PoV RandyAku hanya bisa memandang sosok mungil itu dari balik kaca inkubator. Ya, sosok mungil yang sangat kunantikan kehadirannya, bayiku yang selama sembilan bulan berada dalam rahin Sherin. Bayi yang hadir tanpa kusangka-sangka. Bayi yang ada karena perbuatan bejatku pada ibunya. Tak dapat lagi kutahan bendungan air mataku, bayi itu tak bergerak sama sekali, matanya tertutup rapat dengan kulitnya yang masih terlihat keriput.Bahuku terguncang karena tangisku. Meski aku tak pernah merencanakan kehadiran bayi itu, namun aku sangat menantikan kehadirannya. Hanya ia lah satu-satunya harapanku setelah Zayn, karena istriku Dewi sudah tak bisa memberiku keturunan lagi. Dan kini, bayi merah itu pun ternyata tak sanggup untuk bertahan. Menurut dr. Ray tadi, ia hanya bertahan karena bantuan alat-alat medis yang terpasang pada tubuhnya.“Arghhh!!!” Aku mengusap kasar wajahku dengan telapak tanganku. Dokter Ray yang menemaniku masuk ke ruang inkubator hanya memandangku tanpa ekspresi, sedangk
Satu minggu setelah kepergian bayi mungilku kembali kepada pencipta-Nya, Sherin belum juga pulih dan masih harus menjalani perawatan di rumah sakit. Pekerjaanku di kantor juga sedang padat-padatnya, apalagi beberapa waktu belakangan aku selalu meninggalkan kantor beberapa hari untuk menemani Dewi di Jayapura. Hari-hariku terasa semakin padat. Kerjaan kantor dengan 2 perusahaan, Nugraha Corp. dan perusahaan yang kurintis sendiri sangat menyita waktuku. Lalu aku harus kembali ke rumah sakit setelah pulang untuk memberi semangat pada Sherin. Meski kulihat wanita itu tak pernah antusias melihat kedatanganku ke sana. Sepertinya ia sudah cukup puas dengan adanya ART nya yang selalu setia menemaninya di ruang rawat.Satu lagi, aku masih harus berkomunikasi dengan Dewi setiap hari. Entah itu melalui panggilan telepon biasa ataupun panggilan video. Aku masih ingat apa yang waktu itu dikatakan psikolog yang menangani Dewi padaku.“Mental Bu Dewi cenderung akan mengalami gangguan jika ia stress,
Menenangkan Sherin dan memberinya pengertian mengenai alasanku menyembunyikan keadaan bayinya padanya ternyata bukanlah perkara mudah. Pihak rumah sakit bahkan sampai melibatkan psikolog untuk membantu menenangkan Sherin. Hal itu mungkin wajar mengingat kemungkinan Sherin juga sedang mengalami syndrom baby blues atau tekanan yang dialami seorang ibu pasca melahirkan. Namun yang membuatku miris adalah kini kedua istriku, Dewi dan sekarang Sherin harus mendapatkan penanganan psikolog. Sekali lagi aku merasa Tuhan sedang menegur kesombonganku.Keadaan Sherin yang belum stabil membuatku tak bisa mengunjungi Dewi ke Jayapura untuk sementara waktu, meski aku setiap hari harus meneleponnya dan memastikan ia menjalani terapi rutinnya, baik terapi di psikolog maupun terapi saraf. Aku juga membayar beberapa orang untuk mengurus semua keperluan Dewi di sana.Hingga akhirnya tibalah saatnya Sherin untuk pulang ke rumah. Kini ia sudah terlihat tenang dan bisa menerima kenyataan bahwa bayinya telah
Bukan tanpa sebab aku memilih mengecup bibirnya, hanya ingin membuatnya tak terlalu kecewa. Ya, sekilas kulihat kekecewaan di matanya saat aku hanya menatap kosong padanya setelah menggodanya tadi. Mungkin ia menginginkan lebih dari itu, tapi kini aku seolah telah kehilangan keinginan itu.Perlahan Dewi menggerakkan jari-jari tangannya sambil terus tersenyum padaku. Senyumku pun mengembang.“Wah, kejutan yang menyenangkan. Kamu hebat, Sayang!”“Terima kasih, Mas. Aku ingin berusaha lebih keras lagi. Aku ingin memberikan kejutan-kejutan berikutnya padamu.”Kuraih kepalanya dan mendekapnya dalam dadaku. Bagaimana pun harus kuapresiasi kemajuannya ini, meski vonis dokter saraf waktu itu kembali terngiang di telingaku, vonis yang mengatakan kecil kemungkinan Dewi bisa pulih kembali, paling maksimal adalah ia dapat menggerakkan tangannya, itu pun memerlukan waktu yang lama.“Selamat, ya, sayang. Teruslah semangat, tak ada yang tak mungkin.” Aku tetap harus memberinya semangat.“Mas Randy t
PoV SherinSeminggu setelah masa nifasku selesai, aku memilih kembali aktif bekerja di ZaZa bakery. Berada di ZaZa bersama Rosa dan rekan-rekaku yang lain selalu membuatku terhibur, apalagi jika Mbak Hannan dan Zayn datang ke toko, kami akan selalu menjadi lebih bersemangat. Aku pun kini tak lagi memakai jasa ART karena marasa tak memerlukannya lagi. Dulu, Pak Randy mencarikan ART untukku hanya untuk menemaniku saat hamil dan harus tinggal sendirian.Berbicara mengenai Pak Randy, aku sudah mengirim pesan padanya mengenai masa nifasku yang sudah selesai. Ia memang tak pernah lagi menemuiku sejak mengantarkanku pulang dari rumah sakit waktu itu. Di hari itu pula aku memintanya untuk menceraikanku dan mengatakan akan mengabari jika masa nifasku telah usai. Ya, aku tak mau lagi terikat dengan pria yang pernah kuhormati sebagai atasanku itu. Aku tak mau lagi berada di dalam kubangan masalah keluarga Pak Randy dan Bu Dewi. Satu-satunya hal yang mengikatku pada Pak Randy pun tak ada lagi. Ba
“Wah, kamu kelihatan ceria sekali hari ini, Sher,” sapa Rosa dengan riang saat aku masuk. ZaZa bakery masih sepi pengunjung, dan Rosa serta rekanku yang lain masih merapikan semua properti di ZaZa.Aku hanya tersenyum menanggapi sapaan Rosa. Mungkin kelegaan yang baru saja kurasakan setelah ucapan talak dari Pak Randy tadi membuat wajahku terlihat lebih riang. Mungkin saja.Kami semua menoleh dan menjawab salam ketika pintu depan ZaZa terbuka. Mbak Hannan dan suaminya terlihat melangkah memasuki toko lalu menyapa kami semua, tak lupa sosok bocah riang Zayn yang berada dalam gendongan dr. Ray. Sungguh pemandangan yang sangat membahagiankan melihat pagi-pagi melihat aura kebahagiaan yang terpancar dari wajah keluarga kecil itu.Dokter Rayyan memang kadang suka sarapan di ZaZa, dan Mbak Hannan sendiri lah yang menyiapkan dan memilih makanan dan minuman untuk suaminya itu. Ia tak pernah menyuruh salah satu karyawannya, meskipun ia bisa saja melakukannya. Kesederhanaan yang indah yang memb
PoV AuthorSherin terkejut. Sosok lelaki yang ada di depannya saat ini membuat hatinya kembali berdebar-debar. Tian menatap padanya dengan senyuman yang lembut seperti biasanya.“Aku beberapa kali mencarimu kemari, Sherin. Kenapa tak datang di pernikahanku? Apa kamu tak menerima undangan dariku?”“A-aku menerimanya, Tian. Maaf aku enggak bisa datang karena waktu itu usia kehamilanku sudah terlalu riskan untuk bepergian.” Sherin menjawab gugup.“Oiya, selamat, ya, atas pernikahanmu,” lanjutnya berbasa-basi. Meski hatinya kembali meringis, menahan perih yang hadir di sana. Ternyata pria yang tak pernah pergi dari hatinya itu benar-benar sudah terikat pernikahan dengan wanita lain.“Maaf, saya pamit kembali bekerja.”Tian hanya mengangguk. Sementara Randy masih menatap Sherin. Sepertinya pria itu tau bagaimana suasana hati Sherin saat ini. Ada rasa iba dalam tatapan mata dalam Randy pada Sherin. Tapi ia tak mampu berbuat apa-apa lagi.***“Sherin,” sapa Tian saat suasana toko mulai sepi
“Pelan-pelan jalannya, Sayang.” Rayyan menuntun Hannan yang perutnya sudah semakin besar. Tangan kanannya menuntun Hannan sementara tangan kirinya menggenggam tangan kecil Zayn.“Aku udah enggak sabaran, Mas. Kata dr. Novia kemungkinan kita sudah bisa melihat jenis kelamin bayi ini.”Mereka bertiga sedang menuju ke ruangan dr. Novia untuk melakukan USG pada bayi Hannan. Dokter Novia pun menyambut pasien istimewanya hari ini dengan senyuman mengembang. Rayyan menautkan alisnya ketika melihat Hannan dan dr. Novia seolah saling melirik dan memberi kode, namun ia mengabaikannya.“Silahkan berbaring Mbak Hannan. Mari kita tengok bayi-bayi mungil bibit unggul ini,” ucap dr. Novia sambil tersenyum dan sekali lagi mengedipkan mata pada Hannan.Ray pun tersenyum, ia memang selalu mengeluarkan kalimat “bibit unggul” ketika Hannan memeriksakan bayinya.“Tuh, lihat. Masih bentuk titik kecil aja udah kelihatan jika yang ada di dalam sana itu adalah bibit unggulku.” Itu yang diucapkannya saat perta