ISTRIKU SUMBER KEUANGANKU
Part_1Aku menggeliat bangun oleh aroma kopi yang menerpa hidung. Benar saja, di atas meja kecil yang terletak di pojok kamar, Astuti telah menyiapkan sarapan pagiku seperti biasa. Kali ini secangkir kopi ditemani nasi goreng ati. Tanpa mencuci muka terlebih dulu, aku menyeruput kopi dan menyalakan sebarang rokok.
"Mas buruan siap-siap, nanti Panji dan Rara bisa terlambat." Astuti mengingatkan sembari sibuk mematut diri di depan cermin, dilanjutkan memasukkan berkas-berkas ke dalam tas kerjanya.
"Kalau mau nggak terlambat, sekalian kamu antar saja, dong," sahutku ketus. Mentang-mentang jadi wanita karier, seenaknya saja mendikte suami. Perempuan yang kunikahi tiga belas tahun lalu itu terdengar menghela napas panjang, lalu tanpa kata mengulurkan selembar biru ke arahku, seperti biasanya pula. Ya, duit itu jatahku tiap pagi--buat beli pulsa dan rokok. Meski sudah lama tak cukup, tapi aku belum sempat minta kenaikan.
"Mas kan tau, aku harus sampai di kantor tepat waktu. Ini hari senin, aku harus memimpin upacara bendera."
" Ya sudah, tapi kurang ini. Bensin hampir habis dan aku juga mau ngecek olinya ke bengkel."
"Ini cukup?" tanya Astuti sambil mengulurkan satu lembar merah. Aku melotot sadis ke arahnya.
"Mana cukup lah. Minimal bawa 300. Lagian kamu kan kepala sekolah, banyak duitnya. Sama suami kok pelit banget!" sergahku dengan suara tinggi. Jurus seperti ini yang kerap berhasil memperdayanya. Ia memang jenis perempuan yang tidak suka keributan, dan aku manfaatkan itu. Air muka Astuti berubah, tanpa komentar lagi, segera mengambil dan menyerahkan nominal yang kuminta dari dompetnya.
"Oh ya, kiriman untuk ibu dan adik-adikku sudah ditranfer belum?" tiba-tiba aku ingat hal itu.
"Eh ma ... maaf, aku lupa. Nanti siang bisa kan, Mas?" Suara Astuti terdengar cemas. Darahku langsung naik. Bagaimana bisa ia lupa? Apa tidak ingat kalau salah satu adikku masih butuh biaya kuliah dan ibu hanya seorang janda.
"Tega kamu, ya! Gimana kalau ibu dan adik-adikku kehabisan uang?!" sergahku.
"Iya ... iya. Aku nanti langsung transfer," janjinya sungguh-sungguh.
Setelah mencium tanganku takzim, ia mengambil kunci motor. Kulihat ia kesusahan meletakkan barang-barang yang harus dibawanya ke besi cantolan motor. Tas laptop di sisi sebelah kiri, sementara tas kerjanya yang menggembung karena sarat isi, ia letakkan di sisi lainnya.
"Itu kenapa tas tanganmu bergelantungan gitu?! Taruh di jok, dong! Kalau dijambret siapa yang repot? Aku juga kan!" teriakku lantang. Astuti menuruti perkataanku, mencoba berbagai cara agar barang bawaannya bisa dibawa dengan pas. Lalu mengucapkan salam sebelum motor bututnya membelah jalanan sibuk di pagi hari. Aku? Hmm cukup memandanginya dari jauh sambil menghabiskan sisa kopi. Perempuan memang harus serba bisa untuk menyenangkan suami, bukan?.
"Panji ... Rara! Ayo cepat, nanti terlambat," seruku pada kedua anakku yang sama-sama masih di bangku sekolah dasar. Sebuah CRV berwarna putih setia menemani aktivitasku mengantar jemput anak-anak dan bersosialisasi. Mobil impian hasil menggadaikan SK PNS milik Astuti untuk yang kesekian kali, setelah sebelumnya berhasil digadaikan untuk membangun rumah berlantai dua beserta seluruh perabot mewahnya.
Akulah Busro, lelaki beruntung itu. Ya ... beristrikan Astuti adalah keberuntungan. Keberuntungan yang berhasil membuat iri teman-teman ngumpulku. Selain cantik dan mandiri, ia juga istri yang sangat patuh. Dulu ia pernah beberapa kali mengkritik sikap malasku, tetapi itu tak berlangsung lama. Ia diam seribu bahasa saat kuancam akan kuceraikan. Astuti oh Astuti, begitu mudahnya diperdaya.
Aku bukannya tak berusaha. Aku pun pernah beberapa kali membuka usaha, tetapi hasilnya tak memuaskan. Alih-alih dapat untung, malah rasa capek yang mendera tubuh. Belum lagi modal menguap begitu saja. Sementara, justru karier Astuti kian melejit. Selain menjadi Kepsek, ia juga mengajar kelas malam di sebuah universitas swasta. Lalu untuk apa aku capek-capek kerja, jika uang tak jadi masalah bagi istriku? Malah ia pun sanggup menjatah semua keperluanku dan keluarga mertuanya.
Aku juga hafal pribadinya, ia seorang perempuan yang mudah takut jika digertak dan dibentak. Hardikan dan umpatan adalah makanan sehari-hari untuknya. Bahkan kekerasan fisik acap kulakukan jika ia tak menurut kata-kataku.
Keluarganya? Mereka adalah keluarga yang gampang dibodohi. Di depan kedua adiknya dan saudara dari mendiang ayah ibunya, Astuti selalu tampak bahagia. Ia selalu bercerita tentang usaha kontraktorku yang berkembang pesat, padahal itu cerita masa lalu yang tak lagi berbekas. Keluarga utuh yang sakinah mawwadah adalah dongeng yang ada di kepala keluarga Astuti tentang kami. Apa peduliku? Toh mereka percaya dan Astuti berusaha keras untuk tampil sempurna di depan keluarganya.
Aku menikmatinya. Sangat. Kemewahan yang tak pernah kumiliki sejak kecil kini terwujud berkat menikah dengan Astuti. Untuk apa bekerja keras jika segalanya sudah ada? Rejeki istri toh juga rejeki suami. Rejeki yang datang tentunya rejeki keluarga. Kalau bukan karena aku rajin berdoa dan merestui ia beraktifitas, tentu tak semudah ini rejeki datang menghampiri.
Kini, hanya satu yang masih mengganjal di hatiku. Bagaimana caranya mengatakan pada Astuti kalau aku ingin menikah lagi. Baru-baru ini, sebuah reuni sekolah membuatku bertemu lagi dengan mantan pacarku sewaktu SMU. Tak dinyana, ia baru saja ditinggal suaminya yang meninggal dunia. Pertemuan itu membuat bibit-bibit cintaku pada Yuni kembali bergelora. Soal alasan, aku punya banyak alasan. Di antaranya soal perhatian istri yang kurang pada rumah tangga dan anak-anak, serta kebutuhan batin yang tak bisa ditunaikan dengan baik oleh Astuti. Kegiatan di luar rumah yang semakin padat, adalah senjata ampuh untuk menekan dan membuatnya menyetujui keinginanku. Hmm ... aku memang cerdaaaas.
Dan diri ini yakin, mesti pada mulanya ia akan keberatan, tetapi lama-kelamaan perempuan itu pasti menyadari segala kekurangannya. Yes, kepala ini semakin bersemangat mencari segala akal agar aku mendapat manfaat yang maksimal dengan menikahi perempuan lugu itu.
&&&
Dinginnya kamar karena AC yang menyala di 16 derajat Celcius membuatku terjaga. Kuraba remot pendingin udara itu, lalu menaikkan temperaturnya. Sekali lagi tangan ini meraba, kini ke samping kiri, di mana biasanya Astuti terbaring lelap. Sesuatu di bagian bawah tubuh sepertinya menuntut sesuatu. Ah sialan, mana sih Penghangat Kasur milikku?
Dengan malas aku membuka mata, dan menemukan sesosok tubuh tengah bersujud dengan mukena putih. Tidak apalah menunggu sebentar, nanti juga selesai salatnya. Kenapa perempuan itu tiap tengah malam selalu salat berlama-lama? Membuatku terganggu jika perlu kehangatan tiba-tiba. Gerutuku dalam j
hati.Bosan menunggu, aku melangkah ke dapur dan membuat sendiri secangkir kopi. Buru-buru kembali ke kamar dan berharap Astuti sudah siap melayani. Shit! Kenapa dia lama sekali berdoa, bahkan sampai matanya berurai air mata, huh ... dasar istri lebay!
"Kok lama sekali sih! Buruan dong!" sungutku sambil menarik lepas mukenanya.
"Kasar sekali, Mas? Cobalah perbaiki caramu berkomunikasi," keluhnya sambil membuka mukena bagian bawah. Eh, malah ceramah pula dia! Sejak kapan dia mulai berani menasehati segala?!
"Sudah! Nggak usah ceramah kamu!" sentakku sambil mendorong tubuhnya hingga terhempas ke tempat tidur. Astuti tak lagi membantah, tetapi kulihat matanya menyimpan kemarahan. Silakan kamu marah wahai istriku, emang kamu bisa apa? Seringaiku menyembul.
Part_2Kutimang-timang undangan yang diantar Dono tadi siang. Sebuah undangan reuni SMU 21 Kota Jambi mulai dari angkatan tahun 1990 sampai dengan tahun 2000. Tumben aku dapat undangan kali ini, padahal reuni tahun-tahun sebelumnya tidak pernah benar-benar diundang. Dono teman sekelas yang super gaul, hingga tak pernah absen didapuk sebagai salah satu panitia. Meskipun kami dulu terbilang akrab di sekolah, tetapi jadi terasa berjarak sejak ia tahu aku tak punya pekerjaan tetap dan hanya mengontrak. Sesekali ia hanya memberitahukan info reuni lewat chat tanpa meminta sumbangan. Dari situ aku bisa membaca maksudnya.Aku menyeringai, kini tak ada lagi yang bisa menyepelekan seorang Busro. PP akun Whatsapp dan Facebook yang berlatar belakang rumah mewah berlantai dua dan mobil kelas menengah, telah mengukuhkan keberadaanku di mata teman-teman alumni. Bahkan Dono sendiri yang mengantar langsung undangannya. Amplop putih yang ia sodorkan sebagai kontribusi acara, kukembalika
Part_3Hampir sepanjang acara reuni berlangsung, aku sama sekali tak memerhatikan panggung di depan sana. Fokusku hanya berdekatan dan ngobrol bersama Yuni, idamanku di masa lalu. Sementara di ujung sana, Dono asyik berbisik-bisik dengan teman seangkatan yang lain, sambil sesekali mengacungkan jempol ke arah kami. Dalam keadaan seperti ini, aku merasa mendapat dukungan dari Dono. Mungkin Don Juan itu berniat menjadikan aku seperti dirinya juga, biar ada teman yang setipe.Hampir pukul 12 malam saat keseluruhan acara berakhir. Panitia berhasil mengumpulkan lebih dari dua ratus juta. Panitia merencanakan dana itu untuk membantu dana pembuatan sanggar seni di kawasan sekolah dan sebagian lain untuk menyantuni beberapa pensiunan guru yang sakit-sakitan di masa tuanya."Ayok, Yun. Aku antar kamu sekalian. Gak ada yang marah, kan?" Aku mengerlingkan mata kepadanya. Perempuan itu mengulum senyum dan menggeleng. Dengan beriringan, kami menuju mobilku, eh mobil Ast
Part_4Astuti mempercepat langkah dan memasuki kamar. Aku segera menahan daun pintu dengan tangan sebelum ia menutupnya."Aku tidak ingin bertengkar, Mas. Capek! Capek tubuh maupun pikiran," sambutnya dengan suara mulai pelan dan terengah-engah. Paling-paling dia takut telah membuatku marah barusan. Namun ini tidak boleh dibiarkan, bisa tuman!"Kenapa sekarang ngungkit-ngungkit soal sumber uang di rumah ini? Sudah mulai hitung-hitungan? Mentang-mentang sudah kenal sontoloyo Didi itu dan mulai ikut-ikutan gayanya si Erien! Iya?!" Aku mencengkeram dagu Astuti dan menatap garang padanya."Lepas!" Ia mulai terlihat kesakitan dan berusaha mendorong tanganku."Jawab dulu!""Lepas! Atau aku akan teriak kencang supaya anak-anak mendengar?!" Bukannya takut, ia malah balik mengancam. Aku mengendorkan cengkeraman dan membuang napas kesal.Jika urusan anak memang menjadi rem buatku. Selama ini selalu berusaha tidak berseteru di hadapa
#Part_5Beberapa hari ini, Astuti mendiamkan aku. Tidak bicara apa-apa kecuali menjawab pertanyaan, itu pun jawaban pendek-pendek saja. Sifat serba memaklumi yang bertahun-tahun jadi ciri khasnya seolah sirna. Apa yang jadi penyebabnya aku belum tahu.Semula ada rasa curiga, jangan-jangan Astuti bermain api dengan Didi sialan itu. Namun sempat beberapa kali memata-matai aktivitas istriku di luar, tidak menemukan hal mencurigakan. Demikian juga saat kubuka diam-diam ponselnya, tidak ada chat mesra dengan lelaki itu.Sempat diri ini curhat pada Dono Don Juan itu, soal Astuti yang sekarang cenderung sensitif dan tertutup. Sarannya sungguh lebay, katanya aku harus belajar romantis dan sedikit gombal, sebab perempuan konon suka digombali. Sesekali memberi bunga, candle light dinner, atau nginap di hotel berdua, adalah beberapa saran darinya.Aku sama sekali tak pernah melakukan itu. Setahuku dengan bentakan dan sikap keras, istri akan bisa dikuasai. Selama pul
#Part_6Aku menekuk tubuh di atas kursi teras. Hawa dingin dinihari membuatku menggigil. Ditambah pula dengan gigitan nyamuk malam yang tidak henti-hentinya meninggalkan rasa gatal di sekujur tubuh. Mata ini sama sekali tak mampu terpicing sejak tadi malam.Pikiranku lalu melayang pada kejadian beberapa jam lalu. Kemarahan Astuti yang meledak begitu tahu ada perempuan lain di rumah ini. Kenapa tadi seolah bibir ini terkunci untuk membela diri? Kenapa aku membiarkan Astuti yang mengendalikan situasi? Bodohnya aku membiarkan situasi di rumah tak lagi dalam kendaliku? Apa ... apa yang telah terjadi pada Astuti sehingga kini ia tak bisa kuperlakukan sesenaknya seperti dulu?Adzan Subuh terdengar dari masjid di pertigaan sana. Tak lama lampu ruang tamu menyala, disusul anak kunci yang berputar dan daun pintu terbuka.Tanpa menunggu lebih lama, aku menerobos masuk dan melewati begitu saja tubuh Astuti yang berdiri di ambang pintu.Langkah kaki mengar
#Part_7Yuni terus bertanya soal surat panggilan sidang yang dilengkapi dengan salinan surat gugatan. Surat gugatan itu bertanggal tepat sehari setelah Astuti batal berdinas dan memergoki keberadaan Yuni di rumah kami."Kebetulan dong, Yank. Kita nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi dari dia," celetuk Yuni dengan nada bersemangat. Aku hanya diam tak menanggapi, susah juga menjelaskan keadaan sesungguhnya keluarga kami. Namun tahu atau tidaknya Yuni, tak menjadi soal. Dia boleh tetap berada di sampingku atau memilih pergi. Yang jadi beban pikiran justru sikap tegas Astuti. Aku benar-benar merasa kecolongan dengan perubahan seluruh sikap dan mentalnya. Dan aku ... tidak rela! Tidak rela!"Nggak masuk dulu, Mas." Yuni menggamit lenganku untuk mengikutinya masuk rumah seperti biasa, tetapi hati ini sama sekali tak ingin. Bayangan Astuti memenuhi benak, tak ingin kehilangan perempuan serba bisa itu. Sejak Astuti menjadi PNS, sejak saat itu pula ia mengambil alih peranku
#Part_8Aku bangun dengan kepala berat. Rupanya sudah jam sepuluh pagi, pantas suasana rumah sepi dan senyap. Dengan tubuh sedikit terhuyung aku meraih handuk di gantungan.Kulirik sekilas meja kecil di sudut kamar, entah sudah berapa lama tak lagi terhidang secangkir kopi dan sarapan. Meski tak ada makanan, tetapi tiga lembar uang merah dan selembar kertas tergeletak di sana.[ Tolong pergi ke pom bensin, karena mobil tak bisa diisi air. Sisanya buat beli nasi bungkus dan lain-lain. Anak-anak nggak usah dijemput, karena kami akan mengunjungi Bude. Nginap.] Bude adalah sebutan untuk kakak perempuan Astuti; Mbak Laila. Hanya setengah jam berkendara dari sini.Ada yang terasa mengaliri sudut hati, semacam rasa hangat yang aneh. Meski jurang semakin menganga lebar, Astuti tetap 'care'. Buktinya dia memikirkan kebutuhanku, meski bisa saja tak peduli.Kuraih ponsel dari nakas, terpikir untuk menelepon Astuti. Ponsel menampilkan notifikas
#Part_9Langkah Astuti terlihat mantap menapaki ubin di selasar menuju ke ruang sidang. Justru berbanding terbalik dengan kondisiku saat ini. Terus terang, kejutan dari calon mantan istriku itu membuat diri ini shock. Kepercayaan diri yang menyertai sejak dari rumah tadi, kini pupus tanpa sisa.Aku sama sekali tak menyangka bahwa inilah kartu mati yang telah ia siapkan sejak beberapa minggu lalu. Padahal telah beberapa kali Astuti memberikan sinyal dengan kata-kata dan sikapnya, bahwa ia punya kartu truft, tapi aku memilih menyepelekan dan menganggap sekadar gertak sambal belaka. Aku sungguh lupa jika kini Astuti pelan tapi pasti menjelma menjadi kuda hitam.Aku mencoba mengingat-ingat sejak kapan ia memasang kamera perekam mini itu, mungkinkah serempak waktunya dengan kedatangan seorang tekhnisi yang mengecek soal kabel-kabel listrik seminggu lalu? Dan aku yakin, itu pasti orang yang dibayar Astutiuntuk memuluskan rencananya."Pak Busro melamun
#Part_9Langkah Astuti terlihat mantap menapaki ubin di selasar menuju ke ruang sidang. Justru berbanding terbalik dengan kondisiku saat ini. Terus terang, kejutan dari calon mantan istriku itu membuat diri ini shock. Kepercayaan diri yang menyertai sejak dari rumah tadi, kini pupus tanpa sisa.Aku sama sekali tak menyangka bahwa inilah kartu mati yang telah ia siapkan sejak beberapa minggu lalu. Padahal telah beberapa kali Astuti memberikan sinyal dengan kata-kata dan sikapnya, bahwa ia punya kartu truft, tapi aku memilih menyepelekan dan menganggap sekadar gertak sambal belaka. Aku sungguh lupa jika kini Astuti pelan tapi pasti menjelma menjadi kuda hitam.Aku mencoba mengingat-ingat sejak kapan ia memasang kamera perekam mini itu, mungkinkah serempak waktunya dengan kedatangan seorang tekhnisi yang mengecek soal kabel-kabel listrik seminggu lalu? Dan aku yakin, itu pasti orang yang dibayar Astutiuntuk memuluskan rencananya."Pak Busro melamun
#Part_8Aku bangun dengan kepala berat. Rupanya sudah jam sepuluh pagi, pantas suasana rumah sepi dan senyap. Dengan tubuh sedikit terhuyung aku meraih handuk di gantungan.Kulirik sekilas meja kecil di sudut kamar, entah sudah berapa lama tak lagi terhidang secangkir kopi dan sarapan. Meski tak ada makanan, tetapi tiga lembar uang merah dan selembar kertas tergeletak di sana.[ Tolong pergi ke pom bensin, karena mobil tak bisa diisi air. Sisanya buat beli nasi bungkus dan lain-lain. Anak-anak nggak usah dijemput, karena kami akan mengunjungi Bude. Nginap.] Bude adalah sebutan untuk kakak perempuan Astuti; Mbak Laila. Hanya setengah jam berkendara dari sini.Ada yang terasa mengaliri sudut hati, semacam rasa hangat yang aneh. Meski jurang semakin menganga lebar, Astuti tetap 'care'. Buktinya dia memikirkan kebutuhanku, meski bisa saja tak peduli.Kuraih ponsel dari nakas, terpikir untuk menelepon Astuti. Ponsel menampilkan notifikas
#Part_7Yuni terus bertanya soal surat panggilan sidang yang dilengkapi dengan salinan surat gugatan. Surat gugatan itu bertanggal tepat sehari setelah Astuti batal berdinas dan memergoki keberadaan Yuni di rumah kami."Kebetulan dong, Yank. Kita nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi dari dia," celetuk Yuni dengan nada bersemangat. Aku hanya diam tak menanggapi, susah juga menjelaskan keadaan sesungguhnya keluarga kami. Namun tahu atau tidaknya Yuni, tak menjadi soal. Dia boleh tetap berada di sampingku atau memilih pergi. Yang jadi beban pikiran justru sikap tegas Astuti. Aku benar-benar merasa kecolongan dengan perubahan seluruh sikap dan mentalnya. Dan aku ... tidak rela! Tidak rela!"Nggak masuk dulu, Mas." Yuni menggamit lenganku untuk mengikutinya masuk rumah seperti biasa, tetapi hati ini sama sekali tak ingin. Bayangan Astuti memenuhi benak, tak ingin kehilangan perempuan serba bisa itu. Sejak Astuti menjadi PNS, sejak saat itu pula ia mengambil alih peranku
#Part_6Aku menekuk tubuh di atas kursi teras. Hawa dingin dinihari membuatku menggigil. Ditambah pula dengan gigitan nyamuk malam yang tidak henti-hentinya meninggalkan rasa gatal di sekujur tubuh. Mata ini sama sekali tak mampu terpicing sejak tadi malam.Pikiranku lalu melayang pada kejadian beberapa jam lalu. Kemarahan Astuti yang meledak begitu tahu ada perempuan lain di rumah ini. Kenapa tadi seolah bibir ini terkunci untuk membela diri? Kenapa aku membiarkan Astuti yang mengendalikan situasi? Bodohnya aku membiarkan situasi di rumah tak lagi dalam kendaliku? Apa ... apa yang telah terjadi pada Astuti sehingga kini ia tak bisa kuperlakukan sesenaknya seperti dulu?Adzan Subuh terdengar dari masjid di pertigaan sana. Tak lama lampu ruang tamu menyala, disusul anak kunci yang berputar dan daun pintu terbuka.Tanpa menunggu lebih lama, aku menerobos masuk dan melewati begitu saja tubuh Astuti yang berdiri di ambang pintu.Langkah kaki mengar
#Part_5Beberapa hari ini, Astuti mendiamkan aku. Tidak bicara apa-apa kecuali menjawab pertanyaan, itu pun jawaban pendek-pendek saja. Sifat serba memaklumi yang bertahun-tahun jadi ciri khasnya seolah sirna. Apa yang jadi penyebabnya aku belum tahu.Semula ada rasa curiga, jangan-jangan Astuti bermain api dengan Didi sialan itu. Namun sempat beberapa kali memata-matai aktivitas istriku di luar, tidak menemukan hal mencurigakan. Demikian juga saat kubuka diam-diam ponselnya, tidak ada chat mesra dengan lelaki itu.Sempat diri ini curhat pada Dono Don Juan itu, soal Astuti yang sekarang cenderung sensitif dan tertutup. Sarannya sungguh lebay, katanya aku harus belajar romantis dan sedikit gombal, sebab perempuan konon suka digombali. Sesekali memberi bunga, candle light dinner, atau nginap di hotel berdua, adalah beberapa saran darinya.Aku sama sekali tak pernah melakukan itu. Setahuku dengan bentakan dan sikap keras, istri akan bisa dikuasai. Selama pul
Part_4Astuti mempercepat langkah dan memasuki kamar. Aku segera menahan daun pintu dengan tangan sebelum ia menutupnya."Aku tidak ingin bertengkar, Mas. Capek! Capek tubuh maupun pikiran," sambutnya dengan suara mulai pelan dan terengah-engah. Paling-paling dia takut telah membuatku marah barusan. Namun ini tidak boleh dibiarkan, bisa tuman!"Kenapa sekarang ngungkit-ngungkit soal sumber uang di rumah ini? Sudah mulai hitung-hitungan? Mentang-mentang sudah kenal sontoloyo Didi itu dan mulai ikut-ikutan gayanya si Erien! Iya?!" Aku mencengkeram dagu Astuti dan menatap garang padanya."Lepas!" Ia mulai terlihat kesakitan dan berusaha mendorong tanganku."Jawab dulu!""Lepas! Atau aku akan teriak kencang supaya anak-anak mendengar?!" Bukannya takut, ia malah balik mengancam. Aku mengendorkan cengkeraman dan membuang napas kesal.Jika urusan anak memang menjadi rem buatku. Selama ini selalu berusaha tidak berseteru di hadapa
Part_3Hampir sepanjang acara reuni berlangsung, aku sama sekali tak memerhatikan panggung di depan sana. Fokusku hanya berdekatan dan ngobrol bersama Yuni, idamanku di masa lalu. Sementara di ujung sana, Dono asyik berbisik-bisik dengan teman seangkatan yang lain, sambil sesekali mengacungkan jempol ke arah kami. Dalam keadaan seperti ini, aku merasa mendapat dukungan dari Dono. Mungkin Don Juan itu berniat menjadikan aku seperti dirinya juga, biar ada teman yang setipe.Hampir pukul 12 malam saat keseluruhan acara berakhir. Panitia berhasil mengumpulkan lebih dari dua ratus juta. Panitia merencanakan dana itu untuk membantu dana pembuatan sanggar seni di kawasan sekolah dan sebagian lain untuk menyantuni beberapa pensiunan guru yang sakit-sakitan di masa tuanya."Ayok, Yun. Aku antar kamu sekalian. Gak ada yang marah, kan?" Aku mengerlingkan mata kepadanya. Perempuan itu mengulum senyum dan menggeleng. Dengan beriringan, kami menuju mobilku, eh mobil Ast
Part_2Kutimang-timang undangan yang diantar Dono tadi siang. Sebuah undangan reuni SMU 21 Kota Jambi mulai dari angkatan tahun 1990 sampai dengan tahun 2000. Tumben aku dapat undangan kali ini, padahal reuni tahun-tahun sebelumnya tidak pernah benar-benar diundang. Dono teman sekelas yang super gaul, hingga tak pernah absen didapuk sebagai salah satu panitia. Meskipun kami dulu terbilang akrab di sekolah, tetapi jadi terasa berjarak sejak ia tahu aku tak punya pekerjaan tetap dan hanya mengontrak. Sesekali ia hanya memberitahukan info reuni lewat chat tanpa meminta sumbangan. Dari situ aku bisa membaca maksudnya.Aku menyeringai, kini tak ada lagi yang bisa menyepelekan seorang Busro. PP akun Whatsapp dan Facebook yang berlatar belakang rumah mewah berlantai dua dan mobil kelas menengah, telah mengukuhkan keberadaanku di mata teman-teman alumni. Bahkan Dono sendiri yang mengantar langsung undangannya. Amplop putih yang ia sodorkan sebagai kontribusi acara, kukembalika
ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUPart_1Aku menggeliat bangun oleh aroma kopi yang menerpa hidung. Benar saja, di atas meja kecil yang terletak di pojok kamar, Astuti telah menyiapkan sarapan pagiku seperti biasa. Kali ini secangkir kopi ditemani nasi goreng ati. Tanpa mencuci muka terlebih dulu, aku menyeruput kopi dan menyalakan sebarang rokok."Mas buruan siap-siap, nanti Panji dan Rara bisa terlambat." Astuti mengingatkan sembari sibuk mematut diri di depan cermin, dilanjutkan memasukkan berkas-berkas ke dalam tas kerjanya."Kalau mau nggak terlambat, sekalian kamu antar saja, dong," sahutku ketus. Mentang-mentang jadi wanita karier, seenaknya saja mendikte suami. Perempuan yang kunikahi tiga belas tahun lalu itu terdengar menghela napas panjang, lalu tanpa kata mengulurkan selembar biru ke arahku, seperti biasanya pula. Ya, duit itu jatahku tiap pagi--buat beli pulsa dan rokok. Meski sudah lama tak cukup, tapi aku belum sempat minta ke