Aleena berdiam seorang diri di dalam kamar inapnya. Gadis itu baru saja meminum vitamin yang telah dokter berikan padanya. Tampak Aleena duduk di atas ranjang dan bersandar, kedua mata indahnya menatap lurus ke arah jendela. Di luar, salju masih turun dengan cukup tebal. "Sudah tiga hari aku tidak menjenguk Papa, pasti Papa kepikiran," gumamnya tanpa sadar.Aleena tertunduk menatap baju rumah sakit yang kini ia pakai dan kembali menyandarkan kepalanya dengan perasaan gelisah. "Tidak mungkin juga aku menemui Papa dengan pakaian rumah sakit seperti ini, Papa pasti akan khawatir dan cemas. Lalu aku harus menjawab apa kalau Papa bertanya soal keadaanku?" Perlahan, Aleena mengusap perutnya yang masih rata. Ia teringat saat Asher berbisik di telinganya dan mengatakan kalau saat ini ia tengah hamil. Antara bahagia dan sedih menjadi satu dalam hatinya. Aleena bahagia karena ia berhasil mengandung anak untuk Asher dan Marsha. Tetapi sedihnya ... Aleena tidak bisa menemui Papanya bila kand
Setelah kondisi Aleena membaik, dokter pun menyarankan Aleena pulang hari ini. Bersama dengan Asher yang selalu mendampinginya, laki-laki itu sangat posesif, banyak melarang Aleena untuk melakukan hal ini dan itu. Mereka berdua kini tengah berjalan di lorong rumah sakit. Asher merangkulnya dengan sangat posesif. "Sesampainya di rumah nanti, kau harus beristirahat dan tidak usah mengerjakan apapun," ujar Asher meliriknya. "Tapi Tuan, saya masih ada tanggungan tugas anak-anak di sekolah. Mereka pasti menunggu saya," ujar Aleena. "Lupakan soal itu. Yang terpenting saat ini adalah kondisimu dan kehamilanmu, Aleena." Asher begitu tegas. Aleena hanya bisa diam cemberut. Apapun yang ia lakukan, bisa-bisa akan terus dilarang. Begini dan begitu akan salah dan mendapatkan tentangan dari Asher. Aleena harus mencari cara.Mereka berdua segera masuk ke dalam mobil. Cuaca masih dingin dan Aleena tetap hangat terjaga dengan balutan mantel hitam milik Asher yang dipinjamkan padanya. Gadis itu
"Sudah lima hari aku tidak mengajar. Anak-anak bisa ketinggalan pelajaran kalau aku tidak berangkat lagi besok." Aleena menggerutu sembari menatap beberapa buku di atas meja. Hari sudah malam pun tidak membuatnya merasa mengantuk mengingat pekerjaannya yang sempat tertunda. Bahkan gadis itu masih sempat mengoreksi hasil latihan soal anak-anak didiknya, memberikan nilai pada hasil praktek menggambar. "Nona Aleena, kenapa belum tidur?" Suara Bibi Julien membuat Aleena menoleh ke arah pintu kamarnya yang terbuka. Aleena tersenyum menatapnya sekilas. "Belum, Bi. Aku sedang memberikan nilai pada hasil praktek menggambar anak-anak. Besok aku akan kembali masuk kerja. Kasihan anak-anak kalau tidak ada yang mengajar." Mendengar hal itu, Bibi Julien lantas masuk ke dalam kamar dan mendekatinya. Wanita setengah baya dengan balutan dress berwarna putih itu pun mengusap pundak Aleena. "Nona, lebih baik Nona Aleena tidak usah bekerja lagi. Tuan pasti akan sangat marah kalau tahu Nona Aleen
Keesokan paginya, Aleena kembali ke sekolah seperti biasa. Memakai pakaian rapi dan blazer cokelat seperti yang dipakai guru-guru yang lainnya. Kedatangan Aleena disambut oleh semua temannya. Mereka tahu kalau Aleena sakit sejak beberapa hari sebelumnya. "Aleena, kau dirawat di rumah sakit atau bagaimana? Kami ingin menjengukmu tapi di rumah kontrakanmu tidak ada siapa-siapa," ujar Elodie, salah satu temannya. "Hm. Bahkan ada tetangga kontrakanmu yang bilang kalau kau pindah rumah, ya?" tanya Tuzet. "Kenapa kau tidak mengatakan pada kami?" Aleena tersenyum tipis. "Maaf teman-temannya, a-aku dan Papaku sudah pindah kontrakan," jawabnya berdusta. "Kan! Apa kubilang, Aleena pasti pindah tempat tinggal!" sahut Grecia dengan wajah kesal pada dua teman perempuannya itu. Aleena melirik ke arah Samuel yang kini tampak memperhatikannya dengan tatapan yang dalam dan sama penasarannya dengan teman-temannya yang lain. Hingga tiba-tiba terdengar suara gema langkah kaki di lorong utama sekol
Aleena pergi dari kawasan sekolah setelah berpamitan pada semua temannya. Termasuk Samuel yang berkata siap akan membantunya kapan saja. Dengan perasaan sedih, Aleena melangkah meninggalkan gedung sekolah itu selamanya. Gadis itu duduk di halte, terdiam dan tertunduk sedih. Fakta mengejutkan yang baru Aleena ketahui kalau Asher adalah pemilik yayasan itu hingga ia bisa melakukan apapun yang dia mau padanya. "Jahat sekali," lirih Aleena memeluk erat buku-buku miliknya. "Jika ingin membuatku patuh padanya, apa harus dia membuatku kehilangan pekerjaanku?" tanyanya. "Kalau sudah begini, bagaimana nasibku nanti?" Aleena mengusap air matanya dan menekan kuat-kuat dirinya untuk tidak menangis di tempat umum. Tak lama kemudian, sebuah bus pun berhenti di depan Aleena. Gadis itu bergegas masuk ke dalam bus dan mencari tempat duduk yang nyaman. Di sana Aleena terduduk lemas dengan tatapan kosongnya. Kepalanya terasa berisik memikirkan segala hal. "Tubuhku seketika terasa lelah dan lemas.
"Membuat saya patuh dengan cara yang Tuan lakukan sekarang ini adalah hal yang jahat bagi saya, Tuan!"Aleena mendorong dada Asher hingga laki-laki itu mundur satu langkah. "Tuan adalah laki-laki paling jahat yang pernah saya kenal," ujar Aleena menyeka air matanya cepat. Asher tidak bereaksi apapun, ia paham kalau Aleena bisa mudah marah, mudah senang, mudah sedih, dan moodnya yang berubah-ubah. "Lalu, setelah kau marah seperti ini, apa yang akan kau dapatkan?" tanya Asher maju mendekatinya lagi. "Cukup, Tuan! Saya tidak mau melihat Tuan Asher lagi! Pergi!" Aleena mendorong lengan Asher dengan kesal. "Pergi, saya benar-benar marah pada Tuan!" Bukannya pergi atau membujuknya, Asher justru gemas bisa melihat untuk pertama kalinya Aleena menunjukkan kemarahannya seperti ini. Aleena mendorong Asher dan berjalan melewatinya begitu saja. "Aleena, tunggu—" Asher memutar tubuhnya saat Aleena menghindar. Gadis itu menutup pintu kamar dengan keras dan menguncinya dari dalam. Hal ini me
Karena Aleena sudah tidak lagi mengajar, gadis itu punya waktu luang yang sangat panjang setiap harinya. Pagi ini, Aleena pergi ke rumah sakit menjenguk Papanya dan membawakan buah-buahan kesukaan Papanya. Liam begitu senang dengan kedatangan sang putri. Karena sudah beberapa hari lamanya ia dan Aleena tidak bertemu."Apa beberapa hari ini kau sangat sibuk, Nak?" tanya Liam menatapi Aleena yang kini mengupaskan buah apel untuknya. "Iya, Pa. Aleena sangat sibuk, karena itu Aleena tidak bisa mengunjungi Papa," jawabnya. "Maafkan Aleena, Pa ... pasti Papa mencemaskan Aleena, kan?" Liam tersenyum hangat dan mengangguk. "Tentu saja, Nak. Tapi Papa yakin kalau anak Papa, bisa menjaga diri dengan baik." Jawaban yang Papanya berikan membuat Aleena tersenyum manis, gadis itu menganggukkan kepalanya. "Pasti, Pa. Aleena akan selalu berhati-hati." Aleena duduk meletakkan pisau kecil di dalam keranjang buah yang berada di atas meja, ia menyerahkan potongan buah kepada Papanya. Gadis itu du
Setelah bertemu dengan Samuel dan berbincang dengannya selama beberapa menit di cafe, Aleena pun memutuskan untuk pulang saat hari sudah siang. Gadis itu berjalan masuk ke dalam kawasan rumah Asher. Di sana, Aleena melihat Asher bersama Jordan tampak baru keluar dari dalam mobil. Aleena hanya menatapnya sesaat dengan lirikan mata yang tajam dan kesal, sebelum melenggang tanpa mempedulikannya. Asher terkekeh menatapnya. "Hah, dasar wanita," ucapnya lirih. "Nyonya Aleena masih marah pada Tuan?" tanya Jordan pada sang Tuan. "Hm. Dia mengajakku perang dingin," jawab Asher sembari berjalan masuk ke dalam rumah. Jordan menatap sang Tuan. "Tapi, apa Tuan yakin tidak ingin menyapanya? Marahnya Nyonya Aleena mungkin hanya kelihatannya saja, Tuan. Sebenarnya, mungkin Nyonya ingin berada di dekat Tuan," ujar Jordan. "Bukankah wanita hamil itu biasanya manja pada suaminya?" Mendengar ucapan Jordan, sontak langkah kaki Asher langsung terhenti. Laki-laki itu terdiam sesaat dan berpikir. Jor
Hari sudah pagi, Aleena baru saja menyiapkan sarapan di lantai satu bersama pembantunya. Kini, gadis itu cantik itu berjalan masuk kembali ke dalam kamarnya. Di sana, Aleena melihat Theo yang baru saja bangun dan duduk di tengah ranjang sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. "Selamat pagi, Sayang," sapa Aleena mendekati Theo. Anak laki-laki itu langsung mengulurkan kedua tangannya pada Aleena. Aleena segera mendekatinya dan memeluk Theo sebelum ia menggendongnya. "Bagaimana, tidurnya nyenyak?" tanya Aleena. "Iya, Mama. Theo mau main mobil-mobilan warna merah," ujar anak itu. "Hm, mobil merah apa, Sayang?" tanya Aleena sambil menyahut lipatan handuk di atas sofa. Aleena segera membawa Theo dan memandikannya. Aleena pikir Theo akan banyak protes atau alih-alih anak ini akan marah-marah, tetapi justru tidak. Theo sama sekali tidak marah atau menangis. Setelah Aleena memandikan Theo, ia segera memakaikan pakaian yang rapi untuk putranya. Namun, Theo masih terus merengek-rengek menc
Tepat pukul sepuluh malam, Asher baru saja sampai di rumahnya. Laki-laki itu berjalan masuk ke dalam rumah dengan santai. Rasa hatinya senang dan lega karena ia baru saja bertemu dengan Aleena dan menghabiskan waktu bersama Aleena dan juga Theo. Namun, saat Asher hendak melangkah ke lantai dua, tiba-tiba muncul Marsha yang tengah menuruni anak tangga. Wanita itu mengerjapkan kedua matanya dan tampak mencari-cari. "Di mana Theo?" tanyanya bingung. "Theo ada di suatu tempat. Dia tidak mau pulang," jawab Asher, ia melangkah hendak melewati Marsha. Wanita itu, mencekal lengan Asher dan menatapnya dalam-dalam. "Di mana Theo, Asher?" tanya wanita itu dengan penuh penekanan. Asher menarik napasnya panjang. "Sudah aku jawab, bukan? Theo ada di suatu tempat.""Bagaimana bisa kau melakukan ini?! Kau meninggalkan anakmu di suatu tempat, dan kau sendiri pulang dengan santainya! Aku tidak pernah melihatmu sesantai ini saat Theo tidak di sampingmu! Bahkan sudah beberapa hari ini aku sama se
"Papa kenapa pulang? Kenapa tidak bobo di sini sama Theo dan Mama? Papa mau ke mana?" Theo mencekal erat bagian belakang mantel hitam yang Asher pakai saat ini. Asher menatap si kecil yang ragu-ragu, seperti antara ikut pulang Papanya, atau tinggal di sini dengan Mamanya malam ini. "Papa harus pulang, Sayang. Ini sudah malam. Mama harus istirahat, Nak," ujar Asher beralih menggendong Theo. "Katanya mau di sini saja sama Mama," ujar Aleena menatap cemberut putri kecilnya. "Mama kesepian kalau tidak ada Theo." "Emmm ... Theo maunya Paa bobo di sini juga," rengek anak itu memeluk leher Asher erat dan meletakkan kepalanya di pundak. Aleena mengusap punggung Theo dan menatapnya dengan tatapan sayang. Tentu saja, Aleena tidak ingin anaknya pulang dengan Asher. Ia ingin Theo tetap di sini bersamanya. Asher memperhatikannya wajah sedih Aleena. Laki-laki itu pun tersenyum tipis. "Theo hanya sedang mengantuk. Jangan khawatir, setelah di tidur, nanti tidurkan di dalam, ya," ujar Asher.
Rumah Liam yang biasanya sepi, sore ini menjadi sangat ramai sejak adanya Theo. Cucu laki-lakinya yang sangat ceria dan menggemaskan. Liam meminta Ronald mengajak Theo ke toko mainan dan mengambil mainan apa saja yang Theo mau.Dan kini, Theo tengah bermain di ruang tengah ditemani oleh Aleena, sambil meminum susu cokelat kesukaannya di dalam botol miliknya yang Asher bawakan kemarin. "Kalau minum susu tidak boleh sambil lari-larian, Sayang. Sini tidur di sini, Nak," bujuk Aleena, ia mengambil sebuah bantal dan meletakkan di pangkuannya. Anak itu berbaring di pangkuan Aleena sambil minum susu. "Mama, Theo mau bobo sini, boleh?" pintanya."Tentu saja boleh. Nanti tidur berdua dengan Mama ya, Sayang..." Aleena menunduk dan mengecup kening Theo. "Iya. Biarkan saja Papa sendirian. Siapa suruh Papa nakal sama Mama," serunya heboh. "Theo di sini menjaga Mama, menjaga Kakek," ujar anak itu. "Iya Sayang. Anak Mama memang pintar." Aleena mengusap rambut Theo dengan lembut. "Ayo, habiskan
Aleena sudah diizinkan pulang pagi ini. Ia dijemput oleh Papanya yang datang bersama seseorang. Tapi, kedatangan seorang laki-laki tampan bersama dengan Liam sungguh mengganggu ketenangan Asher. Dia adalah Christofer, yang ikut datang ke sana. Aleena kaget melihat Papanya datang bersama Christofer. "Loh ... Papa kenapa datang dengan Chris? Di mana Ronald?" tanya Aleena. "Ronald sedang ada urusan, jadi Papa meminta bantuan Chris," jawab Liam, ia melirik Asher yang berada di sana. "Papa tidak akan membiarkan dia mengantarkanmu. Yang ada nanti dia akan datang terus setiap hari." "Papa..." Aleena menatap lekat sang Papa. Aleena kembali menatap Christofer. "Maaf ya, Chris, kalau aku merepotkanmu." "Tidak masalah, Al," jawab Christofer, sambil tersenyum dan mengusap pucuk kepala Aleena. "Sudah, ayo kita pulang," ajak Liam merangkul Aleena. Mereka pun bergegas keluar dari dalam ruangan itu. Theo juga tampak sangat antusias berjalan digandeng oleh Aleena. Mereka bertiga berjalan di
Asher berjalan di lorong rumah sakit sore ini. Laki-laki itu membawa buket bunga Peony. Ia juga membelikan makanan kesukaan Aleena dan Theo. Namun, saat Asher melangkah di lorong menuju ruangan rawat Aleena, ia melihat seorang laki-laki tampan berbalut tuxedo navy keluar dari dalam sana. Langkah Asher pun terhenti, bahkan kini ia berpapasan dengan laki-laki itu dan mereka saling melirik dalam diam dan dingin. "Siapa laki-laki itu?" gumam Asher. Ia memutar sedikit tubuhnya dan menoleh ke belakang menatap laki-laki yang kini bergegas pergi. "Apa mungkin selama ini ... Aleena memiliki kekasih?" tanyanya entah pada siapa. Kedua tangan Asher terkepal seketika. "Wanita itu...." Segera Asher bergegas menuju kamar rawat inap Aleena. Ia membuka pintu dan melihat Aleena tengah bersama Theo, putra kecilnya itu tampak asik memakan sebuah donat cokelat. "Papa...!" Theo bersorak gembira melihat kedatangan Asher. "Halo, Sayang," Asher mengusap pucuk kepala si kecil. "Papa, lihat ... barusa
Siang ini, Liam datang ke rumah sakit menjenguk putrinya, karena semalam ia tidak sempat menemani Aleena. Seperti biasa, Liam sangat perhatian dan sayang pada putri semata wayangnya. Liam senang melihat Aleena tengah bersama Theo. "Pa ... Papa datang dengan siapa?" tanya Aleena pada sang Papa. "Dengan Ronald, Nak," jawab Liam sebelum ia melirik Theo dan tersenyum. "Theo tidak ikut pulang dengan Asher?" "Tidak, Pa. Dia ingin di sini menemaniku," jawab Aleena memeluk Theo yang masih tertidur.Liam tersenyum hangat, menahan wajah Theo memang seperti menatap Aleena dan Asher. Anak itu memiliki perpaduan wajah pas pada kedua orang tuanya. "Kepalamu masih pusing, Nak?" tanya Liam mengulurkan tangannya mengusap kepala Aleena. "Iya, Pa. Kadang pusing, kadang juga tidak." Aleena mengusap keningnya yang terlilit perban. "Tetapi, Aleena sudah merasa baikan." "Syukurlah kalau begitu." Pintu ruangan itu pun terbuka, tampak Ronald datang membawa paper bag dan meletakkannya di atas meja. "T
Malam ini Aleena bisa merasakan tidur memeluk Theo. Meskipun Asher menemani di sampingnya. Sejujurnya, Aleena tidak bisa tidur meskipun kepalanya sangat pusing. Di sisi lain, Asher juga tidak tidur. Laki-laki itu diam-diam seperti tengah memikirkan sesuatu yang begitu berat. Hingga tanpa sengaja, Asher menatap pada Aleena yang menatapnya. Laki-laki itu tersenyum mengulurkan telapak tangannya mengusap pucuk kepala Aleena dengan lembut hingga membuat sang empu cemberut kesal padanya. "Cepat tidur, Aleena," ujarnya membujuk. "Aku tidak mengantuk. Kau sendiri, cepat istirahat. Atau mungkin kalau kau ingin pulang, segeralah pulang. Aku akan di sini dengan Theo," seru Aleena menarik selimutnya. "Aku akan tetap di sini menemani kalian," jawab Asher."Awas saja kalau sampai istrimu itu datang ke sini marah-marah padaku seperti dulu!" kecam Aleena. "Aku tidak akan memaafkanmu, Asher!" Asher terkekeh mendengar apa yang Aleena ucapkan. Ternyata, setelah lima tahun mereka terpisah, Aleena
Dengan adanya Asher di sana, Aleena merasa tidak nyaman sama sekali. Meskipun ia dulunya pernah mencintai laki-laki ini dengan sepenuh hati, namun rasanya Aleena tidak ingin mengulangi cinta itu lagi. Tetapi, setidaknya Aleena bersyukur karena ada Theo yang selalu mengajak Aleena berbincang dan manja padanya. "Mama, kepala Mama masih sakit, ya?" tanya anak itu sambil duduk di samping Aleena. "Iya, Sayang. Mama pusing," jawab Aleena sambil mengusap pipi Theo. "Emmm ... kalau Mama sudah sembuh, nanti pulang ke rumah Papa ya, Ma. Theo maunya tinggal sama Mama, bukan sama Mama itu," serunya sambil berbaring dan memeluk Aleena.Mama itu? Siapa? Aleena bertanya-tanya dalam diamnya. Berarti Asher mempunyai istri lagi, apakah tetap Marsha? Atau wanita lain lagi? Entah kenapa, dalam relung hatinya yang terdalam, ada rasa kecewa yang ingin coba Aleena abaikan saat ini. Sekalipun laki-laki itu memiliki istri atau bagaimanapun, menyendiri sekalipun, Aleena tidak peduli. "Mama..." Theo mema