengontrolnya. "Renata, aku minta maaf atas nama ayahku. Kau juga harus tahu jika semua ini di luar kendaliku, aku sangat merasa bersalah padamu atas semua perbuatan tak beradab ayahku. Aku sungguh minta maaf padamu." Salah satu tangan Naren meraih telapak tangan Renata yang terasa begitu dingin. Di genggamnya tangan itu agar kembali hangat, menghalau angin kencang yang menerpa tubuh keduanya. "Aku akan mengabulkan semua keinginanmu, Renata, asal jangan minta aku untuk membatalkan pernikahan kita." "Kalau begitu kau egois, Narendra." Tanpa melepas genggaman tangan Naren, Renata mendongak. Membalas tatapan lelaki dihadapannya dengan tatapan yang sukar diartikan. Naren cukup terkejut ketika Renata memanggilnya hanya dengan nam

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   31. Renata, aku mohon padamu.

    "Papaa, Naya mau mama, hiks." Naya berteriak seraya terus mengejar Renata yang berlari, kakinya sesekali tersenggal karena Renata berlari lebih cepat. Kaki kecilnya tidak bisa mengejar langkah yang besar. Sedangkan Narendra mengejar dari belakang, berusaha untuk menahan putrinya yang benar-benar terlihat kecewa. Dia juga tidak akan melepaskan Renata segampang itu, mereka memang tidak ada perjanjian namun Renata tidak bisa membatalkan pernikahan begitu saja saat sudah ada kesepakatan. Kalau Renata memaksa, Naren juga bisa lebih memaksa. "Naya!" Pekik Naren ketika Naya kembali terjatuh. Dengan langkah lebih cepat, Naren buru-buru menghampiri putrinya. Sedangkan gadis kecil itu, sekalipun kakinya terasa nyeri dia tetap berusaha untuk bangkit dan ingin kembali mengejar Renata. Suara tangisnya semakin pecah begitu melihat Renata yang semakin menjauh tanpa menoleh ke belakang. Di dalam dekap Naren, Naya menangis lebih keras dan meronta-ronta minta untuk dilepaskan. "Papaaa, mamaa

DMCA.com Protection Status