Semalaman Asher menjaga Aleena di rumah sakit. Saat malam berganti pagi, laki-laki itu memutuskan untuk pulang saat Aleena sedang tidur. Asher sudah memerintahkan Jordan untuk berjaga sementara ia pulang ke rumah.Tepat pukul enam pagi Asher tiba dan masuk ke dalam rumah. Ia melihat istrinya duduk di ruang tamu. "Sampai pulang pagi, ternyata kau bisa melebihi aku," ujar Marsha tiba-tiba. Asher meliriknya tanpa selera, tidak ada jawaban apapun yang keluar dari bibirnya. Ia tetap melangkah dan tak menghiraukannya sama sekali.Merasa diabaikan oleh Asher, Marsha mengepalkan tangannya kesal. "Semalam kau pergi ke mana, Asher? Kenapa kau meninggalkan aku di pesta keluargamu?!" tanya Marsha beranjak dari duduknya. Langkah Asher terhenti di pertengahan anak tangga. Laki-laki itu menoleh dan menatapnya dingin. "Apa penting, aku mengatakannya padamu ke mana aku pergi?" Asher justru bertanya balik padanya. "Apa kau pergi dengan gadis itu? Atau ... jangan-jangan sekarang kau menyembunyika
Aleena berdiam seorang diri di dalam kamar inapnya. Gadis itu baru saja meminum vitamin yang telah dokter berikan padanya. Tampak Aleena duduk di atas ranjang dan bersandar, kedua mata indahnya menatap lurus ke arah jendela. Di luar, salju masih turun dengan cukup tebal. "Sudah tiga hari aku tidak menjenguk Papa, pasti Papa kepikiran," gumamnya tanpa sadar.Aleena tertunduk menatap baju rumah sakit yang kini ia pakai dan kembali menyandarkan kepalanya dengan perasaan gelisah. "Tidak mungkin juga aku menemui Papa dengan pakaian rumah sakit seperti ini, Papa pasti akan khawatir dan cemas. Lalu aku harus menjawab apa kalau Papa bertanya soal keadaanku?" Perlahan, Aleena mengusap perutnya yang masih rata. Ia teringat saat Asher berbisik di telinganya dan mengatakan kalau saat ini ia tengah hamil. Antara bahagia dan sedih menjadi satu dalam hatinya. Aleena bahagia karena ia berhasil mengandung anak untuk Asher dan Marsha. Tetapi sedihnya ... Aleena tidak bisa menemui Papanya bila kand
Setelah kondisi Aleena membaik, dokter pun menyarankan Aleena pulang hari ini. Bersama dengan Asher yang selalu mendampinginya, laki-laki itu sangat posesif, banyak melarang Aleena untuk melakukan hal ini dan itu. Mereka berdua kini tengah berjalan di lorong rumah sakit. Asher merangkulnya dengan sangat posesif. "Sesampainya di rumah nanti, kau harus beristirahat dan tidak usah mengerjakan apapun," ujar Asher meliriknya. "Tapi Tuan, saya masih ada tanggungan tugas anak-anak di sekolah. Mereka pasti menunggu saya," ujar Aleena. "Lupakan soal itu. Yang terpenting saat ini adalah kondisimu dan kehamilanmu, Aleena." Asher begitu tegas. Aleena hanya bisa diam cemberut. Apapun yang ia lakukan, bisa-bisa akan terus dilarang. Begini dan begitu akan salah dan mendapatkan tentangan dari Asher. Aleena harus mencari cara.Mereka berdua segera masuk ke dalam mobil. Cuaca masih dingin dan Aleena tetap hangat terjaga dengan balutan mantel hitam milik Asher yang dipinjamkan padanya. Gadis itu
"Sudah lima hari aku tidak mengajar. Anak-anak bisa ketinggalan pelajaran kalau aku tidak berangkat lagi besok." Aleena menggerutu sembari menatap beberapa buku di atas meja. Hari sudah malam pun tidak membuatnya merasa mengantuk mengingat pekerjaannya yang sempat tertunda. Bahkan gadis itu masih sempat mengoreksi hasil latihan soal anak-anak didiknya, memberikan nilai pada hasil praktek menggambar. "Nona Aleena, kenapa belum tidur?" Suara Bibi Julien membuat Aleena menoleh ke arah pintu kamarnya yang terbuka. Aleena tersenyum menatapnya sekilas. "Belum, Bi. Aku sedang memberikan nilai pada hasil praktek menggambar anak-anak. Besok aku akan kembali masuk kerja. Kasihan anak-anak kalau tidak ada yang mengajar." Mendengar hal itu, Bibi Julien lantas masuk ke dalam kamar dan mendekatinya. Wanita setengah baya dengan balutan dress berwarna putih itu pun mengusap pundak Aleena. "Nona, lebih baik Nona Aleena tidak usah bekerja lagi. Tuan pasti akan sangat marah kalau tahu Nona Aleen
Keesokan paginya, Aleena kembali ke sekolah seperti biasa. Memakai pakaian rapi dan blazer cokelat seperti yang dipakai guru-guru yang lainnya. Kedatangan Aleena disambut oleh semua temannya. Mereka tahu kalau Aleena sakit sejak beberapa hari sebelumnya. "Aleena, kau dirawat di rumah sakit atau bagaimana? Kami ingin menjengukmu tapi di rumah kontrakanmu tidak ada siapa-siapa," ujar Elodie, salah satu temannya. "Hm. Bahkan ada tetangga kontrakanmu yang bilang kalau kau pindah rumah, ya?" tanya Tuzet. "Kenapa kau tidak mengatakan pada kami?" Aleena tersenyum tipis. "Maaf teman-temannya, a-aku dan Papaku sudah pindah kontrakan," jawabnya berdusta. "Kan! Apa kubilang, Aleena pasti pindah tempat tinggal!" sahut Grecia dengan wajah kesal pada dua teman perempuannya itu. Aleena melirik ke arah Samuel yang kini tampak memperhatikannya dengan tatapan yang dalam dan sama penasarannya dengan teman-temannya yang lain. Hingga tiba-tiba terdengar suara gema langkah kaki di lorong utama sekol
Aleena pergi dari kawasan sekolah setelah berpamitan pada semua temannya. Termasuk Samuel yang berkata siap akan membantunya kapan saja. Dengan perasaan sedih, Aleena melangkah meninggalkan gedung sekolah itu selamanya. Gadis itu duduk di halte, terdiam dan tertunduk sedih. Fakta mengejutkan yang baru Aleena ketahui kalau Asher adalah pemilik yayasan itu hingga ia bisa melakukan apapun yang dia mau padanya. "Jahat sekali," lirih Aleena memeluk erat buku-buku miliknya. "Jika ingin membuatku patuh padanya, apa harus dia membuatku kehilangan pekerjaanku?" tanyanya. "Kalau sudah begini, bagaimana nasibku nanti?" Aleena mengusap air matanya dan menekan kuat-kuat dirinya untuk tidak menangis di tempat umum. Tak lama kemudian, sebuah bus pun berhenti di depan Aleena. Gadis itu bergegas masuk ke dalam bus dan mencari tempat duduk yang nyaman. Di sana Aleena terduduk lemas dengan tatapan kosongnya. Kepalanya terasa berisik memikirkan segala hal. "Tubuhku seketika terasa lelah dan lemas.
"Membuat saya patuh dengan cara yang Tuan lakukan sekarang ini adalah hal yang jahat bagi saya, Tuan!"Aleena mendorong dada Asher hingga laki-laki itu mundur satu langkah. "Tuan adalah laki-laki paling jahat yang pernah saya kenal," ujar Aleena menyeka air matanya cepat. Asher tidak bereaksi apapun, ia paham kalau Aleena bisa mudah marah, mudah senang, mudah sedih, dan moodnya yang berubah-ubah. "Lalu, setelah kau marah seperti ini, apa yang akan kau dapatkan?" tanya Asher maju mendekatinya lagi. "Cukup, Tuan! Saya tidak mau melihat Tuan Asher lagi! Pergi!" Aleena mendorong lengan Asher dengan kesal. "Pergi, saya benar-benar marah pada Tuan!" Bukannya pergi atau membujuknya, Asher justru gemas bisa melihat untuk pertama kalinya Aleena menunjukkan kemarahannya seperti ini. Aleena mendorong Asher dan berjalan melewatinya begitu saja. "Aleena, tunggu—" Asher memutar tubuhnya saat Aleena menghindar. Gadis itu menutup pintu kamar dengan keras dan menguncinya dari dalam. Hal ini me
Karena Aleena sudah tidak lagi mengajar, gadis itu punya waktu luang yang sangat panjang setiap harinya. Pagi ini, Aleena pergi ke rumah sakit menjenguk Papanya dan membawakan buah-buahan kesukaan Papanya. Liam begitu senang dengan kedatangan sang putri. Karena sudah beberapa hari lamanya ia dan Aleena tidak bertemu."Apa beberapa hari ini kau sangat sibuk, Nak?" tanya Liam menatapi Aleena yang kini mengupaskan buah apel untuknya. "Iya, Pa. Aleena sangat sibuk, karena itu Aleena tidak bisa mengunjungi Papa," jawabnya. "Maafkan Aleena, Pa ... pasti Papa mencemaskan Aleena, kan?" Liam tersenyum hangat dan mengangguk. "Tentu saja, Nak. Tapi Papa yakin kalau anak Papa, bisa menjaga diri dengan baik." Jawaban yang Papanya berikan membuat Aleena tersenyum manis, gadis itu menganggukkan kepalanya. "Pasti, Pa. Aleena akan selalu berhati-hati." Aleena duduk meletakkan pisau kecil di dalam keranjang buah yang berada di atas meja, ia menyerahkan potongan buah kepada Papanya. Gadis itu du
Cahaya matahari berwarna jingga sore ini. Arabelle ditemani Theo berdua di depan gerbang sekolah menunggu Ayah gadis menjemputnya. Theo yang masih ada jadwal latihan basket pun belum diperbolehkan pulang. Dan ia menemani Arabelle di sana. "Kenapa Ayah lama sekali?" gerutu Arabelle meremas tongkat di tangannya. "Mungkin masih di kantor," jawab Theo. "Pasti sekarang sudah di perjalanan. Papa paham kalau Ayahmu sekarang tidak bisa bekerja full seperti dulu." "Om Asher tidak marah kan, Kak?" tanya Arabelle. "Tentu saja tidak." Theo tersenyum dan mengusap pucuk kepala Arabelle dengan lembut. Arabelle pun juga tersenyum. Gadis itu memeluk satu lengan Theo dan menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Dari dalam gerbang sekolah, muncul seorang siswa membawa sebuah motor sport sama seperti milik Theo dan dia berhenti di depan gerbang menoleh ke arah Theo dan Arabelle. "Sedang apa berduaan di sini?" tanyanya pada mereka berdua. "Mau apa? Kau tidak terima? Atau iri?!" seru Theo tanpa sung
Saat jam istirahat, Arabelle berada di dalam kelas sendirian. Gadis itu duduk diam dan mendengarkan materi listening yang Mr. Diana berikan padanya tadi. Berkali-kali Arabelle mendengarkannya. Sampai tiba-tiba saja gadis itu tersentak saat seseorang menempelkan susu kotak dingin di pipinya. "Aduh, ya ampun..." Arabelle terperanjat. Suara kekehan terdengar begitu renyah dan manis. Arabelle terdiam sejenak, suara itu bukanlah suara Theo, tetapi suara Harvey. Arabelle tersenyum tipis menyadari keberadaan Harvey di sana. "Selamat datang lagi di sekolah, Arabelle," ucap Harvey mengusap pucuk kepala Arabelle. "Kak Harvey, aku pikir siapa..." "Pasti kau pikir Theo, kan?" tanyanya. "Heem." Arabelle langsung mengangguk. Harvey meraih satu bangku dan duduk di sana. Laki-laki itu menatap wajah Arabelle yang tampak semakin putih, bersih, dan cantik setelah beberapa minggu Arabelle tidak pergi ke sekolah. Bagaimanapun juga, Harvey sangat menyukai gadis ini meskipun ia tahu kalau Arabelle
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle bersekolah setelah sempat beberapa Minggu gadis itu tidak hadir ke sekolah. Arabelle datang bersama dengan Ayahnya. Guru-guru pun tampak senang Arabelle sudah kembali bersekolah, terlebih lagi saat ini kepala sekolah di tempat itu sudah diganti dan murid yang merundung Arabelle pun juga sudah dikeluarkan dari sekolah."Ara, nanti kalau pulang sekolah jangan akal-akalan pulang sendirian, oke!" Jordan menatap putrinya yang berdiri di depan pintu kelas. Arabelle mengangguk. "Iya, Ayah. Siap!" Jordan beralih menatap Vivian yang ada di samping Arabelle. "Vian, tolong bantu Arabelle, ya, Nak," ujar Jordan pada gadis berambut sepundak itu. "Iya, Om. Jangan khawatir, saya pasti akan membantu Arabelle. Om tidak perlu cemas, sekali ada saya, semuanya aman!" seru Vivian memeluk Arabelle dan tersenyum gemas. Jordan pun ikut tersenyum, laki-laki itu merasa lega saat melihat putrinya sudah kembali tersenyum manis bersama teman-temannya. "Kalau begitu, A
Kedatangan Arabelle membuat Theo dan kedua adiknya tampak begitu senang. Gadis itu datang tanpa mengabari Theo lebih dulu. Theo juga langsung mendekati Arabelle yang tengah bersama dengan Ayahnya dan juga bersama kedua orang tua Theo. Tatapan Jordan menajam pada Theo saat pemuda itu mendekat. "Kenapa ada acara tidak bilang-bilang pada Paman?! Sengaja tidak mengundang Paman?!" seru Jordan pada Theo. Theo terkekeh geli. "Tidak begitu, Paman..." Pemuda itu mendekati Arabelle yang duduk di samping Leo dan Lea, juga Vivian di sana. Theo duduk di samping Leo dan merangkul Arabelle dari belakang. "Kau mengajak Ayah ke sini?" tanya Theo pada Arabelle. Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Kak." Theo menghela napasnya pelan. "Padahal aku tadi sempat berpikir mau ke sana setelah membantu anak-anak membakar ikan. Aku terus kepikiran dirimu, Ra. Hanya kau saja yang tidak ada di sini." "Tidak apa-apa, Kak. Ini Ara sudah di sini." Theo tersenyum mengusap pucuk kepala Arabelle. "Heem,
Suasana malam di rumah Theo sangat ramai malam ini. Semua teman-teman Theo datang dan mereka tampak gembira dengan acara memanggang ikan dan makanan lainnya di halaman teras samping. Theo duduk di sebuah sofa teras, ia terdiam menatap teman-temannya yang heboh sendiri. Di sampingnya ada Dylan bersama Lea. "Adik Lea cantik sekali malam ini? Wahh ... bajunya lucu sakali warna merah muda," ujar Dylan menekuk kedua lututnya di hadapan Lea. Lea mengerjapkan kedua matanya menatap Dylan. Anak perempuan itu menunjukkan lengannya dan bandana merah milik Dylan masih terpasang di sana. "Ini dari Kak Dylan dulu," ujarnya dengan senyuman gemas. "Masih disimpan?" "Masih. Tidak boleh hilang," jawab anak perempuan itu. "Tante harus menyimpannya baik-baik, Dylan. Pernah dulu basah saat Lea mandi, dia menangis seharian," sahut Aleena dari belakang, wanita itu meletakkan sebuah teko besar berisi minuman dingin. Dylan terkekeh mendengarnya. "Padahal hanya bandana saja, Tan." "Heem, tapi dia bila
Semua teman-teman Theo tampak terkejut dengan kedatangan Jonath yang bisa bersamaan dengan Vivian. Mereka berdua pun juga terlihat kikuk."Kenapa kalian bisa bersamaan datangnya?" tanya Theo pada Jonat dan Vivian. "Kau bilang tadi kau mau pergi ke rumah Nenekmu! Terus kenapa kau ada di sini?" tanya Gery menatap Jonath. Pemuda itu duduk di samping Theo. "Tidak jadi, aku mencari kalian di mana-mana. Tidak sengaja bertemu dengan dia!" serunya menunjuk Vivian dengan dagunya. "Oh, aku pikir kalian pacaran," sahut Dylan. "What the hell! Vian, pacaran sama Kak Jonath, ilfil sekali!" serunya dengan bergidik geli. Seketika, Vero menepuk-nepuk pundak Jonath. "Wahh ... wahh, belum tahu dia dengan aura-aura terdalam dari seorang Jonath!" serunya. Gery dan Theo mengangguk kompak sambil tertawa, sedangkan Vivian duduk bersama Arabelle dan memeluk sahabatnya itu. "Vian, Vian ... kau terlalu meremehkan Jonath. Cewek mana yang di perumahan jalan Hydrangea yang belum pernah jadi pacar Jonath.
Theo mengajak Arabelle ke sebuah taman yang berada tidak jauh dari kediaman Jordan. Setiap langkah yang Arabelle ambil, Theo begitu memperhatikannya dengan betul. "Hati-hati, Ra. Sedikit ke kiri, di depan ada anak kecil-kecil main bola. Kalau sampai bola itu mengenalmu, bisa aku tendang mereka semua," seru Theo. Arabelle terkekeh mendengarnya. "Kak Theo tidak malu mengajakku seperti ini? Lihat, aku membawa tongkat seperti orang buta." Theo menatap wajah gadis itu dari samping. "Kenapa harus malu. Di dunia tidak ada manusia yang sempurna, kan? Lagipula, kau juga tidak betul-betul buta. Kau hanya sedang sakit, Arabelle..." Pemuda itu mengusap pucuk kepala Arabelle dengan gemas. "Ayo duduk di sana." Mereka berdua berjalan ke arah sebuah bangku taman. Theo merangkul Arabelle dan mengajaknya duduk di sebuah bangku taman. Sebelumnya, Theo sudah membeli banyak cemilan dan juga minuman-minuman sejak perjalanan ke taman tadi. "Mau minum air putih?" tawar Theo. "Boleh." Arabelle mengang
Keesokan paginya, Theo benar-benar menepati janjinya dan ia sungguh datang ke kediaman Jordan pagi ini. Theo membawa satu kotak berisi sandwich dan susu kotak rasa stroberi kesukaan Arabelle. Pemuda itu membawa mobil baru milik Papanya, Theo memarkirkannya di depan rumah Jordan. "Permisi, Kek ... selamat pagi," sapa Theo pada Julian, Papa Jordan. "Heem, pagi juga, Theo," balas Julian tersenyum. "Sana masuk, Arabelle masih sarapan dengan Papanya di belakang." "Iya, Kek." Theo berjalan masuk ke dalam rumah. Pemuda itu melangkah ke arah ruang makan, langkah Theo terhenti di sana saat ia melihat Arabelle tengah disuapi oleh sang Ayah. Rasa terenyuh dirasakan oleh Theo. Apakah anak perempuan di dunia ini benar-benar sangat dicintai dan disayangi oleh Ayahnya? Bahkan tak hanya melihat Arabelle saat ini, di rumahnya pun ada Lea yang selalu diperlukan layaknya seorang princess oleh Asher. Theo melangkah ke arah mereka berdua. "Selamat pagi," sapanya penuh semangat. "Pagi..." Jordan m
Setelah pulang ke rumah seharian. Arabelle merasa sangat senang berada di rumah. Meskipun kali ini ia tidak bisa mandiri lagi seperti hari-hari kemarin. Malam ini, Arabelle duduk di kursi di dalam kamarnya. Gadis itu melipat kedua tangannya di atas meja dan meletakkan kepalanya di sana. 'Aku tidak bisa membaca pesan apapun di ponselku. Jangankan membaca, aku tidak bisa menemukan keberadaan ponselku saat ini,' batin Arabelle sedih dan sendu. Gadis itu memejamkan kedua matanya pelan. "Ya Tuhan, semoga kedua mataku cepat sembuh," lirihnya pelan. Arabelle mengangkat wajahnya cepat dan menoleh ke arah pintu kamarnya. Ia mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka. "Ayah..." "Ada Kak Theo," ujar Jordan pada Arabelle. Gadis itu terdiam sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk. "Heem." Jordan menatap Theo dan menepuk pundaknya dengan pelan. Theo pun melangkah masuk ke dalam kamar bernuansa merah muda milik Arabelle. Pemuda itu mendekati Arabelle dan Theo meraih satu kursi, ia memilih