Dr. Novia tertawa. “Bu Hannan tak perlu panik begitu, kami pasti akan mengutamakan tindakan penyelamatan pada pasien. Bu Hannan bisa bertindak sebagai penanggungjawab karena suaminya sudah memberi izin secara lisan pada Ibu. Lagipula ....”“Lagipula apa, Dok?”“Bu Hannan adalah istri dari direktur kami, bahkan hanya dengan perintahnya pun kami bisa segera melaukan tindakan. Jadi Bu Hannan tak perlu segan apalagi panik.”Ah, iya. Aku melupakan posisi suamiku di rumah sakit bergengsi ini. Aku kemudian meraih gawaiku dan memencet nomor Ray. Entah ke mana pria itu, aku sudah tak melihatnya lagi sejak menemani Sherin tadi.[Hmmmm ....]Hanya gumaman yang terdengar saat Ray mengangkat telepon.[Kamu di mana, Mas?][Di lantai 7 nih. Nungguin kamu belum nongol-nongol. Udah belum urusannya, buruan ke sini.]Oh My God! Pria ini benar-benar membuatku kesal. Ternyata ia tak main-main dengan ucapannya di rumah tadi.Kuceritakan padanya mengenai kondisi Sherin dan kondisi Randy yang belum bisa data
Setelah menunggu beberapa menit, Ray yang tadi meninggalkanku sendirian tak jua kunjung kembali. Aku pun semakin gelisah menunggu kabar tentang Sherin. Lalu langkah panjang Ray dari ujung koridor membuatku berlari kecil padanya.“Hey, bukannya sudah kubilang jangan lari-lari. Kamu sedang hamil, Sayang.” Ray juga berlari kecil untuk menahan tubuhku.“Ada apa dengan Sherin? Apa dia baik-baik saja?”“Sampai kapan kamu begini sih, Bun. Kamu lebih mementingkan kondisi orang lain dibanding dirimu sendiri. Tadi aku melihat laporan permintaan tambahan darah dari ruang operasi. Kemungkinan Sherin memerlukan transfusi darah.”“Apa ... apa itu artinya ia tidak sedang baik-baik saja?”“Hanya itu yang bisa kusampaikan, Bun. Tetaplah di sini menunggunya.”Aku mengangguk. Ray tak lagi mengajakku ke ruang pribadinya di lantai 7, ia justru menyuruhku menunggu Sherin di sini. Hal itu membuatku semakin bertanya-tanya. Aku merasa Ray tau sesuatu namun ia enggan menyampaikan padaku.Tanpa terasa aku just
Hingga hari kedua setelah Sherin melahirkan bayinya, aku masih bolak balik ke rumah sakit meski Ray selalu melarangku. Sherin sudah dipindahkan ke ruang perawatan, dan Randy selalu di sana menjaganya. Sementara menurut Ray, bayi mereka masih di inkubator. Ia hanya mengusap-usap kepalaku saat aku menanyakan kondisi bayi Sherin padanya.“Jangan berpikir yang berat-berat, Bun. Lebih baik fokus pada kondisi kesehatan dan kehamilanmu sendiri.” Hanya itu yang diucapkannya. Namun justru kalimatnya itu membuatku semakin yakin jika semua tak sedang baik-baik saja.Sherin pun meneteskan air matanya setiap kali aku datang menjenguknya.“Aku belum melihatnya, Mbak. Padahal aku sangat ingin mencium bayiku. Menurut perawat, ia masih belum boleh ditemui oleh siapapun, karena masih dalam kondisi kritis. Perawat hanya menyuruhku untuk tak terlalu khawatir, karena dr. Ray langsung yang menangani bayiku.”Aku mengangguk. Randy dengan cekatan meraih selembar tisu dan menyeka sudut mata Sherin. Lalu beber
PoV RandyAku hanya bisa memandang sosok mungil itu dari balik kaca inkubator. Ya, sosok mungil yang sangat kunantikan kehadirannya, bayiku yang selama sembilan bulan berada dalam rahin Sherin. Bayi yang hadir tanpa kusangka-sangka. Bayi yang ada karena perbuatan bejatku pada ibunya. Tak dapat lagi kutahan bendungan air mataku, bayi itu tak bergerak sama sekali, matanya tertutup rapat dengan kulitnya yang masih terlihat keriput.Bahuku terguncang karena tangisku. Meski aku tak pernah merencanakan kehadiran bayi itu, namun aku sangat menantikan kehadirannya. Hanya ia lah satu-satunya harapanku setelah Zayn, karena istriku Dewi sudah tak bisa memberiku keturunan lagi. Dan kini, bayi merah itu pun ternyata tak sanggup untuk bertahan. Menurut dr. Ray tadi, ia hanya bertahan karena bantuan alat-alat medis yang terpasang pada tubuhnya.“Arghhh!!!” Aku mengusap kasar wajahku dengan telapak tanganku. Dokter Ray yang menemaniku masuk ke ruang inkubator hanya memandangku tanpa ekspresi, sedangk
Satu minggu setelah kepergian bayi mungilku kembali kepada pencipta-Nya, Sherin belum juga pulih dan masih harus menjalani perawatan di rumah sakit. Pekerjaanku di kantor juga sedang padat-padatnya, apalagi beberapa waktu belakangan aku selalu meninggalkan kantor beberapa hari untuk menemani Dewi di Jayapura. Hari-hariku terasa semakin padat. Kerjaan kantor dengan 2 perusahaan, Nugraha Corp. dan perusahaan yang kurintis sendiri sangat menyita waktuku. Lalu aku harus kembali ke rumah sakit setelah pulang untuk memberi semangat pada Sherin. Meski kulihat wanita itu tak pernah antusias melihat kedatanganku ke sana. Sepertinya ia sudah cukup puas dengan adanya ART nya yang selalu setia menemaninya di ruang rawat.Satu lagi, aku masih harus berkomunikasi dengan Dewi setiap hari. Entah itu melalui panggilan telepon biasa ataupun panggilan video. Aku masih ingat apa yang waktu itu dikatakan psikolog yang menangani Dewi padaku.“Mental Bu Dewi cenderung akan mengalami gangguan jika ia stress,
Menenangkan Sherin dan memberinya pengertian mengenai alasanku menyembunyikan keadaan bayinya padanya ternyata bukanlah perkara mudah. Pihak rumah sakit bahkan sampai melibatkan psikolog untuk membantu menenangkan Sherin. Hal itu mungkin wajar mengingat kemungkinan Sherin juga sedang mengalami syndrom baby blues atau tekanan yang dialami seorang ibu pasca melahirkan. Namun yang membuatku miris adalah kini kedua istriku, Dewi dan sekarang Sherin harus mendapatkan penanganan psikolog. Sekali lagi aku merasa Tuhan sedang menegur kesombonganku.Keadaan Sherin yang belum stabil membuatku tak bisa mengunjungi Dewi ke Jayapura untuk sementara waktu, meski aku setiap hari harus meneleponnya dan memastikan ia menjalani terapi rutinnya, baik terapi di psikolog maupun terapi saraf. Aku juga membayar beberapa orang untuk mengurus semua keperluan Dewi di sana.Hingga akhirnya tibalah saatnya Sherin untuk pulang ke rumah. Kini ia sudah terlihat tenang dan bisa menerima kenyataan bahwa bayinya telah
Bukan tanpa sebab aku memilih mengecup bibirnya, hanya ingin membuatnya tak terlalu kecewa. Ya, sekilas kulihat kekecewaan di matanya saat aku hanya menatap kosong padanya setelah menggodanya tadi. Mungkin ia menginginkan lebih dari itu, tapi kini aku seolah telah kehilangan keinginan itu.Perlahan Dewi menggerakkan jari-jari tangannya sambil terus tersenyum padaku. Senyumku pun mengembang.“Wah, kejutan yang menyenangkan. Kamu hebat, Sayang!”“Terima kasih, Mas. Aku ingin berusaha lebih keras lagi. Aku ingin memberikan kejutan-kejutan berikutnya padamu.”Kuraih kepalanya dan mendekapnya dalam dadaku. Bagaimana pun harus kuapresiasi kemajuannya ini, meski vonis dokter saraf waktu itu kembali terngiang di telingaku, vonis yang mengatakan kecil kemungkinan Dewi bisa pulih kembali, paling maksimal adalah ia dapat menggerakkan tangannya, itu pun memerlukan waktu yang lama.“Selamat, ya, sayang. Teruslah semangat, tak ada yang tak mungkin.” Aku tetap harus memberinya semangat.“Mas Randy t
PoV SherinSeminggu setelah masa nifasku selesai, aku memilih kembali aktif bekerja di ZaZa bakery. Berada di ZaZa bersama Rosa dan rekan-rekaku yang lain selalu membuatku terhibur, apalagi jika Mbak Hannan dan Zayn datang ke toko, kami akan selalu menjadi lebih bersemangat. Aku pun kini tak lagi memakai jasa ART karena marasa tak memerlukannya lagi. Dulu, Pak Randy mencarikan ART untukku hanya untuk menemaniku saat hamil dan harus tinggal sendirian.Berbicara mengenai Pak Randy, aku sudah mengirim pesan padanya mengenai masa nifasku yang sudah selesai. Ia memang tak pernah lagi menemuiku sejak mengantarkanku pulang dari rumah sakit waktu itu. Di hari itu pula aku memintanya untuk menceraikanku dan mengatakan akan mengabari jika masa nifasku telah usai. Ya, aku tak mau lagi terikat dengan pria yang pernah kuhormati sebagai atasanku itu. Aku tak mau lagi berada di dalam kubangan masalah keluarga Pak Randy dan Bu Dewi. Satu-satunya hal yang mengikatku pada Pak Randy pun tak ada lagi. Ba