Tangan Vin bergetar, menerima hasil pemeriksaan kandungan Emma dari Lyli. Dokter itu menyeret Emma untuk diperiksa kehamilannya, setelah Xuan berucap kalau Emma belum pernah melakukan chek up kandungan.“Usia kehamilan tujuh minggu,” gumam Vin. Bahkan ada foto USG yang menyertai lembar pemeriksaan tersebut. Vin jadi teringat pertama kali dia melihat gambar Enzo untuk pertama kalinya.Vin jelas bukan ayah janin yang dikandung Emma, tapi euforianya sama seperti saat dia tahu Maria hamil Enzo. Bagaimanapun, Emma semalam menegaskan kalau tidak mau menerima Ilario. Walau lelaki itu ayah anaknya.“Dia menyakitiku, dia menembak Maria. Aku benci padanya!” Serangkaian kalimat yang jadi bukti betapa Emma sangat tidak menyukai Ilario. Dalam sekejap Vin menyadari kalau Ilario sudah melecehkan Emma selama lelaki itu menyekap Emma di tempatnya. Rasa benci Vin kini naik berlipat-lipat pada Ilario. Ingin rasanya dia menembak Ilario saat ini juga.“Jadi karena itu Xuan bertahan di sana? Apa tida
Nafas Briana masih naik turun ketika Vin menghentikan mobilnya di sebuah taman. Wajah gadis itu juga sedikit pucat, ada cairan bening di sudut mata Briana, dia bahkan siap menangis.“Kamu baik-baik saja sekarang.” Vin berucap tenang, sembari menyimpan kembali Revolver-nya ke dalam dash board. Briana mendelik ke arah Vin.Pria itu masih sibuk dengan alat kecil di telinga, ponsel dan layar yang ada di depannya. “Bereskan saja mereka. Atau kirim kembali pada Surya setelah buat mereka babak belur.” Perintah Vin membuat Briana bergidik ngeri. Dia mulai ketakutan dengan sosok Vin yang baru menunjukkan wajah sebenarnya. Seorang mafia yang ternyata bukan isapan jempol semata.Beberapa menit yang lalu, Briana melihat bagaimana Vin dengan lihai mengendalikan mobilnya, sekaligus menembak orang suruhan Surya Atmaja. Tanpa ragu, Vin memperlihatkan semuanya di depan Briana.Dia juga melihat, kepiawaian Vin dalam menggunakan senjata bermoncong dengan semburan timah panah sebagai hasil akhir se
Briana berjalan mondar mandir di kamarnya. Setengah jam yang lalu, Vin mengantarkannya dengan selamat ke rumah. Saat ini gadis itu tengah meresapi beberapa ucapan Vin.“Aku memang seorang mafia, tapi bisa aku katakan kalau semua usahaku di bawah tanah, seminim mungkin melanggar hukum.”Mana ada mafia patuh hukum? Gerutu Briana dalam hati. Wanita itu bukan orang yang mudah percaya pada orang lain. Dan pengakuan Vin tentu tak semudah itu dia terima.Sikap Briana bertahan sampai dua hari berikutnya. Dia menolak bertemu Vin meski pria itu sudah menunggunya di depan TK. Briana mengirim pesan pada Vin, menegaskan sikapnya pada bule Italia tersebut.Vin hanya bisa menghela nafas. Inilah resikonya, jika dia mendekati gadis di luar klan mafia. Hal pertama yang harus dilakukan adalah meyakinkan kalau mafia tidaklah seburuk pandangan banyak orang.Briana menghindari Vin dengan pulang melalui pintu belakang. Jalan yang menghubungkan rumah Briana dengan gedung TK dan bangunan panti asuhan. Se
Briana semakin menyembunyikan diri di belakang tubuh Vin. Memindai lelaki bule lain yang ada di hadapan mereka. “Bule lagi,” batin Briana. Sejenak merasa takjub, hidupnya kini sering dipertemukan dengan lelaki dari ras bule sejak bersinggungan dengan Vin.“Di mana dia Vin?” tanya lelaki itu lagi.“Sudah kubilang, dia tidak ada di sini Rio,” balas Vin cepat. Tubuh ayah Enzo bergerak melindungi Briana ketika Ilario mencoba menelisik siapa yang berada di balik tubuh Vin.“Jangan bohong! Di mana kau menyembunyikannya?” Ilario mencoba bersabar, tapi sepertinya gagal dia lakukan. Ilario tetaplah Ilario, pria yang dominan dengan sifat emosinya.“Terserahlah! Kau mengganggu waktuku saja.” Vin mendorong tubuh Briana masuk ke dalam mobil. Kali ini Briana tak membantah. Dia manut saja ketika Vin menutup pintu sambil mengedipkan mata.Pintu belum sepenuhnya tertutup, ketika Briana mendengar ucapan Ilario yang cukup menarik perhatiannya. “Ternyata kau sudah menemukan pengganti Maria, cepat sekali.”
Perkenalan Xuan dengan Kartika membuat Kartika mengetahui beberapa hal soal Vin. Yang jelas Kartika sudah bertemu putra Vin yang super tampan dan menggemaskan. Serta cerdas. Maka begitu Kartika dan Briana bertemu di lain hari gadis itu langsung bercerita panjang lebar mengenai Enzo. Briana jadi ikutan kepo dengan bocah laki-laki yang menurut Briana adalah fotokopian Vin.“Serius, dia cakep banget. Gila maknya kayak apa ya?” Kartika begitu antusias menceritakan soal Enzo, tentu saja tak ketinggalan mengenai si asisten pribadi Vin.“Pantes aja, bosnya tampan, tidak heran kalau anak sisternya juga ganteng.” Kartika berucap dengan wajah merona merah. Hal itu membuat Briana heran. Tidak biasanya sang sahabat bersikap seperti itu.“Kau suka padanya? Siapa tadi namanya, Xuan?” Kartika mengangguk untuk kemudian menggeleng. “Aku tidak suka padanya, hanya ....”“Tertarik? Sama saja bestie,” ledek Briana. “Memangnya kau tidak tertarik pada Vin. Jujur aja kamu,” todong Kartika. Briana t
Vin sesaat melirik Briana waktu mereka memasuki gerbang rumah Ian. Tak ada rasa terkejut dalam tatapan Briana, melihat betapa megah kediaman Ian. Seolah hal itu sudah biasa bagi Briana. Yang membuat Briana berubah ekspresi adalah melihat beberapa pria berpakaian hitam yang ada di sekitar rumah Ian. “Mafia,” gumam Briana.“As you know.” Vin membuka pintu mobil. Berjalan memutari kendaraannya, lalu membawa Briana masuk melalui pintu samping. Vin menyerahkan Briana pada seorang pria yang hari itu menolongnya.“Jangan khawatir, dia tidak akan melakukan hal buruk padamu.” Ucapan Vin menjadi jaminan untuk keselamatan Briana. Dua orang itu melangkah naik ke lantai dua. Sesaat Briana melirik ke lantai di bawahnya. Di mana beberapa orang sudah berada di sana. Tatapan Briana beradu dengan netra biru Vin yang mengangguk pelan, setelah pria itu ikut duduk di salah satu sofa. “Apa di sini tidak bahaya?” Briana bertanya pada guide-nya.“Di sini salah satu dari dua tempat paling aman di Jak
Briana menggeliat pelan dalam tidurnya. Selepas makan siang, rasa kantuk menyerang dirinya. Hingga gadis itu berakhir dengan mata terpejam, di sofa. Kini Briana merasa heran, ketika dia terbangun di atas ranjang.Ditambah ada tangan yang melingkar di perutnya. “Astaga, ini apa?” gumam Briana dengan cepat berbalik dan mendapati Vin tidur di atas kasur yang sama dengannya. Ha? Apa yang sudah mereka lakukan? Pekik Briana dalam hati.Gadis itu sesaat terpana dengan wajah tampan Vin saat tertidur. Meski detik berikutnya, dia menendang jatuh tubuh besar Vin, hingga bunyi bedebum terdengar lumayan keras. Diiringi teriakan protes dari Vin.“Apaan sih main dorong aja! Sakit tahu!” Briana berdecak kesal. Melihat Vin mengusap pinggangnya yang terasa sakit.“Badan segede gitu mana terasa sakit,” cibir Briana. Vin ingin mengumpat, tapi terpotong pertanyaan Briana lagi.“Apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa kita bisa tidur di kasur yang sama? Ingat Vin kamu punya istri,” Briana terus memperi
Briana menatap tak percaya pada Vin. Apa lagi pada hal yang baru saja lelaki itu katakan. Vin bilang dia masih single. Trik lama, tak akan mempan padanya. Vin pikir setelah menciumnya, dia akan jinak padanya. Tidak! Vin salah jika beranggapan demikian.“Aku tidak percaya!” Niat hati ingin menatap mata Vin, tapi justru Briana terpana pada sorot mata Vin yang teduh. Untuk ke sekian kalinya, Briana tenggelam pada pesona netra Vin yang menyeretnya lebih dalam pada ketampanan seorang Vin.“Benarkah? Kau tidak percaya pada ucapanku. Tidak masalah, yang penting aku tahu kalau kamu juga punya rasa padaku. Itu lebih penting.” Pria itu menunduk, dan satu kecupan lembut mendarat kembali di bibir Briana.“Aku pasti sudah gila karena jatuh cinta pada suami orang. Maafkan aku, siapapun kamu. Aku tidak bisa mengendalikan diriku.” Briana memejamkan mata, ketika Vin menguasai dirinya. Bibir pria itu dengan lihai membuat Briana terlena.Di sebuah taman.Ilario terlihat duduk dengan seikat bunga ma
“Ibu mengaku salah untuk urusan Helga di masa lalu. Ibu buta, sungguh tidak bisa membedakan baik dan buruk saat itu. Tapi sekarang, Ibu akan menerima semua keputusan Vin termasuk soal pasangan hidup. Ibu akan mendukungnya. Maafkan Ibu, Ibu sungguh ingin memperbaiki kesalahan Ibu. Jadi tolong beri Ibu kesempatan.” Briana menghela nafas, penjelasan dari Imelda cukup dia mengerti. Wanita itu tentu paham konsep tiap manusia pernah melakukan kesalahan. Akan terasa tidak adil jika kesempatan untuk berubah jadi lebih baik tidak diberikan. Briana sendiri memang tak terlalu memikirkan soal Helga, sebab Vin memang tidak pernah memberikan celah sedikit pun untuk Helga masuk dalam hidupnya. Oke, semua masalah sudah clear. Imelda akan membuktikan kalau dia menerima Briana sebagai pilihan Vin serta menantunya. “Kenapa Boy?” Briana bertanya ketika melihat sang putra tengah menatap foto sang mama yang tengah memeluknya, ada Vin juga di sana. Potret keluarga bahagia nan sempurna. Cemburukah Briana?
“Wait, wait, tunggu. Amore mio ada apa?” Vin mencegat Briana yang melewatinya begitu saja setelah makan malam usai. Lelaki itu menghadang di pintu kamarnya. Sejak pulang tadi wajah Briana sudah menunjukkan ekspresi tidak sedap.Briana tahu, kalau kejengkelannya seharusnya tidak ditujukan untuk sang suami. Hanya saja dia tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Vin, hingga ketika dia berhadapan dengan Vin, rasa itu otomatis keluar begitu saja.“Maaf, aku gak marah sama kamu,” ujar Briana terus terang.“Lalu? Coba deh bicara yang benar. Aku gak masalah kamu mau marah atau bagaimana ke aku. Yang aku minta jangan pernah menutupi apa pun dari aku. Aku ingin tahu.” Vin memegang dua bahu Briana, meyakinkan wanita itu.Ohh beginikah rasanya menikah dengan duda yang sudah expert soal pernikahan. Sikap terbuka Vin dan seluruh pengertian lelaki itu membuat Briana meleleh meski sedang marah. Act of service-nya memang lain ya duda yang satu ini.Begitulah Vin, lelaki itu bahkan tak segan mengaj
“Siapa dia?” bisik Briana bertanya pada sang adik yang memindai penampilan seorang perempuan berambut pirang di hadapannya.“Coba Kakak tebak?” Jeff justru bertanya balik pada Briana. Giliran Briana yang memberikan atensinya pada si wanita. Cantik sih, langsing, dan errr seksi.“Salah satu teman tidurmu?” Briana kembali bertanya dengan raut wajah sedikit jijik pada Jeff. Sang adik langsung merengut mendapati ekspresi wajah Briana seperti itu padanya.“Kan aku sudah bilang mau berhenti dan mau berteman sama sabun saja.” Meringis, Jeff mendapat balasan kontan dari bibirnya yang lemes. Cubitan Briana mendarat di pinggang Jeff.Sementara wanita yang berdiri di depan kakak beradik itu mengepalkan tangan karena geram, merasa diabaikan oleh Jeff dan Briana. “Sialan! Aku dikacangin!” maki sang wanita dalam hati.“Jadi benar dia pacar barumu?” tanya si perempuan.“Emm, gimana ya? Emang kamu pantas jadi pacarku Kak?” Briana mendelik sama dengan si tamu tak diundang. Kak? Jeff memanggil wa
Vin berusaha menetralkan hatinya, menenangkan degup jantungnya. Kala Imelda melangkah masuk ke ruang kerjanya. Menuruti kata hati. Vin akhirnya meluangkan waktu untuk bicara pada sang ibu. Hari ini setelah dia pulang dari kantor.Meninggalkan Briana dan Enzo di ruang keluarga, bercanda bersama Emma yang kebetulan mampir setelah cek up kandungan seusai melalui perjalanan panjang Jakarta-Milan.Sementara Ilario tengah berkoordinasi dengan Miguel dan Chen di ruang meeting mini di lantai dua. “Jadi apa yang ingin kamu bicarakan dengan Ibu?” Imelda membuka percakapan. Dua hari ini interaksinya dengan Briana cukup baik. Dua orang itu sama-sama menyesuaikan diri satu sama lain. Tak menampik kemungkinan mereka akan hidup berdampingan untuk waktu yang lama, karena itu adaptasi diperlukan.“Ini soal sikap Ibu pada Briana. Apa Ibu sungguh-sungguh dengan semua ini? Maksudku, Ibu berubah. Apa ini hanya pura-pura atau bagaimana?” ujar Vin terus terang.Imelda menatap sang putra, sedikit gusar
“Jadi bisa kita bicara sekarang?” Briana menatap Vin yang mulai memejamkan. Keduanya masih tanpa busana setelah melalui sesi panas perdana mereka di Milan. Di kamar yang seketika membuat Briana serasa dejavu.Dejavu rasa bukan penglihatan. Dia sungguh pernah merasa di sini, di tempat ini. Meski semua perabot dan interior berganti baru. Sampai dengan cat dinding pun Vin memerintahkan untuk dicat ulang.Vibes-nya terasa sekali. Dia dan Vin pernah bercinta di kamar ini sebelumnya. Mungkin benar apa yang Vin katakan, jika dirinya berada di raga Maria selama hampir dua bulan.“Bicara apa?” Netranya terpejam, tapi tangannya merayap ke mana-mana. “Vin,” Briana mencubit dada bidang telanjang sang suami karena tangannya terus saja nakal bergerak ke sana sini. Vin mengaduh lebay, lantas menyudahi aksinya menggoda sang istri. Memeluk posesif pinggang ramping Briana. Membawanya merapat ke tubuhnya.“Jangan nempel-nempel.” Briana menerapkan jaga jarak yang sepertinya tak ada gunanya jika V
Briana menatap rumah dengan tangga marmer putih membentang di hadapannya. Menuntunnya menuju sepasang pintu kembar yang megah, sudah terbuka untuk dirinya. Vin tak membayangkan apapun, tapi dirinya cukup terkejut melihat kehadiran Imelda di depan pintu, menyambut mereka.Satu persatu tangga dinaiki, hingga mereka tiba di gerbang rumah Vin. Dengan seorang wanita menatap hangat pada keduanya. Dalam rentang waktu selama ditinggal Vin dan Enzo, Imelda mulai menyadari akan sikapnya yang keliru selama ini.Hingga ketika waktunya tiba, Imelda bertekad untuk mengubah perilaku. Menjadi ibu dan nenek yang baik untuk anak dan cucunya. “Benvenuto a Milano, genero mio,” ucap Imelda. (Selamat datang di Milan, menantuku.)Vin cukup terkejut mendengar ucapan sang ibu, mengingat di masa lalu, sang ibu begitu memusuhi Maria. “Ini ibuku, Imelda Arturo.” Vin terpaksa mengenalkan Imelda. Toh dia tidak bisa memungkiri kalau Imelda memang wanita yang sudah melahirkannya. Briana menampilkan raut wajah b
“Hai, Vi. Namamu Via kan?” Via mengerutkan dahi ketika melihat seorang anak lelaki berjalan mendekatinya. Mereka ada di taman belakang sekolah Via. Via sendiri tengah bermain di sana sembari menunggu sang ayah menjemput. “Kakak yang hari itu ada di pernikahan Miss Ana kan?” Via menjawab sambil memicingkan mata. Si anak lelaki mengangguk, mengulurkan tangan lalu menyebutkan namanya, “Maher.”“Kak Maher ngapain di sini? Gak sekolah?” Via memicing melihat pakaian rapi Maher.“Aku ambil libur. Mau anter Enzo ke bandara.” Gerakan Via seketika berhenti. Bandara? Enzo pulang hari ini? Gadis kecil itu seketika menunduk, matanya berkaca-kaca.“Mau ikut? Nanti aku bisa bilang pada Kakek Martin untuk bawa kamu. Kita masih nungguin Kak Jeff yang lagi bujukin Kak Ai,” ajak Maher. Entah kenapa dia begitu lancang mengatakan hal itu.Enzo sudah mewanti-wanti Maher untuk tidak bicara pada Via soal kepulangannya. Namun Maher berpikir kalau ini sangat tidak adil untuk Via. Apa salahnya cuma mengat
Briana terbangun dengan tubuh sakit. Rasanya pegal di semua bagian. “Astaga, duda gila,” gumam Briana. Dia meringis ketika mengubah posisi tidurnya. Pokoknya dia mau tidur seharian ini, bodo amat sama urusan lain.“Sudah bangun?” Vin bertanya dari arah pintu. Baru masuk sambil membawa nampan berisi makanan. Beuhh, aura duda baru buka puasa memang lain. Vin tampak segar dengan wajah glowing, secerah mentari pagi.Briana menaikkan selimutnya, sadar kalau dia belum berpakaian. “Sakit tidak?” Vin bertanya, sambil duduk di samping Briana.“Menurutmu?” Briana balik tanya. Senyum Vin melebar. “Sorry, agak lepas kendali,” cengir Vin tanpa dosa. Ha? Agak dia bilang. Kalau yang semalam Vin mengatakan agak lepas kendali, lalu yang betulan lepas kendali seperti apa.“Kalau semalam mode setengah lalu yang model full seperti apa?” ledek Briana.“Ya, bisa saja satu jam nonstop bisa lebih.” What? Briana melotot mendengar jawaban Vin. Semalam saja dia perlu rehat, mengambil jeda setidaknya seti
Briana baru keluar dari kamar Enzo memeriksa sang putra yang ia khawatirkan akan tidur sekasur dengan Via. Briana menghela nafasnya lega, luar biasa. Enzo tidur di sofa dengan Via tidur di kasur.“Good night, Boy.” Briana mencium kening Enzo setelah mengambil selimut tambahan, memakaikannya di tubuh sang putra. Sama dengan Via, dia juga mengucapkan selamat malam, sembari mencium pipi anak asuhnya. Cukup sedih karena dalam beberapa hari dia akan meninggalkan negeri ini. Mengikuti langkah Vin yang sudah resmi jadi suaminya.“He, masih bertengkar saja.” Briana memergoki Ilario dan Emma yang masih berdebat. Padahal hari sudah malam. Ilario dan yang lain baru saja pulang dari misi. “Dia minta ayam geprek, di mana mau cari,” keluh Ilario.“Tidak mau nyari ya sudah. Masih ada Xuan ....”“Xuan terluka jangan diganggu dulu.” Emma menoleh, ini berita baru untuknya sebab dia baru saja bangun, gegara obat bius sialan yang sang suami berikan.“Geprekkan saja ayam goreng yang tadi. Kasih sam