"Rafa, Eva udah bangun?" tanya mama Eva berdiri di ambang pintu kamar.Pria yang ditanyai hanya melirik sebentar ke tempat tidur lalu menggeleng. Dia sedang telponan dengan seseorang sehingga tidak bisa menjawab. "Tidak masalah. Nanti saya bicara langsung sama kepala produksi." Mama Eva berdecak. "Mama boleh masuk?" tanya Citra berbisik dan melakukan gerakan tangan agar Rafa paham maksudnya."Lebih jelasnya, saya akan periksa di kantor. Tolong kamu kelompokkan. Terima kasih, Han." Rafa menutup panggilan dengan sekretarisnya. "Masuk aja, Ma. Maaf buat Mama nunggu."Citra tersenyum. "Nggak apa-apa, Nak Rafa. Maafin mama juga, ganggu pagi-pagi. Mama cuma mau bangunin Eva." Langkahnya terayun mendekati tempat tidur. Tangan Citra menggantung di atas Eva mendengar ucapan Rafa, "Jangan dibangunin, Ma. Dia kecapean, semalam begadang.""Begadang?" Senyum Citra mengembang. Dia menatap Rafa dan Eva bergantian. Otaknya seketika membayangkan adegan dewasa yang dilakukan anak dan menantunya. "Mam
"Apa yang kamu katakan Eva?!" teriak Citra dari arah pintu.Eva menoleh cepat ke arah pintu. Menyadari telah mengungkap rahasia yang selalu ditutupi membuat dia gugup. Dia sontak berdiri dan berjalan mundur. Citra yang baru mengetahui kenyataan Eva masih berpacaran dengan atlet badminton itu membuat emosinya tidak tertahankan. Napasnya memburu seiring langkah lebarnya seperti mengejar Eva. "Mmm-ma, aku ...." Suara Eva tercekat di kerongkongan. "Eva! Benar yang kamu katakan tadi?!" sergah Citra mencengkeram kuat lengan Eva.Gelengan kepala penuh keraguan dan ringisan yang keluar dari mulut Eva cukup menjelaskan bahwa dia ketakutan akan amarah mamanya. "Bilang sama mama kalau itu nggak benar, Eva!" desak Citra menggoyangkan lengan Eva. Mata berbingkai kemerahan itu melotot tapi terdapat linangan di sekitarnya.Eva bungkam. Dia sadar akan kesalahannya. Sebab itu, tiada perlawanan atau perdebatan untuk membela diri. Sia-sia dia menutupi hubungannya dengan Sofyan selama ini. Bahkan, di
"Eva ... Kamu baik-baik saja?" Rafa melirik dengan ujung matanya ke samping. Di sana ada Eva yang duduk diam sambil memandang ke luar jendela sejak berangkat dari rumah. Rafa tentu khawatir dengan gadis itu. Dia melepas rasa kecewa dan sedihnya sejenak pada gadis itu. Saat ini, dia harus bersikap peduli dan memang Rafa selalu peduli terkait Eva. Rafa merasa kasihan akan kisah keluarga Eva. Eva yang tidak tahu menahu tentu terpukul dengan fakta yang diketahuinya pagi ini. Dia dilanda dilema antara mempertahankan hubungan dengan Sofyan atau menjaga perasaan kakaknya. Akan tetapi, jika Rafa boleh meminta. Dia ingin Eva mengakhiri hubungan dengan Sofyan dan Eva mulai melihatnya sebagai sosok suami. Rafa tidak masalah jika menjadi pelampiasan perasaan Eva. Rafa akan bersedia menjadi tempat Eva melarikan diri. Terkesan menyedihkan memang, tapi Rafa tidak memiliki pilihan lain. Dia tidak ingin memohon cinta Eva, tapi dia sudah terlanjur jatuh dalam pesona Eva. Jatuh cinta bukan ingin Rafa.
"Pak Rafa yakin bawa saya ke sini?" tanya Eva menegakkan tubuhnya. Wajahnya yang sempat menyembul keluar dari bingkai jendela mobil kembali ditarik. Kemudian dia menatap Rafa tidak percaya dengan mulutnya mengagaRafa mengangguk dengan yakin. "Iya.""Emang muka saya setua itu? Pak Rafa mau nitip saya di sini? Udah capek hadepin saya? Saya masih punya orangtua, Pak. Daripada dibawa ke sini, mending pulangin saya ke rumah orangtua saya, Pak."Tawa Rafa menyembur keluar. Dia tidak bisa menahannya ketika melihat wajah panik Eva. Entah apa yang dipikirkan gadis itu sampai bisa mengeluarkan kata-kata tidak masuk akal."Kenapa malah ketawa?" gerutu Eva.Rafa memiringkan tubuhnya menghadap Eva. Dia menatap Eva dengan tawa yang ditahan. "Lagian siapa juga yang mau suruh kamu tinggal di sini? Kamu itu istri saya. Masa istri secantik dan semuda ini mau dititip di panti jompo. Nggak cocok dong. Cocoknya tinggal di sini." Rafa menunjuk dadanya. Kemudian dia melanjutkan tawan
"Balik aja yuk, Pak Rafa," cetus Eva mendadak menghentikan langkahnya tepat setelah melewati pintu. Ketika dia merasa telah memasuki dunia yang berbeda. Di depan sana, pria-pria berusia lanjut tengah berkumpul mengelilingi satu meja. Entah apa yang sedang mereka lakukan. Melihat kefokusan mereka dan cara mereka bersorak, seperti hal menyenangkan menjadi tontonan mereka. Dan di sudut ruang lain, para wanita-wanita tengah bercanda sambil merajut. "Pak," rengek Eva. Sorot mata penuh harap kepada Rafa yang menginginkan untuk dibawa jauh dari tempat ini. Rafa menoleh dan berkata, "Ya udah. Aku anterin balik. Ke rumah!" Sengaja menekan kata rumah dengan sudut bibirnya terangkat. Rafa ingin melihat Eva memutuskan akan berakhir di mana.Gelengan kepala Eva membuat alis Rafa terangkat. "Jangan ke rumah! Saya nggak ada tenaga buat ngomong sama mama papa.""Ke kantor?""Jangan juga. Nanti orang-orang pada nanya, aku siapanya pak Rafa. Aku belum siap disebut sebagai i
"Berikan tempat untuk menantuku," titah Ardi yang menyibak kerumunan para lansia."Menantu? Bukankah menantumu sudah meninggal, kawan?" tanya seorang lansia menatap heran pada Eva dan Ardi."Tidak mungkin Dona itu menyukai sesama, bukan?" timpal yang lain.Eva membekap mulutnya mendengar itu. Kalimat itu cukup menohok dan terdengar jahat. Namun, reaksi Ardi justru tertawa. "Ayolah, kawan. Putra putriku normal." Ardi menarik Eva berdiri di sampingnya. Dia merangkul bahu Eva dan berkata dengan bangga, "Dia istri baru Rafa. Pesona keluarga Wijaya memang tiada banding. Ditinggal satu perempuan, datanglah dua perempuan."Eva menoleh kilat menatap papa mertuanya. 'Apa maksudnya? Pak Rafa punya perempuan lain selain aku? Apa-apa ini?' batin Eva seketika merasa cemburu. Paham dengan gestrur Eva, Ardi tersenyum dan berbisik, "Maksud papa itu Kamu dan cucu papa. Tenang aja, keluarga Wijaya isinya orang setia." Dai mengakhiri kalimatnya dengan kedipan mata serta kalim
'Dugaanku benar' batin Eva hampir bersamaan di ujung kalimat Ardi. Seketika hatinya mencelos mengetahui sosok yang menyambutnya dengan ramah itu merupakan papa dari wanita yang sangat dicintai Rafa dulu. Pertemuan tidak terduga ini membuat Eva kebingungan bersikap pada Duncan. Dia merasa bersalah, tapi untuk alasannya tidak diketahuinya. Eva merasa telah menyakiti Cahaya padahal sebenarnya tidak. Seolah-olah Eva telah merebut Rafa dari Cahaya. Namun, kenyataannya Eva tidak melakukan itu. "Tadinya, Papa nggak mau kamu tahu tentang itu," celetuk Ardi di tengah keheningan yang sempat tercipta. Dia tidak ingin Eva merasa canggung atau terbatas ruang geraknya jika mengetahui ada papa Cahaya di sini.Eva tidak merespon. Tatapannya lurus pada Duncan yang terlihat santai sambil menyandarkan punggungnya di sandaran sofa."Jangan memandangku seperti itu, Nak. Apapun yang kamu pikirkan, jangan biarkan itu mengganggumu. Kita berkumpul di sini untuk membunuh rasa sepi dan sibuk
“Sekarang giliran lo. Mau tampilin apa?” tanya Amanda masih memperhatikan kertas acara. “Gue boleh mangkir aja nggak?” tanya Eva kemudian menujukkan cengiran. Beberapa jam mengobrol dan berinteraksi dengan Amanda membuat Eva merasa semakin akrab dengan jurnalis itu. Mereka memutuskan berbicara santai untuk menghilangkan jarak dan canggung di antara mereka. Eva merasa menemukan sosok yang bisa ditanyai banyal hal tentang dunia jurnalis. Sejujurnya, Eva memilih jurusan ilmu komunikasi hanya untuk melarikan diri dari keinginan orangtuanya. Semakin lama, Eva mulai menikmati berada di lingkup itu. Setelah memutuskan menyukai bidangnya, Eva memiliki impian menjadi seorang reporter olahraga. Alasannya, tentu karena Sofyan. Apalagi setelah pertemuannya dengan Amanda membuat Eva semakin tertarik dengan dunia pemberitaan itu.Berbicara tentang Sofyan, Eva masih menghindar dari kekasihnya itu. Dia butuh menjeda kedekatan mereka agar keputusannya kelak tidak disesalinya lagi. Entah memilik ber