"Pak Rafa yakin bawa saya ke sini?" tanya Eva menegakkan tubuhnya. Wajahnya yang sempat menyembul keluar dari bingkai jendela mobil kembali ditarik. Kemudian dia menatap Rafa tidak percaya dengan mulutnya mengagaRafa mengangguk dengan yakin. "Iya.""Emang muka saya setua itu? Pak Rafa mau nitip saya di sini? Udah capek hadepin saya? Saya masih punya orangtua, Pak. Daripada dibawa ke sini, mending pulangin saya ke rumah orangtua saya, Pak."Tawa Rafa menyembur keluar. Dia tidak bisa menahannya ketika melihat wajah panik Eva. Entah apa yang dipikirkan gadis itu sampai bisa mengeluarkan kata-kata tidak masuk akal."Kenapa malah ketawa?" gerutu Eva.Rafa memiringkan tubuhnya menghadap Eva. Dia menatap Eva dengan tawa yang ditahan. "Lagian siapa juga yang mau suruh kamu tinggal di sini? Kamu itu istri saya. Masa istri secantik dan semuda ini mau dititip di panti jompo. Nggak cocok dong. Cocoknya tinggal di sini." Rafa menunjuk dadanya. Kemudian dia melanjutkan tawan
"Balik aja yuk, Pak Rafa," cetus Eva mendadak menghentikan langkahnya tepat setelah melewati pintu. Ketika dia merasa telah memasuki dunia yang berbeda. Di depan sana, pria-pria berusia lanjut tengah berkumpul mengelilingi satu meja. Entah apa yang sedang mereka lakukan. Melihat kefokusan mereka dan cara mereka bersorak, seperti hal menyenangkan menjadi tontonan mereka. Dan di sudut ruang lain, para wanita-wanita tengah bercanda sambil merajut. "Pak," rengek Eva. Sorot mata penuh harap kepada Rafa yang menginginkan untuk dibawa jauh dari tempat ini. Rafa menoleh dan berkata, "Ya udah. Aku anterin balik. Ke rumah!" Sengaja menekan kata rumah dengan sudut bibirnya terangkat. Rafa ingin melihat Eva memutuskan akan berakhir di mana.Gelengan kepala Eva membuat alis Rafa terangkat. "Jangan ke rumah! Saya nggak ada tenaga buat ngomong sama mama papa.""Ke kantor?""Jangan juga. Nanti orang-orang pada nanya, aku siapanya pak Rafa. Aku belum siap disebut sebagai i
"Berikan tempat untuk menantuku," titah Ardi yang menyibak kerumunan para lansia."Menantu? Bukankah menantumu sudah meninggal, kawan?" tanya seorang lansia menatap heran pada Eva dan Ardi."Tidak mungkin Dona itu menyukai sesama, bukan?" timpal yang lain.Eva membekap mulutnya mendengar itu. Kalimat itu cukup menohok dan terdengar jahat. Namun, reaksi Ardi justru tertawa. "Ayolah, kawan. Putra putriku normal." Ardi menarik Eva berdiri di sampingnya. Dia merangkul bahu Eva dan berkata dengan bangga, "Dia istri baru Rafa. Pesona keluarga Wijaya memang tiada banding. Ditinggal satu perempuan, datanglah dua perempuan."Eva menoleh kilat menatap papa mertuanya. 'Apa maksudnya? Pak Rafa punya perempuan lain selain aku? Apa-apa ini?' batin Eva seketika merasa cemburu. Paham dengan gestrur Eva, Ardi tersenyum dan berbisik, "Maksud papa itu Kamu dan cucu papa. Tenang aja, keluarga Wijaya isinya orang setia." Dai mengakhiri kalimatnya dengan kedipan mata serta kalim
'Dugaanku benar' batin Eva hampir bersamaan di ujung kalimat Ardi. Seketika hatinya mencelos mengetahui sosok yang menyambutnya dengan ramah itu merupakan papa dari wanita yang sangat dicintai Rafa dulu. Pertemuan tidak terduga ini membuat Eva kebingungan bersikap pada Duncan. Dia merasa bersalah, tapi untuk alasannya tidak diketahuinya. Eva merasa telah menyakiti Cahaya padahal sebenarnya tidak. Seolah-olah Eva telah merebut Rafa dari Cahaya. Namun, kenyataannya Eva tidak melakukan itu. "Tadinya, Papa nggak mau kamu tahu tentang itu," celetuk Ardi di tengah keheningan yang sempat tercipta. Dia tidak ingin Eva merasa canggung atau terbatas ruang geraknya jika mengetahui ada papa Cahaya di sini.Eva tidak merespon. Tatapannya lurus pada Duncan yang terlihat santai sambil menyandarkan punggungnya di sandaran sofa."Jangan memandangku seperti itu, Nak. Apapun yang kamu pikirkan, jangan biarkan itu mengganggumu. Kita berkumpul di sini untuk membunuh rasa sepi dan sibuk
“Sekarang giliran lo. Mau tampilin apa?” tanya Amanda masih memperhatikan kertas acara. “Gue boleh mangkir aja nggak?” tanya Eva kemudian menujukkan cengiran. Beberapa jam mengobrol dan berinteraksi dengan Amanda membuat Eva merasa semakin akrab dengan jurnalis itu. Mereka memutuskan berbicara santai untuk menghilangkan jarak dan canggung di antara mereka. Eva merasa menemukan sosok yang bisa ditanyai banyal hal tentang dunia jurnalis. Sejujurnya, Eva memilih jurusan ilmu komunikasi hanya untuk melarikan diri dari keinginan orangtuanya. Semakin lama, Eva mulai menikmati berada di lingkup itu. Setelah memutuskan menyukai bidangnya, Eva memiliki impian menjadi seorang reporter olahraga. Alasannya, tentu karena Sofyan. Apalagi setelah pertemuannya dengan Amanda membuat Eva semakin tertarik dengan dunia pemberitaan itu.Berbicara tentang Sofyan, Eva masih menghindar dari kekasihnya itu. Dia butuh menjeda kedekatan mereka agar keputusannya kelak tidak disesalinya lagi. Entah memilik ber
“Kamu di sini?”Pertanyaan Eva yang terdengar jelas di sound system mengundang rasa penasaran semua penonton. Secara serentak, semua pandangan mengikuti arah penglihatan Eva. Seorang pria dengan pakaian semi formal sedang berdiri tegak sembari memasukkan tangan kanannya ke saku celana menjadi objek mereka.Tanpa memedulikan pandangan para penonton, pria itu melempar senyum pada satu-satunya gadis yang memenuhi bola matanya. Gadisnya yang bersinar di tengah keramaian. Gadis yang sedang memeluk gitar akustik dalam pangkuan. Ada kelegaan yang dirasakannya ketika menemukan gadisnya baik-baik saja dan bisa berbaur dengan para lansia. Dia sempat mencemaskan seharian ini sehingga membutuhkan bantuan sang ayah untuk menjaga gadisnya.“Rafa! Kemarilah!” Suara seseorang yang memasuki indera pendengarannya memaksa dia untuk mengalihkan pandangan.Pria itu mengangguk singkat. Dia menatap Eva sekali lagi dan menunjukkan gestur menunjuk dirinya lalu Ardi. Sekadar memberitahu Eva bahwa dia akan ber
“Enam bulan, Raf,” celetuk Duncan. Rafa mengerti maksud mantan papa mertuanya yang kini dianggapnya orangtua sendiri itu. Dia mengangguk singkat sebagai respon. Cepat atau lambat, Rafa harus menghadapi orang-orang terdekatnya yang dulu dihindarinya. Bukan untuk melarikan diri, melainkan dia ingin menata hatinya agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Dia tahu kesedihan seorang ayah melebihi kesedihan dirinya yang hanya sebagai suami. “Maafkan aku, Pa.”Duncan tersenyum getir. Tatapannya jatuh pada bunga asoka yang terpangkas rapi di depannya. “Kamu berhasil, Raf. Kamu telah melewatinya. Berbeda dengan papa yang masih terjebak di sini. Papa sulit beranjak dari kenangan tentangnya. Papa bahkan belum memiliki keberanian menemui cucu papa sendiri.”“Papa bisa mencoba ….” Rafa menjeda sejenak. Dia sedang menyusun kalimat untuk menyemangati pria tua di sampingnya. “… aku tahu sulit melupakan. Aku pun merasakannya. Jika Papa membiarkan rasa sakit itu selalu membayangi papa,
"Va, hubungan lo sama Sofyan nggak baik-baik aja 'kan?" celetuk Kausar mengalihkan pandangan dari layar hp ke Eva.Gadis itu tidak menjawab. Kausar yakin Eva mendengarnya. Terlihat jelas gerakan Eva yang hendak mengambil saus sambal seketika terhenti."Eva, woy!" Eva menyambar botol saus dengan cepat. "Sok tau!"Kausar berdecak lalu memperlihatkan room chat antara dirinya dengan Sofyan kepada Eva. "Udah semingguan lebih, dia terus nanyain lu ke gue.""Kangen sama o kali, tapi nggak ada topik makanya nanyain gue," kilah Eva. Bakso di mangkuknya tidak menarik lagi. Kini pikirannya kembali tertuju pada Sofyan. Sejak tahu perkara kecelakaan yang dialami abangnya, Eva memutuskan untuk menjaga jarak dari Sofyan. Bukan karena membenci laki-laki itu, tapi Eva mencoba menemukan jawaban dari keinginannya saat ini. Sekaligus memperjelas perasaan cintanya tertuju pada siapa. Eva berpikir mencoba melepas pikiran dari Sofyan mungkin membuatnya bisa menentukan pilihannya dengan tepat. Sebab, sela