Share

BAB 7

Penulis: Zaraa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

#Part_7

Yuni terus bertanya soal surat panggilan sidang yang dilengkapi dengan salinan surat gugatan. Surat gugatan itu bertanggal tepat sehari setelah Astuti batal berdinas dan memergoki keberadaan Yuni di rumah kami.

"Kebetulan dong, Yank. Kita nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi dari dia," celetuk Yuni dengan nada bersemangat. Aku hanya diam tak menanggapi, susah juga menjelaskan keadaan sesungguhnya keluarga kami. Namun tahu atau tidaknya Yuni, tak menjadi soal. Dia boleh tetap berada di sampingku atau memilih pergi. Yang jadi beban pikiran justru sikap tegas Astuti. Aku benar-benar merasa kecolongan dengan perubahan seluruh sikap dan mentalnya. Dan aku ... tidak rela! Tidak rela!

"Nggak masuk dulu, Mas." Yuni menggamit lenganku untuk mengikutinya masuk rumah seperti biasa, tetapi hati ini sama sekali tak ingin. Bayangan Astuti memenuhi benak, tak ingin kehilangan perempuan serba bisa itu. Sejak Astuti menjadi PNS, sejak saat itu pula ia mengambil alih peranku ; memenuhi kebutuhan rumah tangga, menyuplay kebutuhan Emak dan keempat adikku. Lalu apa yang alan terjadi jika perpisahan ini betul-betul terjadi? Astuti ... Astuti, kenapa kamu harus berubah dan tak mau lagi menerimaku apa adanya?

"Lain kali saja, Yun. Aku masih ada urusan lain," tolakku halus. 

"Ya udah ... jaga kesehatan ya, Mas. Oh ya, ingat ... aku bahagia jika kamu berpisah dari perempuan songong itu!' Yuni mengerucutkan bibir. "Aku siap lahir dan batin membuatmu bahagia, Mas."

Aku hanya tersenyum kecut mendengar penuturan itu, lalu melajukan mobil tanpa arah. Pikiranku benar-benar kalut. Apa yang akan terjadi pada sidang pertama dua hari lagi? Apakah aku bisa menyangkal gugatan Astuti yang berisi dua point, yakni: pertengkaran terus menerus dan tidak adanya nafkah dari suami. Apa yang harus kusiapkan untuk menyangkal tuduhan itu? Kenapa kamu harus membawa masalah ini ke khayalak umum, Astuti? 

Mobil terus berjalan dengan kecepatan rendah, menyusuri jalan protokol Gajah Mada yang tak begitu padat. Di sini adalah wilayah perkantoran PemKab, sehingga lampu-lampu utama begitu menyala terang di sepanjang jalan. 

Tunggu! Bukankah itu si Didi? Lelaki itu tengah mengayunkan raketnya di tengah lapangan. Kantor Dinas Pendidikan  rupanya juga menyediakan fasilitas olah raga bagi pegawainya. Aku menghentikan mobil di pinggir jalan, dari sini terlihat jelas pemandangan di halaman kantor tersebut.

Sekitar setengah jam kemudian, lelaki itu terlihat menyudahi kegiatan olah raga nya. Ia mengusap wajahnya dengan selembar handuk dan menenggak air mineral di tangannya. Aku sengaja menghadang tepat di pintu keluar. Mulanya ia tak menyadari maksudku, tetapi begitu tatapan kani bertemu, ia terlihat kaget.

"Pak Busro, kan?" tanyanya terlihat kaget sembari mengulurkan tangan. Aku menatap tajam tanpa mengacuhkan uluran tangannya.

"Saya ada perlu!" jawabku ketus. Ia melihat ke sekeliling dengan seksama. Suasana di kantor itu sudah mulai lengang. Parkiran hanya menyisakan dua motor dan satu mobil saja, mungkin itu mobil bedebah ini.

"Bagaimana kalau kita bicara di sana?" Telunjuknya mengarah pada kursi panjang di depan salah satu ruangan. 

"Di sini saja! Jujur, ada hubungan apa saudara dengan istri saya!?" cecarku tanpa basa basi. Lelaki berperawakan atletis itu terlihat bingung. Ah, itu pasti cuma akting saja.

"Saya tidak paham maksud, Bapak." 

Sialan. Mau main-main sama Busro ini orang. Tanganku bergerak ke arah kerah baju dan menariknya kuat.

"Sabar, Pak. Mari kita bicara dengan kepala dingin." Sekali sentak, terlepas cengkeraman tanganku. Kuat juga tenaganya, rutukku kesal.

"Kalau yang Bapak maksud saya dekat dengan Bu Astuti memang benar, tetapi sebatas rekan kerja saja," ujarnya dengan suara mulai meninggi.

"Kamu bohong! Pasti kamu yang membuat Astuti sekarang jadi berani melawan saya. Bahkan sekarang menggugat saya di PA!"

"Oh ... itu saya kurang tahu menahu, Pak. Beberapa minggu lalu, Bu Astuti minta di rekomendasikan seorang kuasa hukum.

Dan saya kenalkan dengan sepupu saya."

Bugh!

Satu pukulan kulayangkan ke bahunya. Tubuh itu bergeming, justru buku-buku jari ini seolah baru saja menumbur permukaan yang keras. 

"Jangan membuat kegaduhan di sini, Pak." Suaranya berubah keras." Jika saya jadi Bapak, pasti akan intropeksi diri dan tidak melulu menyalahkan orang lain,"

"Apa maksudmu, Bajingan? Kurang kerjaankah hingga sampai ikut campur urusan rumah tangga orang lain?!" Aku dilanda murka. Gara-gara wajah sok baik dan alim ini rumah tanggaku berada di ujung tanduk. Astuti yang dulu baik-baik saja kini jadi istri yang pembangkang.

"Sekarang saya bicara atas nama pribadi, di luar status saya sebagai abdi negara. Pak, andai saja adik atau saudara saya yang ada di posisi Bu Astuti, sudah sejak lama Anda saya seret ke penjara!" ujarnya dengan napas memburu. "Saya sungguh menyayangkan Bu Astuti yang bersedia bertahun-tahun bertahan di samping Anda yang kasar dan tidak bertanggung jawab!"

Emosiku meluap mendengar semua kata-katanya. Spontan kulayangkan lagi kepalan tangan, tetapi entah kapan dia bergerak, tangan Didi sudah lebih dulu menangkap pergelanganku.

"Pulanglah, Pak. Saya doakan Anda masih punya waktu untuk memenangkan hati Astuti." Ia mendorong tanganku cukup keras lalu tanpa kata melangkah pergi ke arah parkiran. 

Ingin rasanya menghujani dia dengan pukulan dan tendangan sebagai pelampiasan rasa marah, tetapi aku sadar diri, tubuh itu jauh lebih bugar dan kuat dariku. Tunggu saja tanggal mainnya Didi, akan kucari tangan lain untuk  mempecundangimu!

šŸ’œ

"Batalkan gugatan itu, Astuti. Jangan bikin malu keluarga kita. Bukan kan semua orang tau, bahwa kita selama ini baik-baik saja." Malam ini aku masih berusaha mengubah keputusannya. Emak baru saja menelepon, aku harus bisa mempengaruhi pikiran istriku, bagaimana pun caranya. Dasar Emak, dulu saja selalu ikut-ikutan menekan Astuti, sekarang tidak mau kehilangan.

"Aku tidak mau kembali ke belakang, Mas. Semua sudah kupikirkan baik-baik dan matang," sahut Astuti tanpa mengangkat kepala dari berkas-berkas di depannya.

"Kamu gak mikirin anak-anak? Kamu ternyata ibu yang  egois, ya!" Emosiku mulai terpancing. Kulihat Astuti hanya mengedikkan bahu acuh. Kembali tenggelam dalam konsentrasinya.

"Anak-anak butuh bahagia, ibunya juga. Kau lupa, Panji sudah besar dan bisa merasakan semua yang terjadi. Dia paham ibunya selalu terluka. Pernikahan ini tidak sehat dan adil menurutku, Mas." Kini Astuti beralih mendekatiku. Setiap kata-katanya membuat hatiku panas.

"Atau karena Didi itu? Aku baru tahu jika dia tahu setiap inci masalah dalam rumah tangga kita," seringaiku. Kubingkai dagunya dengan tangan. Ia  terlihat ingin berontak, tapi tanganku makin menguat.

"Karena aku bertemu dengan sepupunya yang seorang pengacara, dan aku memang harus jujur menceritakan semua pada kuasa hukumku.  Dan kupikir dia teman yang baik dan pengertian, tak masalah dia ikut mendengar semua."

"Dasar jalang!" Aku menampar pipinya keras. Matanya berkaca-kaca, mungkin menahan sakit akibat telapak tanganku. 

"Ayo puaskan! Mumpung aku masih istrimu, karena sebentar lagi kau tak akan punya kesempatan lagi!" Ia menyodorkan tubuhnya dengan sikap menantang. Emosiku tersulut, kucengkeram lehernya kuat-kuat hingga ia kesulitan bernapas.

"Ayo lawan, Jalang! Katanya sudah jago karate!" Aku kini mendorong tubuhnya ke kursi dengan tetap menekan lehernya.  Wajah berkulit putih itu kini mulai memucat. Napasnya tersengal-sengal tanpa mampu mengeluarkan suara. Hanya sepasang matanya yang memejam, mungkin mulai sesak napas.

"Papa?!" Sebuah suara mengejutkanku. Serta merta aku membalikkan tubuh dan menemukan Panji yang menatapku dengan pandangan aneh. Ada ketakutan, kemarahan dan tanda tanya menjadi satu. Ia melangkah mundur ketika kudekati.

"Papa jahat!" serunya sambil menyingkirkan tubuhku, lalu menghambur ke arah Astuti. 

"Mama ...." Anak lelakiku memeluk ibunya dengan isak tangis. Mengambil selembar tisue dan menyeka sudut bibit ibunya yang mengeluarkan darah. Sementara Astuti menatapku dengan senyum sinis yang menghiasi bibirnya.

"Aku akan ambil air minum untuk Mama jangan coba-coba Papa menyakiti lagi, ya!" Panji menatapku benci sebelum sosoknya berlalu ke dapur.

"Terimakasih,  kamu mempermudah urusanku, Mas," bisik Astuti tepat di samping telingaku. Senyum misteriusnya masih ada di sana. Entah apa maksud ucapannya, aku tak mengerti. Ah, apa sih yang bisa dilakukan Astuti untuk menentangku?

šŸ’œ

Aku memasuki rumah dengan langkah riang. Pertemuanku dengan Dono didampingi Yuni membuat pikiranku terbuka lebar. Ya, Dono dan Yuni benar, perceraian ini tak membuatku rugi, justru untung besar. Seluruh harta dan isi rekening Astuti akan menjadi harta gono gini di sidang perceraian. Itu artinya aku akan memiliki separo kekayaan Astuti. Busro ... Busro kenapa selama ini sebodoh ini? Perceraian justru akan sangat menguntungkanku. Membuatku bisa kaya raya dalam sekejap.

"Aku sudah siap untuk sidang besok! Bahkan tidak sabar. Kau ingin cerai, kan? Akan kukabulkan dengan senang hati!" Aku tertawa lebar di samping Astuti yang baru saja melipat sajadahnya. Perempuan yang kunikahi duabelas tahun lalu itu hanya menatap datar, tak berniat menanggapi ucapanku.

"Aku sudah mencari calon pembeli rumah ini. Jadi kau tak perlu repot-repot memikirkannya," lanjutku ringan. Astuti menghentikan langkah, lalu menatap 'entah' padaku.

"Mas, mau nuntut pembagian harta gono gini? Padahal tidak satu sen-pun uangmu ada di dalam rumah dan seluruh isinya ini!" 

"Hahaha ...tidak perlu berdebat. Ikuti saja aturan hukum kita. Separo hartamu akan menjadi milikku!" tegasku lagi. Puas sekali melihat ekspresi wajahnya.

"Jangan senang dulu, Mas. Kupastikan kau tak akan menyentuh satu sen-pun milikku, karena ini semua milik anak-anak. Milik Panji dan Rara!"

"Oh ya? Lalu kau bisa apa untuk menentang aturan hukum negeri ini?" Aku tertawa sumbang. Astuti mendekat, lalu berbisik tepat di depan hidungku.

"Kau tak akan mendapat keinginanmu, Mas. Bila waktunya tiba, kau akan kuberitahu sebabnya. Sekarang, silakan menghayal saja dulu. Karena menghayal itu gratis!" Astuti tertawa panjang dan meninggalkanku sendirian dan  tak habis pikir mencerna maksud .ucapannya barusan.

Bab terkait

  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUĀ Ā Ā BAB 8

    #Part_8Aku bangun dengan kepala berat. Rupanya sudah jam sepuluh pagi, pantas suasana rumah sepi dan senyap. Dengan tubuh sedikit terhuyung aku meraih handuk di gantungan.Kulirik sekilas meja kecil di sudut kamar, entah sudah berapa lama tak lagi terhidang secangkir kopi dan sarapan. Meski tak ada makanan, tetapi tiga lembar uang merah dan selembar kertas tergeletak di sana.[ Tolong pergi ke pom bensin, karena mobil tak bisa diisi air. Sisanya buat beli nasi bungkus dan lain-lain. Anak-anak nggak usah dijemput, karena kami akan mengunjungi Bude. Nginap.] Bude adalah sebutan untuk kakak perempuan Astuti; Mbak Laila. Hanya setengah jam berkendara dari sini.Ada yang terasa mengaliri sudut hati, semacam rasa hangat yang aneh. Meski jurang semakin menganga lebar, Astuti tetap 'care'. Buktinya dia memikirkan kebutuhanku, meski bisa saja tak peduli.Kuraih ponsel dari nakas, terpikir untuk menelepon Astuti. Ponsel menampilkan notifikas

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUĀ Ā Ā BAB 9

    #Part_9Langkah Astuti terlihat mantap menapaki ubin di selasar menuju ke ruang sidang. Justru berbanding terbalik dengan kondisiku saat ini. Terus terang, kejutan dari calon mantan istriku itu membuat diri ini shock. Kepercayaan diri yang menyertai sejak dari rumah tadi, kini pupus tanpa sisa.Aku sama sekali tak menyangka bahwa inilah kartu mati yang telah ia siapkan sejak beberapa minggu lalu. Padahal telah beberapa kali Astuti memberikan sinyal dengan kata-kata dan sikapnya, bahwa ia punya kartu truft, tapi aku memilih menyepelekan dan menganggap sekadar gertak sambal belaka. Aku sungguh lupa jika kini Astuti pelan tapi pasti menjelma menjadi kuda hitam.Aku mencoba mengingat-ingat sejak kapan ia memasang kamera perekam mini itu, mungkinkah serempak waktunya dengan kedatangan seorang tekhnisi yang mengecek soal kabel-kabel listrik seminggu lalu? Dan aku yakin, itu pasti orang yang dibayar Astutiuntuk memuluskan rencananya."Pak Busro melamun

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUĀ Ā Ā BAB 1

    ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUPart_1Aku menggeliat bangun oleh aroma kopi yang menerpa hidung. Benar saja, di atas meja kecil yang terletak di pojok kamar, Astuti telah menyiapkan sarapan pagiku seperti biasa. Kali ini secangkir kopi ditemani nasi goreng ati. Tanpa mencuci muka terlebih dulu, aku menyeruput kopi dan menyalakan sebarang rokok."Mas buruan siap-siap, nanti Panji dan Rara bisa terlambat." Astuti mengingatkan sembari sibuk mematut diri di depan cermin, dilanjutkan memasukkan berkas-berkas ke dalam tas kerjanya."Kalau mau nggak terlambat, sekalian kamu antar saja, dong," sahutku ketus. Mentang-mentang jadi wanita karier, seenaknya saja mendikte suami. Perempuan yang kunikahi tiga belas tahun lalu itu terdengar menghela napas panjang, lalu tanpa kata mengulurkan selembar biru ke arahku, seperti biasanya pula. Ya, duit itu jatahku tiap pagi--buat beli pulsa dan rokok. Meski sudah lama tak cukup, tapi aku belum sempat minta ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUĀ Ā Ā BAB 2

    Part_2Kutimang-timang undangan yang diantar Dono tadi siang. Sebuah undangan reuni SMU 21 Kota Jambi mulai dari angkatan tahun 1990 sampai dengan tahun 2000. Tumben aku dapat undangan kali ini, padahal reuni tahun-tahun sebelumnya tidak pernah benar-benar diundang. Dono teman sekelas yang super gaul, hingga tak pernah absen didapuk sebagai salah satu panitia. Meskipun kami dulu terbilang akrab di sekolah, tetapi jadi terasa berjarak sejak ia tahu aku tak punya pekerjaan tetap dan hanya mengontrak. Sesekali ia hanya memberitahukan info reuni lewat chat tanpa meminta sumbangan. Dari situ aku bisa membaca maksudnya.Aku menyeringai, kini tak ada lagi yang bisa menyepelekan seorang Busro. PP akun Whatsapp dan Facebook yang berlatar belakang rumah mewah berlantai dua dan mobil kelas menengah, telah mengukuhkan keberadaanku di mata teman-teman alumni. Bahkan Dono sendiri yang mengantar langsung undangannya. Amplop putih yang ia sodorkan sebagai kontribusi acara, kukembalika

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUĀ Ā Ā BAB 3

    Part_3Hampir sepanjang acara reuni berlangsung, aku sama sekali tak memerhatikan panggung di depan sana. Fokusku hanya berdekatan dan ngobrol bersama Yuni, idamanku di masa lalu. Sementara di ujung sana, Dono asyik berbisik-bisik dengan teman seangkatan yang lain, sambil sesekali mengacungkan jempol ke arah kami. Dalam keadaan seperti ini, aku merasa mendapat dukungan dari Dono. Mungkin Don Juan itu berniat menjadikan aku seperti dirinya juga, biar ada teman yang setipe.Hampir pukul 12 malam saat keseluruhan acara berakhir. Panitia berhasil mengumpulkan lebih dari dua ratus juta. Panitia merencanakan dana itu untuk membantu dana pembuatan sanggar seni di kawasan sekolah dan sebagian lain untuk menyantuni beberapa pensiunan guru yang sakit-sakitan di masa tuanya."Ayok, Yun. Aku antar kamu sekalian. Gak ada yang marah, kan?" Aku mengerlingkan mata kepadanya. Perempuan itu mengulum senyum dan menggeleng. Dengan beriringan, kami menuju mobilku, eh mobil Ast

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUĀ Ā Ā BAB 4

    Part_4Astuti mempercepat langkah dan memasuki kamar. Aku segera menahan daun pintu dengan tangan sebelum ia menutupnya."Aku tidak ingin bertengkar, Mas. Capek! Capek tubuh maupun pikiran," sambutnya dengan suara mulai pelan dan terengah-engah. Paling-paling dia takut telah membuatku marah barusan. Namun ini tidak boleh dibiarkan, bisa tuman!"Kenapa sekarang ngungkit-ngungkit soal sumber uang di rumah ini? Sudah mulai hitung-hitungan? Mentang-mentang sudah kenal sontoloyo Didi itu dan mulai ikut-ikutan gayanya si Erien! Iya?!" Aku mencengkeram dagu Astuti dan menatap garang padanya."Lepas!" Ia mulai terlihat kesakitan dan berusaha mendorong tanganku."Jawab dulu!""Lepas! Atau aku akan teriak kencang supaya anak-anak mendengar?!" Bukannya takut, ia malah balik mengancam. Aku mengendorkan cengkeraman dan membuang napas kesal.Jika urusan anak memang menjadi rem buatku. Selama ini selalu berusaha tidak berseteru di hadapa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUĀ Ā Ā BAB 5

    #Part_5Beberapa hari ini, Astuti mendiamkan aku. Tidak bicara apa-apa kecuali menjawab pertanyaan, itu pun jawaban pendek-pendek saja. Sifat serba memaklumi yang bertahun-tahun jadi ciri khasnya seolah sirna. Apa yang jadi penyebabnya aku belum tahu.Semula ada rasa curiga, jangan-jangan Astuti bermain api dengan Didi sialan itu. Namun sempat beberapa kali memata-matai aktivitas istriku di luar, tidak menemukan hal mencurigakan. Demikian juga saat kubuka diam-diam ponselnya, tidak ada chat mesra dengan lelaki itu.Sempat diri ini curhat pada Dono Don Juan itu, soal Astuti yang sekarang cenderung sensitif dan tertutup. Sarannya sungguh lebay, katanya aku harus belajar romantis dan sedikit gombal, sebab perempuan konon suka digombali. Sesekali memberi bunga, candle light dinner, atau nginap di hotel berdua, adalah beberapa saran darinya.Aku sama sekali tak pernah melakukan itu. Setahuku dengan bentakan dan sikap keras, istri akan bisa dikuasai. Selama pul

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUĀ Ā Ā BAB 6

    #Part_6Aku menekuk tubuh di atas kursi teras. Hawa dingin dinihari membuatku menggigil. Ditambah pula dengan gigitan nyamuk malam yang tidak henti-hentinya meninggalkan rasa gatal di sekujur tubuh. Mata ini sama sekali tak mampu terpicing sejak tadi malam.Pikiranku lalu melayang pada kejadian beberapa jam lalu. Kemarahan Astuti yang meledak begitu tahu ada perempuan lain di rumah ini. Kenapa tadi seolah bibir ini terkunci untuk membela diri? Kenapa aku membiarkan Astuti yang mengendalikan situasi? Bodohnya aku membiarkan situasi di rumah tak lagi dalam kendaliku? Apa ... apa yang telah terjadi pada Astuti sehingga kini ia tak bisa kuperlakukan sesenaknya seperti dulu?Adzan Subuh terdengar dari masjid di pertigaan sana. Tak lama lampu ruang tamu menyala, disusul anak kunci yang berputar dan daun pintu terbuka.Tanpa menunggu lebih lama, aku menerobos masuk dan melewati begitu saja tubuh Astuti yang berdiri di ambang pintu.Langkah kaki mengar

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUĀ Ā Ā BAB 9

    #Part_9Langkah Astuti terlihat mantap menapaki ubin di selasar menuju ke ruang sidang. Justru berbanding terbalik dengan kondisiku saat ini. Terus terang, kejutan dari calon mantan istriku itu membuat diri ini shock. Kepercayaan diri yang menyertai sejak dari rumah tadi, kini pupus tanpa sisa.Aku sama sekali tak menyangka bahwa inilah kartu mati yang telah ia siapkan sejak beberapa minggu lalu. Padahal telah beberapa kali Astuti memberikan sinyal dengan kata-kata dan sikapnya, bahwa ia punya kartu truft, tapi aku memilih menyepelekan dan menganggap sekadar gertak sambal belaka. Aku sungguh lupa jika kini Astuti pelan tapi pasti menjelma menjadi kuda hitam.Aku mencoba mengingat-ingat sejak kapan ia memasang kamera perekam mini itu, mungkinkah serempak waktunya dengan kedatangan seorang tekhnisi yang mengecek soal kabel-kabel listrik seminggu lalu? Dan aku yakin, itu pasti orang yang dibayar Astutiuntuk memuluskan rencananya."Pak Busro melamun

  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUĀ Ā Ā BAB 8

    #Part_8Aku bangun dengan kepala berat. Rupanya sudah jam sepuluh pagi, pantas suasana rumah sepi dan senyap. Dengan tubuh sedikit terhuyung aku meraih handuk di gantungan.Kulirik sekilas meja kecil di sudut kamar, entah sudah berapa lama tak lagi terhidang secangkir kopi dan sarapan. Meski tak ada makanan, tetapi tiga lembar uang merah dan selembar kertas tergeletak di sana.[ Tolong pergi ke pom bensin, karena mobil tak bisa diisi air. Sisanya buat beli nasi bungkus dan lain-lain. Anak-anak nggak usah dijemput, karena kami akan mengunjungi Bude. Nginap.] Bude adalah sebutan untuk kakak perempuan Astuti; Mbak Laila. Hanya setengah jam berkendara dari sini.Ada yang terasa mengaliri sudut hati, semacam rasa hangat yang aneh. Meski jurang semakin menganga lebar, Astuti tetap 'care'. Buktinya dia memikirkan kebutuhanku, meski bisa saja tak peduli.Kuraih ponsel dari nakas, terpikir untuk menelepon Astuti. Ponsel menampilkan notifikas

  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUĀ Ā Ā BAB 7

    #Part_7Yuni terus bertanya soal surat panggilan sidang yang dilengkapi dengan salinan surat gugatan. Surat gugatan itu bertanggal tepat sehari setelah Astuti batal berdinas dan memergoki keberadaan Yuni di rumah kami."Kebetulan dong, Yank. Kita nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi dari dia," celetuk Yuni dengan nada bersemangat. Aku hanya diam tak menanggapi, susah juga menjelaskan keadaan sesungguhnya keluarga kami. Namun tahu atau tidaknya Yuni, tak menjadi soal. Dia boleh tetap berada di sampingku atau memilih pergi. Yang jadi beban pikiran justru sikap tegas Astuti. Aku benar-benar merasa kecolongan dengan perubahan seluruh sikap dan mentalnya. Dan aku ... tidak rela! Tidak rela!"Nggak masuk dulu, Mas." Yuni menggamit lenganku untuk mengikutinya masuk rumah seperti biasa, tetapi hati ini sama sekali tak ingin. Bayangan Astuti memenuhi benak, tak ingin kehilangan perempuan serba bisa itu. Sejak Astuti menjadi PNS, sejak saat itu pula ia mengambil alih peranku

  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUĀ Ā Ā BAB 6

    #Part_6Aku menekuk tubuh di atas kursi teras. Hawa dingin dinihari membuatku menggigil. Ditambah pula dengan gigitan nyamuk malam yang tidak henti-hentinya meninggalkan rasa gatal di sekujur tubuh. Mata ini sama sekali tak mampu terpicing sejak tadi malam.Pikiranku lalu melayang pada kejadian beberapa jam lalu. Kemarahan Astuti yang meledak begitu tahu ada perempuan lain di rumah ini. Kenapa tadi seolah bibir ini terkunci untuk membela diri? Kenapa aku membiarkan Astuti yang mengendalikan situasi? Bodohnya aku membiarkan situasi di rumah tak lagi dalam kendaliku? Apa ... apa yang telah terjadi pada Astuti sehingga kini ia tak bisa kuperlakukan sesenaknya seperti dulu?Adzan Subuh terdengar dari masjid di pertigaan sana. Tak lama lampu ruang tamu menyala, disusul anak kunci yang berputar dan daun pintu terbuka.Tanpa menunggu lebih lama, aku menerobos masuk dan melewati begitu saja tubuh Astuti yang berdiri di ambang pintu.Langkah kaki mengar

  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUĀ Ā Ā BAB 5

    #Part_5Beberapa hari ini, Astuti mendiamkan aku. Tidak bicara apa-apa kecuali menjawab pertanyaan, itu pun jawaban pendek-pendek saja. Sifat serba memaklumi yang bertahun-tahun jadi ciri khasnya seolah sirna. Apa yang jadi penyebabnya aku belum tahu.Semula ada rasa curiga, jangan-jangan Astuti bermain api dengan Didi sialan itu. Namun sempat beberapa kali memata-matai aktivitas istriku di luar, tidak menemukan hal mencurigakan. Demikian juga saat kubuka diam-diam ponselnya, tidak ada chat mesra dengan lelaki itu.Sempat diri ini curhat pada Dono Don Juan itu, soal Astuti yang sekarang cenderung sensitif dan tertutup. Sarannya sungguh lebay, katanya aku harus belajar romantis dan sedikit gombal, sebab perempuan konon suka digombali. Sesekali memberi bunga, candle light dinner, atau nginap di hotel berdua, adalah beberapa saran darinya.Aku sama sekali tak pernah melakukan itu. Setahuku dengan bentakan dan sikap keras, istri akan bisa dikuasai. Selama pul

  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUĀ Ā Ā BAB 4

    Part_4Astuti mempercepat langkah dan memasuki kamar. Aku segera menahan daun pintu dengan tangan sebelum ia menutupnya."Aku tidak ingin bertengkar, Mas. Capek! Capek tubuh maupun pikiran," sambutnya dengan suara mulai pelan dan terengah-engah. Paling-paling dia takut telah membuatku marah barusan. Namun ini tidak boleh dibiarkan, bisa tuman!"Kenapa sekarang ngungkit-ngungkit soal sumber uang di rumah ini? Sudah mulai hitung-hitungan? Mentang-mentang sudah kenal sontoloyo Didi itu dan mulai ikut-ikutan gayanya si Erien! Iya?!" Aku mencengkeram dagu Astuti dan menatap garang padanya."Lepas!" Ia mulai terlihat kesakitan dan berusaha mendorong tanganku."Jawab dulu!""Lepas! Atau aku akan teriak kencang supaya anak-anak mendengar?!" Bukannya takut, ia malah balik mengancam. Aku mengendorkan cengkeraman dan membuang napas kesal.Jika urusan anak memang menjadi rem buatku. Selama ini selalu berusaha tidak berseteru di hadapa

  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUĀ Ā Ā BAB 3

    Part_3Hampir sepanjang acara reuni berlangsung, aku sama sekali tak memerhatikan panggung di depan sana. Fokusku hanya berdekatan dan ngobrol bersama Yuni, idamanku di masa lalu. Sementara di ujung sana, Dono asyik berbisik-bisik dengan teman seangkatan yang lain, sambil sesekali mengacungkan jempol ke arah kami. Dalam keadaan seperti ini, aku merasa mendapat dukungan dari Dono. Mungkin Don Juan itu berniat menjadikan aku seperti dirinya juga, biar ada teman yang setipe.Hampir pukul 12 malam saat keseluruhan acara berakhir. Panitia berhasil mengumpulkan lebih dari dua ratus juta. Panitia merencanakan dana itu untuk membantu dana pembuatan sanggar seni di kawasan sekolah dan sebagian lain untuk menyantuni beberapa pensiunan guru yang sakit-sakitan di masa tuanya."Ayok, Yun. Aku antar kamu sekalian. Gak ada yang marah, kan?" Aku mengerlingkan mata kepadanya. Perempuan itu mengulum senyum dan menggeleng. Dengan beriringan, kami menuju mobilku, eh mobil Ast

  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUĀ Ā Ā BAB 2

    Part_2Kutimang-timang undangan yang diantar Dono tadi siang. Sebuah undangan reuni SMU 21 Kota Jambi mulai dari angkatan tahun 1990 sampai dengan tahun 2000. Tumben aku dapat undangan kali ini, padahal reuni tahun-tahun sebelumnya tidak pernah benar-benar diundang. Dono teman sekelas yang super gaul, hingga tak pernah absen didapuk sebagai salah satu panitia. Meskipun kami dulu terbilang akrab di sekolah, tetapi jadi terasa berjarak sejak ia tahu aku tak punya pekerjaan tetap dan hanya mengontrak. Sesekali ia hanya memberitahukan info reuni lewat chat tanpa meminta sumbangan. Dari situ aku bisa membaca maksudnya.Aku menyeringai, kini tak ada lagi yang bisa menyepelekan seorang Busro. PP akun Whatsapp dan Facebook yang berlatar belakang rumah mewah berlantai dua dan mobil kelas menengah, telah mengukuhkan keberadaanku di mata teman-teman alumni. Bahkan Dono sendiri yang mengantar langsung undangannya. Amplop putih yang ia sodorkan sebagai kontribusi acara, kukembalika

  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUĀ Ā Ā BAB 1

    ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUPart_1Aku menggeliat bangun oleh aroma kopi yang menerpa hidung. Benar saja, di atas meja kecil yang terletak di pojok kamar, Astuti telah menyiapkan sarapan pagiku seperti biasa. Kali ini secangkir kopi ditemani nasi goreng ati. Tanpa mencuci muka terlebih dulu, aku menyeruput kopi dan menyalakan sebarang rokok."Mas buruan siap-siap, nanti Panji dan Rara bisa terlambat." Astuti mengingatkan sembari sibuk mematut diri di depan cermin, dilanjutkan memasukkan berkas-berkas ke dalam tas kerjanya."Kalau mau nggak terlambat, sekalian kamu antar saja, dong," sahutku ketus. Mentang-mentang jadi wanita karier, seenaknya saja mendikte suami. Perempuan yang kunikahi tiga belas tahun lalu itu terdengar menghela napas panjang, lalu tanpa kata mengulurkan selembar biru ke arahku, seperti biasanya pula. Ya, duit itu jatahku tiap pagi--buat beli pulsa dan rokok. Meski sudah lama tak cukup, tapi aku belum sempat minta ke

DMCA.com Protection Status