#Part_8
Aku bangun dengan kepala berat. Rupanya sudah jam sepuluh pagi, pantas suasana rumah sepi dan senyap. Dengan tubuh sedikit terhuyung aku meraih handuk di gantungan.Kulirik sekilas meja kecil di sudut kamar, entah sudah berapa lama tak lagi terhidang secangkir kopi dan sarapan. Meski tak ada makanan, tetapi tiga lembar uang merah dan selembar kertas tergeletak di sana.
[ Tolong pergi ke pom bensin, karena mobil tak bisa diisi air. Sisanya buat beli nasi bungkus dan lain-lain. Anak-anak nggak usah dijemput, karena kami akan mengunjungi Bude. Nginap.] Bude adalah sebutan untuk kakak perempuan Astuti; Mbak Laila. Hanya setengah jam berkendara dari sini.
Ada yang terasa mengaliri sudut hati, semacam rasa hangat yang aneh. Meski jurang semakin menganga lebar, Astuti tetap 'care'. Buktinya dia memikirkan kebutuhanku, meski bisa saja tak peduli.
Kuraih ponsel dari nakas, terpikir untuk menelepon Astuti. Ponsel menampilkan notifikasi delapan panggilan tak terjawab dari Yuni. Aku memilih mengabaikannya.
Lama sekali baru tersambung dan terdengar suara Astuti.
"Ada apa, Mas?" Sahutannya terdengar penuh keengganan.
"Aku cu--cuma mengkhawatirkanmu ....
" Hanya terdengar helaan napasnya. Aku menelan ludah, bingung sendiri dengan suasana hatiku. Jika boleh memilih, aku ingin tetap bersama Astuti meski pun harus bertanggung jawab terhadap kehamilan Yuni.Yuni menang menarik, manja dan paham cara menyenangkan hatiku, tetapi ada hal yang tak bisa tergantikan dari sosok istriku itu. Andai saja aku bisa menjadikan Astuti dan Yuni sebagai dua permaisuri dalam hidupku, tentu semuanya akan terlihat sempurna. Satu istri yang mandiri dan serba bisa, satunya lagi istri yang menggairahkan.
"Tak bisakah kita berdamai saja, Astuti? Kita tetap bersama, dan Yuni kunikahi hanya sebatas rasa tanggung jawab saja." Kalimat itu meluncur begitu saja.
Lagi-lagi tidak terdengar apa-apa, sampai beberapa detik kemudian tawa di seberang sana terdengar menyengat telingaku.
"Jangan bercanda, Mas. Aku tidak senaif itu. Boleh saja aku menerima segala celamu, dan itu sudah kubuktikan bertahun-tahun lamanya. Namun batas kesabaranku sudah habis, perubahan dan perbaikan sikap tak kunjung kau tampakkan. Lebih keterlaluan lagi sebuah penghianatan, dan untuk hal semacam itu ... tidak ada kata maaf dariku!" Suara Astuti terdengar bergetar.
"Jadi, kau akan tetap melanjutkan gugatanmu?"
"Iya. Dan nanti dalam sidang mediasi pun, keputusanku tidak akan berubah. Sudah dulu, Mas, aku masih banyak kesibukan." Tanpa menunggu jawaban, sambungan ditutup sepihak.
Aku meremas jemari kuat-kuat. Astuti telah membuat batas, dan aku tak bisa lagi memenangkan hatinya. Seperti kata Emak sejak dulu, suami adalah raja, dan raja tidak akan merendahkan dirinya di hadapan perempuan manapun. Baiklah, mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap, semua harus kuhadapi. Dia jual, aku beli. Segera kutelepon Yuni, ingin tahu kabarnya hari ini sembari mengusir rasa kesal akibat respon Astuti tadi.
"Mas, aku sudah nemu pengacara yang mau dibayar belakangan," sambarnya penuh semangat saat tersambung.
"Serius? Siapa dia? Kapan kita bisa ketemu dia?" Aku tak sabar lagi untuk menyusun langkah lebih lanjut. Aku boleh berbesar hati, harta gono gini yang aku ajukan nanti di sidang perceraian memiliki nilai cukup tinggi. Rumah ini terletak di atas tanah yang cukup luas. Dulu memang Astuti membeli dengan harga sangat murah, tetapi kini nilainya berpuluh kali lipat. Wajar saja, kini wilayah ini merupakan jalur hidup dan menjanjikan. Hampir semua fasilitas umum seperti swalayan, pasar dan gedung perkantoran mulai menjamur.
"Nanti malam dia bermaksud mengunjungimu, jika kamu bersedia."
"Ya sudah, lebih cepat lebih baik, dong. Bilang saja aku tunggu kedatangannya. Kebetulan Astuti dan anak-anak sedang menginap di rumah saudara," jawabku bersemangat. Hati sedikit lega, satu masalah mulai menemukan solusi.
Pukul tujuh malam, pengacara bernama Albert Juanda itu datang bersama Yuni. Konon lelaki itu masih kerabat jauhnya. Sengaja aku meminta Yuni membuat minum dan kudapan kecil, agar bisa leluasa berbicara hal penting berdua saja dengan pengacara itu.
"Pak Busro, kali ini kita tidak perlu terlalu formal. Soal surat kuasa dan lain-lain bisa kita susul besok di kantor saya, kebetulan Kak Yuni masih kerabat saya." Lelaki tegap itu berbicara lugas. Aku mendekat ke arahnya.
"Intinya, saya ingin ada perdamaian. Saya masih ingin mempertahankan rumah tangga ini. Namun jika memang harus bercerai, bukankah ada sebagian hak saya atas harta benda yang ada?" tegasku. Pria berkacamata itu mengangguk-angguk dengan mimik serius.
"Jadi begini, Pak Busro. Dalam tahapan perceraian itu ada Mediasi, nah di sanalah adanya proses mendamaikan para pihak oleh hakim. Jika mentok, maka akan lanjut ke agenda utama, yaitu rangkaian persidangan cerai. Soal harta gono gini itu bisa digabungkan langsung dengan sidang perceraian, bisa juga setelah ada putusan cerai terlebih dulu.
Yang pasti, hukum kita mengatakan bahwa seluruh harta yang diperoleh semasa perkawinan adalah harta bersama dan bisa dibagi secara rata." Albert Juanda menerangkan panjang lebar. Meski aku tak begitu paham soal proses gugatan Astuti, tapi dari penjelasannya bisa dipahami bahwa soal seluruh kekayaan dalam rumah tangga kami adalah harta bersama meskipun hanya Astuti yang menghasilkan.
"Jadi apa yang harus saya lakukan?" tanyaku serius.
"Jika Anda ingin gugatan cerai tidak dikabulkan, siapkan beberapa bukti yang membantah tuduhan Bu Astuti. Misalnya saksi yang menerangkan bahwa kondisi rumah tangga kalian baik-baik saja. Kedua, bukti-bukti bahwa Anda bertanggung jawab dan menafkahi keluarga. Misalnya slip-slip gaji dan keanggotaan asuransi kerja." Kembali pengacara itu menjelaskan. Aku termenung, bisakah aku menyiapkan jurus-jurus sangkalan atas gugatan Astuti?
"Jika saya tidak mampu menyangkal?" tanyaku getir.
"Sudah pasti proses akan terus berjalan dan perceraian bisa dikabulkan. Di sini, soal pembagian harta goni gini menjadi hal yang pasti akan dibahas," jawab Albert tegas.
Aku mengangguk paham, mungkin memang perceraian menjadi jalan terbaik bagiku dan Astuti.
š
Esok harinya Astuti dan anak-anak pulang menggunakan armada online. Mereka masuk dan melewatiku yang tengah menekuri ponsel begitu saja.
"Panji! Rara!" Kupanggil mereka dengan perasaan rindu. Langkah mereka terhenti dan menatap ragu, tetapi sejurus kemudian mendekat pelan ke arahku. Mencium punggung tangan ini secara kilat lalu berlalu ke kamar masing-masing. Ah, aku mulai kehilangan mereka perlahan-lahan ....
Di dapur kudengar aktivitas Astuti seperti biasa. Mungkin membereskan segala kekacauan rumah selama dia pergi. Pakaian kotor dan piring berserakan , terlihat begitu memasuki dapur. Ya, seumur-umur aku memang tak pernah menyentuh pekerjaan perempuan. Laki-laki tidak boleh merendahkan diri dengan mengerjakan tetek bengek pekerjaan rumah, terngiang perkataan Emak dulu.
"Kau mencuci otak anak-anak? Mereka menjauh dariku," protesku kesal. Mata lentik itu cuma melirik sekilas, lalu melanjutkan pekerjaaannya.
"Aku bukan pecundang. Mereka belajar dan membaca keadaan. Contohnya ini, rendah dan menjijikkan," desisnya sambil melemparkan jas hangat berwarna coklat susu. Astaga, itu jas Yuni yang tertinggal di dapur semalam. Tadi pagi semua terburu-buru dan Yuni pasti lupa mengecek barang-barangnya.
"Lagi-lagi cuma mengejar untuk bisa mengungkit hal yang sama!" aku mendengkus masygul. Astuti hanya menyeringai memamerkan deretan gigi putihnya.
"Mas yang memang selalu mancing untuk dikomentari pedas! Selalu ada hukum sebab akibat, bukan?"
Aku terdiam tanpa kata sedikit pun. Terjebak oleh keadaan seperti ini.
"Aku sudah punya pengacara. Jadi, lebih baik belajar mengikhlaskan semua nantinya," gumamku setelah beberapa menit terjeda hening. Wajah tirus itu tetap terlihat tenang tanpa riak."Aku justru tidak perlu pengacara, Mas. Aku berjuang mewakili diriku sendiri untuk memenangkan hakku dan anak-anak!" tegasnya.
"Tapi kau bukan orang bodoh, bukan? Kau pasti tau tentang aturan pembagian harta bersama ...." Aku mencecar Astuti.
"Kita lihat besok, Mas! Hanya tinggal beberapa jam dari saat ini." Keyakinan pada suaranya tak berubah sama sekali.
š
Mobilku tiba di PA setengah jam lalu diiringi Albert Juanda. Yuni terpaksa tidak boleh ikut, karena menurut Albert, kehadirannya hanya akan menjadi nilai negatif bagiku. Memiliki Wil/Pil dalam sidang perceraian adalah sebuah preseden buruk.Tak lama Astuti terlihat keluar dari ruang panitera. Seperti janjinya, ia hanya sendirian saja. Albert dan aku menghampirinya. Sikapnya terlihat sangat hati-hati saat menerima uluran tangan pengacaraku.
"Saran saya, Ibu juga mengajukan pembagian gono-gini sepaket dengan persidangan ini, atau jika tidak, maka pihak kami lah yang akan mengajukannya pada panitera. Ini hal yang sangat penting dalam proses perceraian, bukan?" Albert Juanda berucap serius dan penuh penekanan.
"Saya perlu bicara secara pribadi dengan klien Anda," jawab Astuti dan memberi kode padaku untuk mengikuti langkahnya ke bagian belakang gedung ini.
Sinar keemasan di pagi hari yang cerah membuat adegan demi adegan dalam layar ponselnya terlihat jelas. Mulanya aku bingung dengan maksudnya, tetapi setelah beberapa menit simpul-simpul otak ini mulai bereaksi. Aku seperti melihat seorang pencuri yang tertangkap rumahnya sendiri.
"Kau merekam hal-hal yang menjadi privasiku!?" geramku saat layar ponselnya menampilkan bayangan Yuni yang memeluk dan bergayut mesra padaku. Berlanjut dengan adegan langkah kami menuju kamar utama.
"Bukan hanya satu titik CCTV, Mas, tetapi empat sekaligus. Di teras, ruang tamu, di depan kamar dan ruang kerjaku. Kalau kau tega melakukan apa saja, kenapa aku tidak?" Ia tertawa renyah. Darahku mendidih demi melihat satu demi satu adegan lainnya, termasuk beberapa kekerasan yang pernah kulakukan terhadapnya.
"Licik!" desisku geram. Jari-jemari tangan ini membentuk kepalan. Andai bukan di tempat umum, sudah kuberi pelajaran seperti biasanya.
"Jangan mimpi bisa sesenaknya lagi memperlakukan aku. Kebebasanmu justru ada di tanganku!" Astuti nyaris berteriak.
"Lalu apa maumu, Astuti?!" tanyaku pelan sambil berusaha menekan amarah yang memenuhi rongga dada dan membuatku sesak.
"Mauku? Proses persidangan ini berjalan lancar dan tidak ada tuntutan harta gono gini! Aku tidak akan sudi kau mengambil satu sen pun milikku untuk perempuan itu! Semua milik Panji dan Rara. Titik!"
"Oh ya? Kau pikir aku peduli?!" Aku makin mendekati posisinya.
"Tentu saja. Atau kau mau berurusan dengan pasal KDRT dan perzinahan?" tanya Astuti menantang, ketenangan sikapnya membuatku panas.
"Kau akan menjadi pribadi yang cacat moral di tengah masyarakat dan lingkunganmu. Akan menjadi orang yang dicurigai sepanjang hari. Kau akan menjadi lelaki tanpa masa depan," tandasnya tanpa tedeng aling-aling.
Aku menghembuskan napas kesal, ternyata Astuti lebih kuat dan cerdas dari yang kutahu. Dengan gerakan kilat, kurampas ponsel dalam genggamannya lalu menghapus deretan video itu.
"Nah beres, kan?" Aku tertawa puas. Kau pikir semudah itu mengancam seorang Busro?
"Padahal aku punya banyak salinannya, meskipun nantinya kau akan merusak CCTV yang terpasang di rumah. Semua telah kukirim ke beberapa orang yang sangat kupercaya." Wajah cantik di hadapanku tertawa lebar. Rasa marah menguasai diri tapi aku tak mampu melampiaskannya.
"Mari kita mengikuti proses persidangan, Mas. Kuharap kau cerdas untuk menentukan sikap. Bercerailah baik-baik tanpa drama, agar anak-anak tetap respek dan menghormatimu!" tandasnya sambil berjalan menuju ruang sidang
#Part_9Langkah Astuti terlihat mantap menapaki ubin di selasar menuju ke ruang sidang. Justru berbanding terbalik dengan kondisiku saat ini. Terus terang, kejutan dari calon mantan istriku itu membuat diri ini shock. Kepercayaan diri yang menyertai sejak dari rumah tadi, kini pupus tanpa sisa.Aku sama sekali tak menyangka bahwa inilah kartu mati yang telah ia siapkan sejak beberapa minggu lalu. Padahal telah beberapa kali Astuti memberikan sinyal dengan kata-kata dan sikapnya, bahwa ia punya kartu truft, tapi aku memilih menyepelekan dan menganggap sekadar gertak sambal belaka. Aku sungguh lupa jika kini Astuti pelan tapi pasti menjelma menjadi kuda hitam.Aku mencoba mengingat-ingat sejak kapan ia memasang kamera perekam mini itu, mungkinkah serempak waktunya dengan kedatangan seorang tekhnisi yang mengecek soal kabel-kabel listrik seminggu lalu? Dan aku yakin, itu pasti orang yang dibayar Astutiuntuk memuluskan rencananya."Pak Busro melamun
ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUPart_1Aku menggeliat bangun oleh aroma kopi yang menerpa hidung. Benar saja, di atas meja kecil yang terletak di pojok kamar, Astuti telah menyiapkan sarapan pagiku seperti biasa. Kali ini secangkir kopi ditemani nasi goreng ati. Tanpa mencuci muka terlebih dulu, aku menyeruput kopi dan menyalakan sebarang rokok."Mas buruan siap-siap, nanti Panji dan Rara bisa terlambat." Astuti mengingatkan sembari sibuk mematut diri di depan cermin, dilanjutkan memasukkan berkas-berkas ke dalam tas kerjanya."Kalau mau nggak terlambat, sekalian kamu antar saja, dong," sahutku ketus. Mentang-mentang jadi wanita karier, seenaknya saja mendikte suami. Perempuan yang kunikahi tiga belas tahun lalu itu terdengar menghela napas panjang, lalu tanpa kata mengulurkan selembar biru ke arahku, seperti biasanya pula. Ya, duit itu jatahku tiap pagi--buat beli pulsa dan rokok. Meski sudah lama tak cukup, tapi aku belum sempat minta ke
Part_2Kutimang-timang undangan yang diantar Dono tadi siang. Sebuah undangan reuni SMU 21 Kota Jambi mulai dari angkatan tahun 1990 sampai dengan tahun 2000. Tumben aku dapat undangan kali ini, padahal reuni tahun-tahun sebelumnya tidak pernah benar-benar diundang. Dono teman sekelas yang super gaul, hingga tak pernah absen didapuk sebagai salah satu panitia. Meskipun kami dulu terbilang akrab di sekolah, tetapi jadi terasa berjarak sejak ia tahu aku tak punya pekerjaan tetap dan hanya mengontrak. Sesekali ia hanya memberitahukan info reuni lewat chat tanpa meminta sumbangan. Dari situ aku bisa membaca maksudnya.Aku menyeringai, kini tak ada lagi yang bisa menyepelekan seorang Busro. PP akun Whatsapp dan Facebook yang berlatar belakang rumah mewah berlantai dua dan mobil kelas menengah, telah mengukuhkan keberadaanku di mata teman-teman alumni. Bahkan Dono sendiri yang mengantar langsung undangannya. Amplop putih yang ia sodorkan sebagai kontribusi acara, kukembalika
Part_3Hampir sepanjang acara reuni berlangsung, aku sama sekali tak memerhatikan panggung di depan sana. Fokusku hanya berdekatan dan ngobrol bersama Yuni, idamanku di masa lalu. Sementara di ujung sana, Dono asyik berbisik-bisik dengan teman seangkatan yang lain, sambil sesekali mengacungkan jempol ke arah kami. Dalam keadaan seperti ini, aku merasa mendapat dukungan dari Dono. Mungkin Don Juan itu berniat menjadikan aku seperti dirinya juga, biar ada teman yang setipe.Hampir pukul 12 malam saat keseluruhan acara berakhir. Panitia berhasil mengumpulkan lebih dari dua ratus juta. Panitia merencanakan dana itu untuk membantu dana pembuatan sanggar seni di kawasan sekolah dan sebagian lain untuk menyantuni beberapa pensiunan guru yang sakit-sakitan di masa tuanya."Ayok, Yun. Aku antar kamu sekalian. Gak ada yang marah, kan?" Aku mengerlingkan mata kepadanya. Perempuan itu mengulum senyum dan menggeleng. Dengan beriringan, kami menuju mobilku, eh mobil Ast
Part_4Astuti mempercepat langkah dan memasuki kamar. Aku segera menahan daun pintu dengan tangan sebelum ia menutupnya."Aku tidak ingin bertengkar, Mas. Capek! Capek tubuh maupun pikiran," sambutnya dengan suara mulai pelan dan terengah-engah. Paling-paling dia takut telah membuatku marah barusan. Namun ini tidak boleh dibiarkan, bisa tuman!"Kenapa sekarang ngungkit-ngungkit soal sumber uang di rumah ini? Sudah mulai hitung-hitungan? Mentang-mentang sudah kenal sontoloyo Didi itu dan mulai ikut-ikutan gayanya si Erien! Iya?!" Aku mencengkeram dagu Astuti dan menatap garang padanya."Lepas!" Ia mulai terlihat kesakitan dan berusaha mendorong tanganku."Jawab dulu!""Lepas! Atau aku akan teriak kencang supaya anak-anak mendengar?!" Bukannya takut, ia malah balik mengancam. Aku mengendorkan cengkeraman dan membuang napas kesal.Jika urusan anak memang menjadi rem buatku. Selama ini selalu berusaha tidak berseteru di hadapa
#Part_5Beberapa hari ini, Astuti mendiamkan aku. Tidak bicara apa-apa kecuali menjawab pertanyaan, itu pun jawaban pendek-pendek saja. Sifat serba memaklumi yang bertahun-tahun jadi ciri khasnya seolah sirna. Apa yang jadi penyebabnya aku belum tahu.Semula ada rasa curiga, jangan-jangan Astuti bermain api dengan Didi sialan itu. Namun sempat beberapa kali memata-matai aktivitas istriku di luar, tidak menemukan hal mencurigakan. Demikian juga saat kubuka diam-diam ponselnya, tidak ada chat mesra dengan lelaki itu.Sempat diri ini curhat pada Dono Don Juan itu, soal Astuti yang sekarang cenderung sensitif dan tertutup. Sarannya sungguh lebay, katanya aku harus belajar romantis dan sedikit gombal, sebab perempuan konon suka digombali. Sesekali memberi bunga, candle light dinner, atau nginap di hotel berdua, adalah beberapa saran darinya.Aku sama sekali tak pernah melakukan itu. Setahuku dengan bentakan dan sikap keras, istri akan bisa dikuasai. Selama pul
#Part_6Aku menekuk tubuh di atas kursi teras. Hawa dingin dinihari membuatku menggigil. Ditambah pula dengan gigitan nyamuk malam yang tidak henti-hentinya meninggalkan rasa gatal di sekujur tubuh. Mata ini sama sekali tak mampu terpicing sejak tadi malam.Pikiranku lalu melayang pada kejadian beberapa jam lalu. Kemarahan Astuti yang meledak begitu tahu ada perempuan lain di rumah ini. Kenapa tadi seolah bibir ini terkunci untuk membela diri? Kenapa aku membiarkan Astuti yang mengendalikan situasi? Bodohnya aku membiarkan situasi di rumah tak lagi dalam kendaliku? Apa ... apa yang telah terjadi pada Astuti sehingga kini ia tak bisa kuperlakukan sesenaknya seperti dulu?Adzan Subuh terdengar dari masjid di pertigaan sana. Tak lama lampu ruang tamu menyala, disusul anak kunci yang berputar dan daun pintu terbuka.Tanpa menunggu lebih lama, aku menerobos masuk dan melewati begitu saja tubuh Astuti yang berdiri di ambang pintu.Langkah kaki mengar
#Part_7Yuni terus bertanya soal surat panggilan sidang yang dilengkapi dengan salinan surat gugatan. Surat gugatan itu bertanggal tepat sehari setelah Astuti batal berdinas dan memergoki keberadaan Yuni di rumah kami."Kebetulan dong, Yank. Kita nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi dari dia," celetuk Yuni dengan nada bersemangat. Aku hanya diam tak menanggapi, susah juga menjelaskan keadaan sesungguhnya keluarga kami. Namun tahu atau tidaknya Yuni, tak menjadi soal. Dia boleh tetap berada di sampingku atau memilih pergi. Yang jadi beban pikiran justru sikap tegas Astuti. Aku benar-benar merasa kecolongan dengan perubahan seluruh sikap dan mentalnya. Dan aku ... tidak rela! Tidak rela!"Nggak masuk dulu, Mas." Yuni menggamit lenganku untuk mengikutinya masuk rumah seperti biasa, tetapi hati ini sama sekali tak ingin. Bayangan Astuti memenuhi benak, tak ingin kehilangan perempuan serba bisa itu. Sejak Astuti menjadi PNS, sejak saat itu pula ia mengambil alih peranku
#Part_9Langkah Astuti terlihat mantap menapaki ubin di selasar menuju ke ruang sidang. Justru berbanding terbalik dengan kondisiku saat ini. Terus terang, kejutan dari calon mantan istriku itu membuat diri ini shock. Kepercayaan diri yang menyertai sejak dari rumah tadi, kini pupus tanpa sisa.Aku sama sekali tak menyangka bahwa inilah kartu mati yang telah ia siapkan sejak beberapa minggu lalu. Padahal telah beberapa kali Astuti memberikan sinyal dengan kata-kata dan sikapnya, bahwa ia punya kartu truft, tapi aku memilih menyepelekan dan menganggap sekadar gertak sambal belaka. Aku sungguh lupa jika kini Astuti pelan tapi pasti menjelma menjadi kuda hitam.Aku mencoba mengingat-ingat sejak kapan ia memasang kamera perekam mini itu, mungkinkah serempak waktunya dengan kedatangan seorang tekhnisi yang mengecek soal kabel-kabel listrik seminggu lalu? Dan aku yakin, itu pasti orang yang dibayar Astutiuntuk memuluskan rencananya."Pak Busro melamun
#Part_8Aku bangun dengan kepala berat. Rupanya sudah jam sepuluh pagi, pantas suasana rumah sepi dan senyap. Dengan tubuh sedikit terhuyung aku meraih handuk di gantungan.Kulirik sekilas meja kecil di sudut kamar, entah sudah berapa lama tak lagi terhidang secangkir kopi dan sarapan. Meski tak ada makanan, tetapi tiga lembar uang merah dan selembar kertas tergeletak di sana.[ Tolong pergi ke pom bensin, karena mobil tak bisa diisi air. Sisanya buat beli nasi bungkus dan lain-lain. Anak-anak nggak usah dijemput, karena kami akan mengunjungi Bude. Nginap.] Bude adalah sebutan untuk kakak perempuan Astuti; Mbak Laila. Hanya setengah jam berkendara dari sini.Ada yang terasa mengaliri sudut hati, semacam rasa hangat yang aneh. Meski jurang semakin menganga lebar, Astuti tetap 'care'. Buktinya dia memikirkan kebutuhanku, meski bisa saja tak peduli.Kuraih ponsel dari nakas, terpikir untuk menelepon Astuti. Ponsel menampilkan notifikas
#Part_7Yuni terus bertanya soal surat panggilan sidang yang dilengkapi dengan salinan surat gugatan. Surat gugatan itu bertanggal tepat sehari setelah Astuti batal berdinas dan memergoki keberadaan Yuni di rumah kami."Kebetulan dong, Yank. Kita nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi dari dia," celetuk Yuni dengan nada bersemangat. Aku hanya diam tak menanggapi, susah juga menjelaskan keadaan sesungguhnya keluarga kami. Namun tahu atau tidaknya Yuni, tak menjadi soal. Dia boleh tetap berada di sampingku atau memilih pergi. Yang jadi beban pikiran justru sikap tegas Astuti. Aku benar-benar merasa kecolongan dengan perubahan seluruh sikap dan mentalnya. Dan aku ... tidak rela! Tidak rela!"Nggak masuk dulu, Mas." Yuni menggamit lenganku untuk mengikutinya masuk rumah seperti biasa, tetapi hati ini sama sekali tak ingin. Bayangan Astuti memenuhi benak, tak ingin kehilangan perempuan serba bisa itu. Sejak Astuti menjadi PNS, sejak saat itu pula ia mengambil alih peranku
#Part_6Aku menekuk tubuh di atas kursi teras. Hawa dingin dinihari membuatku menggigil. Ditambah pula dengan gigitan nyamuk malam yang tidak henti-hentinya meninggalkan rasa gatal di sekujur tubuh. Mata ini sama sekali tak mampu terpicing sejak tadi malam.Pikiranku lalu melayang pada kejadian beberapa jam lalu. Kemarahan Astuti yang meledak begitu tahu ada perempuan lain di rumah ini. Kenapa tadi seolah bibir ini terkunci untuk membela diri? Kenapa aku membiarkan Astuti yang mengendalikan situasi? Bodohnya aku membiarkan situasi di rumah tak lagi dalam kendaliku? Apa ... apa yang telah terjadi pada Astuti sehingga kini ia tak bisa kuperlakukan sesenaknya seperti dulu?Adzan Subuh terdengar dari masjid di pertigaan sana. Tak lama lampu ruang tamu menyala, disusul anak kunci yang berputar dan daun pintu terbuka.Tanpa menunggu lebih lama, aku menerobos masuk dan melewati begitu saja tubuh Astuti yang berdiri di ambang pintu.Langkah kaki mengar
#Part_5Beberapa hari ini, Astuti mendiamkan aku. Tidak bicara apa-apa kecuali menjawab pertanyaan, itu pun jawaban pendek-pendek saja. Sifat serba memaklumi yang bertahun-tahun jadi ciri khasnya seolah sirna. Apa yang jadi penyebabnya aku belum tahu.Semula ada rasa curiga, jangan-jangan Astuti bermain api dengan Didi sialan itu. Namun sempat beberapa kali memata-matai aktivitas istriku di luar, tidak menemukan hal mencurigakan. Demikian juga saat kubuka diam-diam ponselnya, tidak ada chat mesra dengan lelaki itu.Sempat diri ini curhat pada Dono Don Juan itu, soal Astuti yang sekarang cenderung sensitif dan tertutup. Sarannya sungguh lebay, katanya aku harus belajar romantis dan sedikit gombal, sebab perempuan konon suka digombali. Sesekali memberi bunga, candle light dinner, atau nginap di hotel berdua, adalah beberapa saran darinya.Aku sama sekali tak pernah melakukan itu. Setahuku dengan bentakan dan sikap keras, istri akan bisa dikuasai. Selama pul
Part_4Astuti mempercepat langkah dan memasuki kamar. Aku segera menahan daun pintu dengan tangan sebelum ia menutupnya."Aku tidak ingin bertengkar, Mas. Capek! Capek tubuh maupun pikiran," sambutnya dengan suara mulai pelan dan terengah-engah. Paling-paling dia takut telah membuatku marah barusan. Namun ini tidak boleh dibiarkan, bisa tuman!"Kenapa sekarang ngungkit-ngungkit soal sumber uang di rumah ini? Sudah mulai hitung-hitungan? Mentang-mentang sudah kenal sontoloyo Didi itu dan mulai ikut-ikutan gayanya si Erien! Iya?!" Aku mencengkeram dagu Astuti dan menatap garang padanya."Lepas!" Ia mulai terlihat kesakitan dan berusaha mendorong tanganku."Jawab dulu!""Lepas! Atau aku akan teriak kencang supaya anak-anak mendengar?!" Bukannya takut, ia malah balik mengancam. Aku mengendorkan cengkeraman dan membuang napas kesal.Jika urusan anak memang menjadi rem buatku. Selama ini selalu berusaha tidak berseteru di hadapa
Part_3Hampir sepanjang acara reuni berlangsung, aku sama sekali tak memerhatikan panggung di depan sana. Fokusku hanya berdekatan dan ngobrol bersama Yuni, idamanku di masa lalu. Sementara di ujung sana, Dono asyik berbisik-bisik dengan teman seangkatan yang lain, sambil sesekali mengacungkan jempol ke arah kami. Dalam keadaan seperti ini, aku merasa mendapat dukungan dari Dono. Mungkin Don Juan itu berniat menjadikan aku seperti dirinya juga, biar ada teman yang setipe.Hampir pukul 12 malam saat keseluruhan acara berakhir. Panitia berhasil mengumpulkan lebih dari dua ratus juta. Panitia merencanakan dana itu untuk membantu dana pembuatan sanggar seni di kawasan sekolah dan sebagian lain untuk menyantuni beberapa pensiunan guru yang sakit-sakitan di masa tuanya."Ayok, Yun. Aku antar kamu sekalian. Gak ada yang marah, kan?" Aku mengerlingkan mata kepadanya. Perempuan itu mengulum senyum dan menggeleng. Dengan beriringan, kami menuju mobilku, eh mobil Ast
Part_2Kutimang-timang undangan yang diantar Dono tadi siang. Sebuah undangan reuni SMU 21 Kota Jambi mulai dari angkatan tahun 1990 sampai dengan tahun 2000. Tumben aku dapat undangan kali ini, padahal reuni tahun-tahun sebelumnya tidak pernah benar-benar diundang. Dono teman sekelas yang super gaul, hingga tak pernah absen didapuk sebagai salah satu panitia. Meskipun kami dulu terbilang akrab di sekolah, tetapi jadi terasa berjarak sejak ia tahu aku tak punya pekerjaan tetap dan hanya mengontrak. Sesekali ia hanya memberitahukan info reuni lewat chat tanpa meminta sumbangan. Dari situ aku bisa membaca maksudnya.Aku menyeringai, kini tak ada lagi yang bisa menyepelekan seorang Busro. PP akun Whatsapp dan Facebook yang berlatar belakang rumah mewah berlantai dua dan mobil kelas menengah, telah mengukuhkan keberadaanku di mata teman-teman alumni. Bahkan Dono sendiri yang mengantar langsung undangannya. Amplop putih yang ia sodorkan sebagai kontribusi acara, kukembalika
ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUPart_1Aku menggeliat bangun oleh aroma kopi yang menerpa hidung. Benar saja, di atas meja kecil yang terletak di pojok kamar, Astuti telah menyiapkan sarapan pagiku seperti biasa. Kali ini secangkir kopi ditemani nasi goreng ati. Tanpa mencuci muka terlebih dulu, aku menyeruput kopi dan menyalakan sebarang rokok."Mas buruan siap-siap, nanti Panji dan Rara bisa terlambat." Astuti mengingatkan sembari sibuk mematut diri di depan cermin, dilanjutkan memasukkan berkas-berkas ke dalam tas kerjanya."Kalau mau nggak terlambat, sekalian kamu antar saja, dong," sahutku ketus. Mentang-mentang jadi wanita karier, seenaknya saja mendikte suami. Perempuan yang kunikahi tiga belas tahun lalu itu terdengar menghela napas panjang, lalu tanpa kata mengulurkan selembar biru ke arahku, seperti biasanya pula. Ya, duit itu jatahku tiap pagi--buat beli pulsa dan rokok. Meski sudah lama tak cukup, tapi aku belum sempat minta ke