Share

3. Pulang bersama

Penulis: Reaa Hamida
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Pukul empat sore tepat, Renata menutup laptop serta merapikan berkas-berkas penting yang harus ia lanjutkan besok. Perempuan itu meregangkan badan karena terlalu lama duduk, dilihatnya Naya yang tertidur di atas sofa dengan ponsel miliknya yang menyala digenggaman.

Renata meminjamkannya sebab Naya merengek kebosanan, tidak ada buku gambar, tidak ada buku cerita maka Naya meminjam ponsel untuk menonton kartun.

Renata beranjak menghampiri Naya, melihat balita itu yang tidur nyenyak membuat Renata tidak tega membangunkannya. Anak manis yang sangat berbeda saat terbangun, terlihat begitu polos dengan wajah cantik jelita, Renata baru sadar jika Naya mirip dengan Narendra. Seperti Narendra versi perempuan.

Renata meraih ponselnya untuk disimpan, lalu tanpa berpikir panjang menarik Naya agar anak itu tertidur dalam gendongannya. Renata tidak mungkin meninggalkan Naya sendirian di ruangan sebesar ini hingga Naren menjemputnya.

"Mama...." Gumam Naya saat tidurnya terusik, balita itu tanpa ragu mengalungkan tangannya pada leher Renata, menumpukan kepalanya pada bahu Renata lalu kembali memejamkan mata.

Renata tanpa ragu megusap punggung Naya agar balita itu lebih nyaman saat tertidur dalam gendongannya.

"Renata!" Panggilan itu membuat Renata berbalik, dalam jarak lima langkah berdiri sosok Naren yang kini menatapnya.

Lelaki itu dengan segera berjalan ke arah Renata, "saya baru saja ingin ke ruangan kamu." Kata Naren.

"Oh, maaf pak, baru saja saya ingin mengantar Naya ke ruangan bapak." Renata mendekat, lalu dengan tatapannya ia mengkode Naren agar mengambil alih Naya dari gendongannya.

"Ah, sini biar saya yang gendong Naya." Naren merengkuh daksa putrinya, menggendong seperti biasa saat Naya tertidur.

"Renata, terima kasih sudah menjaga Naya hari ini." Naren cukup tahu diri untuk berterima kasih sebab pekerjaan Renata di perusahaannya adalah sebagai kepala devisi, bukan sebagai baby sitter putrinya.

"Sama-sama, pak, kalau begitu saya pamit." Renata sedikit membungkuk untuk pamit, dia tidak mungkin pergi begitu saja terlebih yang berdiri di hadapannya adalah Narendra.

"Renata, tunggu." Panggil Naren yang kini berjalan menghampiri Renata.

"Ya?"

"Kalau boleh, biar saya antarkan kamu pulang, hanya sebagai tanda terima kasih karena sudah menjaga Naya." Ajak Naren tulus. Lelaki itu memang tidak mengenal Renata, tapi ia tahu Renata adalah perempuan yang baik. Maka tanpa ragu Naren menawarinya untuk pulang bersama.

"Terima kasih atas tawarannya, pak Naren, tapi saya bisa pulang sendiri." Renata membungkuk sekali lagi sebagai salam perpisahan, lalu berjalan menjauhi Naren yang masih menatapnya.

Renata masih waras untuk tidak menerima tawaran pulang bersama Naren, ia tidak ingin besok muncul gosip tentangnya yang menyebar. Mungkin gosip murahan tidak akan mempan bagi Naren, tapi cukup membuatnya ditatap dengki oleh beberapa teman divisinya yang justru membuatnya tidak nyaman. Renata hanya ingin bekerja dengan tenang dan nyaman, ia tidak mau dirugikan.

Naren menatap langkah Renata yang semakin menjauh, perempuan itu berbeda dari perempuan lain yang justru sering modus untuk di antar pulang.

"Papa...." Naren menunduk untuk melihat putrinya, "kenapa?" Naya yang mulai terbangun kini menegakkan tubuhnya, menguap dan mengusap matanya yang lengket.

Balita itu melihat sekelilingnya dengan tatapan bingung, "kamu mencari apa Naya?" Naren bertanya.

"Mana mamaku, papa? Aku ingin pulang bersama mama." Naya yang belum sepenuhnya sadar dari rasa kantuk langsung berubah panik. Bibirnya melengkung ke bawah karena tidak menemukan keberadaan Renata di dekatnya, padahal Naya ingat beberapa menit lalu ia berada dalam gendongan perempuan itu.

"Tante Renata sudah pulang, Naya. Jika ingin bertemu besok ikutlah dengan papa ke kantor." Naren merayu putrinya agar tidak menangis. Namun itu percuma, sebab mata Naya langsung berkaca-kaca.

"Mau mama...." Dan tangisnya pecah, Naya memeluk leher sang papa, menangis keras karena ingin bersama Renata.

"Naya, tante Renata sudah pulang, kita temui besok ya?" Naya tetap menggeleng, "Aku mau mama! Jangan panggil tante, itu mamaku!"

"Baiklah, kita cari mama Renata, sudah jangan menangis sayang." Naren berjalan dengan langkah cepat menuju mobilnya yang telah terparkir rapi di lobby. Segera meletakkan Naya pada kursi penumpang saat pintu dibukakan oleh petugas valet.

Naren memutar, duduk di kursi kemudi karena jika dia pergi bersama Naya, Naren tidak akan meminta supir. Lelaki itu melajukan mobil pelan, berharap menemukan sosok Renata yang seharusnya belum terlalu jauh.

Naren tidak mungkin membiarkan putrinya terus menangis hingga kelelahan hanya karena ingin pulang bersama Renata. Beruntungnya Naren menemukan sosok perempuan itu tengah duduk di halte, mungkin sedang menunggu bus.

"MAMA." Panggil Naya keras saat Naren membuka kaca jendela, Renata tampak jelas terkejut dengan panggilan Naya. Menatap khawatir sebab wajah Naya yang terlihat memerah serta tangisan yang belum berhenti.

Renata beranjak untuk menghampiri mobil itu, "kenapa Naya?" Tanyanya begitu tepat di hadapan Naya yang menangis.

"Aku ingin pulang bersama mama hikss..." Mohon Naya yang kini mencoba meraih tubuh Renata.

"Renata, ayo pulang bersama kami, Naya menangis saat sadar tidak ada kamu di sisinya."

Renata tampak terdiam sejenak, ia bimbang untuk menerima tawaran itu. Renata takut ada seseorang yang mengenalnya lalu akan membuat gosip yang tidak-tidak.

"Mama...." Namun rengekan itu kembali membuat Renata melunak, dengan berat hati ia mengangguk. Saat Renata setuju untuk pulang bersamanya Naya tersenyum lebar dengan sisa-sisa tangisan.

"Ayo duduk bersamaku, mama. Naya ingin memeluk mama." Tanpa berpikir lama Renata segera duduk di kursi penumpang sebelah Naren dengan Naya di atas pangkuannya.

Balita itu duduk menghadap dirinya dan menyandarkan kepala di dadanya, memeluk erat seolah takut Renata akan meninggalkannya lagi. Renata hanya berharap semoga Naya tidak sadar dengan detak jantungnya yang begitu cepat, jujur saja satu mobil dengan Naren bukanlah sesuatu yang pernah ia duga.

"Kau tinggal di mana, Renata?" Tanya Naren setelah hening yang lumayan lama. Lelaki itu melajukan mobil dengan kecepatan stabil.

"Saya tinggal di gedung Aster di jalan Pandjaitan, pak." Naren mengangguk paham.

Sesekali Naren melirik putrinya yang duduk di atas pangkuan dengan sangat nyaman. Bibirnya tersenyum lebar saat melihat Naya yang begitu bahagia, apalagi saat matanya tidak sengaja menangkap Renata yang mengusap punggung putrinya agar tenang.

"Mama, bagaimana kalau kau tinggal bersamaku? Aku kesepian setiap malam karena papa selalu sibuk dengan pekerjaannya, mau ya?" Pinta Naya yang membuat Naren serta Renata sama terkejutnya.

"Naya, kau tidak boleh seperti itu." Sanggah Naren mencoba menghentikan Naya yang semakin menjadi-jadi.

"Kenapa? Apa mama tidak boleh tinggal bersamaku? Papa tidak mau melihatku bahagia?" Ucap Naya dramatis. Balita itu langsung duduk tegak dan menatap tajam sang papa.

"Buka begitu Naya, kau tidak bisa membawa seseorang untuk tinggal bersama dengan paksa." Ujar Naren memberi pengertian. Naren hanya tidak ingin Renata menjadi tak nyaman karena sikap putrinya.

"Aku tidak memaksa, aku menawari mama. Mama mau kan tinggal bersamaku? Jangan pikirkan papa, papa tidak akan berani melukaimu. Aku akan menjagamu ma, jadi ayo tinggallah bersamaku." Rayu Naya lagi, Naren menghela napas saat putrinya mendesak orang lain tanpa memikirkannperasaannya. Naya selalu mendapatkan apa yang ia mau, semua ucapan Naya adalah mutlak bagi Narendra.

"Eh? Maaf Naya, tante-"

"Mama!" Sela Naya saat Renata memanggil dirinya sendiri dengan sebutan tante.

"Iya, mama, maaf ya Naya mama tidak bisa tinggal bersamamu."

"Kenapa? Mama tidak menyayangiku?" Renata semakin bingung, ia rasa Naya sudah tidak tertolong. Pertama, memanggilnya mama tanpa persetujuan, kedua memaksanya untuk tinggal bersama, lalu sekarang dengan tiba-tiba bertanya apakah ia menyayanginya atau tidak.

"Naya, papa sudah bilang jangan memaksa." Naren dengan lembut mencekal tangan Naya, mencoba memberi pengertian jika apa yang Naya mau tidak selalu bisa di dapat.

"Kalian tidak menyayangiku!"

Renata menatap Naren tak enak, seolah berkata, "bagaimana ini, pak?" Di satu sisi Renata tidak mungkin menuruti permintaan Naya kali ini, ia tidak mungkin serumah dengan bosnya sendiri. Tapi melihat Naya yang kembali bersedih, Renata tidak tega.

"Baiklah, papa tidak masalah mama Renata tinggal bersama kita, asal mama tidak terpaksa melakukannya." Di luar dugaan justru Naren menyetujui rencana putrinya.

Renata melotot dengan spontan ke arah Naren, menuntut penjelasan sebab alasannya semakin mendesaknya untuk tinggal bersama. Renata tidak mungkin melakukannya, dia hanya orang asing yang kebetulan bertemu Naya di cafetaria bukan seseorang yang telah lama kenal dengan mereka.

"Yeay!! Ayo mama kita tidur bersama!" Renata tersenyum paksa saat melihat Naya bersorak bahagia.

Apa dia benar-benar harus melakukannya?

Bersambung~

Bab terkait

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   4. Pindah ke rumah Naya

    Sesampainya mereka di apartemen Renata, Naya sama sekali tidak melepaskan pelukannya. Balita itu cenderung mengunci pergerakan Renata agar tidak menjauh darinya. Naren sendiri kuwalahan dengan kelakuan putrinya yang sangat aneh hari ini."Naya, lepaskan mama. Kau tidak bisa memeluknya terus menerus." Naren mencoba menarik putrinya yang masih duduk di atas pangkuan Renata. Balita itu menggeleng keras, semakin mengeratkan pelukannya hingga Renata terdesak antara tubuh Naya dan jok mobil. "Aku akan melepaskan mama jika mama berjanji akan pindah ke rumah kita, papa." Naren kembali menghela napas mendengar itu, putrinya yang pintar tidak akan mudah dibodohi. Lelaki itu beralih pada Renata yang terlihat tidak nyaman. Ya bagaimana bisa seseorang setuju begitu saja dengan ajakan konyol seorang bocah, sekalipun itu adalah anak bosnya sendiri Renata tetap tidak bisa gegabah."Renata, tolong saya, ya?" Pinta Naren pada akhirnya, mereka tidak mungkin terus-terusan seperti ini. Mungkin seiring be

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   5. Negosiasi

    Malam ini Renata jelas tidak bisa tidur, tengah malam di sebuah kamar yang asing membuatnya susah untuk terlelap. Bukan karena tidak nyaman, justru kamar ini sangat nyaman dan hangat, berbeda dengan unit apartemennya. Di sisinya Naya sudah terlelap dengan nyenyak, anak itu tidur lebih cepat dari biasanya, begitu kaya Aldeis. Renata menatap wajah damai Naya yang terlihat begitu cantik bahkan saat tertidur, namun juga merasa iba sebab Naya tidak memiliki seorang ibu. Naya dan dirinya hampir mirip, sama-sama tidak memiliki seorang ibu. Bedanya Renata tumbuh besar di panti asuhan dengan keterbatasan dan Naya hidup bergelimang harta dan memiliki keluarga yang menyayanginya. "Aku juga akan menjagamu, Naya." Janji Renata dalam keheningan malam yang bahkan tidak bisa didengar oleh Naya. Perempuan itu tersenyum tipis sebelum akhirnya beranjak dari ranjang, ia haus dan ingin pergi ke dapur untuk minum. Perempuan itu menatap pintu kamar yang terletak di depannya, itu kamar Narendra. Sekeleba

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   6. Naren yang bodoh

    "Good Morning, mama." Gumam Naya pelan tepat di hadapan Renata saat perempuan itu baru saja membuka mata. Renata terkekeh saat Naya memeluknya, menyembunyikan wajah di ceruk lehernya dengan manja. "Naya sudah bangun dari tadi?" Renata menggulir posisinya menjadi miring karena Naya memeluknya dari atas. "Hu.um, Naya menunggu mama bangun. Mama nyenyak sekali tidurnya." "Seharusnya kamu membangunkan mama." "Tapi ini masih terlalu pagi untuk bangun, mama. Naya terbangun lebih awal karena khawatir mama akan pergi sebelum Naya membuka mata." Renata melirik jam dinding yang ternyata masih menunjukkan pukul 5 pagi. Pantas saja di luar masih terlihat gelap. Tapi Naya sudah terlihat segar tanpa kantuk. "Mama tidak akan pergi tanpa pamit, cantik." Mendengarnya Naya semakin mengeratkan pelukan."Langitnya masih gelap. Apa Naya mau kembali tidur?" Tanya Renata sembari mengusap wajah Naya. Gadis kecil itu menatapnya berbinar lewat bola mata yang seperti kacang almond."Tidak, Naya ingin memelu

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   7. Menolak?

    "Mama, suapin aku ya." Naya yang duduk di sebelah Renata merengek. Gadis kecil itu memegang lengannya dan digoyang-goyangkan."Naya, makan sendiri sarapanmu, kamu bukan lagi bayi." Titah Naren tegas pada Naya. Lelaki itu baru saja duduk dan langsung mendengar Naya merengek."Apasih, aku kan minta pada mama kenapa papa yang sewot?" Naya menatap sinis ke arah sang papa."Naya-" "Tidak apa-apa, sini mama suapin." Belum sempat Naren mengeluarkan kata-kata mutiara Renata lebih dulu menyela. Perempuan itu tidak ingin Naya dan Naren berdebat di depan makanan, tidak sopan.Naren menghela napas kesal saat Naya menatapnya meremehkan, seolah berkata jika apapun yang ia inginkan pasti ia dapatkan termasuk perhatian dari Renata. Di sebelahnya Aldeis hanya terkekeh melihat putranya tak lagi berkutik. Sudah tahu Naya adalah ratu di rumah ini masih saja di lawan."Pelan-pelan mengunyahnya, agar tidak tersedak." Ingat Renata. Sesekali perempuan itu mengusap sudut bibir Naya yang belepotan, tanpa ris

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   8. Es krim sepulang sekolah

    "Narendra, jangan melamun saat menyetir!" Sentak Aldeis saat putra tunggalnya itu hampir menabrak mobil lain."Maaf, Ma.""Kau ini memikirkan apa? Tidak biasanya kau seperti ini." Narendra menggeleng, ia tidak mungkin mengatakan jika tawarannya baru saja ditolak oleh Renata. Bisa-bisa sang mama menertawakannya."Aku hanya kelelahan." Jawab Naren.Aldeis yang duduk di sebelah Naren memincing tidak percaya, sebab jika putranya tengah kelelahan laki-laki itu pasti akan meminta sopir untuk mengantar."Oh ya, bagaimana tawaran bodohmu itu? Apa Renata menerimanya?"Narendra berdecak dalam hati, mengapa sang mama harus mengingat soal itu sekarang. Lelaki itu melirik tanpa menjawab, membuat Aldeis tersenyum miring sebab ia paham hanya dengan raut sebal putranya."Hahaha, apa Mama bilang, Renata itu perempuan baik-baik, dia tidak akan menerima kekonyolanmu."Naren mendengus, sisa sebalnya belum hilang karena tawarannya di tolak."Sudahlah, nikahi saja Renata, dia akan menjadi ibu yang baik unt

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   9. Dia perempuan tidak jelas!

    "Mama akan menginap lagi kan? Semalam aku tidur sangat nyenyak karena Mama yang menemani."Naya mendongak untuk menatap Renata yang berjalan di sebelahnya. Sepulang dari kedai es krim keduanya hanya berdiam diri di apartemen Renata. Tidak pergi ke sesuatu tempat karena hari ini cuaca sangat panas, Renata takut Naya akan ruam-ruam jika terkena panas.Tetapi berdiam diri di apartemen tidak terlalu buruk, justru lebih menyenangkan ketimbang berdiam diri di ruangan papa dan menunggu papa menyelesaikan pekerjaan. Naya tidak mati kebosanan karena Renata selalu mengajaknya mengobrol, dan Naya dengan senang hati menceritakan tentang Aruni yang alergi kacang lalu Jarvis yang takut belalang padahal laki-laki. Kemudian saat jam makan siang, Naya dihadiahi sepiring spaghetti carbonara buatan Renata yang rasanya sangat lezat, melebihi rasa spagetti di restoran favorit papa. Naya tidak bisa lagi membendung rasa bahagianya, sebab hari ini ia benar-benar merasa telah memiliki seorang mama. "Hai Naya

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   10. Hidupmu berharga

    "Kau baik-baik saja, Renata?" Perempuan berkemeja putih itu mendongak kala bu Mirna, salah satu pengurus panti menepuk pelan bahunya. Bibirnya spontan tersenyum tipis, seolah berkata bahwa ia baik-baik saja, seolah tidak ada yang terjadi pada dirinya. Padahal bekas sayatan yang ia terima satu jam lalu masih begitu membekas."Iya, Bu, aku baik-baik saja." Jawab Renata lembut.Kemudian wanita paruh baya itu menghela napas panjang, lalu duduk tepat di sebelah Renata. Angin malam berhembus kencang, membuat rasa dinginnya menusuk hingga ke tulang. Keduanya duduk di serambi rumah sederhana ditemani langit yang menghitam.Bu Mirna sudah mengenal Renata sejak bayi, sejak perempuan itu ditinggalkan sendirian di depan pintu rumah oleh seseorang. Tanpa surat, tanpa kejelasan. Renata memang telah dewasa, mampu menghidupi dirinya sendiri dan membantu membiayai kebutuhan anak-anak panti. Namun, bu Mirna jelas tahu, Renata hanya perempuan kesepian yang penuh dengan kerapuhan.Senyumnya adalah topeng

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   11. Naya mau mama

    "Mamaaa, aku mau mamaaa!""Papa! Aku mau mama!"Sejak sore Naya tidak berhenti menangis, gadis kecil itu terus memekik mencari Renata yang tiba-tiba meninggalkannya saat mandi. Padahal sudah hampir tengah malam, namun Naya sama sekali belum terlihat kelelahan menyuarakan kesedihannya. Membuat semua orang yang berada di mansion khawatir padanya, terutama Naren yang sama sekali tidak melepaskan Naya dari gendongannya."Iya, sayang, besok Papa akan membawa Naya pada mama ya? Sekarang kita istirahat dulu ya."Rayuan Naren lagi-lagi hanya dibalas gelengan, Naya tetap menangis dan semakin erat memeluk leher lelaki itu. Kakinya berayun kuat karena merasa kesal telah ditinggalkan Renata, suara tangisnya yang parau semakin keras membuat hati Naren sakit setengah mati, sebab sebelumnya Naya tidak pernah sesedih ini. Naya memang kerap menangis saat ia tinggal terlalu lama saat bekerja, namun suara tangisnya tak pernah seputus asa ini. Tangannya perlahan mengusap punggung putrinya lembut, meniman

Bab terbaru

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   39. Sarapan bersama seperti keluarga

    "Kalian sedang membicarakan apa?" Tanpa di undang Naren datang, lelaki itu turun dengan kemeja yang belum dikancingkan. Dasi dan jas ditenteng, datang dengan raut penuh penasaran. Suara bariton lelaki itu cukup mengejutkan Naya yang masih serius mendengarkan jawaban Renata. Begitu juga Renata yang sama sekali tidak menyadari kedatangan Narendra. "Membicarakan filosofi nasi goreng." Jawab Renata sembarang. Kedua alis Naren menukik tidak percaya, menatap intens pada Renata yang terlihat gugup. Perempuan itu terburu menyelesaikan bekal Naya dan mengalihkan pendangan ke sembarang arah. Naren tidak percaya jika kedua perempuannya membicarakan tentang filosofi nasi goreng dengan wajah yang serius, memangnya apa? "Iya, Papa. Mama sedang memasak nasi goreng untuk sarapan kita." Beruntungnya Naya yang tidak terlalu mengerti bisa berkompromi tanpa diberi tahu. Dan Beruntung Renata memang membuat nasi goreng pagi ini. "Memangnya apa filosofinya?" Naren bertanya sembari mendekat, dud

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   38. Bercakap dengan Mama

    Mereka berpindah menuju wardrop, Renata yang lihai dan sudah terbiasa mengurus anak kecil dengan cekatan memakaian Naya seragamnya yang lucu. Lalu seperti permintaan anak itu, Renata menyisir rambutnya yang halus secara perlahan dan membaginya menjadi dua. Naya memiliki banyak sekali jepit rambut dan kunciran, juga pita-pita yang dibelikan oleh nenek. Perempuan itu dengan lihai menguncir rambut Naya menjadi dua, mengikatnya tanpa menimbulkan rasa sakit di kulit kepala, berbeda dengan nenek yang suka mengikat dengan kencang sehingga kulit kepala gadis kecil itu tertarik dan menimbulkan rasa sakit. Setelah mengikatnua dengan karet, Renata meraih dua buah pita berwarna merah muda. Lantas menalikan pita itu ke dua kunciran sebelumnya. Perempuan itu juga menambahkan dua jepit berbentuk lidi secara sejajar di sebelah kanan. Membuat Naya terlihat lebih manis dengan penampilannya. "Nah, sudah. Coba Naya berkaca." Renata memutar tubuh calon putrinya agar menghadap kaca. "WAHHH, CANTIK SE

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   37. Pagi yang membahagiakan

    "Mama sudah tidak marah kan pada Naya?" Mendengar itu Renata dengan cepat beralih, merapikan anak rambut milik Naya dengan senyuman kecil. "Tidak, Mama tidak pernah marah dengan Naya. Mama minta maaf ya sudah membuat Naya ketakutan." "Mama, Naya senang sekali. Mama tidak akan pergi lagi kan? Mama akan selalu berada di dekat Naya kan? Mama sayang Naya kan?" Pertanyaan ber-rantai itu membuat Renata terkekeh sekaligus sedih. Dia merasa lucu dengan bagaimana wajah Naya ketika bertanya padanya, namun juga merasa sedih sebab ternyata Naya menaruh begitu banyak harapan padanya. Harapan agar dia selalu menyanyanginya dan mencintainya, serta untuk tetap tinggal bersamanya. "Mama tidak akan pergi lagi, apapun yang terjadi, Mama juga akan selalu berada di sisi Naya dan Mama sangat-sangat sayang dengan Naya, Mama mencintai Naya seperti hidup Mama sendiri." "Benarkah? Kalau begitu Naya sangat bahagia mendengarnya. Mama mau janji kelingking dengan Naya?" Gadis kecil itu berbinar s

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   36. Satu kecupan untuk permulaan

    Pagi menjelang dengan tenang, disambut oleh cuitan burung gereja yang terbang melintas dari rumah ke rumah. Hangatnya sinar mentari menandakan dia siap memberi kekuatan bagi siapapun yang akan menjalani aktivitas dengan semangat. Embun-embun yang menempel di pepohonan mulai menetes secara perlahan. Renata merasa Naya semakin terasa erat memeluk perutnya, kepala gadis kecil itu bahkan dengan nyaman disandarkan pada dadanya untuk mencari posisi paling nyaman. Pagi yang sedikit dingin tidak mengganggu Naya untuk tetap terlelap di sebelah Renata. Pada hari-hari biasa, Naya lebih bayak menghabiskan malam sendirian sebab Naren jarang nememaninya tidur. "Sayang, sudah pagi." suara Renata lembut menyapu indra pendengaran. Memberi tahu pada gadis kecilnya jika sudah waktunya untuk melepas pelukan yang terlalu nyaman. "Apa Naya masih sangat mengantuk? Tapi Kau harus berangkat ke sekolah." lanjut Renata dengan sedikit menggoyangkan tubuh Naya. Naya hanya bergumam membalas ucapan Renata,

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   35. Malam panjang

    "Sudah selesai?" Suara bariton itu membuat Renata yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut bukan main. Sebab di sebelah ranjang ada Naren yang berdiri tenang melihat ke arahnya. "Maaf-maaf, aku tidak bermaksud mengagetkanmu." jelasnya terkekeh. "Kau! Bukankan kau bilang akan menunggu di kamar Naya hingga aku selesai membersihkan diri? Kenapa sekarang ada di sini?!" tanya Renata dengan nada yang sedikit tinggi. Dia sedikit panik karena hanya memakai handuk dan dalaman. Kedua tangan wanita itu menyilang di depan dada dan mencoba mengeratkan handuk yang melilit tubuhnya. Naren benar-benar tidak bisa dipercaya! "Kau terlalu lama, aku bosan karena hanya melihat Naya yang tertidur." Jawab si lelaki terlampau santai. "Tapi aku belum ganti baji! Keluar sana!" usir Renata. "Lagian kenapa tidak memakai baju di dalam kamar mandi? Kau sengaja ingin menggodaku ya?" Mendengar itu Renata naik pitam, matanya melotot karena mendengar Naren berbicara kurang ajar padanya. Menggoda katan

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   34. penghujung malam

    "Masuk lah dulu, aku akan menggendong Naya." "Kita masuk bersama saja." Renata keluar dari mobil dan menunggu Naren yang ingin menggendong Naya. Sebab gadis kecil itu sudah terlalu pulas dalam tidurnya sehingga tidak terbangun sama sekali. Mereka berjalan beriringan menuju rumah dengan Renata yang bertugas membuka pintu. Lampu ruang tamu langsung hidup begitu mereka masuk, tidak gelap seperti sebelumnya. Rumah ini cukup luas jika hanya dihuni mereka bertiga, Renata bahkan tidak bisa membayangkan betapa lelahnya jika harus membersihkan rumah sendirian dan merawat Naya secara bersamaan. "Istirahatlah, aku akan membawa Naya ke kamarnya." "Aku tidur dimana?" tanya Renata bingung karena belum tahu harus beristirahat dimana. Barang-barangnya berada di kamar utama, tetapi tidak mungkin dia tidur dengan Naren malam ini. Mereka belum menikah, terlebih Renata baru meminta pembatalan nikah beberapa menit lalu. "Di kamar utama, bersamaku." jawab Naren dengan kedipan sebelah mata. Lelaki i

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   33. kesempatan kedua?

    "Ayo kita pulang." ajak Naren. Lelaki itu berdiri dan mencoba untuk menarik Renata yang masih berjongkok. Dia merasa mereka seperti sepasang kekasih yang masih belasan tahun, sebab orang dewasa tidak mungkin bertengkar di pinggi jalan. Bibir lelaki itu tersenyum kecil, melihat Renata yang berjongkok persis seperti Naya jika sedang menangis. Mereka terlihat sangat mirip. "Aku bisa pulang sendiri." jawab Renata sedikit acuh. Wanita itu menghempaskan tangan Naren yang masih menggenggam tangannya. Wajahnya masam karena kesal bercampur sedih. Renata sepertinya berencana untuk merajuk pada lelaki itu. "Mau pulang ke mana?" "Apartemen." "Itu terlalu jauh dari sini." "Biar saja!" "Dan sudah tidak ada barang-barang milikmu disana." Renata yang sudah berjalan beberapa langkah tiba-tiba terhenti begitu mendengar ucapan Naren. Dia baru teringat jika sudah pindah ke rumah baru Naren sore tadi. Renata meruntuk mengapa dia melupakannya. "Tidak ada pilihan selain pulang bersamaku,

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   32. Kami berbicara

    Naren menurunkam lututnya bertumpu pada tanah. Matanya menatap ke arah Renata yang masih setia menunduk, tidak ada niat untuk membalas tatapannya. Pada keadaan ini Naren tidak bisa memegang kendali ayahnya, apa yang diucapkan pria tua itu Naren tidak bisa mengontrolnya. "Renata, aku minta maaf atas nama ayahku. Kau juga harus tahu jika semua ini di luar kendaliku, aku sangat merasa bersalah padamu atas semua perbuatan tak beradab ayahku. Aku sungguh minta maaf padamu." Salah satu tangan Naren meraih telapak tangan Renata yang terasa begitu dingin. Di genggamnya tangan itu agar kembali hangat, menghalau angin kencang yang menerpa tubuh keduanya. "Aku akan mengabulkan semua keinginanmu, Renata, asal jangan minta aku untuk membatalkan pernikahan kita." "Kalau begitu kau egois, Narendra." Tanpa melepas genggaman tangan Naren, Renata mendongak. Membalas tatapan lelaki dihadapannya dengan tatapan yang sukar diartikan. Naren cukup terkejut ketika Renata memanggilnya hanya dengan nam

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   31. Renata, aku mohon padamu.

    "Papaa, Naya mau mama, hiks." Naya berteriak seraya terus mengejar Renata yang berlari, kakinya sesekali tersenggal karena Renata berlari lebih cepat. Kaki kecilnya tidak bisa mengejar langkah yang besar. Sedangkan Narendra mengejar dari belakang, berusaha untuk menahan putrinya yang benar-benar terlihat kecewa. Dia juga tidak akan melepaskan Renata segampang itu, mereka memang tidak ada perjanjian namun Renata tidak bisa membatalkan pernikahan begitu saja saat sudah ada kesepakatan. Kalau Renata memaksa, Naren juga bisa lebih memaksa. "Naya!" Pekik Naren ketika Naya kembali terjatuh. Dengan langkah lebih cepat, Naren buru-buru menghampiri putrinya. Sedangkan gadis kecil itu, sekalipun kakinya terasa nyeri dia tetap berusaha untuk bangkit dan ingin kembali mengejar Renata. Suara tangisnya semakin pecah begitu melihat Renata yang semakin menjauh tanpa menoleh ke belakang. Di dalam dekap Naren, Naya menangis lebih keras dan meronta-ronta minta untuk dilepaskan. "Papaaa, mamaa

DMCA.com Protection Status