"Kau baik-baik saja, Renata?" Perempuan berkemeja putih itu mendongak kala bu Mirna, salah satu pengurus panti menepuk pelan bahunya. Bibirnya spontan tersenyum tipis, seolah berkata bahwa ia baik-baik saja, seolah tidak ada yang terjadi pada dirinya. Padahal bekas sayatan yang ia terima satu jam lalu masih begitu membekas."Iya, Bu, aku baik-baik saja." Jawab Renata lembut.Kemudian wanita paruh baya itu menghela napas panjang, lalu duduk tepat di sebelah Renata. Angin malam berhembus kencang, membuat rasa dinginnya menusuk hingga ke tulang. Keduanya duduk di serambi rumah sederhana ditemani langit yang menghitam.Bu Mirna sudah mengenal Renata sejak bayi, sejak perempuan itu ditinggalkan sendirian di depan pintu rumah oleh seseorang. Tanpa surat, tanpa kejelasan. Renata memang telah dewasa, mampu menghidupi dirinya sendiri dan membantu membiayai kebutuhan anak-anak panti. Namun, bu Mirna jelas tahu, Renata hanya perempuan kesepian yang penuh dengan kerapuhan.Senyumnya adalah topeng
"Mamaaa, aku mau mamaaa!""Papa! Aku mau mama!"Sejak sore Naya tidak berhenti menangis, gadis kecil itu terus memekik mencari Renata yang tiba-tiba meninggalkannya saat mandi. Padahal sudah hampir tengah malam, namun Naya sama sekali belum terlihat kelelahan menyuarakan kesedihannya. Membuat semua orang yang berada di mansion khawatir padanya, terutama Naren yang sama sekali tidak melepaskan Naya dari gendongannya."Iya, sayang, besok Papa akan membawa Naya pada mama ya? Sekarang kita istirahat dulu ya."Rayuan Naren lagi-lagi hanya dibalas gelengan, Naya tetap menangis dan semakin erat memeluk leher lelaki itu. Kakinya berayun kuat karena merasa kesal telah ditinggalkan Renata, suara tangisnya yang parau semakin keras membuat hati Naren sakit setengah mati, sebab sebelumnya Naya tidak pernah sesedih ini. Naya memang kerap menangis saat ia tinggal terlalu lama saat bekerja, namun suara tangisnya tak pernah seputus asa ini. Tangannya perlahan mengusap punggung putrinya lembut, meniman
Hari ini matahari terlihat bersinar terang, terasa hangat setelah hujan mengguyur semalaman. Bau tanah yang masih basah bisa dengan jelas tercium, rumput-rumput mengkilau karena basah dan terkena pantulan sinar mentari. Narendra tersenyum begitu putrinya mengerjap beberapa kali karena membiasakan cahaya yang mengganggu penglihatannya. "Selamat pagi, cantiknya Papa." Sapa Naren begitu Naya membuka mata sempurna.Bola matanya yang seperti kacang almond berbinar begitu menyadari hari telah pagi. Tanpa disadari bibir kecil itu tersenyum lebar, kemudian tanpa dikomando melingkarkan kedua tangannya di leher sang papa. Membuat Naren terkekeh dan segera membawa tubuh putrinya itu ke atas pangkuan."Papa sudah janji untuk membawa Naya pada mama, Papa tidak lupa, kan?" Todong Naya. Wajahnya terlihat berseri-seri sekalipun masih jelas terlihat mengantuk."Tidak, sayang. Papa tentu mengingatnya.""Kalau begitu apa boleh Naya tidak ke sekolah hari ini? Naya ingin bersama mama dari pagi." Naren m
"Renata!" Perempuan berkemeja hitam itu memberhentikan langkahnya saat menyadari ada seseorang yang memanggilnya. Saat tubuhnya berbalik dan melihat Naren berdiri tak jauh darinya Renata terdiam. Wajahnya berubah panik ketika Naren mulai melangkah mendekatinya."Kau mau ke mana?" Tanya Naren saat sudah berdiri tepat di hadapan Renata.Laki-laki itu menunduk saat menatap Renata, tak seperti biasanya yang selalu menatap lawan bicaranya dengan tajam dan angkuh, kali ini Naren menatap dengan lembut. Tetapi yang ditatap justru menunduk takut, Naren semakin merasa bersalah kala mengingat semua perkataan Nawes pada perempuan tak bersalah ini. "Saya mau ke cafetaria, Pak." Jawab Renata pelan. Dari gelagatnya saja Naren tahu jika perempuan ini tak nyaman berdiri di dekatnya."Ikutlah denganku." Ajak Naren yang langsung membuat Renata mendongak.Matanya melotot karena terkejut dengan tindakan laki-laki itu. Sebelum tangan Naren menyentuh tangannya Renata sudah lebih dulu mundur, membuat lelak
"Mama!" Panggil Naya yang berlari dari dalam sekolah.Gadis kecil itu memeluk kaki Renata erat, seolah ingin menyalurkan rasa rindunya yang teramat. Wajahnya berseri begitu kepalanya mendongak hanya untuk melihat wajah Renata. Bibirnya tersenyum lebar menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi."Mama, Naya kangen sekali." Ujar Naya lagi.Renata tak bisa jika tak tersenyum, dengan lembut ia melepas pelukan Naya pada kakinya. Kemudian mensejajarkan tingginya dengan Naya, tangannya mengusap kepala gadis kecil itu sayang. Mengatakan bahwa ia juga rindu pada Naya dan merasa bersalah karena kemarin pergi tanpa berpamitan."Mama juga rindu Naya. Kok matanya sembab, Naya habis menangis?" Tanya Renata.Saat menyadari mata Naya sedikit sembab dan wajahnya yang sayu. Perempuan itu tanpa menunggu jawaban Naya berangsur menarik tubuh kecil itu, merengkuhnya dalam pelukan hangat. Tanpa ia sadari, Naren yang berdiri tepat di sebelahnya tersenyum tulus melihat interaksinya dengan Naya. "Naya menang
"Naya tunggu di sini saja ya, biar Mama yang memasak." Setelah kurang dari satu jam berbelanja, mereka segera pulang ke apartemen Renata. Ini kali pertama bagi Naren masuk ke dalam tempat tinggal kecil Renata. Jelas sangat berbeda dengan tempat tinggalnya yang besar luar biasa. Matanya tak lepas dari seisi penjuru tempat ini, sedikit tidak percaya jika perempuan itu benar-benar hidup secukupnya. Tidak ada banyak perabotan di dalamnya, dapurnya terlihat dari ruang tamu, hanya ada satu kamar tidur dengan kamar mandi di luar. Namun, Naren akui tempat tinggal Renata terasa begitu hangat dan nyaman, semua barangnya ditata rapi membuat sepetak tempat tinggal ini tidak terlihat sempit."Aku mau lihat Mama masak, pliss." Lamunan Naren terpecah begitu mendengar rengekan putrinya, gadis kecil itu berjalan membuntunti Renata yang berangsur menuju dapur membawa semua bahan masakan. Gadis kecilnya terlihat sangat manja, terlihat sangat antusias mengikuti Renata ke dapur untuk melihat perempuan i
Siang telah berganti malam, itu artinya Naya dan Naren sudah seharusnya pulang. Tapi pasangan ayah dan anak itu justru masih berdiam diri di apartemen Renata dengan nyaman. Tanpa rasa peduli jika si pemilik tidak nyaman dengan keberadaan mereka, lebih tepatnya keberadaan Naren.Laki-laki itu terus menatap Renata tanpa jeda, semua aktivitas perempuan itu tak luput dari pandangan Naren. Interaksi-interaksi Renata dengan Naya jelas membuat Naren tak mampu bicara, kedua perempuan beda generasi itu terlihat sangat cocok menjadi ibu dan anak. Keduanya sedikit mirip dan Renata mampu mengimbangi semua kelakuan putrinya."Naya, browniesnya Mama letakkan di dalam paper bag ya." Kata Renata.Perempuan itu memasukkan sekotak wadah berisi brownies buatannya tadi sore ke dalam paper bag. Lalu membawa paper bag itu untuk diberikan kepada Naren. Agar lelaki itu tidak lupa membawanya saat akan pulang, dan Renata berharap lelaki itu segera membawa Naya untuk pulang. "Iya, Mama, terima kasih, ya." Jawab
"Papa, kapan Papa dan Mama akan menikah?" Celetuk Naya memecah keheningan malam.Naren yang sedang menyetir menoleh sejenak ke arah putrinya yang duduk di jok sebelahnya. Kali ini Naya sama sekali tidak menangis saat di ajak pulang ke rumah karena Naren beralasan jika Naya ingin segera melihat papa dan mama menikah maka ia harus pulang dan tidak menangis. Dengan rasa sedikit kesal Naya akhirnya menurut tanpa menangis."Hmm mungkin bulan depan, kenapa?""Lama sekali, apa tidak bisa minggu depan saja? Naya sudah tidak sabar ingin tidur bersama Mama setiap hari." Rajuk Naya yang membuat Naren tertawa pelan."Kalau ingin cepat Naya harus membantu Papa.""Membantu apa, Papa? Naya mau!" Jawab Naya cepat.Tubuhnya yang bersandar kini berubah condong ke arah Naren, sudah tidak sabar ingin tahu apa itu. Membuat Naren terkekeh di sela kegiatannya menyetir mobil, tingkah Naya sungguh menggemaskan di matanya. Jalanan Surabaya malam ini terasa sangat lengang, tidak seperti malam-malam biasanya yan
"Kalian sedang membicarakan apa?" Tanpa di undang Naren datang, lelaki itu turun dengan kemeja yang belum dikancingkan. Dasi dan jas ditenteng, datang dengan raut penuh penasaran. Suara bariton lelaki itu cukup mengejutkan Naya yang masih serius mendengarkan jawaban Renata. Begitu juga Renata yang sama sekali tidak menyadari kedatangan Narendra. "Membicarakan filosofi nasi goreng." Jawab Renata sembarang. Kedua alis Naren menukik tidak percaya, menatap intens pada Renata yang terlihat gugup. Perempuan itu terburu menyelesaikan bekal Naya dan mengalihkan pendangan ke sembarang arah. Naren tidak percaya jika kedua perempuannya membicarakan tentang filosofi nasi goreng dengan wajah yang serius, memangnya apa? "Iya, Papa. Mama sedang memasak nasi goreng untuk sarapan kita." Beruntungnya Naya yang tidak terlalu mengerti bisa berkompromi tanpa diberi tahu. Dan Beruntung Renata memang membuat nasi goreng pagi ini. "Memangnya apa filosofinya?" Naren bertanya sembari mendekat, dud
Mereka berpindah menuju wardrop, Renata yang lihai dan sudah terbiasa mengurus anak kecil dengan cekatan memakaian Naya seragamnya yang lucu. Lalu seperti permintaan anak itu, Renata menyisir rambutnya yang halus secara perlahan dan membaginya menjadi dua. Naya memiliki banyak sekali jepit rambut dan kunciran, juga pita-pita yang dibelikan oleh nenek. Perempuan itu dengan lihai menguncir rambut Naya menjadi dua, mengikatnya tanpa menimbulkan rasa sakit di kulit kepala, berbeda dengan nenek yang suka mengikat dengan kencang sehingga kulit kepala gadis kecil itu tertarik dan menimbulkan rasa sakit. Setelah mengikatnua dengan karet, Renata meraih dua buah pita berwarna merah muda. Lantas menalikan pita itu ke dua kunciran sebelumnya. Perempuan itu juga menambahkan dua jepit berbentuk lidi secara sejajar di sebelah kanan. Membuat Naya terlihat lebih manis dengan penampilannya. "Nah, sudah. Coba Naya berkaca." Renata memutar tubuh calon putrinya agar menghadap kaca. "WAHHH, CANTIK SE
"Mama sudah tidak marah kan pada Naya?" Mendengar itu Renata dengan cepat beralih, merapikan anak rambut milik Naya dengan senyuman kecil. "Tidak, Mama tidak pernah marah dengan Naya. Mama minta maaf ya sudah membuat Naya ketakutan." "Mama, Naya senang sekali. Mama tidak akan pergi lagi kan? Mama akan selalu berada di dekat Naya kan? Mama sayang Naya kan?" Pertanyaan ber-rantai itu membuat Renata terkekeh sekaligus sedih. Dia merasa lucu dengan bagaimana wajah Naya ketika bertanya padanya, namun juga merasa sedih sebab ternyata Naya menaruh begitu banyak harapan padanya. Harapan agar dia selalu menyanyanginya dan mencintainya, serta untuk tetap tinggal bersamanya. "Mama tidak akan pergi lagi, apapun yang terjadi, Mama juga akan selalu berada di sisi Naya dan Mama sangat-sangat sayang dengan Naya, Mama mencintai Naya seperti hidup Mama sendiri." "Benarkah? Kalau begitu Naya sangat bahagia mendengarnya. Mama mau janji kelingking dengan Naya?" Gadis kecil itu berbinar s
Pagi menjelang dengan tenang, disambut oleh cuitan burung gereja yang terbang melintas dari rumah ke rumah. Hangatnya sinar mentari menandakan dia siap memberi kekuatan bagi siapapun yang akan menjalani aktivitas dengan semangat. Embun-embun yang menempel di pepohonan mulai menetes secara perlahan. Renata merasa Naya semakin terasa erat memeluk perutnya, kepala gadis kecil itu bahkan dengan nyaman disandarkan pada dadanya untuk mencari posisi paling nyaman. Pagi yang sedikit dingin tidak mengganggu Naya untuk tetap terlelap di sebelah Renata. Pada hari-hari biasa, Naya lebih bayak menghabiskan malam sendirian sebab Naren jarang nememaninya tidur. "Sayang, sudah pagi." suara Renata lembut menyapu indra pendengaran. Memberi tahu pada gadis kecilnya jika sudah waktunya untuk melepas pelukan yang terlalu nyaman. "Apa Naya masih sangat mengantuk? Tapi Kau harus berangkat ke sekolah." lanjut Renata dengan sedikit menggoyangkan tubuh Naya. Naya hanya bergumam membalas ucapan Renata,
"Sudah selesai?" Suara bariton itu membuat Renata yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut bukan main. Sebab di sebelah ranjang ada Naren yang berdiri tenang melihat ke arahnya. "Maaf-maaf, aku tidak bermaksud mengagetkanmu." jelasnya terkekeh. "Kau! Bukankan kau bilang akan menunggu di kamar Naya hingga aku selesai membersihkan diri? Kenapa sekarang ada di sini?!" tanya Renata dengan nada yang sedikit tinggi. Dia sedikit panik karena hanya memakai handuk dan dalaman. Kedua tangan wanita itu menyilang di depan dada dan mencoba mengeratkan handuk yang melilit tubuhnya. Naren benar-benar tidak bisa dipercaya! "Kau terlalu lama, aku bosan karena hanya melihat Naya yang tertidur." Jawab si lelaki terlampau santai. "Tapi aku belum ganti baji! Keluar sana!" usir Renata. "Lagian kenapa tidak memakai baju di dalam kamar mandi? Kau sengaja ingin menggodaku ya?" Mendengar itu Renata naik pitam, matanya melotot karena mendengar Naren berbicara kurang ajar padanya. Menggoda katan
"Masuk lah dulu, aku akan menggendong Naya." "Kita masuk bersama saja." Renata keluar dari mobil dan menunggu Naren yang ingin menggendong Naya. Sebab gadis kecil itu sudah terlalu pulas dalam tidurnya sehingga tidak terbangun sama sekali. Mereka berjalan beriringan menuju rumah dengan Renata yang bertugas membuka pintu. Lampu ruang tamu langsung hidup begitu mereka masuk, tidak gelap seperti sebelumnya. Rumah ini cukup luas jika hanya dihuni mereka bertiga, Renata bahkan tidak bisa membayangkan betapa lelahnya jika harus membersihkan rumah sendirian dan merawat Naya secara bersamaan. "Istirahatlah, aku akan membawa Naya ke kamarnya." "Aku tidur dimana?" tanya Renata bingung karena belum tahu harus beristirahat dimana. Barang-barangnya berada di kamar utama, tetapi tidak mungkin dia tidur dengan Naren malam ini. Mereka belum menikah, terlebih Renata baru meminta pembatalan nikah beberapa menit lalu. "Di kamar utama, bersamaku." jawab Naren dengan kedipan sebelah mata. Lelaki i
"Ayo kita pulang." ajak Naren. Lelaki itu berdiri dan mencoba untuk menarik Renata yang masih berjongkok. Dia merasa mereka seperti sepasang kekasih yang masih belasan tahun, sebab orang dewasa tidak mungkin bertengkar di pinggi jalan. Bibir lelaki itu tersenyum kecil, melihat Renata yang berjongkok persis seperti Naya jika sedang menangis. Mereka terlihat sangat mirip. "Aku bisa pulang sendiri." jawab Renata sedikit acuh. Wanita itu menghempaskan tangan Naren yang masih menggenggam tangannya. Wajahnya masam karena kesal bercampur sedih. Renata sepertinya berencana untuk merajuk pada lelaki itu. "Mau pulang ke mana?" "Apartemen." "Itu terlalu jauh dari sini." "Biar saja!" "Dan sudah tidak ada barang-barang milikmu disana." Renata yang sudah berjalan beberapa langkah tiba-tiba terhenti begitu mendengar ucapan Naren. Dia baru teringat jika sudah pindah ke rumah baru Naren sore tadi. Renata meruntuk mengapa dia melupakannya. "Tidak ada pilihan selain pulang bersamaku,
Naren menurunkam lututnya bertumpu pada tanah. Matanya menatap ke arah Renata yang masih setia menunduk, tidak ada niat untuk membalas tatapannya. Pada keadaan ini Naren tidak bisa memegang kendali ayahnya, apa yang diucapkan pria tua itu Naren tidak bisa mengontrolnya. "Renata, aku minta maaf atas nama ayahku. Kau juga harus tahu jika semua ini di luar kendaliku, aku sangat merasa bersalah padamu atas semua perbuatan tak beradab ayahku. Aku sungguh minta maaf padamu." Salah satu tangan Naren meraih telapak tangan Renata yang terasa begitu dingin. Di genggamnya tangan itu agar kembali hangat, menghalau angin kencang yang menerpa tubuh keduanya. "Aku akan mengabulkan semua keinginanmu, Renata, asal jangan minta aku untuk membatalkan pernikahan kita." "Kalau begitu kau egois, Narendra." Tanpa melepas genggaman tangan Naren, Renata mendongak. Membalas tatapan lelaki dihadapannya dengan tatapan yang sukar diartikan. Naren cukup terkejut ketika Renata memanggilnya hanya dengan nam
"Papaa, Naya mau mama, hiks." Naya berteriak seraya terus mengejar Renata yang berlari, kakinya sesekali tersenggal karena Renata berlari lebih cepat. Kaki kecilnya tidak bisa mengejar langkah yang besar. Sedangkan Narendra mengejar dari belakang, berusaha untuk menahan putrinya yang benar-benar terlihat kecewa. Dia juga tidak akan melepaskan Renata segampang itu, mereka memang tidak ada perjanjian namun Renata tidak bisa membatalkan pernikahan begitu saja saat sudah ada kesepakatan. Kalau Renata memaksa, Naren juga bisa lebih memaksa. "Naya!" Pekik Naren ketika Naya kembali terjatuh. Dengan langkah lebih cepat, Naren buru-buru menghampiri putrinya. Sedangkan gadis kecil itu, sekalipun kakinya terasa nyeri dia tetap berusaha untuk bangkit dan ingin kembali mengejar Renata. Suara tangisnya semakin pecah begitu melihat Renata yang semakin menjauh tanpa menoleh ke belakang. Di dalam dekap Naren, Naya menangis lebih keras dan meronta-ronta minta untuk dilepaskan. "Papaaa, mamaa