"Membuat saya patuh dengan cara yang Tuan lakukan sekarang ini adalah hal yang jahat bagi saya, Tuan!"Aleena mendorong dada Asher hingga laki-laki itu mundur satu langkah. "Tuan adalah laki-laki paling jahat yang pernah saya kenal," ujar Aleena menyeka air matanya cepat. Asher tidak bereaksi apapun, ia paham kalau Aleena bisa mudah marah, mudah senang, mudah sedih, dan moodnya yang berubah-ubah. "Lalu, setelah kau marah seperti ini, apa yang akan kau dapatkan?" tanya Asher maju mendekatinya lagi. "Cukup, Tuan! Saya tidak mau melihat Tuan Asher lagi! Pergi!" Aleena mendorong lengan Asher dengan kesal. "Pergi, saya benar-benar marah pada Tuan!" Bukannya pergi atau membujuknya, Asher justru gemas bisa melihat untuk pertama kalinya Aleena menunjukkan kemarahannya seperti ini. Aleena mendorong Asher dan berjalan melewatinya begitu saja. "Aleena, tunggu—" Asher memutar tubuhnya saat Aleena menghindar. Gadis itu menutup pintu kamar dengan keras dan menguncinya dari dalam. Hal ini me
Karena Aleena sudah tidak lagi mengajar, gadis itu punya waktu luang yang sangat panjang setiap harinya. Pagi ini, Aleena pergi ke rumah sakit menjenguk Papanya dan membawakan buah-buahan kesukaan Papanya. Liam begitu senang dengan kedatangan sang putri. Karena sudah beberapa hari lamanya ia dan Aleena tidak bertemu."Apa beberapa hari ini kau sangat sibuk, Nak?" tanya Liam menatapi Aleena yang kini mengupaskan buah apel untuknya. "Iya, Pa. Aleena sangat sibuk, karena itu Aleena tidak bisa mengunjungi Papa," jawabnya. "Maafkan Aleena, Pa ... pasti Papa mencemaskan Aleena, kan?" Liam tersenyum hangat dan mengangguk. "Tentu saja, Nak. Tapi Papa yakin kalau anak Papa, bisa menjaga diri dengan baik." Jawaban yang Papanya berikan membuat Aleena tersenyum manis, gadis itu menganggukkan kepalanya. "Pasti, Pa. Aleena akan selalu berhati-hati." Aleena duduk meletakkan pisau kecil di dalam keranjang buah yang berada di atas meja, ia menyerahkan potongan buah kepada Papanya. Gadis itu du
Setelah bertemu dengan Samuel dan berbincang dengannya selama beberapa menit di cafe, Aleena pun memutuskan untuk pulang saat hari sudah siang. Gadis itu berjalan masuk ke dalam kawasan rumah Asher. Di sana, Aleena melihat Asher bersama Jordan tampak baru keluar dari dalam mobil. Aleena hanya menatapnya sesaat dengan lirikan mata yang tajam dan kesal, sebelum melenggang tanpa mempedulikannya. Asher terkekeh menatapnya. "Hah, dasar wanita," ucapnya lirih. "Nyonya Aleena masih marah pada Tuan?" tanya Jordan pada sang Tuan. "Hm. Dia mengajakku perang dingin," jawab Asher sembari berjalan masuk ke dalam rumah. Jordan menatap sang Tuan. "Tapi, apa Tuan yakin tidak ingin menyapanya? Marahnya Nyonya Aleena mungkin hanya kelihatannya saja, Tuan. Sebenarnya, mungkin Nyonya ingin berada di dekat Tuan," ujar Jordan. "Bukankah wanita hamil itu biasanya manja pada suaminya?" Mendengar ucapan Jordan, sontak langkah kaki Asher langsung terhenti. Laki-laki itu terdiam sesaat dan berpikir. Jor
Hingga pukul satu dini hari, Asher tak kunjung bisa tidur. Laki-laki itu berbaring di sofa yang berada di depan pintu kamar Aleena. Hal konyol seperti ini tak pernah terbayangkan oleh seorang Asher Benedict. Laki-laki itu menatap langit-langit ruangan yang remang dan gelap. "Aku merasa seperti laki-laki konyol," ucap Asher. "Menunggunya bangun, lalu dia mencariku dan melemparkan dirinya dalam pelukanku. Tetapi …." Asher menatap ke arah pintu kamar Aleena yang tertutup. "Gadis itu benar-benar bisa tidur sendirian dan aku terjaga hanya demi menunggunya menemuiku dan memohon meminta pelukanku.” Asher mengusap wajahnya. “Kau memang bodoh, Asher!" Laki-laki itu baru saja beranjak dari duduknya, melihat pintu kamar Aleena terbuka cepat hingga membuatnya tersentak menoleh ke arah pintu. Suara tarikan gagang pintu membuatnya membeku. Tampak Aleena di sana dengan wajah tegang dan berkeringat, napasnya naik turun dengan tubuh gemetar. "Aleena, ada apa?" Asher bergegas mendekati Aleena. G
Aleena bertekad untuk memulai pekerjaan baru. Bersama dengan Samuel, pagi ini Aleena mendatangi toko roti milik kerabat dekat Samuel. Kedatangan Aleena dan Samuel disambut ramah oleh seorang wanita setengah baya, pemilik mata biru, dan rambut kemerah-merahan yang cantik, meskipun usianya bisa dikatakan sedikit lebih tua. Dia adalah Bibi Baritha, pemilik toko roti itu. "Ohh ... jadi ini teman yang kau ceritakan, Sam?" tanya wanita itu sambil menatap Aleena. "Iya, Bi. Ini Aleena," ujarnya dengan tersenyum manis. Aleena tersenyum pada wanita itu dan membungkukkan badannya. "Senang bertemu dengan Nyonya," ucapnya ramah dan sopan. "Oh, ja-jangan panggil aku Nyonya. Panggil saja aku Bibi, oke?" ujarnya. "Karena kau teman keponakanku." Aleena mengangguk. "Baiklah, Bi." Mereka bertiga duduk bersama di dalam sebuah toko roti milik Bibi Baritha. Melihat seisi tempat itu, sepertinya Aleena betah bila bekerja di sana. "Kau bisa bekerja di sini mulai hari ini, Aleena. Karena Bibi selalu se
Siang tadi, Asher mencari Aleena ke rumah sakit, namun ia tidak menemukannya. Terpaksa Asher kembali ke kantor dan kini ia pulang di malam hari. Setelah turun dari dalam mobilnya, Asher bergegas menuju paviliun untuk memastikan apakah Aleena sudah pulang atau belum. Kedatangan Asher di paviliun pun disambut oleh Bibi Julien. "Tuan, selamat malam," sapanya dengan sopan. "Apa istriku sudah pulang, Bi?" tanyanya. "Sudah, Tuan. Nona pulang pukul setengah empat sore. Nona bilang setelah menjenguk Papanya, Nona berjalan-jalan di taman," jawab Bibi Julien menjelaskan. Tak ada jawaban apapun dari Asher. Laki-laki itu bergegas naik ke lantai dua dan menghampiri Aleena di dalam kamarnya. Dengan rasa kesal di hatinya, Asher siap mengomeli Aleena malam ini. Namun begitu ia membuka pintu kamar itu, Asher melihat Aleena meringkuk di tengah ranjang dengan wajah tenang dan tidur yang pulas."Aleena," panggil Asher pelan dan mendekat. Aleena tidak bangun. Tidurnya benar-benar seperti orang yan
Setelah beberapa hari, Aleena bisa melakukan pekerjaannya dengan baik. Ia bersyukur saat Bibi Julien ternyata tidak mengadukannya pada Asher. Aleena selalu pergi pagi dan pulang sore hari, seperti itu selama satu minggu ini tanpa ketahuan oleh Asher. Tetapi hari ini, saat Aleena pulang, ia melihat mobil Asher berada di depan rumah. "Tuan Asher sudah pulang," lirihnya menatap lurus ke depan sana. Gadis itu berjalan ke arah paviliun, ia membuka pintu dan disambut oleh Bibi Julien. "Nona Aleena." Bibi Julien menatapnya panik. "Tuan baru saja mencari Nona." Aleena mengembuskan napasnya panjang. "Lalu Bibi bilang apa pada Tuan? Bi-Bibi tidak mengatakan pada Tuan kalau aku pergi bekerja, kan?" tanya gadis itu. "Tidak Nona. Nona Aleena jangan khawatir, saya hanya mengatakan kalau Nona sedang pergi ke rumah sakit." Aleena mengangguk. "Terima kasih banyak ya, Bi. Apapun yang terjadi, jangan sampai Tuan tahu kalau aku sedang bekerja," ujarnya. Bibi Julien mengangguk. "Iya, Nona. Sekaran
Keesokan harinya, Aleena kembali bekerja seperti biasa. Berangkat saat Asher sudah tidak di rumah lagi, hingga Aleena bebas tanpa dimarahinya. Sesampainya di tempat kerja, Aleena pun langsung membersihkan tempat itu dan segera melayani para pembeli bersama Bibi Baritha.Dan kini, Aleena tengah menata beberapa roti panas ke dalam etalase, bersama bosnya tersebut. "Aleena, apa kau sudah punya kekasih?" tanya Bibi Baritha, wanita itu menoleh menatap Aleena. Sontak, pertanyaan itu membuat Aleena menghentikan kegiatannya sejenak dan menoleh sambil tersenyum. "Emm ... tidak Bi," jawabnya ragu. "Lalu, kalau belum punya kekasih, kenapa kau tidak mencoba berpacaran saja dengan Samuel? Bibi perhatikan, dia sangat menyukaimu, Al," ujarnya. "Kalau kalian benar-benar berpacaran, Bibi sangat yakin, apapun yang kau inginkan pasti akan dituruti oleh anak itu!" Mendengar hal itu, Aleena menundukkan kepalanya. Ternyata Aleena tidak besar kepala karena menganggap Samuel menyukainya, bahkan orang l
Cahaya matahari berwarna jingga sore ini. Arabelle ditemani Theo berdua di depan gerbang sekolah menunggu Ayah gadis menjemputnya. Theo yang masih ada jadwal latihan basket pun belum diperbolehkan pulang. Dan ia menemani Arabelle di sana. "Kenapa Ayah lama sekali?" gerutu Arabelle meremas tongkat di tangannya. "Mungkin masih di kantor," jawab Theo. "Pasti sekarang sudah di perjalanan. Papa paham kalau Ayahmu sekarang tidak bisa bekerja full seperti dulu." "Om Asher tidak marah kan, Kak?" tanya Arabelle. "Tentu saja tidak." Theo tersenyum dan mengusap pucuk kepala Arabelle dengan lembut. Arabelle pun juga tersenyum. Gadis itu memeluk satu lengan Theo dan menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Dari dalam gerbang sekolah, muncul seorang siswa membawa sebuah motor sport sama seperti milik Theo dan dia berhenti di depan gerbang menoleh ke arah Theo dan Arabelle. "Sedang apa berduaan di sini?" tanyanya pada mereka berdua. "Mau apa? Kau tidak terima? Atau iri?!" seru Theo tanpa sung
Saat jam istirahat, Arabelle berada di dalam kelas sendirian. Gadis itu duduk diam dan mendengarkan materi listening yang Mr. Diana berikan padanya tadi. Berkali-kali Arabelle mendengarkannya. Sampai tiba-tiba saja gadis itu tersentak saat seseorang menempelkan susu kotak dingin di pipinya. "Aduh, ya ampun..." Arabelle terperanjat. Suara kekehan terdengar begitu renyah dan manis. Arabelle terdiam sejenak, suara itu bukanlah suara Theo, tetapi suara Harvey. Arabelle tersenyum tipis menyadari keberadaan Harvey di sana. "Selamat datang lagi di sekolah, Arabelle," ucap Harvey mengusap pucuk kepala Arabelle. "Kak Harvey, aku pikir siapa..." "Pasti kau pikir Theo, kan?" tanyanya. "Heem." Arabelle langsung mengangguk. Harvey meraih satu bangku dan duduk di sana. Laki-laki itu menatap wajah Arabelle yang tampak semakin putih, bersih, dan cantik setelah beberapa minggu Arabelle tidak pergi ke sekolah. Bagaimanapun juga, Harvey sangat menyukai gadis ini meskipun ia tahu kalau Arabelle
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle bersekolah setelah sempat beberapa Minggu gadis itu tidak hadir ke sekolah. Arabelle datang bersama dengan Ayahnya. Guru-guru pun tampak senang Arabelle sudah kembali bersekolah, terlebih lagi saat ini kepala sekolah di tempat itu sudah diganti dan murid yang merundung Arabelle pun juga sudah dikeluarkan dari sekolah."Ara, nanti kalau pulang sekolah jangan akal-akalan pulang sendirian, oke!" Jordan menatap putrinya yang berdiri di depan pintu kelas. Arabelle mengangguk. "Iya, Ayah. Siap!" Jordan beralih menatap Vivian yang ada di samping Arabelle. "Vian, tolong bantu Arabelle, ya, Nak," ujar Jordan pada gadis berambut sepundak itu. "Iya, Om. Jangan khawatir, saya pasti akan membantu Arabelle. Om tidak perlu cemas, sekali ada saya, semuanya aman!" seru Vivian memeluk Arabelle dan tersenyum gemas. Jordan pun ikut tersenyum, laki-laki itu merasa lega saat melihat putrinya sudah kembali tersenyum manis bersama teman-temannya. "Kalau begitu, A
Kedatangan Arabelle membuat Theo dan kedua adiknya tampak begitu senang. Gadis itu datang tanpa mengabari Theo lebih dulu. Theo juga langsung mendekati Arabelle yang tengah bersama dengan Ayahnya dan juga bersama kedua orang tua Theo. Tatapan Jordan menajam pada Theo saat pemuda itu mendekat. "Kenapa ada acara tidak bilang-bilang pada Paman?! Sengaja tidak mengundang Paman?!" seru Jordan pada Theo. Theo terkekeh geli. "Tidak begitu, Paman..." Pemuda itu mendekati Arabelle yang duduk di samping Leo dan Lea, juga Vivian di sana. Theo duduk di samping Leo dan merangkul Arabelle dari belakang. "Kau mengajak Ayah ke sini?" tanya Theo pada Arabelle. Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Kak." Theo menghela napasnya pelan. "Padahal aku tadi sempat berpikir mau ke sana setelah membantu anak-anak membakar ikan. Aku terus kepikiran dirimu, Ra. Hanya kau saja yang tidak ada di sini." "Tidak apa-apa, Kak. Ini Ara sudah di sini." Theo tersenyum mengusap pucuk kepala Arabelle. "Heem,
Suasana malam di rumah Theo sangat ramai malam ini. Semua teman-teman Theo datang dan mereka tampak gembira dengan acara memanggang ikan dan makanan lainnya di halaman teras samping. Theo duduk di sebuah sofa teras, ia terdiam menatap teman-temannya yang heboh sendiri. Di sampingnya ada Dylan bersama Lea. "Adik Lea cantik sekali malam ini? Wahh ... bajunya lucu sakali warna merah muda," ujar Dylan menekuk kedua lututnya di hadapan Lea. Lea mengerjapkan kedua matanya menatap Dylan. Anak perempuan itu menunjukkan lengannya dan bandana merah milik Dylan masih terpasang di sana. "Ini dari Kak Dylan dulu," ujarnya dengan senyuman gemas. "Masih disimpan?" "Masih. Tidak boleh hilang," jawab anak perempuan itu. "Tante harus menyimpannya baik-baik, Dylan. Pernah dulu basah saat Lea mandi, dia menangis seharian," sahut Aleena dari belakang, wanita itu meletakkan sebuah teko besar berisi minuman dingin. Dylan terkekeh mendengarnya. "Padahal hanya bandana saja, Tan." "Heem, tapi dia bila
Semua teman-teman Theo tampak terkejut dengan kedatangan Jonath yang bisa bersamaan dengan Vivian. Mereka berdua pun juga terlihat kikuk."Kenapa kalian bisa bersamaan datangnya?" tanya Theo pada Jonat dan Vivian. "Kau bilang tadi kau mau pergi ke rumah Nenekmu! Terus kenapa kau ada di sini?" tanya Gery menatap Jonath. Pemuda itu duduk di samping Theo. "Tidak jadi, aku mencari kalian di mana-mana. Tidak sengaja bertemu dengan dia!" serunya menunjuk Vivian dengan dagunya. "Oh, aku pikir kalian pacaran," sahut Dylan. "What the hell! Vian, pacaran sama Kak Jonath, ilfil sekali!" serunya dengan bergidik geli. Seketika, Vero menepuk-nepuk pundak Jonath. "Wahh ... wahh, belum tahu dia dengan aura-aura terdalam dari seorang Jonath!" serunya. Gery dan Theo mengangguk kompak sambil tertawa, sedangkan Vivian duduk bersama Arabelle dan memeluk sahabatnya itu. "Vian, Vian ... kau terlalu meremehkan Jonath. Cewek mana yang di perumahan jalan Hydrangea yang belum pernah jadi pacar Jonath.
Theo mengajak Arabelle ke sebuah taman yang berada tidak jauh dari kediaman Jordan. Setiap langkah yang Arabelle ambil, Theo begitu memperhatikannya dengan betul. "Hati-hati, Ra. Sedikit ke kiri, di depan ada anak kecil-kecil main bola. Kalau sampai bola itu mengenalmu, bisa aku tendang mereka semua," seru Theo. Arabelle terkekeh mendengarnya. "Kak Theo tidak malu mengajakku seperti ini? Lihat, aku membawa tongkat seperti orang buta." Theo menatap wajah gadis itu dari samping. "Kenapa harus malu. Di dunia tidak ada manusia yang sempurna, kan? Lagipula, kau juga tidak betul-betul buta. Kau hanya sedang sakit, Arabelle..." Pemuda itu mengusap pucuk kepala Arabelle dengan gemas. "Ayo duduk di sana." Mereka berdua berjalan ke arah sebuah bangku taman. Theo merangkul Arabelle dan mengajaknya duduk di sebuah bangku taman. Sebelumnya, Theo sudah membeli banyak cemilan dan juga minuman-minuman sejak perjalanan ke taman tadi. "Mau minum air putih?" tawar Theo. "Boleh." Arabelle mengang
Keesokan paginya, Theo benar-benar menepati janjinya dan ia sungguh datang ke kediaman Jordan pagi ini. Theo membawa satu kotak berisi sandwich dan susu kotak rasa stroberi kesukaan Arabelle. Pemuda itu membawa mobil baru milik Papanya, Theo memarkirkannya di depan rumah Jordan. "Permisi, Kek ... selamat pagi," sapa Theo pada Julian, Papa Jordan. "Heem, pagi juga, Theo," balas Julian tersenyum. "Sana masuk, Arabelle masih sarapan dengan Papanya di belakang." "Iya, Kek." Theo berjalan masuk ke dalam rumah. Pemuda itu melangkah ke arah ruang makan, langkah Theo terhenti di sana saat ia melihat Arabelle tengah disuapi oleh sang Ayah. Rasa terenyuh dirasakan oleh Theo. Apakah anak perempuan di dunia ini benar-benar sangat dicintai dan disayangi oleh Ayahnya? Bahkan tak hanya melihat Arabelle saat ini, di rumahnya pun ada Lea yang selalu diperlukan layaknya seorang princess oleh Asher. Theo melangkah ke arah mereka berdua. "Selamat pagi," sapanya penuh semangat. "Pagi..." Jordan m
Setelah pulang ke rumah seharian. Arabelle merasa sangat senang berada di rumah. Meskipun kali ini ia tidak bisa mandiri lagi seperti hari-hari kemarin. Malam ini, Arabelle duduk di kursi di dalam kamarnya. Gadis itu melipat kedua tangannya di atas meja dan meletakkan kepalanya di sana. 'Aku tidak bisa membaca pesan apapun di ponselku. Jangankan membaca, aku tidak bisa menemukan keberadaan ponselku saat ini,' batin Arabelle sedih dan sendu. Gadis itu memejamkan kedua matanya pelan. "Ya Tuhan, semoga kedua mataku cepat sembuh," lirihnya pelan. Arabelle mengangkat wajahnya cepat dan menoleh ke arah pintu kamarnya. Ia mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka. "Ayah..." "Ada Kak Theo," ujar Jordan pada Arabelle. Gadis itu terdiam sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk. "Heem." Jordan menatap Theo dan menepuk pundaknya dengan pelan. Theo pun melangkah masuk ke dalam kamar bernuansa merah muda milik Arabelle. Pemuda itu mendekati Arabelle dan Theo meraih satu kursi, ia memilih