Meski lewat layar, mengapa tatapan itu mengintimidasi?
-------"Sepertinya ayah masih tinggal beberapa hari lagi, Ca. Kamu baik-baik aja ma, bunda, ya?" ujar Mas Reza di balik layar. Dua hari setelah acara wisuda Caca."Siap." Gadis periang itu menaikkan jempol."Bunda mana?" tanya Mas Reza kemudian. Tergesa aku berlari dari arah dapur saat suara Caca memanggil"Ayah nyariin, Bunda," ucap Caca menyerahkan HP, kemudian melanjutkan permainan boneka-bonekanya lagi.Bingung, namun tetap meraih benda pipih itu. Tumben mau bicara langsung sama aku? Biasanya sama Caca aja.Aku menatap layar, Mas Reza memakai kemeja putih tersenyum manis, sepertinya sudah siap. Ia lantas melambai ke layar dengan kaku, aku melakukan hal sama. Untung ia jauh, kalau tidak pasti ia tahu berisiknya kerja jantung di balik kulit ini dengan jarak begitu dekat."Gimana kabarmu?" Menurutku ini pertanyaan basa-basi."Baik," jawabku singkat tanpa berani menatap netra teduhnya."Masih ada pekerjaan belum kelar, Zahrah. Mungkin aku masih tinggal sepekan lagi.""Iyya," jawabku sama."Kok, iyya, aja. Nggak minta oleh-oleh?" Terdengar kekehannya lembut."Hmm ....""Segitu aja?" Bibirnya membentuk seukir senyum, manis sekali."Oo, ya, Mas, hampir lupa aku sama Caca kayaknya pulang kampung untuk acara nikahan Raina yang dipercepat lima hari, berhubung anak sekolah liburan semester." Kulaporkan hasil pembicaraan dengan Raina delapan hari lalu, sekaligus mengalihkan pembicaraan yang memompa jantung lebih cepat.Nampak Mas Reza berfikir."Aku barangkali nggak bisa lama datangnya, paling kayak acara wisuda Caca, datang hanya pas hari H saja gitu.""Oo, iyya, Mas. Biar nggak datang juga.nggak apa apa, kok. Keluarga pasti mengerti.""Kamu ngelarang aku datang, ya?" Ia berucap sambil melipat alis tebalnya.Inginnya kujawab, iyya, nggak usah datang kalau sama lagi mantanmu, tapi kalimat itu tak mampu keluar. Mungkin suatu hari nanti akan kurangkai kalimat itu untuknya."En-enggak, kok. Zahrah ngerti aja kesibukan Mas." Buru-buru aku meluruskan maksud."Kamu nyetir sendiri?""Reno -adikku, pengelola laundry bersama Raina- yang nyetir. Besok kami udah berangkat, ya?" Aku meminta izinnya."Iya, hati-hati di jalan. Termasuk jagain hati kamu."Kalimat terakhirnya sukses membuat posisi jantung ini bergeser, tanpa sadar aku menautkan alis menantang netranya intuk mencari kejelasan. Namun, ia hanya tersenyum entah.***Empat hari kami sudah di rumah bapak ibu, sanak saudara banyak meramaikan. Keluarga jauh nginap di rumah atau di tempat kerabat lain, termasuk Mas Danar, dua hari ini bolak-balik datang membantu.Caca senang punya banyak teman, apalagi ia diistimewakan oleh bapak-ibu yang memang belum punya cucu. Otomatis ia menjadi pertama juga di keluargaku.Termasuk Mas Danar, Caca cepat akrab, bahkan Angga -adik bungsuku- biasa membawa jalan-jalan dengan mobil Mas Danar bersama anak-anak kerabat lain."Ayah, Caca senang di sini, deh. Banyak teman, disayang semua orang, trus ada Om Danar juga." Cerita Caca pada Mas Reza melalui vidio call, sehari jelang nikahan Raina."Oh, ya, bagus, dong. Pantas ayah nggak dirinduin," jawab Mas Reza bercanda. "Trus Om Danar itu siapa?" Aku mendengarkan percakapan mereka sambil memakaikan baju Caca sehabis mandi pagi."Om yang ketemu kita di pantai waktu itu, Ayah." Caca mengingatkan.Wajah Mas Reza langsung berubah, ia menarik lengkungan senyumanya menjadi serius. Pemilik netra teduh itu menatap tajam ke arahku yang sedang menyisir rambut Caca.Merasa ada salah dari ekspresi itu, sisi jiwa merontah. Meski lewat layar kenapa tatapan itu seakan mengintimidasi?***Mas Reza memeluk Caca, netranya tak lepas dariku. Kalau ia bersikap aneh begini terus, bisa-bisa aku periksa di poli jantung. -----"Ada yang nyariin, Mbak, penting katanya," bisik Angga ketika aku sedang menata meja untuk menyiapkan makan siang untuk para tamu dan kerabat.Aku mengangguk, tapi tak menghiraukan. Mengingat adikku yang baru tamat SMP itu sering bercanda."Cepetan, Mbak, ntar tamunya pulang." Tak beranjak Angga menunggu."Serius, ni? Cacanya mana? Kok, ditinggal pona'annya?""Itu ... Caca sama tamu yang nyariin, Mbak." Ia menunjuk ke luarDahiku mengernyit, tumben Caca mau diambil sama orang baru?Aku menyelip keluar di antara keramain kerabat. Ibu duduk di ruang tengah berbincang dengan tetamu.Di bawah tenda pengantin yang telah terpasang tiga hari lalu, banyak keluarga laki-laki bercengkrama antar mereka.Kucari sosok Caca. Deght.Jantung ini kembali bergeser, melihat Caca duduk di pangkuan Mas Reza. Di sebelahnya ada bapak, om-om dari keluarga ayah-ibu, dan Mas Dana
Mengingat Mbak Rita ingin baikan, ditambah cara memandang Mas Reza, aku tahu, ia mengharapkan mantan suaminya kembali. Dada seakan kembali menyempit membayangkan itu semua.------Memandangi wajah Caca tidur tanpa melepas mukenah, salat berjamaah selesai, ia pun langsung melepaskan lelah.Kehadiran bidadari kecil ini membuat hidup berwarna. Namun, sekaligus hambar mengingat hubunganku dengan ayahnya.Sambil menyalahkan TV, aku menyetrika pakaian, tak lama berselang terdengar salam Mas Reza dari masjid.Ia langsung duduk di sofa, sambil menyeruput kopi, kebiasaanya setiap malam. "Udah siap ngejelasin isi pesanku tadi siang?"Pertanyaannya tak menghentikan pergerakan tanganku, walau tatapnya mulai tak sabar, aku membereskan lipatan terakhir sekaligus pura-pura tak menghiraukannya."Zahrah." Mas Reza memanggil lembut. Aku berpindah, duduk dua sofa di antaranya. "Ceritalah tentang Danar." ujarnya setelah mematikan TV. Aku terdiam lama guna merangkai kata tepat dalam hati. "Sebaiknya Ma
Dua kata yang keluar dari bibir berukuran sedang itu, sukses membuatku mendarat darurat. Rasanya seperti terjungkal di atas tanah.--------------------"Caca, ayah nggak bisa nemanin beli seragam baru besok. Sama Bunda, aja, ya?"Mas Reza duduk di sofa ruang keluarga, tempat favorit kami berkumpul pada waktu senggang. Wajahnya terlihat gelisah, setelah menerima panggilan telepon."Keluar kota lagi? Berapa hari, Ayah?" Caca berpindah ke pangkuan Mas Reza, menyandarkan kepala di dada bidang itu. "Peresmian kantor cabang baru, yang diurus kemarin-kemarin, untuk sementara masih nyewa gedung dulu." Nanar pria maskulin itu menatap. Mungkinkah kalimat itu ditujukan untukku? "Emangnya nggak bisa kerja tanpa pergi terus gitu? Seperti ayahnya Sisil?" Protes Caca yang entah berapa sekian kali. Sejak gadis kecil itu bersekolah di TK, sering membandingkan Mas Reza dengan ayah teman-temannya, yang hampir setiap hari menjemput.Aku meletakkan pakaian Mas Reza yang telah rapi di atas meja setrikaan
Jiwa berontak mendengar kata istri darinya. Apakah layak diri ini menyandang gelar itu? Bukankah aku tak dibutuhkan sebagai istri? Bukankah ada mantan akan menjadi istri seutuhnya? ------------------"Caca senang, deh, hari ini jalan-jalan ma Om Tio."Bidadari cantik itu menyeruput ice cream, tangan sebelah mengeluarkan plastik penuh makanan."Oh, ya." jawabku tetap fokus menyetir menuju rumah, sesekali menanggapi celotehannya. Seperti ia telah lupa dengan laku Mas Reza tadi siang."Ayah, udah pulang." Caca melompat turun, setelah mobil berhenti, dan melihat pagar terbuka, ada roda empat Mas Reza terpakir. Halaman rumah Oma ini memang luas. Tumben Mas Reza keluar kota hanya semalam? Ini juga pulang tanpa ada pemberi tahuan? Entah kenapa sesak ini muncul lagi, padahal aku sudah ikhlas. Apapun terjadi sampai ke rumah ini dan sebelum bertemu pria pembuat galau itu, semoga hati ini baik-baik saja. Ya ... Allah ... Mohon beri hamba kekuatan dan keikhlasan lebih. Pliss. Walaupun ragu
Membelai kepala tertutup jilbab itu tulus, andai sekarang kau ingin bersama hanya mamah dan ayahmu saja, aku siap sayang, karena itu sedang kuusahakan sekarang. --------------------"Rumahnya nggak bagus, kotor." Caca mengibas-ngibas pakaiannya setelah kami mengelilingi bangunan tingkat dua model lama.Salah tingkah Mas Reza melirik, mungkin karena penolakanku semalam. "Kalau udah dicat ulang dan direnov sedikit. Pasti bagus lagi, kok." Aku menyentil lembut hidung Caca. Sedang Mas Reza tersenyum bahagia, tampak bernafas lega. Meskipun berusaha menghindari lelaki yang susah ditebak itu, tapi aku tetap menjaga kebahagiaannya. Bapak-ibu benar, aku memang tertutup. Namun, lebih mementingkan orang-orang di sekitar. "Rumah ini kosong sekitar dua tahun, kamu boleh membuatnya jadi apa saja, eitempati juga boleh." Pria berhidung mancung itu berucap sambil fokus menyetir."Emang Bunda mau tinggal di sana?" ucap Caca sambil mengunyah roti sisa pemberian Mas Tio kemarin. "Entahlah sayang,
Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk menyimpan semua ini.--------------------Jam 12 siang, kami pun sampai di rumah."Mas, emang nggak berlebihan ngasih Zahrah rumah lagi?" tanyaku bersandar pada sofa ruang tamu setelah ganti baju dan salat Duhur.Mas Reza mengernyit ke arahku, ia selalu gagah memakai baju koko putih dan sarung warna senada. Ia dari masjid."Maksud Zahrah, apa nggak diganti aja pakai nama Caca?" ujarku lagi mendetailkan maksud. Aku membalas tatap lelaki aneh itu. Toh, buat apa memberi rumah kalau akhirnya ia akan pergi bersama mantannya.Bukankah selama kita berusaha rejeki tak perlu dikhawatirkan? Dan selama nafas di tenggorokan, pintu langit masih terbuka untuk menurunkan rezeki dan menaikkan amal setiap hamba. Perlahan ia duduk di dekatku, setelah meletakkan peci di meja."Zahrah nggak suka? Apa bedanya kamu dengan Caca buatku?" tanyanya penuh penekanan.Debaran kuat menghentak, Mas Reza memosisikanku dengan Caca sama?Terus, Mbak Rita? Apakah itu artinya a
Dua tahu bukan waktu yang singkat. -----Pukul setengah sembilan malam, aku masih berkutat di luar kamar, rasanya asing memasuki ruang pribadi Mas Reza.Hawa dingin menjalari jemariku, mengingat kami tak pernah sengaja tidur sekamar. Kecuali dalam keadaan terpaksa.Sungguh ajaib rasa ini. Bukankah ini doaku setiap waktu? Kenapa seperti sebuah beban?Seingatku kami sekamar hanya pada saat ada Oma, nikahan Reina, berkunjung ke kampung. Itupun untuk menghindari kecurigaan orang rumah, dan terakhir ketika Mas Reza sakit.Untuk menghalau galau. Aku mengerjakan apa saja yang bisa kulakukan. Sampai lantai yang sudah bersih kupel kembali.Huft ...Ternyata susah juga menghadapi situasi yang tiba-tiba berubah.Pria maskulin itu belum pulang dari shalat jamaah Isya. Padahal masjidnya berada sekitar lima ratus meter saja dari rumah. Tumben.Kembali aku melanjutkan kegiatan membersihkan rumah tanpa fokus, menyetrika dan menyusun alat-alat dapur.Biasanya aku kerjakan semua pagi hari setelah Mas R
Apakah kalimat sakti bak mantra itu masih berguna buatku sekarang? Setelah melihat keadaan seperti ini?--------------------Hidup serasa berubah semenjak kejadian malam itu. Kusambut hari penuh semangat dan tubuh terasa ringan beraktifitas.Tiap waktu aku nikmati dengan debar indah. Berpisah sejenak dari Mas Reza menghadirkan rindu yang tak mampu dituturkan. Mungkin inilah yang disebut masa pacaran. Bonusnya, kami merasakan setelah halal dan proses panjang nan rumit.Ya, aku mencintainya.Berharap ia pun sama denganku, walau tak pernah terangkai lewat kalimat. Tak seperti kemarin-kemarin. Semua praduga-praduga yang tiba-tiba saja datang entah darimana, berusaha aku hindari. Bukankah kebanyakan salah sangka itu bagian dari syetan?'Sesungguhnya Aku (Kata Allah) berpegang pada prasangka hambaKU.'Kalau tidak salah ingat, seperti itulah konteks kalimat dalam Hadits Qudsi yang pernah diajarkan guru agamaku di waktu sekolah. Sungguh, nasehat itu sangat penting menjadi pengingat terut