Esok paginya, Asher tampak sudah siap dengan balutan pakaian formalnya. Laki-laki tampan itu berjalan menuruni anak tangga sembari membawa mantel hangatnya. Manik mata hitam milik Asher menatap ke lantai satu di mana Marsha tengah berada di ruang makan dengan para pelayan bersamanya. Wanita itu tersenyum saat melihatnya turun ke lantai satu. "Selamat pagi, Sayang," sapanya dengan manis."Hm." Asher hanya bergumam pelan. Marsha pun langsung memeluknya. "Kenapa? Kau marah ya?" tanyanya. "Maaf, semalam aku pergi tidak pamit dan aku pulang kemalaman," ujarnya. "Untuk apa kau pulang kalau masih pukul dua dini hari," ucap Asher dengan nada dingin dan sarkastik. Marsha langsung bungkam, begitu pun kini Asher menatapnya dengan tajam."Lain waktu, kau tidak perlu pulang, Marsha. Party dengan teman-temanmu sampai semalaman suntuk, lakukan saja ... aku tidak peduli!" seru Asher sembari melangkah ke arah ruang tamu. "Sayang, aku minta maaf!" Marsha mengejarnya dan menarik lengan Asher. "Se
Asher menepati janjinya pada Aleena. Laki-laki itu datang lebih awal menjemput Aleena sore ini, bahkan ia menunggunya tak jauh dari sekolah tempat gadis itu mengajar. Sepuluh menit Asher menunggu, muncullah gadis cantik dengan balutan dress panjang berwarna cokelat dan mantel senada yang kini berjalan cepat ke arah mobilnya. "Tuan!" Aleena membuka pintu mobil itu dan tersenyum riang. "Tuan sudah lama menunggu saya?" "Belum. Ayo cepat masuk, di luar sangat dingin," ujar Asher. Aleena pun segera masuk ke dalam mobil milik Asher. Gadis itu meletakkan beberapa buku yang ia bawa di bangku belakang. Asher memperhatikan Aleena yang kini duduk nyaman menatapnya dengan hangat."Ada apa, Aleena? Kenapa kau menatapku begitu?" tanya Asher menaikkan salah satu alisnya. "Tidak apa-apa," jawab gadis itu tertunduk. Padahal Aleena ingin mengatakan pada Asher dan bercerita tentang perasaan senangnya saat Asher menjemputnya sekarang, tapi rasanya sangat canggung. Asher pun melajukan mobilnya. Se
Keesokan paginya, Aleena kembali dengan kondisi lemas dan tidak bertenaga seperti beberapa hari terakhir. Selain mual dan pusing, ia merasa sangat sulit beranjak dari ranjang. Sampai Bibi Julien harus masuk ke dalam kamar untuk membangunkannya. Wanita setengah baya itu terlihat kaget melihat Aleena duduk lemas di atas ranjang. "Nona ... Nona Aleena tidak apa-apa?" Bibi Julien mendekat dan menangkup kedua pipi Aleena dengan wajah cemas. Aleena menggeleng lemas menyandarkan kepalanya di pundak Bibi Julien. "Perutku, Bi. Aku mual sejak pagi tadi ... tidak enak sekali," rintih Aleena sampai pucat dan wajahnya berkeringat. "Tidak biasanya aku begini, semua aroma wangi-wangian membuat perutku semakin mual." Bibi Julien terdiam sejenak, wanita itu menatap dalam-dalam wajah Aleena dan mengusap punggungnya. "Bibi buatkan minuman hangat dan sarapan ya, setelah itu Nona istirahat saja," ujarnya. "Ini tandanya Nona Aleena tidak boleh kelelahan." Hanya anggukan patuh yang Aleena berikan. Di
Asher memutuskan untuk tidak meninggalkan Aleena sampai gadis itu tenang. Bahkan kini, Aleena masih memeluknya dan menyandarkan kepalanya, tanpa ada suara tangis lagi. Sesekali Asher melirik wajah cantik gadis yang kini menahannya untuk duduk di sofa bersamanya. "Kenapa kau tadi menangis kencang seperti itu?" tanya Asher terkekeh. Aleena mendongak dan menyeka sisa air matanya. "Pancake saya, Tuan...," ujarnya. Kedua mata Asher melebar seketika. Apakah telinganya tidak salah dengar?"Pancake?" tanya Asher memastikan. Aleena mengangguk. "Hmm. Hanya makanan itu yang membuat saya tidak mual. Tapi ... tadi Nyonya datang, marah-marah dan merampas piring saya, lalu Nyonya berteriak dan membuang pancake saya. Saat saya hendak mengambilnya, Nyonya malah menginjaknya." Wajah sedih gadis itu benar-benar tidak bisa berbohong. "Kenapa Nyonya jahat pada saya? Saya hanya ingin makan dengan tenang, sudah ... itu saja." Asher menarik pundak Aleena dan memeluknya. "Sudah, tenanglah. Biar Bibi Ju
Malam ini, di kediaman orang tua Asher tengah diadakan sebuah pesta tahunan seperti tahun-tahun yang lalu. Berada di tengah-tengah para tamu di dalam pesta yang meriah itu, tak sedikitpun Asher menunjukkan keromantisannya dengan Marsha. Meskipun wanita itu selalu berdiri di sampingnya dan menyapa pada tamu dengan ramah. Ekspresi datar dan jengah yang Asher tunjukkan hanya terbaca oleh Papanya. Darren berusaha mendekati Asher. "Ada apa, Asher? Kenapa Papa perhatikan kau tidak seperti biasanya?" tanya Darren menatap sang putra. "Kau bertengkar dengan istrimu?" Asher hanya tersenyum tipis. "Jangan membahasnya di sini, Pa." Mereka berdua kini berada di teras samping. Usai menyapa beberapa tamu, Asher pun memilih untuk menjauh dari pesta. Ia menghindari semua keluarganya yang bertanya kapan ia akan memiliki keturunan, dan itu membuatnya bosan. Darren bersedekap sembari menatap ikan-ikan koi di dalam kolam di hadapan mereka. "Papa tahu, pasti lelah sekali menjadi dirimu," ujar Darren
Sesampainya di rumah sakit, Aleena pun segera ditangani oleh dokter untuk diperiksa. Asher berkali-kali mengusap wajahnya gelisah, berdiri lama menunggu di depan pintu ruangan pemeriksaan. "Ck! Kenapa lama sekali?" gerutu Asher sembari menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Jordan memperhatikan tuannya yang tak henti-hentinya cemas sejak tadi. "Sebentar lagi pasti pemeriksaannya akan selesai, Tuan," ujarnya. "Semoga," jawab Asher. Apa yang Jordan katakan ternyata benar, pintu kaca buram di hadapan Asher pun terbuka. Tampak seorang suster menatap ke arah Asher dan Jordan. "Maaf, apa salah satu dari Tuan adalah suami pasien?" tanya suster itu. "Ya, sus. Saya suaminya," jawab Asher cepat. "Baik, kalau begitu silakan masuk. Dokter ingin bertemu dengan Tuan untuk menjelaskan hasil pemeriksaan," ujar suster itu. Asher pun ikut masuk ke dalam ruangan itu. Di sana, ia melihat Aleena yang tampak berbaring di atas ranjang lengkap dengan baju rumah sakit yang ia pakai. N
Semalaman Asher menjaga Aleena di rumah sakit. Saat malam berganti pagi, laki-laki itu memutuskan untuk pulang saat Aleena sedang tidur. Asher sudah memerintahkan Jordan untuk berjaga sementara ia pulang ke rumah.Tepat pukul enam pagi Asher tiba dan masuk ke dalam rumah. Ia melihat istrinya duduk di ruang tamu. "Sampai pulang pagi, ternyata kau bisa melebihi aku," ujar Marsha tiba-tiba. Asher meliriknya tanpa selera, tidak ada jawaban apapun yang keluar dari bibirnya. Ia tetap melangkah dan tak menghiraukannya sama sekali.Merasa diabaikan oleh Asher, Marsha mengepalkan tangannya kesal. "Semalam kau pergi ke mana, Asher? Kenapa kau meninggalkan aku di pesta keluargamu?!" tanya Marsha beranjak dari duduknya. Langkah Asher terhenti di pertengahan anak tangga. Laki-laki itu menoleh dan menatapnya dingin. "Apa penting, aku mengatakannya padamu ke mana aku pergi?" Asher justru bertanya balik padanya. "Apa kau pergi dengan gadis itu? Atau ... jangan-jangan sekarang kau menyembunyika
Aleena berdiam seorang diri di dalam kamar inapnya. Gadis itu baru saja meminum vitamin yang telah dokter berikan padanya. Tampak Aleena duduk di atas ranjang dan bersandar, kedua mata indahnya menatap lurus ke arah jendela. Di luar, salju masih turun dengan cukup tebal. "Sudah tiga hari aku tidak menjenguk Papa, pasti Papa kepikiran," gumamnya tanpa sadar.Aleena tertunduk menatap baju rumah sakit yang kini ia pakai dan kembali menyandarkan kepalanya dengan perasaan gelisah. "Tidak mungkin juga aku menemui Papa dengan pakaian rumah sakit seperti ini, Papa pasti akan khawatir dan cemas. Lalu aku harus menjawab apa kalau Papa bertanya soal keadaanku?" Perlahan, Aleena mengusap perutnya yang masih rata. Ia teringat saat Asher berbisik di telinganya dan mengatakan kalau saat ini ia tengah hamil. Antara bahagia dan sedih menjadi satu dalam hatinya. Aleena bahagia karena ia berhasil mengandung anak untuk Asher dan Marsha. Tetapi sedihnya ... Aleena tidak bisa menemui Papanya bila kand
Hari sudah pagi, Aleena baru saja menyiapkan sarapan di lantai satu bersama pembantunya. Kini, gadis itu cantik itu berjalan masuk kembali ke dalam kamarnya. Di sana, Aleena melihat Theo yang baru saja bangun dan duduk di tengah ranjang sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. "Selamat pagi, Sayang," sapa Aleena mendekati Theo. Anak laki-laki itu langsung mengulurkan kedua tangannya pada Aleena. Aleena segera mendekatinya dan memeluk Theo sebelum ia menggendongnya. "Bagaimana, tidurnya nyenyak?" tanya Aleena. "Iya, Mama. Theo mau main mobil-mobilan warna merah," ujar anak itu. "Hm, mobil merah apa, Sayang?" tanya Aleena sambil menyahut lipatan handuk di atas sofa. Aleena segera membawa Theo dan memandikannya. Aleena pikir Theo akan banyak protes atau alih-alih anak ini akan marah-marah, tetapi justru tidak. Theo sama sekali tidak marah atau menangis. Setelah Aleena memandikan Theo, ia segera memakaikan pakaian yang rapi untuk putranya. Namun, Theo masih terus merengek-rengek menc
Tepat pukul sepuluh malam, Asher baru saja sampai di rumahnya. Laki-laki itu berjalan masuk ke dalam rumah dengan santai. Rasa hatinya senang dan lega karena ia baru saja bertemu dengan Aleena dan menghabiskan waktu bersama Aleena dan juga Theo. Namun, saat Asher hendak melangkah ke lantai dua, tiba-tiba muncul Marsha yang tengah menuruni anak tangga. Wanita itu mengerjapkan kedua matanya dan tampak mencari-cari. "Di mana Theo?" tanyanya bingung. "Theo ada di suatu tempat. Dia tidak mau pulang," jawab Asher, ia melangkah hendak melewati Marsha. Wanita itu, mencekal lengan Asher dan menatapnya dalam-dalam. "Di mana Theo, Asher?" tanya wanita itu dengan penuh penekanan. Asher menarik napasnya panjang. "Sudah aku jawab, bukan? Theo ada di suatu tempat.""Bagaimana bisa kau melakukan ini?! Kau meninggalkan anakmu di suatu tempat, dan kau sendiri pulang dengan santainya! Aku tidak pernah melihatmu sesantai ini saat Theo tidak di sampingmu! Bahkan sudah beberapa hari ini aku sama se
"Papa kenapa pulang? Kenapa tidak bobo di sini sama Theo dan Mama? Papa mau ke mana?" Theo mencekal erat bagian belakang mantel hitam yang Asher pakai saat ini. Asher menatap si kecil yang ragu-ragu, seperti antara ikut pulang Papanya, atau tinggal di sini dengan Mamanya malam ini. "Papa harus pulang, Sayang. Ini sudah malam. Mama harus istirahat, Nak," ujar Asher beralih menggendong Theo. "Katanya mau di sini saja sama Mama," ujar Aleena menatap cemberut putri kecilnya. "Mama kesepian kalau tidak ada Theo." "Emmm ... Theo maunya Paa bobo di sini juga," rengek anak itu memeluk leher Asher erat dan meletakkan kepalanya di pundak. Aleena mengusap punggung Theo dan menatapnya dengan tatapan sayang. Tentu saja, Aleena tidak ingin anaknya pulang dengan Asher. Ia ingin Theo tetap di sini bersamanya. Asher memperhatikannya wajah sedih Aleena. Laki-laki itu pun tersenyum tipis. "Theo hanya sedang mengantuk. Jangan khawatir, setelah di tidur, nanti tidurkan di dalam, ya," ujar Asher.
Rumah Liam yang biasanya sepi, sore ini menjadi sangat ramai sejak adanya Theo. Cucu laki-lakinya yang sangat ceria dan menggemaskan. Liam meminta Ronald mengajak Theo ke toko mainan dan mengambil mainan apa saja yang Theo mau.Dan kini, Theo tengah bermain di ruang tengah ditemani oleh Aleena, sambil meminum susu cokelat kesukaannya di dalam botol miliknya yang Asher bawakan kemarin. "Kalau minum susu tidak boleh sambil lari-larian, Sayang. Sini tidur di sini, Nak," bujuk Aleena, ia mengambil sebuah bantal dan meletakkan di pangkuannya. Anak itu berbaring di pangkuan Aleena sambil minum susu. "Mama, Theo mau bobo sini, boleh?" pintanya."Tentu saja boleh. Nanti tidur berdua dengan Mama ya, Sayang..." Aleena menunduk dan mengecup kening Theo. "Iya. Biarkan saja Papa sendirian. Siapa suruh Papa nakal sama Mama," serunya heboh. "Theo di sini menjaga Mama, menjaga Kakek," ujar anak itu. "Iya Sayang. Anak Mama memang pintar." Aleena mengusap rambut Theo dengan lembut. "Ayo, habiskan
Aleena sudah diizinkan pulang pagi ini. Ia dijemput oleh Papanya yang datang bersama seseorang. Tapi, kedatangan seorang laki-laki tampan bersama dengan Liam sungguh mengganggu ketenangan Asher. Dia adalah Christofer, yang ikut datang ke sana. Aleena kaget melihat Papanya datang bersama Christofer. "Loh ... Papa kenapa datang dengan Chris? Di mana Ronald?" tanya Aleena. "Ronald sedang ada urusan, jadi Papa meminta bantuan Chris," jawab Liam, ia melirik Asher yang berada di sana. "Papa tidak akan membiarkan dia mengantarkanmu. Yang ada nanti dia akan datang terus setiap hari." "Papa..." Aleena menatap lekat sang Papa. Aleena kembali menatap Christofer. "Maaf ya, Chris, kalau aku merepotkanmu." "Tidak masalah, Al," jawab Christofer, sambil tersenyum dan mengusap pucuk kepala Aleena. "Sudah, ayo kita pulang," ajak Liam merangkul Aleena. Mereka pun bergegas keluar dari dalam ruangan itu. Theo juga tampak sangat antusias berjalan digandeng oleh Aleena. Mereka bertiga berjalan di
Asher berjalan di lorong rumah sakit sore ini. Laki-laki itu membawa buket bunga Peony. Ia juga membelikan makanan kesukaan Aleena dan Theo. Namun, saat Asher melangkah di lorong menuju ruangan rawat Aleena, ia melihat seorang laki-laki tampan berbalut tuxedo navy keluar dari dalam sana. Langkah Asher pun terhenti, bahkan kini ia berpapasan dengan laki-laki itu dan mereka saling melirik dalam diam dan dingin. "Siapa laki-laki itu?" gumam Asher. Ia memutar sedikit tubuhnya dan menoleh ke belakang menatap laki-laki yang kini bergegas pergi. "Apa mungkin selama ini ... Aleena memiliki kekasih?" tanyanya entah pada siapa. Kedua tangan Asher terkepal seketika. "Wanita itu...." Segera Asher bergegas menuju kamar rawat inap Aleena. Ia membuka pintu dan melihat Aleena tengah bersama Theo, putra kecilnya itu tampak asik memakan sebuah donat cokelat. "Papa...!" Theo bersorak gembira melihat kedatangan Asher. "Halo, Sayang," Asher mengusap pucuk kepala si kecil. "Papa, lihat ... barusa
Siang ini, Liam datang ke rumah sakit menjenguk putrinya, karena semalam ia tidak sempat menemani Aleena. Seperti biasa, Liam sangat perhatian dan sayang pada putri semata wayangnya. Liam senang melihat Aleena tengah bersama Theo. "Pa ... Papa datang dengan siapa?" tanya Aleena pada sang Papa. "Dengan Ronald, Nak," jawab Liam sebelum ia melirik Theo dan tersenyum. "Theo tidak ikut pulang dengan Asher?" "Tidak, Pa. Dia ingin di sini menemaniku," jawab Aleena memeluk Theo yang masih tertidur.Liam tersenyum hangat, menahan wajah Theo memang seperti menatap Aleena dan Asher. Anak itu memiliki perpaduan wajah pas pada kedua orang tuanya. "Kepalamu masih pusing, Nak?" tanya Liam mengulurkan tangannya mengusap kepala Aleena. "Iya, Pa. Kadang pusing, kadang juga tidak." Aleena mengusap keningnya yang terlilit perban. "Tetapi, Aleena sudah merasa baikan." "Syukurlah kalau begitu." Pintu ruangan itu pun terbuka, tampak Ronald datang membawa paper bag dan meletakkannya di atas meja. "T
Malam ini Aleena bisa merasakan tidur memeluk Theo. Meskipun Asher menemani di sampingnya. Sejujurnya, Aleena tidak bisa tidur meskipun kepalanya sangat pusing. Di sisi lain, Asher juga tidak tidur. Laki-laki itu diam-diam seperti tengah memikirkan sesuatu yang begitu berat. Hingga tanpa sengaja, Asher menatap pada Aleena yang menatapnya. Laki-laki itu tersenyum mengulurkan telapak tangannya mengusap pucuk kepala Aleena dengan lembut hingga membuat sang empu cemberut kesal padanya. "Cepat tidur, Aleena," ujarnya membujuk. "Aku tidak mengantuk. Kau sendiri, cepat istirahat. Atau mungkin kalau kau ingin pulang, segeralah pulang. Aku akan di sini dengan Theo," seru Aleena menarik selimutnya. "Aku akan tetap di sini menemani kalian," jawab Asher."Awas saja kalau sampai istrimu itu datang ke sini marah-marah padaku seperti dulu!" kecam Aleena. "Aku tidak akan memaafkanmu, Asher!" Asher terkekeh mendengar apa yang Aleena ucapkan. Ternyata, setelah lima tahun mereka terpisah, Aleena
Dengan adanya Asher di sana, Aleena merasa tidak nyaman sama sekali. Meskipun ia dulunya pernah mencintai laki-laki ini dengan sepenuh hati, namun rasanya Aleena tidak ingin mengulangi cinta itu lagi. Tetapi, setidaknya Aleena bersyukur karena ada Theo yang selalu mengajak Aleena berbincang dan manja padanya. "Mama, kepala Mama masih sakit, ya?" tanya anak itu sambil duduk di samping Aleena. "Iya, Sayang. Mama pusing," jawab Aleena sambil mengusap pipi Theo. "Emmm ... kalau Mama sudah sembuh, nanti pulang ke rumah Papa ya, Ma. Theo maunya tinggal sama Mama, bukan sama Mama itu," serunya sambil berbaring dan memeluk Aleena.Mama itu? Siapa? Aleena bertanya-tanya dalam diamnya. Berarti Asher mempunyai istri lagi, apakah tetap Marsha? Atau wanita lain lagi? Entah kenapa, dalam relung hatinya yang terdalam, ada rasa kecewa yang ingin coba Aleena abaikan saat ini. Sekalipun laki-laki itu memiliki istri atau bagaimanapun, menyendiri sekalipun, Aleena tidak peduli. "Mama..." Theo mema