Share

BAB 5

Penulis: Zaraa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

#Part_5

Beberapa hari ini, Astuti mendiamkan aku. Tidak bicara apa-apa kecuali menjawab pertanyaan, itu pun jawaban pendek-pendek saja. Sifat serba memaklumi yang bertahun-tahun jadi ciri khasnya seolah sirna. Apa yang jadi penyebabnya aku belum tahu.

Semula ada rasa curiga, jangan-jangan Astuti bermain api dengan Didi sialan itu. Namun sempat beberapa kali memata-matai aktivitas istriku di luar, tidak menemukan hal mencurigakan. Demikian juga saat kubuka diam-diam ponselnya, tidak ada chat mesra dengan lelaki itu.

Sempat diri ini curhat pada Dono Don Juan itu, soal Astuti yang sekarang cenderung sensitif dan tertutup. Sarannya sungguh lebay, katanya aku harus belajar romantis dan sedikit gombal, sebab perempuan konon suka digombali. Sesekali memberi bunga, candle light dinner, atau nginap di hotel berdua, adalah beberapa saran darinya.

Aku sama sekali tak pernah melakukan itu. Setahuku dengan bentakan dan sikap keras, istri akan bisa dikuasai. Selama puluhan tahun aku menyaksikan Ayah dan Emak selalu berseteru tanpa ujung pangkal. Namun toh mereka tetap bersama hingga ajal menjemput Ayah. Jadi selama ini aku mencontoh apa yang disaksikan sejak kecil.

Lamunanku terganggu oleh ketukan berulang di pintu depan. Sepertinya ada tamu yang tak sabaran. Aku urung berjalan ke arah depan setelah Panji berlari lebih dulu untuk membuka pintu.

Suara berisik dan gaduh seketika terdengar. Emak? Ada angin apa Emak datang ke sini? Apa karena curhatanku beberapa hari lalu? Ah ini sih kebetulan namanya, Astuti dulu sangat takut dengan Emak. Mudah-mudahan Emak bisa menaklukkan hati istriku.

"Mak, sama sapa?" Aku menyongsong Emak yang baru masuk. Di teras terlihat Berno--adikku, sedang mengagumi mobil baru kami yang tengah terparkir. 

"Itu sama Berno. Emak tadi lagi ngambil BLT di kantor pos, trus keinget mampir ke sini. Kangen sama kalian," jawab Emak sambil matanya mengawasi isi bufet di ruang tamu. Tumben belum komentar ini itu. Emak kok kangennya pas di hari Astuti baru gajian, ya.

"Ngomong-ngomong Astuti mana? Mertua datang kok ngumpet?" ketus Emak, lalu tanpa basa-basi langsung ke lantai atas. Terdengar ia menggedor pintu kamar utama dan mengomeli Astuti.

"Istri kok udah sore gini masih tidur. Nggak bener ini," gerutu Emak berkepanjangan. 

"Saya baru tidur, Mak. Belum juga ada setengah jam. Dari subuh hingga sore saya kerja, saya juga butuh istirahat," jawab Astuti pelan tapi menusuk.

"Kamu tuh kalau Emak ngomong jangan dibantah kenapa?!" tegurku dengan suara tinggi. Aku harus terlihat berwibawa terhadap istriku di depan Emak dan keluarga yang lain.

"Harusnya aku gak perlu membantah, Mas. Kamu yang harus bela. Memang  kenyataannya aku capek dan butuh istirahat," lanjutnya masih dengan nada pelan tapi membuat kuping ini panas.

"Astuti!" sergahku.

"Lah kok kalian malah ribut sih ada emak?! Tuti, kamu tuh harus nurut omongan suami, jangan durhaka tau! Jadi istri yang solehah, biar hidup selalu berkah," ucap Emak tegas. Aku puas mendengar perempuan yang melahirkanku itu menasehati panjang lebar. Sikat, Mak!

Sementara itu, sosok yang jadi bahan omelan hanya mengangkat bahu dengan santai. Ia sama sekali tak membalas kata-kata Emak. Bahkan sibuk dengan cucian piring dan baju tanpa menoleh ke arah kami. Ia seolah-olah sedang sendirian saja.

"Busro, emak kayaknya pulang saja. Tuh istrimu  nggak suka emak datang." Emak berdiri dan bersiap untuk pulang.

"Astuti! Minta maaf sama Emak, gih!" Aku melotot ke arah istriku. Astuti menghentikan kegiatannya lalu mendekati Emak. Tangannya meraih punggung tangan Emak lalu menciumnya. "Maafkan Astuti ya, Mak. Makasih atas semua nasehat yang bijaksana dan penting tadi. Emak dan Mas Busro betul-betul orang bijak ternyata ...." Astuti menatap kami bergantian dengan senyum miring.

"Nih, Mak. Sekadar ongkos dan jajan Emak. Jatah bulanannya baru akan dikirim tiga hari lagi. Astuti mesti bayar listrik dan air dulu." Astuti menyelipkan dua lembar merah ke tangan Emak. Tiba-tiba Emak berubah manis dan mengelus pundak Astuti.

"Ingat pesan emak tadi, ya. Jadi istri yang solehah!" Emak tersenyum dan melambaikan tangan pada kami

"Kamu ngapain tadi? Nyindir?" ketusku begitu Emak dan Berno pulang.

"Lah dipuji kok malah sewot," sahut Astuti sambil tertawa lebar dan kembali ke dapur.

💜

"Mas, aku ada undangan dinas ke Palembang. Cuma 2 hari," lapor Astuti ketika aku baru tiba dari mengantar anak-anak sekolah. Dia tengah sibuk memasukkan beberapa potong baju dan perlengkapan administrasi lainnya.

"Kok dinas terus?!" Aku pura-pura keberatan, padahal akal bulus sedang bermain di kepala ini.

"Ya gimana? Namanya juga tugas dan pengabdian." Astuti memperlihatkan selembar surat tugas dinas ke arahku. "Di  kulkas sudah kusiapkan untuk kebutuhan makan. Ada ayam ungkep, ikan bandeng, telur, sayuran dan lainnya."

"Yaudah. Jatah jajanku dan anak-anak jangan lupa." Hatiku bersorak-sorai. Ini kesempatan pertama untuk membawa Yuni ke rumah ini. Aku yakin saat janda itu sampai di sini dan melihat kehidupanku yang mapan, ia akan semakin mengagumi dan mencintaiku.

"Duit kutaruh di tempat biasa. Begitu selesai aku langsung pulang."

Aku hanya bisa mengangguk-angguk kosong, sementara jemari dan pikiranku sudah berselancar di dunia maya.

💜

Begitu Astuti berangkat dengan rombongan dari Dinas Pendidikan Propinsi J, aku tak membuang waktu untuk menyusun rencana. Anak-anak pulang sekolah nanti akan dijemput Berno dan menginap di rumah Emak.

 Meskipun Rara keberatan dan menolak tidur di rumah neneknya, aku terus membujuk. Kuiming-imingi dia dengan hadiah eskrim Vienetta, jika menurut. Pada anak-anak aku mengatakan ada orang yang menyewa jasa trevel mobil pribadi. Dulu, puluhan tahun silam aku pernah menekuni jasa antar jemput dan sewa mobil beserta sopirnya. Kini persaingan semakin sulit dan aku memilih berdamai dengan keadaan--membiarkan Astuti jadi tulang punggung. Toh meskipun hanya dia yang bekerja, seluruh kebutuhan hidup layak di rumah ini, tercukupi. Ini kan sudah abad milenium, perempuan sudah biasa menjadi tulang punggung di banyak  Pasutri. Jangan kolot-kolot banget lah, jangan dibuat rumit.

Sore harinya aku menjemput Yuni. Hari ini akan kubuat perempuan itu tahu tentang Siapa Busro yang tengah mendekatinya. Dengan melihat rumah dan segala fasilitas yang kumilikki, ia pasti tidak akan meragukan diri ini. Di lingkungan RT, kami termasuk keluarga menengah atas.

Baru-baru ini, ada beberapa lelaki juga berniat mendekati Yuni. Mereka rata-rata lelaki mapan. Maka aku harus berusaha ekstra keras untuk tetap mempertahankan Yuni di sisiku. Ia adalah obsesi masa lalu yang datang kembali, dan sayang untuk dilewatkan. Aku tak ingin jadi pecundang untuk yang kedua kali.

Begitu tiba di depan pagar rumah, sepasang mata Yuni menatap takjub. Dalam keremangan malam, rumah berlantai dua milikku berdiri kokoh. Pilar-pilar penyangga membuat bangunan bercat putih itu tampak megah.

"Ini rumahmu, Mas? Ckckck beruntungnya istrimu itu," gumam Yuni takjub. Matanya berkeliling ke seluruh penjuru.

"Ayo, masuk. Nanti keburu diliat orang." Kuseret langkahnya memasuki rumah. Kembali dia terlihat takjub, koleksi guci-guci mahal milik Astuti membetot perhatiannya di ruang tamu.

"Kamu pengusaha apa sih, Mas? Bisa sukses begini? Lain banget sama mantan aku si Johan yang kerjaannya cuma nadah sama ortunya," bibir Yuni berdecih. Tak henti-hentinya berkomentar soal ini itu. Sementara konsentrasiku buyar oleh desakan dari dalam tubuh. Segera kurengkuh tubuh padat Yuni, lalu membopongnya ke kamar. 

"Ya ampun, gamisnya bagus-bagus banget." Yuni melepaskan diri lalu menuju ke lemari gantung yang berisi beragam pakaian Astuti.

"Kamu ngapain, Yun? Itu soal sepele, nanti kamu bakal kubeliin yang lebih bagus dari itu semua." Aku tak sabar untuk segera menikmati malam panas bersamanya. Kembali kurengkuh tubuhnya lalu kuhempas ke atas kasur.

Tengah berjibaku dengan keringat dan desah manja, saat terdengar ketukan pelan di pintu. Mula-mula hanya samar, tetapi makin menguat. Sejenak kepalaku berpikir, siapa yang bertamu hampir tengah malam ini? Apa Rara nekad meminta pulang? Atau petugas siskamling yang berniat minta kopi panas dan cemilan?

"Tetap di posisimu, ya. Aku keluar sebentar." Aku menyambar handuk di gantungan dan mengenakannya asal-asalan. Dengan langkah panjang aku menuruni tangga, membuka pintu dengan umpatan bergema dalam dada. Siapa sih ganggu bener!?

Astuti?

Aku mengucek-ucek mata, tetapi tetap saja yang kulihat adalah Astuti. Masih dengan baju dan koper yang sama. Aku seperti melayang ke udara untuk beberapa saat, lalu terhempas kembali ke bumi.

"Kok bengong? Kayak lihat hantu saja!" Astuti melangkah masuk dan meletakkan kopernya di tepian.

"Kamu nggak jadi dinas?" tanyaku dengan suara tercekat.

"Kegiatan dicancel karena ada masalah internal di diknas."

"Oh?" Pikiranku mendadak kosong. Kenapa bisa kebetulan begini?

"Anak-anak sudah tidur? Kok sepi banget?" Lagi, Astuti bertanya dan aku hanya diam saja.

Dulu mungkin hati ini tak gentar, tetapi sekarang ia jauh sekali berubah. Sikapnya begitu terkontrol, dingin dan tegas. Aku seperti  melihat Astuti dengan kepribadian yang baru. Dan itu membuatku merasa was-was dan terancam.

"Bau apa ya, Mas. Kamu beli pewangi ruangan baru?" Astuti mengendus-endus. Ya ampun, itu pasti bau parfum Yuni. 

Aku melirik ke atas, berharap Yuni mengerti situasinya lalu dengan sigap keluar dari rumah ini tanpa harus kepergok. Namun harapanku sia-sia, lamat-lamat terdengar langkah kaki menuruni tangga sambil memanggil namaku. Payah kamu, Yun!

Aku melirik ke arah Astuti, dengan wajah penuh tanda tanya ia melihat ke atas. Sampai Yuni tiba di hadapan kami, Astuti masih saja terbengong-bengong.

"Kamu siapa?! Ini siapa, Mas?!" Akhirnya suara Astuti terdengar. Ada kebingungan dan kemarahan dalam warna suaranya. Tampaknya ia mulai memahami yang telah terjadi, tubuh kami yang masing-masing hanya dilapisi handuk, telah menunjukkan apa yang terjadi.

"Astuti, jangan salah paham dulu. Aku nggak sengaja ... khilaf ...." Suaraku terbata-bata.

"Kotor banget kamu, Mas!" Astuti menggeram. Lalu dengan tangan gemetar menunjuk ke wajah Yuni. "Pakai pakaianmu kembali dan pergi dari sini secepatnya. Kamu juga, Mas!" 

Yuni terbirit-birit ke atas, lalu turun setelah berpakaian lengkap. Kini dia menatap lekat ke arahku. "Mas kok kamu diam aja! Ini kan rumahmu, yang tegas dong jadi laki!"

Astuti tertawa mendengar kata-kata Yuni, aku paham maksudnya.

"Mas! Tolong pergi dari sini dan bawa perempuan ini!" Astuti melemparkan pakaian ke arahku. Dengan wajah datar, ia menunjuk ke arah pintu, isyarat agar kami segera pergi. 

"Astuti! Jangan semena-mena, aku ini suamimu!" Manik mataku menatap tajam ke arahnya, berharap mentalnya jatuh melihat ekspresiku.

"Cukup! Aku nggak mau berdebat, Mas. Apalagi di depan perempuan itu. Dan satu hal aku tidak akan pernah mentolerir   kejadian ini. Ini sudah penghinaan paling menyakitkan. Aku akan meminta cerai!" tandasnya dengan wajah memerah.

"Dengar ...."

"Tolong pergi dari sini, Mas. Aku ingin sendirian dulu ...." 

Aku terdiam tanpa kata.

Dengan berat hati aku menyeret Yuni keluar dari sini. Biar besok saja aku urus semuanya. Aku tahu Astuti tidak akan gegabah mengambil keputusan, ada anak-anak yang bisa menjadi senjata guna mempertahankan posisiku.

Bab terkait

  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKU   BAB 6

    #Part_6Aku menekuk tubuh di atas kursi teras. Hawa dingin dinihari membuatku menggigil. Ditambah pula dengan gigitan nyamuk malam yang tidak henti-hentinya meninggalkan rasa gatal di sekujur tubuh. Mata ini sama sekali tak mampu terpicing sejak tadi malam.Pikiranku lalu melayang pada kejadian beberapa jam lalu. Kemarahan Astuti yang meledak begitu tahu ada perempuan lain di rumah ini. Kenapa tadi seolah bibir ini terkunci untuk membela diri? Kenapa aku membiarkan Astuti yang mengendalikan situasi? Bodohnya aku membiarkan situasi di rumah tak lagi dalam kendaliku? Apa ... apa yang telah terjadi pada Astuti sehingga kini ia tak bisa kuperlakukan sesenaknya seperti dulu?Adzan Subuh terdengar dari masjid di pertigaan sana. Tak lama lampu ruang tamu menyala, disusul anak kunci yang berputar dan daun pintu terbuka.Tanpa menunggu lebih lama, aku menerobos masuk dan melewati begitu saja tubuh Astuti yang berdiri di ambang pintu.Langkah kaki mengar

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKU   BAB 7

    #Part_7Yuni terus bertanya soal surat panggilan sidang yang dilengkapi dengan salinan surat gugatan. Surat gugatan itu bertanggal tepat sehari setelah Astuti batal berdinas dan memergoki keberadaan Yuni di rumah kami."Kebetulan dong, Yank. Kita nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi dari dia," celetuk Yuni dengan nada bersemangat. Aku hanya diam tak menanggapi, susah juga menjelaskan keadaan sesungguhnya keluarga kami. Namun tahu atau tidaknya Yuni, tak menjadi soal. Dia boleh tetap berada di sampingku atau memilih pergi. Yang jadi beban pikiran justru sikap tegas Astuti. Aku benar-benar merasa kecolongan dengan perubahan seluruh sikap dan mentalnya. Dan aku ... tidak rela! Tidak rela!"Nggak masuk dulu, Mas." Yuni menggamit lenganku untuk mengikutinya masuk rumah seperti biasa, tetapi hati ini sama sekali tak ingin. Bayangan Astuti memenuhi benak, tak ingin kehilangan perempuan serba bisa itu. Sejak Astuti menjadi PNS, sejak saat itu pula ia mengambil alih peranku

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKU   BAB 8

    #Part_8Aku bangun dengan kepala berat. Rupanya sudah jam sepuluh pagi, pantas suasana rumah sepi dan senyap. Dengan tubuh sedikit terhuyung aku meraih handuk di gantungan.Kulirik sekilas meja kecil di sudut kamar, entah sudah berapa lama tak lagi terhidang secangkir kopi dan sarapan. Meski tak ada makanan, tetapi tiga lembar uang merah dan selembar kertas tergeletak di sana.[ Tolong pergi ke pom bensin, karena mobil tak bisa diisi air. Sisanya buat beli nasi bungkus dan lain-lain. Anak-anak nggak usah dijemput, karena kami akan mengunjungi Bude. Nginap.] Bude adalah sebutan untuk kakak perempuan Astuti; Mbak Laila. Hanya setengah jam berkendara dari sini.Ada yang terasa mengaliri sudut hati, semacam rasa hangat yang aneh. Meski jurang semakin menganga lebar, Astuti tetap 'care'. Buktinya dia memikirkan kebutuhanku, meski bisa saja tak peduli.Kuraih ponsel dari nakas, terpikir untuk menelepon Astuti. Ponsel menampilkan notifikas

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKU   BAB 9

    #Part_9Langkah Astuti terlihat mantap menapaki ubin di selasar menuju ke ruang sidang. Justru berbanding terbalik dengan kondisiku saat ini. Terus terang, kejutan dari calon mantan istriku itu membuat diri ini shock. Kepercayaan diri yang menyertai sejak dari rumah tadi, kini pupus tanpa sisa.Aku sama sekali tak menyangka bahwa inilah kartu mati yang telah ia siapkan sejak beberapa minggu lalu. Padahal telah beberapa kali Astuti memberikan sinyal dengan kata-kata dan sikapnya, bahwa ia punya kartu truft, tapi aku memilih menyepelekan dan menganggap sekadar gertak sambal belaka. Aku sungguh lupa jika kini Astuti pelan tapi pasti menjelma menjadi kuda hitam.Aku mencoba mengingat-ingat sejak kapan ia memasang kamera perekam mini itu, mungkinkah serempak waktunya dengan kedatangan seorang tekhnisi yang mengecek soal kabel-kabel listrik seminggu lalu? Dan aku yakin, itu pasti orang yang dibayar Astutiuntuk memuluskan rencananya."Pak Busro melamun

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKU   BAB 1

    ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUPart_1Aku menggeliat bangun oleh aroma kopi yang menerpa hidung. Benar saja, di atas meja kecil yang terletak di pojok kamar, Astuti telah menyiapkan sarapan pagiku seperti biasa. Kali ini secangkir kopi ditemani nasi goreng ati. Tanpa mencuci muka terlebih dulu, aku menyeruput kopi dan menyalakan sebarang rokok."Mas buruan siap-siap, nanti Panji dan Rara bisa terlambat." Astuti mengingatkan sembari sibuk mematut diri di depan cermin, dilanjutkan memasukkan berkas-berkas ke dalam tas kerjanya."Kalau mau nggak terlambat, sekalian kamu antar saja, dong," sahutku ketus. Mentang-mentang jadi wanita karier, seenaknya saja mendikte suami. Perempuan yang kunikahi tiga belas tahun lalu itu terdengar menghela napas panjang, lalu tanpa kata mengulurkan selembar biru ke arahku, seperti biasanya pula. Ya, duit itu jatahku tiap pagi--buat beli pulsa dan rokok. Meski sudah lama tak cukup, tapi aku belum sempat minta ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKU   BAB 2

    Part_2Kutimang-timang undangan yang diantar Dono tadi siang. Sebuah undangan reuni SMU 21 Kota Jambi mulai dari angkatan tahun 1990 sampai dengan tahun 2000. Tumben aku dapat undangan kali ini, padahal reuni tahun-tahun sebelumnya tidak pernah benar-benar diundang. Dono teman sekelas yang super gaul, hingga tak pernah absen didapuk sebagai salah satu panitia. Meskipun kami dulu terbilang akrab di sekolah, tetapi jadi terasa berjarak sejak ia tahu aku tak punya pekerjaan tetap dan hanya mengontrak. Sesekali ia hanya memberitahukan info reuni lewat chat tanpa meminta sumbangan. Dari situ aku bisa membaca maksudnya.Aku menyeringai, kini tak ada lagi yang bisa menyepelekan seorang Busro. PP akun Whatsapp dan Facebook yang berlatar belakang rumah mewah berlantai dua dan mobil kelas menengah, telah mengukuhkan keberadaanku di mata teman-teman alumni. Bahkan Dono sendiri yang mengantar langsung undangannya. Amplop putih yang ia sodorkan sebagai kontribusi acara, kukembalika

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKU   BAB 3

    Part_3Hampir sepanjang acara reuni berlangsung, aku sama sekali tak memerhatikan panggung di depan sana. Fokusku hanya berdekatan dan ngobrol bersama Yuni, idamanku di masa lalu. Sementara di ujung sana, Dono asyik berbisik-bisik dengan teman seangkatan yang lain, sambil sesekali mengacungkan jempol ke arah kami. Dalam keadaan seperti ini, aku merasa mendapat dukungan dari Dono. Mungkin Don Juan itu berniat menjadikan aku seperti dirinya juga, biar ada teman yang setipe.Hampir pukul 12 malam saat keseluruhan acara berakhir. Panitia berhasil mengumpulkan lebih dari dua ratus juta. Panitia merencanakan dana itu untuk membantu dana pembuatan sanggar seni di kawasan sekolah dan sebagian lain untuk menyantuni beberapa pensiunan guru yang sakit-sakitan di masa tuanya."Ayok, Yun. Aku antar kamu sekalian. Gak ada yang marah, kan?" Aku mengerlingkan mata kepadanya. Perempuan itu mengulum senyum dan menggeleng. Dengan beriringan, kami menuju mobilku, eh mobil Ast

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKU   BAB 4

    Part_4Astuti mempercepat langkah dan memasuki kamar. Aku segera menahan daun pintu dengan tangan sebelum ia menutupnya."Aku tidak ingin bertengkar, Mas. Capek! Capek tubuh maupun pikiran," sambutnya dengan suara mulai pelan dan terengah-engah. Paling-paling dia takut telah membuatku marah barusan. Namun ini tidak boleh dibiarkan, bisa tuman!"Kenapa sekarang ngungkit-ngungkit soal sumber uang di rumah ini? Sudah mulai hitung-hitungan? Mentang-mentang sudah kenal sontoloyo Didi itu dan mulai ikut-ikutan gayanya si Erien! Iya?!" Aku mencengkeram dagu Astuti dan menatap garang padanya."Lepas!" Ia mulai terlihat kesakitan dan berusaha mendorong tanganku."Jawab dulu!""Lepas! Atau aku akan teriak kencang supaya anak-anak mendengar?!" Bukannya takut, ia malah balik mengancam. Aku mengendorkan cengkeraman dan membuang napas kesal.Jika urusan anak memang menjadi rem buatku. Selama ini selalu berusaha tidak berseteru di hadapa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKU   BAB 9

    #Part_9Langkah Astuti terlihat mantap menapaki ubin di selasar menuju ke ruang sidang. Justru berbanding terbalik dengan kondisiku saat ini. Terus terang, kejutan dari calon mantan istriku itu membuat diri ini shock. Kepercayaan diri yang menyertai sejak dari rumah tadi, kini pupus tanpa sisa.Aku sama sekali tak menyangka bahwa inilah kartu mati yang telah ia siapkan sejak beberapa minggu lalu. Padahal telah beberapa kali Astuti memberikan sinyal dengan kata-kata dan sikapnya, bahwa ia punya kartu truft, tapi aku memilih menyepelekan dan menganggap sekadar gertak sambal belaka. Aku sungguh lupa jika kini Astuti pelan tapi pasti menjelma menjadi kuda hitam.Aku mencoba mengingat-ingat sejak kapan ia memasang kamera perekam mini itu, mungkinkah serempak waktunya dengan kedatangan seorang tekhnisi yang mengecek soal kabel-kabel listrik seminggu lalu? Dan aku yakin, itu pasti orang yang dibayar Astutiuntuk memuluskan rencananya."Pak Busro melamun

  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKU   BAB 8

    #Part_8Aku bangun dengan kepala berat. Rupanya sudah jam sepuluh pagi, pantas suasana rumah sepi dan senyap. Dengan tubuh sedikit terhuyung aku meraih handuk di gantungan.Kulirik sekilas meja kecil di sudut kamar, entah sudah berapa lama tak lagi terhidang secangkir kopi dan sarapan. Meski tak ada makanan, tetapi tiga lembar uang merah dan selembar kertas tergeletak di sana.[ Tolong pergi ke pom bensin, karena mobil tak bisa diisi air. Sisanya buat beli nasi bungkus dan lain-lain. Anak-anak nggak usah dijemput, karena kami akan mengunjungi Bude. Nginap.] Bude adalah sebutan untuk kakak perempuan Astuti; Mbak Laila. Hanya setengah jam berkendara dari sini.Ada yang terasa mengaliri sudut hati, semacam rasa hangat yang aneh. Meski jurang semakin menganga lebar, Astuti tetap 'care'. Buktinya dia memikirkan kebutuhanku, meski bisa saja tak peduli.Kuraih ponsel dari nakas, terpikir untuk menelepon Astuti. Ponsel menampilkan notifikas

  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKU   BAB 7

    #Part_7Yuni terus bertanya soal surat panggilan sidang yang dilengkapi dengan salinan surat gugatan. Surat gugatan itu bertanggal tepat sehari setelah Astuti batal berdinas dan memergoki keberadaan Yuni di rumah kami."Kebetulan dong, Yank. Kita nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi dari dia," celetuk Yuni dengan nada bersemangat. Aku hanya diam tak menanggapi, susah juga menjelaskan keadaan sesungguhnya keluarga kami. Namun tahu atau tidaknya Yuni, tak menjadi soal. Dia boleh tetap berada di sampingku atau memilih pergi. Yang jadi beban pikiran justru sikap tegas Astuti. Aku benar-benar merasa kecolongan dengan perubahan seluruh sikap dan mentalnya. Dan aku ... tidak rela! Tidak rela!"Nggak masuk dulu, Mas." Yuni menggamit lenganku untuk mengikutinya masuk rumah seperti biasa, tetapi hati ini sama sekali tak ingin. Bayangan Astuti memenuhi benak, tak ingin kehilangan perempuan serba bisa itu. Sejak Astuti menjadi PNS, sejak saat itu pula ia mengambil alih peranku

  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKU   BAB 6

    #Part_6Aku menekuk tubuh di atas kursi teras. Hawa dingin dinihari membuatku menggigil. Ditambah pula dengan gigitan nyamuk malam yang tidak henti-hentinya meninggalkan rasa gatal di sekujur tubuh. Mata ini sama sekali tak mampu terpicing sejak tadi malam.Pikiranku lalu melayang pada kejadian beberapa jam lalu. Kemarahan Astuti yang meledak begitu tahu ada perempuan lain di rumah ini. Kenapa tadi seolah bibir ini terkunci untuk membela diri? Kenapa aku membiarkan Astuti yang mengendalikan situasi? Bodohnya aku membiarkan situasi di rumah tak lagi dalam kendaliku? Apa ... apa yang telah terjadi pada Astuti sehingga kini ia tak bisa kuperlakukan sesenaknya seperti dulu?Adzan Subuh terdengar dari masjid di pertigaan sana. Tak lama lampu ruang tamu menyala, disusul anak kunci yang berputar dan daun pintu terbuka.Tanpa menunggu lebih lama, aku menerobos masuk dan melewati begitu saja tubuh Astuti yang berdiri di ambang pintu.Langkah kaki mengar

  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKU   BAB 5

    #Part_5Beberapa hari ini, Astuti mendiamkan aku. Tidak bicara apa-apa kecuali menjawab pertanyaan, itu pun jawaban pendek-pendek saja. Sifat serba memaklumi yang bertahun-tahun jadi ciri khasnya seolah sirna. Apa yang jadi penyebabnya aku belum tahu.Semula ada rasa curiga, jangan-jangan Astuti bermain api dengan Didi sialan itu. Namun sempat beberapa kali memata-matai aktivitas istriku di luar, tidak menemukan hal mencurigakan. Demikian juga saat kubuka diam-diam ponselnya, tidak ada chat mesra dengan lelaki itu.Sempat diri ini curhat pada Dono Don Juan itu, soal Astuti yang sekarang cenderung sensitif dan tertutup. Sarannya sungguh lebay, katanya aku harus belajar romantis dan sedikit gombal, sebab perempuan konon suka digombali. Sesekali memberi bunga, candle light dinner, atau nginap di hotel berdua, adalah beberapa saran darinya.Aku sama sekali tak pernah melakukan itu. Setahuku dengan bentakan dan sikap keras, istri akan bisa dikuasai. Selama pul

  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKU   BAB 4

    Part_4Astuti mempercepat langkah dan memasuki kamar. Aku segera menahan daun pintu dengan tangan sebelum ia menutupnya."Aku tidak ingin bertengkar, Mas. Capek! Capek tubuh maupun pikiran," sambutnya dengan suara mulai pelan dan terengah-engah. Paling-paling dia takut telah membuatku marah barusan. Namun ini tidak boleh dibiarkan, bisa tuman!"Kenapa sekarang ngungkit-ngungkit soal sumber uang di rumah ini? Sudah mulai hitung-hitungan? Mentang-mentang sudah kenal sontoloyo Didi itu dan mulai ikut-ikutan gayanya si Erien! Iya?!" Aku mencengkeram dagu Astuti dan menatap garang padanya."Lepas!" Ia mulai terlihat kesakitan dan berusaha mendorong tanganku."Jawab dulu!""Lepas! Atau aku akan teriak kencang supaya anak-anak mendengar?!" Bukannya takut, ia malah balik mengancam. Aku mengendorkan cengkeraman dan membuang napas kesal.Jika urusan anak memang menjadi rem buatku. Selama ini selalu berusaha tidak berseteru di hadapa

  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKU   BAB 3

    Part_3Hampir sepanjang acara reuni berlangsung, aku sama sekali tak memerhatikan panggung di depan sana. Fokusku hanya berdekatan dan ngobrol bersama Yuni, idamanku di masa lalu. Sementara di ujung sana, Dono asyik berbisik-bisik dengan teman seangkatan yang lain, sambil sesekali mengacungkan jempol ke arah kami. Dalam keadaan seperti ini, aku merasa mendapat dukungan dari Dono. Mungkin Don Juan itu berniat menjadikan aku seperti dirinya juga, biar ada teman yang setipe.Hampir pukul 12 malam saat keseluruhan acara berakhir. Panitia berhasil mengumpulkan lebih dari dua ratus juta. Panitia merencanakan dana itu untuk membantu dana pembuatan sanggar seni di kawasan sekolah dan sebagian lain untuk menyantuni beberapa pensiunan guru yang sakit-sakitan di masa tuanya."Ayok, Yun. Aku antar kamu sekalian. Gak ada yang marah, kan?" Aku mengerlingkan mata kepadanya. Perempuan itu mengulum senyum dan menggeleng. Dengan beriringan, kami menuju mobilku, eh mobil Ast

  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKU   BAB 2

    Part_2Kutimang-timang undangan yang diantar Dono tadi siang. Sebuah undangan reuni SMU 21 Kota Jambi mulai dari angkatan tahun 1990 sampai dengan tahun 2000. Tumben aku dapat undangan kali ini, padahal reuni tahun-tahun sebelumnya tidak pernah benar-benar diundang. Dono teman sekelas yang super gaul, hingga tak pernah absen didapuk sebagai salah satu panitia. Meskipun kami dulu terbilang akrab di sekolah, tetapi jadi terasa berjarak sejak ia tahu aku tak punya pekerjaan tetap dan hanya mengontrak. Sesekali ia hanya memberitahukan info reuni lewat chat tanpa meminta sumbangan. Dari situ aku bisa membaca maksudnya.Aku menyeringai, kini tak ada lagi yang bisa menyepelekan seorang Busro. PP akun Whatsapp dan Facebook yang berlatar belakang rumah mewah berlantai dua dan mobil kelas menengah, telah mengukuhkan keberadaanku di mata teman-teman alumni. Bahkan Dono sendiri yang mengantar langsung undangannya. Amplop putih yang ia sodorkan sebagai kontribusi acara, kukembalika

  • ISTRIKU SUMBER KEUANGANKU   BAB 1

    ISTRIKU SUMBER KEUANGANKUPart_1Aku menggeliat bangun oleh aroma kopi yang menerpa hidung. Benar saja, di atas meja kecil yang terletak di pojok kamar, Astuti telah menyiapkan sarapan pagiku seperti biasa. Kali ini secangkir kopi ditemani nasi goreng ati. Tanpa mencuci muka terlebih dulu, aku menyeruput kopi dan menyalakan sebarang rokok."Mas buruan siap-siap, nanti Panji dan Rara bisa terlambat." Astuti mengingatkan sembari sibuk mematut diri di depan cermin, dilanjutkan memasukkan berkas-berkas ke dalam tas kerjanya."Kalau mau nggak terlambat, sekalian kamu antar saja, dong," sahutku ketus. Mentang-mentang jadi wanita karier, seenaknya saja mendikte suami. Perempuan yang kunikahi tiga belas tahun lalu itu terdengar menghela napas panjang, lalu tanpa kata mengulurkan selembar biru ke arahku, seperti biasanya pula. Ya, duit itu jatahku tiap pagi--buat beli pulsa dan rokok. Meski sudah lama tak cukup, tapi aku belum sempat minta ke

DMCA.com Protection Status