“Berhenti membohongiku! Aku tau semalam kamu menyelinap masuk ke kamar Sherin. Siapa dia sebenarnya, Mas? Bukankah dia pekerja di rumah ini? Apa kamu sedang meniduri pembantu!”Suara Dewi terdengar sengit. Aku menoleh padanya, kutunda niatku untuk masuk ke dalam kamar mandi.“Apa maksudmu, Sayang. Aku benar-benar tertidur di sofa, maafkan aku meninggalkanmu semalam. Mengenai Sherin, bukankah sudah kubilang bahwa dia adalah istri Mang Kardi?”“Aku boleh saja kehilangan ingatanku, Mas. Aku juga boleh saja lumpuh. Tapi aku bukan perempuan bodoh! Jadi stop membohongiku. Sherin dan Mang Kardi tak saling mengenal, jangan memaksakan aku menerima alasanmu yang sama sekali tak masuk akal. Aku yakin wanita itu punya hubungan denganmu, kamarnya bahkan berada di samping kamar kita.”“Dewi ....” Aku berusaha menghampirinya.“Jangan menyentuhku! Katakan sejujurnya siapa dia. Apa dia wanita lainmu? Tega sekali kamu membawa wanitamu ke dalam rumahku! Wanita murahan itu bahkan sedang hamil dan aku yak
PoV Sherin.Pagi ini aku kembali berangkat pagi-pagi ke ZaZa Bakery dengan diantar Mang Kardi. Beberapa hari ini aku memang sengaja berangkat pagi untuk menghindari bertemu dengan Pak Randy ataupun Bu Dewi. Sejak Pak Randy berusaha mencumbuku di kamar hotel waktu itu, aku mulai menghindarinya. Begitupun dengan Bu Dewi, sejak ia menanyakan perihal hubunganku dengan Mang Kardi aku juga berusaha menghindarinya. Tak lagi kulakukan apa yang biasanya rutin kulakukan tiap pagi, yaitu membantu membersihkan tubuhnya.Sesaat setelah menutup pintu kamar, aku terpaku. Sepintas lalu, aku bisa mendengar suara teriakan dan raungan dari kamar Bu Dewi. Namun aku memilih mengindahkannya. Mungkin pasangan suami istri itu sedang memperdebatkan sesuatu, hanya saja dari hatiku yang paling dalam aku berharap mereka bukan berdebat tentangku.Semalam, disaat aku masih belum tidur karena memijat-mijat kakiku yang mulai terasa membengkak, Pak Randy mengirimiku pesan bahkan sebelumnya mengetuk pintu kamarku. Rup
Mang Kardi menghentikan mobilnya tepat di depan pintu rumah setelah menjemputku dari ZaZa. Kembali kuhela napasku dalam-dalam ketika netraku menangkap sosok wanita yang sedang duduk di atas kursi roda. Firasatku mengatakan jika Bu Dewi memang sedang menungguku, mengingat beberapa hari belakangan aku menghindari bertemu dengannya.“Enggak turun, Non?” Suara Mang Kardi.Kulihat Bu Dewi tersenyum sinis mendengarnya. Mang Kardi memang tak tahu menahu bahwa namanya dilibatkan Pak Randy saat pria itu mengaku pada istrinya bahwa aku adalah istri Mang Kardi. Ada keraguan dalam hatiku, namun aku kembali teringat kata-kata Mbak Hannan tadi pagi. Aku berhak bahagia! Aku yang jadi korban di sini, tak seharusnya aku yang selalu merasa bersalah dan menghindar. Aku tak mau mentalku kembali terganggu hanya karena tatapan sinis Bu Dewi. Aku harus menjaga diriku sendiri dan juga kandunganku.“Wah ... wah ... pasangan suami istri ini sudah pulang, ya. Enak sekali ya pasangan pembantu bisa bebas memakai
PoV Randy.Aku terpaksa memilih meninggalkan Dewi yang masih saja histeris dan memaki-maki Sherin. Bagaimana pun aku tak bisa membiarkan Sherin pergi begitu saja dari rumah ini. Lagi pula kemana wanita hamil itu akan pergi? Sepertinya kata-kata Dewi telah membuat Sherin tersinggung dan memilih pergi. Aku tak mau lagi menyalahkan siapa-siapa, aku sudah begitu lelah dengan kekacauan ini. Mungkin ini semua adalah salahku. Aku gagal menjadikan Dewi istri yang baik. Kurasa Dewi pun wajar marah dan memaki Sherin, istri mana yang tak sakit hati mendengar suaminya memiliki wanita lain. Sekarang baru kupahami betapa sakitnya Hannan dulu saat aku meninggalkannya, hanya saja Hannan wanita yang bisa mengendalikan dirinya.Mungkin saat itu hatinya pun hancur sama seperti yang dialami Dewi saat ini, namun Hannan tetap berusaha tersenyum di hadapan kedua putra kami. Sedangkan Dewi, tak ada yang perlu disembunyikannya, maka wajar jika ia menampakkan dan menumpahkan semua kemarahannya saat ini. Sher
Dewi terpekur dan menangis di atas pusara bertuliskan nama ayahnya di area taman makam pahlawan Jayapura. Aku memang akhirnya membawanya pulang ke Jayapura, dengan harapan agar ia bisa merasa sedikit lebih tenang di sini karena ia memang sangat mencintai kota kelahirannya ini. Kuusap lembut bahunya, dan menyeka sudut-sudut matanya dengan tisu. Sesungguhnya aku sangat iba melihatnya seperti ini. Dewi yang malang, ia memiliki segalanya tapi ia harus kehilangan sebagian dunianya karena kelumpuhan.Aku pun turut terpekur di depan pusara Pak Nugi, mantan atasanku. Jika saja dulu Pak Nugi tak memintaku menikahi putrinya, mungkin semua tak akan seperti ini. Namun semua telah terjadi, aku tak mungkin kembali ke masa lalu, lebih baik aku berusaha memperbaiki semuanya. Mungkin benar apa yang dikatakan Sherin, aku harus bersikap lembut pada Dewi agar ia mau mendengarkanku.“Apa Mas Randy akan meninggalkanku di sini dan kembali ke Jakarta hidup bersamanya?” tanya Dewi saat kami sudah kembali ke r
PoV Sherin.Semenjak Pak Randy mengantarku ke sebuah rumah kecil yang menurutnya adalah salah satu properti perusahaannya, kehidupanku sudah semakin tenang. Terlebih setelahnya Pak Randy benar-benar menyuruh asistennya mencarikan ART untuk menemaniku. Mbak Asih, begitu aku memanggil ART yang usianya tak tepaut jauh di atasku. Mbak Asih sangat membantuku dengan keberadaannya di rumah, terutama di saat aku merasa kakiku pegal-pegal karena kehamilanku yang semakin membesar.Beberapa tertangga di perumahan yang merupakan karyawan di Nugraha Corp. juga mulai bersikap baik dan menegurku, meski masih ada beberapa yang memandang sinis padaku. Ya, aku sadar, kondisiku yang tengah hamil apalagi mengandung anak dari mantan atasanku pastilah membuat mereka berpikir bahwa aku sengaja menjebak Pak Randy pada saat itu. Hinaan dan cibiran mereka pada saat Bu Dewi melabrakku di parkiran Nugraha Corp. ketika aku sedang bersama Pak Randy pun masih sering terdengar di telingaku. Namun aku berusaha untuk
Hingga usia kandunganku tinggal menghitung hari, Pak Randy masih sangat jarang menemuiku. Namun itu semua tak membuatku gundah. Pak Randy terakhir kali mengunjungiku sekitar dua minggu yang lalu. Itu pun ia hanya datang sebentar ke ZaZa Bakery dan harus membagi waktunya dengan menemani Zayn bermain.“Apa enggak sebaiknya cuti saja, Sher? Kandunganmu sudah sebesar ini dan tinggal menunggu waktu persalinan,” ucapnya waktu itu.“Justru aku merasa aman berada di sini, Pak. Serasa lagi di rumah sendiri dan dikelilingi oleh keluargaku yang selalu siap mebantu jika aku memerlukan uluran tangan mereka.”Pak Randy mengangguk, kurasa ia pun bisa melihat betapa kami semua di sini saling merangkul.“Sudah ketemu Mbak Hannan?” tanyaku.Pak Randy hanya mengangkat bahunya.“Aku kemari untuk mengunjungimu dan Zayn.” Kalimatnya menegaskan maksud kedatangannya.“Hannan sudah sangat bahagia, Sher. Aku tak mau kehadiranku di sekitarnya akan kembali membawa aura buruk bagi kehidupannya,” lanjut Pak Randy
PoV Hannan.Aku masih meringkuk di balik selimut dengan dekapan hangat suamiku ketika gawaiku berdering. Kulirik jam dinding di kamarku, baru pukul 2 dini hari. Siapa yang meneleponku subuh-subuh gini? Dengan hati-hati kutepiskan tangan Ray yang melingkar sempurna di pinggangku, lalu meraih gawaiku di atas nakas.Randy? Ada apa Randy meneleponku?[Maaf harus mengganggumu, Han. Aku enggak tau harus minta tolong pada siapa. Hanya kamu dan dr. Ray yang bisa kupercaya.]Suara Randy terdengar panik.[Ada apa, Randy? Katakan yang jelas.][Sherin, Han! Baru saja ART nya mengabariku kalau Sherin sedang mengalami kontraksi. Dia bingung tengah malam begini mau minta tolong pada siapa. Aku sudah menyuruh beberapa anak buahku ke sana, tapi aku lebih percaya kamu, Han. Kamu sudah berpengalaman dalam hal ini, lagipula suamimu seorang dokter.][Jadi aku harus bagaimana?] Aku pun kebingungan.[Bisakah kamu menemani datang ke rumah sakit dan menemani Sherin? Aku akan menyuruh anak buahku membawanya ke