"Langsung balik?" tanya Sofyan menyejajarkan langkahnya dengan Eva ke luar dari kelas. "Sepertinya begitu. Gue khawatir Arumi kenapa-kenapa," jawab Eva."Bukannya tuh anak udah ada bibi suster.""Bibi suster? Bu Sri namanya," kata Eva meralat. Terasa aneh mendengar istilah yang diberikan Sofyan pada Bu Sri. Langkah Eva berbelok menuruni anak tangga. Sofyan mengikuti di sampingnya. "Justru karena itu. Gue nggak bisa hubungi Bu Sri. Gue nggak tau kondisi Arumi, kemarin dia masih demam. Gue takut panasnya naik lagi. Soalnya bonyok gue katanya datang jengukin, tapi rumah kosong." Eva menjelaskan alasan kekhawatirannya. "Oh kebetulan. Gue anterin balik ya. Sekalian gue ketemu bonyok Lo. Udah lama nggak nyapa juga.""Boleh deh, tapi gue nggak ikut campur ya kalau Lo ketemu Pak Rafa lagi." Eva terkekeh. Mengingat Kausar belum juga akur dengan Rafa membuat Eva menjadikan keduanya sebagai tontonan yang menyenangkan. Kausar menghela napas berat sebelum membalas. "Nggak masalah. Nggak mungki
"Pak Rafa ada di mana? Jawab aku!" Eva histeris mencari Rafa. Dia berlari ke dalam rumah. Barangkali dia menemukan Rafa terbaring di sana. "Eva, mau ke mana?" panggil Citra kebingungan dengan reaksi Eva. "Emangnya Pak Rafa kenapa Tante, Om?" Kausar yang kaget dengan berita kecelakaan Rafa bertanya dengan tenang. "Hanya kecelakaan ringan. Om cuma mau beritahu Eva. Cuma reaksi Eva kok panik gitu." Bagas pun merasa kaget dengan respon dari Eva. Dia akan maklum jika Eva bertanya tentang kondisi Rafa, tapi berlari dengan terburu-buru mencari Rafa adalah keganjalan yang jarang Eva lakukan. Selama ini, Eva selalu bersikap tenang dan tidak pedulian."Dia emang udah uring-uringan di kampus, Om. Ditanya dikit, jawabnya judes. Hari ini, Eva tampak kurang fokus." Kausar pun melaporkan keanehan Eva. "Sebaiknya kita susulin dia."Eva membuka pintu kamar Rafa dengan kasar. Sambutan yang ditemui Eva hanyalah kamar yang tertata rapi seperti biasa. Tidak ada jejak Rafa di
"Pa, ngapain duduk di luar? Udaranya dingin." tanya Rafa menemukan Bagas duduk sendirian di teras. Mereka baru saja selesai makan malam bersama."Nungguin mamanya Eva," jawab Bagas sekenanya. Rafa meletakkan sampah di samping rumah dan kembali bergabung di dekat Bagas. "Mau ke mana, Pa? Kirain mau nginap." "Papa sama mama emang mau nginap, tapi nggak di sini.""Trus di mana? Hotel?"Bagas menggeleng. "Di kamar yang dulu Eva tempati.""Tidur di sini aja, Pa. Di sana, anak-anak masih berisik kalau malam-malam. Nanti papa sama mama susah tidur. Lagipula di sini masih ada kamar kosong." Rafa jelas tidak setuju dengan ide mertuanya.Bagas menoleh dan menatap dengan heran. "Loh, Eva belum bilang? Itu keinginan dia. Katanya pengen tidur bareng mama papanya di kamar kos. Pengen nostalgia dempet-dempetan di single bed."Rafa terdiam beberapa saat. Sejak tadi dia berusaha bersikap biasa di hadapan orangtua Eva. Dia masih memendam kekecewaan, tapi rasa hormatnya pada Bagas dan Citra tidak terl
"Aku pikir kamu benar-benar akan pergi," ucap Rafa memandangi Eva dari balik komputernya. Gadis itu tidak mendengar ucapan Rafa. Sebab, ia lebih sibuk bermain bersama Arumi. Suara tawa Eva dan Arumi saling beradu di telinga Rafa. Suatu momen yang ingin Rafa rasakan selamanya. Jika dia bisa. "Tepuk-tepuk tangan, bersuka-suka. Tangan di kepala, tangan di pinggang ...." Eva bernyanyi sambil memeragakan menggunakan tangan Arumi. Bayi itu sesekali tertawa lepas ketika Eva dengan sengaja menggesekkan hidungnya di pipi Arumi atau menggelitik ringan pinggang Arumi."Aaaaa ..." Arumi menjulurkan tangannya hendak meraih bola plastik yang ada di kolong meja."Mama ambilin ya. Sebentar." Eva meletakkan Arumi di karpet lalu mengambil bola. Tanpa sepengetahuan Eva, Arumi dengan cepat membalik dirinya menjadi tengkurap. Eva tertawa melihatnya."Udah jago ya sekarang," puji Eva menowel ujung hidung Arumi. Sejak Arumi bisa menyebut mama meski terbata-bata, Eva membiasakan diri menyebut dirinya mam
"Rafa, Eva udah bangun?" tanya mama Eva berdiri di ambang pintu kamar.Pria yang ditanyai hanya melirik sebentar ke tempat tidur lalu menggeleng. Dia sedang telponan dengan seseorang sehingga tidak bisa menjawab. "Tidak masalah. Nanti saya bicara langsung sama kepala produksi." Mama Eva berdecak. "Mama boleh masuk?" tanya Citra berbisik dan melakukan gerakan tangan agar Rafa paham maksudnya."Lebih jelasnya, saya akan periksa di kantor. Tolong kamu kelompokkan. Terima kasih, Han." Rafa menutup panggilan dengan sekretarisnya. "Masuk aja, Ma. Maaf buat Mama nunggu."Citra tersenyum. "Nggak apa-apa, Nak Rafa. Maafin mama juga, ganggu pagi-pagi. Mama cuma mau bangunin Eva." Langkahnya terayun mendekati tempat tidur. Tangan Citra menggantung di atas Eva mendengar ucapan Rafa, "Jangan dibangunin, Ma. Dia kecapean, semalam begadang.""Begadang?" Senyum Citra mengembang. Dia menatap Rafa dan Eva bergantian. Otaknya seketika membayangkan adegan dewasa yang dilakukan anak dan menantunya. "Mam
"Apa yang kamu katakan Eva?!" teriak Citra dari arah pintu.Eva menoleh cepat ke arah pintu. Menyadari telah mengungkap rahasia yang selalu ditutupi membuat dia gugup. Dia sontak berdiri dan berjalan mundur. Citra yang baru mengetahui kenyataan Eva masih berpacaran dengan atlet badminton itu membuat emosinya tidak tertahankan. Napasnya memburu seiring langkah lebarnya seperti mengejar Eva. "Mmm-ma, aku ...." Suara Eva tercekat di kerongkongan. "Eva! Benar yang kamu katakan tadi?!" sergah Citra mencengkeram kuat lengan Eva.Gelengan kepala penuh keraguan dan ringisan yang keluar dari mulut Eva cukup menjelaskan bahwa dia ketakutan akan amarah mamanya. "Bilang sama mama kalau itu nggak benar, Eva!" desak Citra menggoyangkan lengan Eva. Mata berbingkai kemerahan itu melotot tapi terdapat linangan di sekitarnya.Eva bungkam. Dia sadar akan kesalahannya. Sebab itu, tiada perlawanan atau perdebatan untuk membela diri. Sia-sia dia menutupi hubungannya dengan Sofyan selama ini. Bahkan, di
"Eva ... Kamu baik-baik saja?" Rafa melirik dengan ujung matanya ke samping. Di sana ada Eva yang duduk diam sambil memandang ke luar jendela sejak berangkat dari rumah. Rafa tentu khawatir dengan gadis itu. Dia melepas rasa kecewa dan sedihnya sejenak pada gadis itu. Saat ini, dia harus bersikap peduli dan memang Rafa selalu peduli terkait Eva. Rafa merasa kasihan akan kisah keluarga Eva. Eva yang tidak tahu menahu tentu terpukul dengan fakta yang diketahuinya pagi ini. Dia dilanda dilema antara mempertahankan hubungan dengan Sofyan atau menjaga perasaan kakaknya. Akan tetapi, jika Rafa boleh meminta. Dia ingin Eva mengakhiri hubungan dengan Sofyan dan Eva mulai melihatnya sebagai sosok suami. Rafa tidak masalah jika menjadi pelampiasan perasaan Eva. Rafa akan bersedia menjadi tempat Eva melarikan diri. Terkesan menyedihkan memang, tapi Rafa tidak memiliki pilihan lain. Dia tidak ingin memohon cinta Eva, tapi dia sudah terlanjur jatuh dalam pesona Eva. Jatuh cinta bukan ingin Rafa.
"Pak Rafa yakin bawa saya ke sini?" tanya Eva menegakkan tubuhnya. Wajahnya yang sempat menyembul keluar dari bingkai jendela mobil kembali ditarik. Kemudian dia menatap Rafa tidak percaya dengan mulutnya mengagaRafa mengangguk dengan yakin. "Iya.""Emang muka saya setua itu? Pak Rafa mau nitip saya di sini? Udah capek hadepin saya? Saya masih punya orangtua, Pak. Daripada dibawa ke sini, mending pulangin saya ke rumah orangtua saya, Pak."Tawa Rafa menyembur keluar. Dia tidak bisa menahannya ketika melihat wajah panik Eva. Entah apa yang dipikirkan gadis itu sampai bisa mengeluarkan kata-kata tidak masuk akal."Kenapa malah ketawa?" gerutu Eva.Rafa memiringkan tubuhnya menghadap Eva. Dia menatap Eva dengan tawa yang ditahan. "Lagian siapa juga yang mau suruh kamu tinggal di sini? Kamu itu istri saya. Masa istri secantik dan semuda ini mau dititip di panti jompo. Nggak cocok dong. Cocoknya tinggal di sini." Rafa menunjuk dadanya. Kemudian dia melanjutkan tawan