Malam ini Arabelle belajar di dalam kamarnya. Gadis cantik itu mengerjakan beberapa tugas-tugas yang diberikan oleh gurunya di sekolah. Gadis cantik meraih ponselnya yang tiba-tiba menyala. Arabelle membaca pesan masuk dari Theo yang bertanya apakah Arabelle sibuk atau tidak. Arabelle pun segera membalasnya dan tak berselang lama, Theo langsung menghubunginya. "Halo..." Arabelle tersenyum tipis menjawab panggilan itu. "Halo, sedang apa?" tanya Theo dibalik panggilan itu. "Sedang mencatat latihan soal, Kak. Kak Theo sedang apa?" "Sedang menjaga Lea. Dia baru saja ribut dengan Leo," jawab Theo. Arabelle menoleh saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Tampak sang Ayah masuk ke dalam kamar dan berjalan mendekatinya. Jordan meraih ponsel di tangan Arabelle. "Ehh ... Ayah!" Jordan menatap layar ponsel Arabelle di mana nama Theo terpampang jelas di sana. "Jangan menghubungi Arabelle dulu, atau besok paman adukan kau pada Papamu! Paham, Theo!" seru Jordan.Panggilan itu pun langsung
Theo duduk di sebuah bangku kursi kayu di sebuah kantin di belakang sekolah. Ia berkumpul dengan semua teman-temannya di sana. Theo tampak tidak bersemangat karena ia masih dalam masa dihukum oleh Papanya. "Woii! Di depan ramai, tuh!" teriak Adam yang baru saja datang. "Ada apa memangnya?" tanya Gerald sambil membuka minuman kalengnya. "Entah, anak-anak lari ke lorong belakang semua. Ms. Megalodon juga heboh banget," imbuh Gerald. Gery dan Theo langsung tertawa mendengarnya. Ms. Megalodon adalah julukan yang mereka berikan pada Ms. Oliv, guru seni yang memiliki tubuh gemuk. Hingga Theo dan kawan-kawannya memanggilnya dengan panggilan Ms. megalodon. "Ini Pak Bos, kenapa lemes?" tanya Jeremy—pemuda berkulit hitam yang kini duduk sambil meletakkan sikunya di pundak Theo. "Belum dibelai Bu kantin!" sahut Dylan sambil memainkan gitarnya. Theo langsung menoleh dengan tatapan sebal. "Sini, aku genjreng mulutmu!" serunya. "Sensi banget, Bos..." seru Adam menyenggol lengan Theo. "Ber
Begitu Theo sampai di sekolah, ia melihat mobil milik Jordan berada di sana. Theo pun langsung berlari di koridor depan. Ia melihat semua temannya berdiri di sana dengan ekspresi susah. "Bos, Papamu ikut," ujar Gery. "Papa?!" pekik Theo. Theo hendak berlari ke ruang kepala sekolah, tapi Gerald menahan pundaknya. "Jangan, Theo. Ayahnya Arabelle sangat marah," ujar Gerald. Alih-alih Theo mendengarkan, ia justru menepis tangan sahabatnya dan Theo berlari mendekati kantor kepala sekolah di ujung lorong. Dari sana terdengar suara amukan Jordan yang tidak main-main. Tidak mengelak, orang tua mana yang tidak akan marah jika melihat anaknya sampai seperti itu."Saya tidak akan tinggal diam atas apa yang menimpa anak saya! Saya akan tetap bersikeras membawa masalah ini ke ranah hukum!" teriak Jordan. "Bukti CCTV itu menunjukkan anak Anda yang merundung putri saya!" Theo sampai di depan ruang kepala sekolah, di sana sangat ramai semua anak bergerombol mengintip di balik jendela. Begitu
Jordan terduduk lemas di bangku tunggu di sebuah rumah sakit ibu kota. Bersama Asher bersamanya, ada juga Dokter Dion dan Ms. Diana di sana. Laki-laki dengan balutan tuxedo hitam itu tertunduk lesu saat Dokter Dion menjelaskan kondisi Arabelle saat ini. "Pihak rumah sakit masih harus memeriksa lebih lanjut untuk cedera indra penciuman milik Arabelle dan juga juga tulang hidungnya, yang ditakutkan terjadi keretakan atau sebagainya karena pukulan yang sangat keras. Juga ... kemungkinan bisa berefek pada syaraf penglihatannya," ujar Dokter Dion menjelaskan pada Jordan. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Jordan. Laki-laki itu mengusap wajahnya dan tidak mampu mengatakan apapun lagi saat ini. Selain diam dengan perasaannya yang sangat sedih. Dokter Dion dan Ms. Diana pun tak lama kemudian pamit untuk kembali ke sekolah lagi. Asher masih di sana bersama Jordan. Asher menepuk-nepuk pundak Jordan dengan pelan. "Aku minta maaf, Jordan," ucap Asher. "Karena putraku, Arabelle jadi b
Malam ini Theo datang ke rumah sakit lagi. Theo melihat Jordan duduk di bangku tunggu di depan. Tampaknya, Jordan masih dengan pakaian yang sama seperti pagi tadi. "Paman," sapa Theo, ia membawa paper bag berisi pakaian untuk Jordan, setelah Papanya yang menyuruhnya. Jordan mendongak dan menerimanya. "Terima kasih, Theo." Theo segera duduk di samping Jordan dan ia diam sejenak. "Bagaimana kondisi Arabelle, Paman?" "Dia tadi sudah bangun, Arabelle menangis kesakitan dan dia bilang pandangannya sangat buram. Tapi setelah dokter datang dan memeriksanya dia kembali tidur," jelas Jordan pada Theo. Bagaimanapun juga, sulit bagi Jordan untuk marah pada Theo, karena sejak Theo kecil, anak itu selalu bersama Jordan. Jordan menoleh dan menatap Theo. Ia tersenyum tipis sambil menepuk-nepuk pundak pemuda itu. "Aku minta maaf, Paman," ucap Theo lirih. "Ya. Paman tahu, doakan Arabelle cepat sembuh, Theo," ucap Jordan menyandarkan punggungnya. "Paman tidak sepenuhnya marah padamu. Paman han
Beberapa hari kemudian...Kondisi Arabelle sudah membaik, namun gadis itu masih dirawat di rumah sakit karena Arabelle masih perlu dipantau perkembangan fisik dan mentalnya. Arabelle merasa sedih saat pandangan matanya memburuk. Bahkan Arabelle tidak mampu melihat wajah orang dengan jelas, Arabelle tidak mampu membaca tulisan baik dari dekat ataupun dari jauh. Hal ini membuat mentalnya hancur. Sore ini, Arabelle duduk di dalam kamar inapnya seorang diri karena Papanya masih belum kembali. Arabelle diam menundukkan kepalanya dan ia berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Hingga tiba-tiba ia mendengar suara pintu terbuka. "Ayah..." "Ini aku, Arabelle." Arabelle langsung diam mengatupkan bibirnya, suara itu adalah suara milik Theo. Sejak dua hari yang lalu, Arabelle tidak mau bertemu dengan Theo, tapi Theo tidak menyerah. Dia tetap menemani Arabelle dengan baik. "Aku bawakan sponge cake untukmu, ada minuman susu stroberi juga," ujar Theo. "Aku tidak lapar," jawab Arabelle tan
"Ayah, hari ini Arabelle sudah boleh pulang?" Arabelle tampak tersenyum dengan wajah pucatnya, meskipun masih sedikit lebam di hidung dan bawah matanya. Melihat ekspresi Arabelle yang terkesan senang, Jordan tersenyum manis dan mengusap pucuk kepala putrinya. "Sudah, Sayang. Sebentar lagi suster akan ke sini mencabut jarum infusnya," jawab Jordan. Arabelle tersenyum manis. "Di rumah ada siapa saja, Yah? Tante Kaila dan Tante Janice ada, tidak?" tanya gadis itu. Jordan memperhatikannya dan menggelengkan kepalanya. "Tidak, Sayang. Kedua Tantemu sekarang tinggal di apartemen." "Tante ... tidak marah, Yah?" tanya Arabelle dengan pandangan sedikit kosong terarah pada Jordan. Sekali lagi, pandangan gadis itu sangat buram, dan ia gampang merasa silau saat ada cahaya berlebih. "Kenapa pula mereka marah? Tidak, Sayang..." Theo tersenyum gemas. Arabelle mengangguk kecil. Hingga tak lama kemudian, dokter dan suster pun masuk ke dalam ruangan itu diikuti Theo yang baru saja datang. Theo
Setelah pulang ke rumah seharian. Arabelle merasa sangat senang berada di rumah. Meskipun kali ini ia tidak bisa mandiri lagi seperti hari-hari kemarin. Malam ini, Arabelle duduk di kursi di dalam kamarnya. Gadis itu melipat kedua tangannya di atas meja dan meletakkan kepalanya di sana. 'Aku tidak bisa membaca pesan apapun di ponselku. Jangankan membaca, aku tidak bisa menemukan keberadaan ponselku saat ini,' batin Arabelle sedih dan sendu. Gadis itu memejamkan kedua matanya pelan. "Ya Tuhan, semoga kedua mataku cepat sembuh," lirihnya pelan. Arabelle mengangkat wajahnya cepat dan menoleh ke arah pintu kamarnya. Ia mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka. "Ayah..." "Ada Kak Theo," ujar Jordan pada Arabelle. Gadis itu terdiam sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk. "Heem." Jordan menatap Theo dan menepuk pundaknya dengan pelan. Theo pun melangkah masuk ke dalam kamar bernuansa merah muda milik Arabelle. Pemuda itu mendekati Arabelle dan Theo meraih satu kursi, ia memilih
Cahaya matahari berwarna jingga sore ini. Arabelle ditemani Theo berdua di depan gerbang sekolah menunggu Ayah gadis menjemputnya. Theo yang masih ada jadwal latihan basket pun belum diperbolehkan pulang. Dan ia menemani Arabelle di sana. "Kenapa Ayah lama sekali?" gerutu Arabelle meremas tongkat di tangannya. "Mungkin masih di kantor," jawab Theo. "Pasti sekarang sudah di perjalanan. Papa paham kalau Ayahmu sekarang tidak bisa bekerja full seperti dulu." "Om Asher tidak marah kan, Kak?" tanya Arabelle. "Tentu saja tidak." Theo tersenyum dan mengusap pucuk kepala Arabelle dengan lembut. Arabelle pun juga tersenyum. Gadis itu memeluk satu lengan Theo dan menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Dari dalam gerbang sekolah, muncul seorang siswa membawa sebuah motor sport sama seperti milik Theo dan dia berhenti di depan gerbang menoleh ke arah Theo dan Arabelle. "Sedang apa berduaan di sini?" tanyanya pada mereka berdua. "Mau apa? Kau tidak terima? Atau iri?!" seru Theo tanpa sung
Saat jam istirahat, Arabelle berada di dalam kelas sendirian. Gadis itu duduk diam dan mendengarkan materi listening yang Mr. Diana berikan padanya tadi. Berkali-kali Arabelle mendengarkannya. Sampai tiba-tiba saja gadis itu tersentak saat seseorang menempelkan susu kotak dingin di pipinya. "Aduh, ya ampun..." Arabelle terperanjat. Suara kekehan terdengar begitu renyah dan manis. Arabelle terdiam sejenak, suara itu bukanlah suara Theo, tetapi suara Harvey. Arabelle tersenyum tipis menyadari keberadaan Harvey di sana. "Selamat datang lagi di sekolah, Arabelle," ucap Harvey mengusap pucuk kepala Arabelle. "Kak Harvey, aku pikir siapa..." "Pasti kau pikir Theo, kan?" tanyanya. "Heem." Arabelle langsung mengangguk. Harvey meraih satu bangku dan duduk di sana. Laki-laki itu menatap wajah Arabelle yang tampak semakin putih, bersih, dan cantik setelah beberapa minggu Arabelle tidak pergi ke sekolah. Bagaimanapun juga, Harvey sangat menyukai gadis ini meskipun ia tahu kalau Arabelle
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle bersekolah setelah sempat beberapa Minggu gadis itu tidak hadir ke sekolah. Arabelle datang bersama dengan Ayahnya. Guru-guru pun tampak senang Arabelle sudah kembali bersekolah, terlebih lagi saat ini kepala sekolah di tempat itu sudah diganti dan murid yang merundung Arabelle pun juga sudah dikeluarkan dari sekolah."Ara, nanti kalau pulang sekolah jangan akal-akalan pulang sendirian, oke!" Jordan menatap putrinya yang berdiri di depan pintu kelas. Arabelle mengangguk. "Iya, Ayah. Siap!" Jordan beralih menatap Vivian yang ada di samping Arabelle. "Vian, tolong bantu Arabelle, ya, Nak," ujar Jordan pada gadis berambut sepundak itu. "Iya, Om. Jangan khawatir, saya pasti akan membantu Arabelle. Om tidak perlu cemas, sekali ada saya, semuanya aman!" seru Vivian memeluk Arabelle dan tersenyum gemas. Jordan pun ikut tersenyum, laki-laki itu merasa lega saat melihat putrinya sudah kembali tersenyum manis bersama teman-temannya. "Kalau begitu, A
Kedatangan Arabelle membuat Theo dan kedua adiknya tampak begitu senang. Gadis itu datang tanpa mengabari Theo lebih dulu. Theo juga langsung mendekati Arabelle yang tengah bersama dengan Ayahnya dan juga bersama kedua orang tua Theo. Tatapan Jordan menajam pada Theo saat pemuda itu mendekat. "Kenapa ada acara tidak bilang-bilang pada Paman?! Sengaja tidak mengundang Paman?!" seru Jordan pada Theo. Theo terkekeh geli. "Tidak begitu, Paman..." Pemuda itu mendekati Arabelle yang duduk di samping Leo dan Lea, juga Vivian di sana. Theo duduk di samping Leo dan merangkul Arabelle dari belakang. "Kau mengajak Ayah ke sini?" tanya Theo pada Arabelle. Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Kak." Theo menghela napasnya pelan. "Padahal aku tadi sempat berpikir mau ke sana setelah membantu anak-anak membakar ikan. Aku terus kepikiran dirimu, Ra. Hanya kau saja yang tidak ada di sini." "Tidak apa-apa, Kak. Ini Ara sudah di sini." Theo tersenyum mengusap pucuk kepala Arabelle. "Heem,
Suasana malam di rumah Theo sangat ramai malam ini. Semua teman-teman Theo datang dan mereka tampak gembira dengan acara memanggang ikan dan makanan lainnya di halaman teras samping. Theo duduk di sebuah sofa teras, ia terdiam menatap teman-temannya yang heboh sendiri. Di sampingnya ada Dylan bersama Lea. "Adik Lea cantik sekali malam ini? Wahh ... bajunya lucu sakali warna merah muda," ujar Dylan menekuk kedua lututnya di hadapan Lea. Lea mengerjapkan kedua matanya menatap Dylan. Anak perempuan itu menunjukkan lengannya dan bandana merah milik Dylan masih terpasang di sana. "Ini dari Kak Dylan dulu," ujarnya dengan senyuman gemas. "Masih disimpan?" "Masih. Tidak boleh hilang," jawab anak perempuan itu. "Tante harus menyimpannya baik-baik, Dylan. Pernah dulu basah saat Lea mandi, dia menangis seharian," sahut Aleena dari belakang, wanita itu meletakkan sebuah teko besar berisi minuman dingin. Dylan terkekeh mendengarnya. "Padahal hanya bandana saja, Tan." "Heem, tapi dia bila
Semua teman-teman Theo tampak terkejut dengan kedatangan Jonath yang bisa bersamaan dengan Vivian. Mereka berdua pun juga terlihat kikuk."Kenapa kalian bisa bersamaan datangnya?" tanya Theo pada Jonat dan Vivian. "Kau bilang tadi kau mau pergi ke rumah Nenekmu! Terus kenapa kau ada di sini?" tanya Gery menatap Jonath. Pemuda itu duduk di samping Theo. "Tidak jadi, aku mencari kalian di mana-mana. Tidak sengaja bertemu dengan dia!" serunya menunjuk Vivian dengan dagunya. "Oh, aku pikir kalian pacaran," sahut Dylan. "What the hell! Vian, pacaran sama Kak Jonath, ilfil sekali!" serunya dengan bergidik geli. Seketika, Vero menepuk-nepuk pundak Jonath. "Wahh ... wahh, belum tahu dia dengan aura-aura terdalam dari seorang Jonath!" serunya. Gery dan Theo mengangguk kompak sambil tertawa, sedangkan Vivian duduk bersama Arabelle dan memeluk sahabatnya itu. "Vian, Vian ... kau terlalu meremehkan Jonath. Cewek mana yang di perumahan jalan Hydrangea yang belum pernah jadi pacar Jonath.
Theo mengajak Arabelle ke sebuah taman yang berada tidak jauh dari kediaman Jordan. Setiap langkah yang Arabelle ambil, Theo begitu memperhatikannya dengan betul. "Hati-hati, Ra. Sedikit ke kiri, di depan ada anak kecil-kecil main bola. Kalau sampai bola itu mengenalmu, bisa aku tendang mereka semua," seru Theo. Arabelle terkekeh mendengarnya. "Kak Theo tidak malu mengajakku seperti ini? Lihat, aku membawa tongkat seperti orang buta." Theo menatap wajah gadis itu dari samping. "Kenapa harus malu. Di dunia tidak ada manusia yang sempurna, kan? Lagipula, kau juga tidak betul-betul buta. Kau hanya sedang sakit, Arabelle..." Pemuda itu mengusap pucuk kepala Arabelle dengan gemas. "Ayo duduk di sana." Mereka berdua berjalan ke arah sebuah bangku taman. Theo merangkul Arabelle dan mengajaknya duduk di sebuah bangku taman. Sebelumnya, Theo sudah membeli banyak cemilan dan juga minuman-minuman sejak perjalanan ke taman tadi. "Mau minum air putih?" tawar Theo. "Boleh." Arabelle mengang
Keesokan paginya, Theo benar-benar menepati janjinya dan ia sungguh datang ke kediaman Jordan pagi ini. Theo membawa satu kotak berisi sandwich dan susu kotak rasa stroberi kesukaan Arabelle. Pemuda itu membawa mobil baru milik Papanya, Theo memarkirkannya di depan rumah Jordan. "Permisi, Kek ... selamat pagi," sapa Theo pada Julian, Papa Jordan. "Heem, pagi juga, Theo," balas Julian tersenyum. "Sana masuk, Arabelle masih sarapan dengan Papanya di belakang." "Iya, Kek." Theo berjalan masuk ke dalam rumah. Pemuda itu melangkah ke arah ruang makan, langkah Theo terhenti di sana saat ia melihat Arabelle tengah disuapi oleh sang Ayah. Rasa terenyuh dirasakan oleh Theo. Apakah anak perempuan di dunia ini benar-benar sangat dicintai dan disayangi oleh Ayahnya? Bahkan tak hanya melihat Arabelle saat ini, di rumahnya pun ada Lea yang selalu diperlukan layaknya seorang princess oleh Asher. Theo melangkah ke arah mereka berdua. "Selamat pagi," sapanya penuh semangat. "Pagi..." Jordan m
Setelah pulang ke rumah seharian. Arabelle merasa sangat senang berada di rumah. Meskipun kali ini ia tidak bisa mandiri lagi seperti hari-hari kemarin. Malam ini, Arabelle duduk di kursi di dalam kamarnya. Gadis itu melipat kedua tangannya di atas meja dan meletakkan kepalanya di sana. 'Aku tidak bisa membaca pesan apapun di ponselku. Jangankan membaca, aku tidak bisa menemukan keberadaan ponselku saat ini,' batin Arabelle sedih dan sendu. Gadis itu memejamkan kedua matanya pelan. "Ya Tuhan, semoga kedua mataku cepat sembuh," lirihnya pelan. Arabelle mengangkat wajahnya cepat dan menoleh ke arah pintu kamarnya. Ia mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka. "Ayah..." "Ada Kak Theo," ujar Jordan pada Arabelle. Gadis itu terdiam sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk. "Heem." Jordan menatap Theo dan menepuk pundaknya dengan pelan. Theo pun melangkah masuk ke dalam kamar bernuansa merah muda milik Arabelle. Pemuda itu mendekati Arabelle dan Theo meraih satu kursi, ia memilih