Hingga usia kandunganku tinggal menghitung hari, Pak Randy masih sangat jarang menemuiku. Namun itu semua tak membuatku gundah. Pak Randy terakhir kali mengunjungiku sekitar dua minggu yang lalu. Itu pun ia hanya datang sebentar ke ZaZa Bakery dan harus membagi waktunya dengan menemani Zayn bermain.“Apa enggak sebaiknya cuti saja, Sher? Kandunganmu sudah sebesar ini dan tinggal menunggu waktu persalinan,” ucapnya waktu itu.“Justru aku merasa aman berada di sini, Pak. Serasa lagi di rumah sendiri dan dikelilingi oleh keluargaku yang selalu siap mebantu jika aku memerlukan uluran tangan mereka.”Pak Randy mengangguk, kurasa ia pun bisa melihat betapa kami semua di sini saling merangkul.“Sudah ketemu Mbak Hannan?” tanyaku.Pak Randy hanya mengangkat bahunya.“Aku kemari untuk mengunjungimu dan Zayn.” Kalimatnya menegaskan maksud kedatangannya.“Hannan sudah sangat bahagia, Sher. Aku tak mau kehadiranku di sekitarnya akan kembali membawa aura buruk bagi kehidupannya,” lanjut Pak Randy
PoV Hannan.Aku masih meringkuk di balik selimut dengan dekapan hangat suamiku ketika gawaiku berdering. Kulirik jam dinding di kamarku, baru pukul 2 dini hari. Siapa yang meneleponku subuh-subuh gini? Dengan hati-hati kutepiskan tangan Ray yang melingkar sempurna di pinggangku, lalu meraih gawaiku di atas nakas.Randy? Ada apa Randy meneleponku?[Maaf harus mengganggumu, Han. Aku enggak tau harus minta tolong pada siapa. Hanya kamu dan dr. Ray yang bisa kupercaya.]Suara Randy terdengar panik.[Ada apa, Randy? Katakan yang jelas.][Sherin, Han! Baru saja ART nya mengabariku kalau Sherin sedang mengalami kontraksi. Dia bingung tengah malam begini mau minta tolong pada siapa. Aku sudah menyuruh beberapa anak buahku ke sana, tapi aku lebih percaya kamu, Han. Kamu sudah berpengalaman dalam hal ini, lagipula suamimu seorang dokter.][Jadi aku harus bagaimana?] Aku pun kebingungan.[Bisakah kamu menemani datang ke rumah sakit dan menemani Sherin? Aku akan menyuruh anak buahku membawanya ke
Dr. Novia tertawa. “Bu Hannan tak perlu panik begitu, kami pasti akan mengutamakan tindakan penyelamatan pada pasien. Bu Hannan bisa bertindak sebagai penanggungjawab karena suaminya sudah memberi izin secara lisan pada Ibu. Lagipula ....”“Lagipula apa, Dok?”“Bu Hannan adalah istri dari direktur kami, bahkan hanya dengan perintahnya pun kami bisa segera melaukan tindakan. Jadi Bu Hannan tak perlu segan apalagi panik.”Ah, iya. Aku melupakan posisi suamiku di rumah sakit bergengsi ini. Aku kemudian meraih gawaiku dan memencet nomor Ray. Entah ke mana pria itu, aku sudah tak melihatnya lagi sejak menemani Sherin tadi.[Hmmmm ....]Hanya gumaman yang terdengar saat Ray mengangkat telepon.[Kamu di mana, Mas?][Di lantai 7 nih. Nungguin kamu belum nongol-nongol. Udah belum urusannya, buruan ke sini.]Oh My God! Pria ini benar-benar membuatku kesal. Ternyata ia tak main-main dengan ucapannya di rumah tadi.Kuceritakan padanya mengenai kondisi Sherin dan kondisi Randy yang belum bisa data
Setelah menunggu beberapa menit, Ray yang tadi meninggalkanku sendirian tak jua kunjung kembali. Aku pun semakin gelisah menunggu kabar tentang Sherin. Lalu langkah panjang Ray dari ujung koridor membuatku berlari kecil padanya.“Hey, bukannya sudah kubilang jangan lari-lari. Kamu sedang hamil, Sayang.” Ray juga berlari kecil untuk menahan tubuhku.“Ada apa dengan Sherin? Apa dia baik-baik saja?”“Sampai kapan kamu begini sih, Bun. Kamu lebih mementingkan kondisi orang lain dibanding dirimu sendiri. Tadi aku melihat laporan permintaan tambahan darah dari ruang operasi. Kemungkinan Sherin memerlukan transfusi darah.”“Apa ... apa itu artinya ia tidak sedang baik-baik saja?”“Hanya itu yang bisa kusampaikan, Bun. Tetaplah di sini menunggunya.”Aku mengangguk. Ray tak lagi mengajakku ke ruang pribadinya di lantai 7, ia justru menyuruhku menunggu Sherin di sini. Hal itu membuatku semakin bertanya-tanya. Aku merasa Ray tau sesuatu namun ia enggan menyampaikan padaku.Tanpa terasa aku just
Hingga hari kedua setelah Sherin melahirkan bayinya, aku masih bolak balik ke rumah sakit meski Ray selalu melarangku. Sherin sudah dipindahkan ke ruang perawatan, dan Randy selalu di sana menjaganya. Sementara menurut Ray, bayi mereka masih di inkubator. Ia hanya mengusap-usap kepalaku saat aku menanyakan kondisi bayi Sherin padanya.“Jangan berpikir yang berat-berat, Bun. Lebih baik fokus pada kondisi kesehatan dan kehamilanmu sendiri.” Hanya itu yang diucapkannya. Namun justru kalimatnya itu membuatku semakin yakin jika semua tak sedang baik-baik saja.Sherin pun meneteskan air matanya setiap kali aku datang menjenguknya.“Aku belum melihatnya, Mbak. Padahal aku sangat ingin mencium bayiku. Menurut perawat, ia masih belum boleh ditemui oleh siapapun, karena masih dalam kondisi kritis. Perawat hanya menyuruhku untuk tak terlalu khawatir, karena dr. Ray langsung yang menangani bayiku.”Aku mengangguk. Randy dengan cekatan meraih selembar tisu dan menyeka sudut mata Sherin. Lalu beber
PoV RandyAku hanya bisa memandang sosok mungil itu dari balik kaca inkubator. Ya, sosok mungil yang sangat kunantikan kehadirannya, bayiku yang selama sembilan bulan berada dalam rahin Sherin. Bayi yang hadir tanpa kusangka-sangka. Bayi yang ada karena perbuatan bejatku pada ibunya. Tak dapat lagi kutahan bendungan air mataku, bayi itu tak bergerak sama sekali, matanya tertutup rapat dengan kulitnya yang masih terlihat keriput.Bahuku terguncang karena tangisku. Meski aku tak pernah merencanakan kehadiran bayi itu, namun aku sangat menantikan kehadirannya. Hanya ia lah satu-satunya harapanku setelah Zayn, karena istriku Dewi sudah tak bisa memberiku keturunan lagi. Dan kini, bayi merah itu pun ternyata tak sanggup untuk bertahan. Menurut dr. Ray tadi, ia hanya bertahan karena bantuan alat-alat medis yang terpasang pada tubuhnya.“Arghhh!!!” Aku mengusap kasar wajahku dengan telapak tanganku. Dokter Ray yang menemaniku masuk ke ruang inkubator hanya memandangku tanpa ekspresi, sedangk
Satu minggu setelah kepergian bayi mungilku kembali kepada pencipta-Nya, Sherin belum juga pulih dan masih harus menjalani perawatan di rumah sakit. Pekerjaanku di kantor juga sedang padat-padatnya, apalagi beberapa waktu belakangan aku selalu meninggalkan kantor beberapa hari untuk menemani Dewi di Jayapura. Hari-hariku terasa semakin padat. Kerjaan kantor dengan 2 perusahaan, Nugraha Corp. dan perusahaan yang kurintis sendiri sangat menyita waktuku. Lalu aku harus kembali ke rumah sakit setelah pulang untuk memberi semangat pada Sherin. Meski kulihat wanita itu tak pernah antusias melihat kedatanganku ke sana. Sepertinya ia sudah cukup puas dengan adanya ART nya yang selalu setia menemaninya di ruang rawat.Satu lagi, aku masih harus berkomunikasi dengan Dewi setiap hari. Entah itu melalui panggilan telepon biasa ataupun panggilan video. Aku masih ingat apa yang waktu itu dikatakan psikolog yang menangani Dewi padaku.“Mental Bu Dewi cenderung akan mengalami gangguan jika ia stress,
Menenangkan Sherin dan memberinya pengertian mengenai alasanku menyembunyikan keadaan bayinya padanya ternyata bukanlah perkara mudah. Pihak rumah sakit bahkan sampai melibatkan psikolog untuk membantu menenangkan Sherin. Hal itu mungkin wajar mengingat kemungkinan Sherin juga sedang mengalami syndrom baby blues atau tekanan yang dialami seorang ibu pasca melahirkan. Namun yang membuatku miris adalah kini kedua istriku, Dewi dan sekarang Sherin harus mendapatkan penanganan psikolog. Sekali lagi aku merasa Tuhan sedang menegur kesombonganku.Keadaan Sherin yang belum stabil membuatku tak bisa mengunjungi Dewi ke Jayapura untuk sementara waktu, meski aku setiap hari harus meneleponnya dan memastikan ia menjalani terapi rutinnya, baik terapi di psikolog maupun terapi saraf. Aku juga membayar beberapa orang untuk mengurus semua keperluan Dewi di sana.Hingga akhirnya tibalah saatnya Sherin untuk pulang ke rumah. Kini ia sudah terlihat tenang dan bisa menerima kenyataan bahwa bayinya telah
Sherin terkejut mendapati sebuah kotak kecil terselip pada buket bunga yang diberikan oleh Randy tadi. Ia baru memperhatikannya setelah randy berpamitan pulang dan ia masuk ke dalam rumahnya. Perlahan wanita itu membuka kotak kecil itu, mulutnya ternganga lebar melihat isi kotak. Sebuah cincin berlian bermata putih yang berkilau memanjakan mata. Benda kecil yang Sherin mungkin tak akan bisa menebak harganya, cincin keluaran brand perhiasan kelas internasional. Sungguh benda yang sangat mahal untuk wanita biasa sepertinya.“Cincin ini menandakan perasaan tulusku padamu, Sherin. Seprestisius benda ini, sedalam ini pula perasaanku padamu.”Begitu isi tulisan di kartu yang terselip di sana. Sherin menghela napas panjang, lalu teringat kotak pemberian Tian padanya. Buru-buru Sherin membuka tas nya dan mengeluarkan benda yang diambil Tian dari laci dashboard mobilnya tadi, yang tadi membuatnya merasa merinding dan memejamkan mata karena mengira Tian hendak menciumnya.Jantung Sherin berdeta
“Pak Randy?!” pekik Sherin saat mendapati mantan suaminya duduk di kursi teras depan rumahnya dengan mata terpejam.Pria yang pernah menikahi Sherin itu terkejut membuka matanya.“Ah, aku tertidur,” gumamnya.“Pak Randy ngapain?” Sherin mulai merasa tak nyaman melihat buket bunga yang diletakkan pria itu di atas meja.“Selamat ulang tahun, Sherin!” Randy menyodorkan buket bunga padanya. Pria itu tersenyum dengan lebar.“Dari mana tadi?” tanyanya.Sherin tak menjawab.“Tadi aku ke kantormu tapi kata karyawanmu, kamu lagi keluar dengan seseorang.”Sherin mematung.“Tadi pergi dengan siapa?” Lagi-lagi Randy bertanya, tapi Sherin tak menjawabnya.“Terima kasih bunganya, Pak. Terima kasih juga ucapannya. Kalau nggak ada yang mau diomongkan lagi Bapak boleh pulang sekarang, aku lelah,” pintanya.Namun pria di depannya tertawa sumbang.“Aku boleh masuk, Sher?”“Nggak, Pak! Aku wanita single, apa kata orang nanti kalau melihat aku menerima tamu lelaki.”“Tapi aku sua ... aku mantan suamimu,
Sherin diam mendengarkan.“Hingga akhirnya aku bertemu Dinda, dia kakak dari salah satu muridku. Dia sangat perhatian pada Syifa, dari Syifa umur setahun dia sudah dekat dengan gadis itu.”Sekali lagi ada nyeri yang menyusup di hati Sherin. Setelah tadi bercerita tentang istrinya, kini pria yang dicintainya itu bercerita tentang gadis lain.“Semua yang melihat kebersamaan kami mengira aku dan Dinda punya hubungan khusus. Mungkin juga termasuk kamu, Sherin.” Tian menatap.“Kenapa kamu tak memilih bersamanya, bukankah dia sudah dekat dengan Syifa?” tanya Sherin ragu-ragu.“Sejak kepergian Lia, prioritasku hidupku adalah Syifa. Dan melihat kedekatan Syifa dengan Dinda, terus terang saja aku pernah berpikir untuk menawarkan hubungan yang lebih serius padanya.”Hati Sherin kembali tergores mendengarnya.“Lalu kenapa tak kamu lakukan? Sepertinya Dinda juga menyukaimu.” Akhirnya Sherin menyebut nama gadis itu.Tian menggeleng.“Keyakinan kami berbeda, Sherin. Dinda penganut agama lain. Dia s
Sepanjang perjalanan Sherin terus menyimpan banyak pertanyaan di dalam benaknya. Salah satunya adalah kendaraan roda empat yang tadi dipakai Tian untuk menjemputnya. Mungkin mobil Tian tak semahal mobil milik dr. Rayyan, suami atasannya, dah tak sekeren mobil milik Randy, mantan suami sirinya. Namun, memiliki kendaraan pribadi seperti ini bagi Sherin adalah prestasi mantan kekasihnya itu. Karena dulu, sewaktu dirinya dan Tian masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, hidup mereka sangat sederhana. Dulu, hanya kendaraan roda dua milik Tian yang setia menemani mereka berdua menjalani hari-hari memadu kasih.Impian mereka saat itu pun sangat sederhana, hanya ingin menikah dan hidup bersama saling memberi semangat dalam karir. Sherin tau, Tian hanyalah seorang guru biasa yang bahkan baru beberapa bulan sebelum hubungan mereka berakhir pria itu diangkat secara resmi sebagai guru tetap. Maka, jika Tian bisa memiliki kendaraan roda empat seperti saat ini, tentu lah pria yang sedang b
Seminggu setelah bertemu Tian di lokasi outbond, tak ada komunikasi apa pun lagi di antara sepasang manusia yang pernah begitu dekat itu. Sherin yang awalnya menaruh harap, kini memilih membuang jauh-jauh harapan itu. Dia menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia berharap sedang Tian hanya menegur dan menanyakan kabarnya. Bukan kah itu hal yang wajar dilakukan oleh seseorang setelah bertahun-tahun tak berjumpa? Bahkan Tian sama sekali tak menanyakan nomor ponselnya saat itu.Wanita yang sehari-harinya kini mengenakan jilbab itu beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, menepis sisa-sisa tatapan Tian yang masih lekat di kepalanya. Tatapan mata yang menyembunyikan luka, mungkin luka karena ditinggal oleh istrinya. Betapa bodohnya pikirannya waktu itu yang dengan cepat menyimpulkan jika komunikasi keduanya akan terus berlanjut setelah pertemuan di area outbond. Pun betapa malunya ia pada Hannan ketika atasannya itu dengan mudah membaca pikirannya jika Sherin masih berh
Kegiatan family day karyawan ZaZa berjalan lancar, meski Sherin sendiri tak begitu menikmatinya. Kehadiran sosok dari masa lalunya yang juga tengah berada di area outbond bersama rombongannya mengalihkan konsentrasi Sherin. Terlebih lagi, ada sesosok wanita yang selalu terlihat berada di dekat mantan kekasihnya itu. Wanita yang terlihat sangat dekat dengan bocah kecil bermata sendu seperti ayahnya.Kegelisahan Sherin tak luput dari perhatian Hannan. Hannan memang selalu menjadi wanita yang penuh perhatian. Meski disibukkan dengan mengurus ketiga buah hatinya, namun wanita tegar itu juga tak begitu saja mengabaikan karyawannya. Hannan tau apa yang menyebabkan Sherin gelisah, karena dia pun tadi sempat berpapasan dengan Tian yang diketahuinya adalah mantan kekasih Sherin. Maka wanita elegan itu mendatangi Sherin, karyawan sekaligus sahabatnya, sambil menggendong Zara.“Sher, kalau masih ada yang ingin dibicarakan atau ditanyakan sebaiknya temui dia. Tak baik menyimpan semuanya sendirian
“Tadi anak ini kehilangan balonnya, Mbak. Terbang ke atas pohon tadi.” Sherin menjelaskan tanpa diminta.“Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbak.”Si wanita cantik berkulit putih dengan rambut sebahu itu tersenyum pada Sherin, lalu kemudian meraih bocah kecil tadi dan menggendongnya.“Yuk, balik. Ayah nyariin Syifa loh. Eh ... itu ayah nyusul.” Wanita itu terus berucap sambil menggendong sang bocah.Sherin ikut menoleh saat mendengar suara seseorang dari arah belakangnya.“Syifa ... kok mainnya sampai jauh gini, Nak?”Sherin terkejut, bukan hanya kerena merasa tak asing dengan suara itu tapi tatapan mata pria yang baru saja datang itu mengunci pergerakannya. Sherin terpaku, tak dapat bergerak, apalagi berkata-kata. Pria yang baru datang itu pun sama terkejutnya dengan Sherin. Keduanya saling menatap beberapa saat seolah waktu sedang berhenti berputar bagi keduanya.“Sherin!”Kini Sherin tau kenapa tadi seolah mengenal tatapan mata di bocah yang menangis kehilangan balonnya.“Hai, Tian. Dia .
Lima Tahun Kemudian.Hari ini seluruh karyawan ZaZa dia ajak oleh Hannan untuk rekreasi. ZaZa kini tak lagi hanya sekedar toko bakery, Hannan membeli beberapa unit ruko di deretan ZaZa bakery dan melebarkan usahanya dengan membuka swalayan dan butik yang semuanya diberi nama ZaZa. Hannan sendiri tak pernah turun tangan langsung tapi hanya memantau usaha yang dipercayakannya pada Sherin.Sherin pun kini menjelma menjadi wanita karir yang membawahi ratusan karyawan ZaZa. Wanita mandiri itu pun sudah mampu membeli rumah sendiri dan tak lagi tinggal di rumah yang diberikan Randy padanya. Sherin mengembalikan semuanya karena tak ingin terhubung lagi dengan mantan atasannya itu.Bagi Hannan, Sherin adalah tangan kanannya dalam bekerja memperluas usahanya sementara Hannan adalah otak utamanya. Perpaduan dua wanita pekerja keras membuahkan hasil yang gemilang di bawah nama ZaZa. Sherin bukan digaji tetap oleh Hannan, tapi digaji berdasarkan omzet yang dicapai oleh bisnis ZaZa. Maka, Sherin me
“Sher, please. Cuma kamu yang bisa menolongku. Tolong menikah lah dengan suamiku.” Dewi sengaja menyela sebelum Sherin menjawab.Sherin menghela napas. Dia masih ingat betapa berangnya wanita di hadapannya ini dulu ketika mengetahui Sherin mengandung anak suaminya. Betapa teganya wanita yang tak berdaya di hadapannya ini waktu itu memaksanya untuk menggugurkan kandungannya. Betapa berkuasanya seorang Dewi saat melemparkan segepok rupiah di hadapannya dan ibunya waktu itu. Betapa keangkuhan yang dulu nampak jelas pada wanita itu kini berubah menjadi kelemahan.“Sher, meski kamu tak mencintai Mas Randy, tapi setidaknya kalian pernah menikah dan kamu pernah mengandung bayinya. Aku ... aku tak bisa membayangkan jika dia harus bersama wanita lain lagi selain kamu, Sher.”Ternyata wanita di hadapan Sherin itu masih Dewi yang dulu. Dewi yang egois, yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Dia meminta Sherin kembali pada suaminya hanya agar suaminya tak melirik wanita lain lagi. Sungguh pemik